SLIDER

What I learnt from the revenge story

Rabu, 28 Juni 2023

Akhirnya kesampaian juga nonton The Glory season 2 setelah menunggu sekian lama. Season 1 sudah tuntas saya tonton ketika liburan sekolah semester lalu, kalo gak salah. Pokoknya pas lagi heboh-hebohnya itu. Dan sejak episode pertama, saya sudah ada feeling kalau jalan cerita serial The Glory akan seperti novel The Count of Monte Cristo. Buku klasik yang jadi bacaan terbaik saya di tahun 2021.



Mengingat sekarang sudah lewat jauh sejak pertama kali serial ini rilis, tampaknya udah nggak masalah kalo saya menulis ulasan di sini dengan penuh spoiler, kan?!



Genre: Revenge tragedy
Jumlah Episode: 16
Penulis Naskah: Kim Eun-sook
Sutradara: Ahn Gil-ho
Bahasa: Korea
Platform: Netflix

Sepertinya saya nggak perlu nulis sinopsis deh, saking ramenya serial ini di mana-mana malah bisa dibilang saya yang terlambat nonton ๐Ÿ˜. Intinya serial ini bercerita tentang Moon Dong-eun yang mau balas dendam ke satu geng beranggotakan 5 orang yang dulu membully dia waktu masih SMA. Pembullyan itu sangat parah sampai-sampai Dong-eun sekujur badannya penuh luka bakar akibat dibakar pakai catokan rambut.

Cakep banget ya, posternya?!

Proses pembalasan dendam itu membutuhkan waktu sangat lama karena para pembully itu berasal dari keluarga kaya -3 orang aja sih sebenernya-, sehingga Dong-eun harus merencanakan balas dendamnya dengan sangat teliti dan hati-hati.

Di season 1 kita disuguhkan cerita pembullyan Moon Dong-eun sampai akhirnya dia berhenti sekolah dan merencanakan balas dendamnya. Alur cerita yang maju-mundur membuat kita harus sedikit mikir dan nggak boleh berpaling matanya. Menurut saya cara penyajian seperti ini sangat jenius karena membuat penonton mau nggak mau mantengin terus ceritanya karena kehilangan detail sedikit saja akan membuat kita kehilangan alurnya.

Kalau dibandingkan dengan Monte Cristo yang alurnya maju dan pace-nya lambat, The Glory benar-benar seperti orang berjalan cepat. Dan begitu kita sampai pada plot twist yang mencengangkan, akan langsung disambut dengan flash back yang menjelaskan plot tersebut. 


Apakah The Glory terinspirasi oleh Monte Cristo?!


Pertanyaan ini memenuhi pikiran saya sepanjang menonton season 1. Karakter Dong-eun muda yang lugu dan begitu polos melihat dunia, orang-orang baik di sekitarnya yang tidak berdaya menolong, dan perkembangan karakternya sepanjang cerita membuatnya sangat mirip dengan Edmond Dantes, karakter utama di novel Monte Cristo.

Sikap Dong-eun yang mengingat orang-orang yang sudah berjasa di masa lalunya, mirip seperti Dantes yang kembali menolong orang-orang yang dia ketahui baik dan telah berusaha menolongnya di masa lalu. Cara liciknya dalam mengadu domba musuh-musuhnya juga sama seperti Dantes, bahkan kekhawatirannya untuk menyakiti Ha Ye-sol sama seperti Dantes yang tak tega menyakiti Edouard de Villefort.


Sepertinya bukan tidak mungkin The Glory mengadaptasi novel Monte Cristo mengingat novel itu memang merupakan salah satu kisah balas dendam paling epik sepanjang sejarah, sampai-sampai diadaptasi ke dalam bentuk film berkali-kali. Dan itu tidak masalah, saya benar-benar puas melihat tokoh-tokoh yang awalnya tidak berdaya kemudian menjadi tangguh dan berhasil balas dendam. 


Beberapa hal yang saya notice ketika menonton The Glory salah satunya adalah HP Samsung yang dipakai semua karakter, kecuali Son Myeong-oh. Cuma dia sendiri yang pakai Apple dan nasibnya adalah disiram miras sama Park Yeon-jin. Nggak penting sih, tapi menurut saya itu lucu ๐Ÿ˜….

Selanjutnya, profesi Park Yeon-jin sebagai pembawa berita ramalan cuaca. Kalau dilihat dengan POV orang Indonesia, nggak make sense Yeon-jin bisa seterkenal itu hanya karena profesinya. Saya jadi tahu kalau ramalan cuaca jadi hal pertama yang selalu disimak orang Korea sebelum memulai aktifitas mereka di pagi hari, terutama kalau mau keluar rumah. Dengan persepsi itu, wajar saja kalau Yeon-jin menjadi terkenal.

Setting tempat yang bukan di Seoul. Lagi-lagi, kalau dibandingkan dengan sinetron di Indonesia maka ini menjadi menarik buat saya. Kita tahu sendiri bagaimana sinetron kita selalu menampilkan setting tempat di Jakarta dan sekitarnya. Kalaupun bikin cerita tentang orang kampung, nggak bener-bener di kampung bikinnya. Kangen nggak sih, sama sinetron kayak Camelia yang dulu dibintangin Maudi Koesnaedy sama Ari Sihasale yang syutingnya sampai Padang demi menyesuaikan setting ceritanya?! Saya bukan penikmat drakor. Jadi mohon maaf kalau apa yang menurut saya menarik ini ternyata adalah hal biasa di dunia per-drakor-an. 

Pelajaran dari kisah pembalasan dendam The Glory dan Monte Cristo


Jangan terlalu baik jadi orang. Pernah dengar kalimat itu? Saya meyakini, menjadi baik tentulah sebuah akhlak yang baik, jadi mungkin kalimat yang lebih tepat adalah jangan terlalu naif jadi orang. Edmond Dantes yang terlalu lugu dan polos membuatnya mudah ditipu dan akhirnya masuk penjara. Dong-eun di sisi lain memang tidak punya pilihan. Dia dibully oleh orang-orang yang berkuasa. Dia sudah melawan tapi tidak berdaya. Jika Edmond Dantes butuh waktu 15 tahun di penjara untuk membuka matanya dan butuh mentor untuk berubah menjadi Monte Cristo, Dong-eun butuh waktu 18 tahun untuk mengumpulkan strategi dan uang supaya balas dendamnya berjalan lancar.

Pada akhirnya setiap orang akan mendapat balasan atas perbuatannya. Tidak peduli bagaimana kita mendapat apa yang kita inginkan, karma dan pembalasan nyata adanya. Karakter-karakter baik di Monte Cristo maupun The Glory pada akhirnya kembali merasakan hidup yang tenang. Dan sebagai muslim, hal yang paling menentramkan ketika menghadapi ketidakadilan adalah mengetahui bahwa balasan Allah pasti datang. Jika tidak di dunia, maka pengadilan itu akan ditemui di akhirat. Atas tuntutan kesabaran inilah kenapa saya -dan sepertinya kita semua- suka sekali dengan cerita balas dendam. Kita merasa mendapat validasi dan visualisasi atas karma yang akan dialami para antagonis dalam hidup kita sebelum nanti melihatnya di akhirat ๐Ÿ˜†.


A man's desire for revenge can sustain him for years. Sepertinya sangat  luar biasa, keinginan Dong-eun maupun Dantes untuk balas dendam membuat mereka bertahan hidup meski menjalaninya dengan penuh penderitaan. Dalam konteks lain, sebenarnya kita bisa melihat semangat yang sama pada kisah orang-orang tertindas. Saya jadi ingat buku Man's Search for Meaning yang bercerita tentang survivor camp penyiksaan Nazi. Saya belum baca bukunya, tapi berdasarkan review orang-orang saya pikir kisah itu memiliki spirit yang sama. Begitu juga tentang kisah orang-orang yang berjuang melawan kemiskinan seperti di film Pursuit of Happyness misalnya.

Memang ada orang-orang yang murni jahat. Entah mengapa karakter-karakter jahat di The Glory nggak ada satu pun yang punya validasi yang masuk akal atas kejahatan mereka. Jika melihatt karakter Joker dalam cerita Batman misalnya, sebagian dari kita pasti akan merasa bahwa kejahatannya menjadi bisa ditolerir karena perlakuan orang-orang di sekitarnya. Tapi saya suka dengan karakter-karakter antagonis di The Glory karena membuktikan bahwa memang ada orang-orang yang punya pemikiran sesakit itu, yang membuat mereka benar-benar tidak bisa dimaafkan. Sama seperti orang-orang berdosa yang nanti pada akhirnya tidak akan punya alasan untuk diampuni di akhirat. Jadi, jangan seenaknya sama hukum Allah. Mentang-mentang Allah Maha Penyayang terus semena-mena merasa Allah menerima kita apa adanya?! Ngimpi!!!

Ada banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari kisah The Glory maupun Monte Cristo. Saya bahkan menandai banyak sekali kutipan-kutipan bagus di Monte Cristo yang kalau di tulis di sini akan membuat postingan ini jauh lebih panjang. Tapi satu hal sepertinya yang membuat saya kurang sreg dengan The Glory adalah endingnya yang too good to be true. Saya mengerti itu tentu untuk kepuasan penonton, tapi kalau mau dibandingkan saya pikir Monte Cristo memiliki ending yang jauh lebih bagus. Villefort yang menjadi korban juga membuktikan bahwa pada akhirnya tidak ada yang menang atau kalah dalam sebuah pembalasan dendam. Edmond Dantes sadar telah mengambil alih peran Tuhan dan tersadar atas kesalahannya, sementara Dong-eun mendapatkan akhir yang bahagia.

Tapi lagi-lagi, karakter Dong-eun memang jauh lebih matang dibanding Dantes. Sejak awal Dong-eun tidak pernah memosisikan dirinya sebagai malaikat pencabut nyawa. Dia menyadari bahwa apa yang dia lakukan bukanlah perpanjangan tangan Tuhan, meskipun sekuat tenaga dia memperjuangkan keadilan untuk Yoon So-hee. Dong-eun juga tidak pernah jumawa dengan keberhasilan usaha-usahanya. Dia sadar bahwa dia ada di bawah musuh-musuhnya. Mungkin karena kematangan karakternya itu, dia layak mendapatkan hasil yang mulus.

Jadi gimana, udah tertarik untuk baca novel Monte Cristo setelah ini?! Kalau sudah baca, jangan lupa cerita di kolom komentar tentang pendapatmu ya...

Rating:⭐⭐⭐⭐ 4/5

I quit (again), and now it's for good

Rabu, 21 Juni 2023

Per tahun ajaran baru ini saya sudah tidak lagi mengajar di sekolah (lagi)✌️. Beberapa orang tua murid menanyakan alasan, dan Alhamdulillah saya punya alasan yang cukup baik untuk menjawabnya. Sesungguhnya perihal resign kerja ini sudah pernah saya tulis di blog saya yang sebelumnya. Tapi karena blognya sudah saya sembunyikan jadi saya tulis lagi di sini. Sekalian saya mau curhat maksimal ๐Ÿ‘€.

Sejak mulai mengajar mengaji di usia 16 tahun, saya sudah merasakan bahwa ini adalah pekerjaan yang tidak mudah. Konsep tentang "sumur itu didatangi, bukan mendatangi" yang sudah nancep mantep di hati membuat saya sulit menghadapi model-model murid yang pemalas. Hal itu yang akhirnya membuat saya nggak bertahan lama ngajar ngaji privat.

Tahun 2013 ketika akhirnya saya memutuskan mendaftar menjadi guru sekolah, sesungguhnya saya berpikir akan mengajar tahsin, saja. Tapi ternyata dunia sekolah sungguh berbeda. Yang tadinya saya pikir sekolah Islam eksklusif akan punya caranya sendiri dalam mendidik murid, pun ternyata hanya khayalan saja.

Ada target hafalan yang harus tercapai, sementara kompetensi anak tidak memadai. Pembiasaan ibadah hingga ke sunnah, tapi adab dan akhlak pribadinya sungguh memprihatinkan. Lebih miris lagi, ternyata gurunya pun tidak jauh berbeda. Dalam hal ini, tentu saja saya sedang membicarakan diri sendiri juga. Saya dulu sampai curhat juga tentang kecewanya saya kepada diri sendiri di blog.

Karena saya mengajar SMP, saya sangat terkejut ketika mengetahui bahwa anak-anak lulusan SD IT dengan hafalan rata-rata 1 sampai 2 juz masih belum benar bacaan Al-Qur'annya. Dulu, saya mengira bahwa anak-anak yang bisa menghafal juz 30 itu luar biasa. Tapi mendapati kenyataannya, saya justru sedih melihatnya. Lebih menyedihkan lagi, yang saya kira hal itu hanya terjadi di sekolah saya ternyata adalah fenomena hampir di sekian banyak sekolah Islam yang saya ketahui. Belum lagi pengelolaan yang sangat tidak profesional, membuat saya makin kecewa melihat bagaimana 'orang-orang soleh' ini seperti tidak ubahnya pejabat birokrasi berlabel yayasan dakwah.

Satu tahun bekerja di satu sekolah pada naungan yayasan tertentu, saya memilih pindah bekerja bersama suami di bawah naungan yayasan yang punya tempat khusus di hati saya. Selain karena memudahkan bekerja bersama suami, saya pikir pada hal-hal tertentu saya akan lebih mudah mendapatkan apresiasi jika mengutarakan pendapat karena saya tahu yayasan ini digerakkan dengan ruh dakwah.

Namun saya kembali kecewa. Harapan untuk menumbuhkan tradisi belajar ala salaf di lingkungan sekolah asrama ternyata tidak bisa diterima. Entah dari mana orang-orang itu mengambil teori pendidikan, tapi hampir kesemuanya justru hanyalah kebalikan dari konsep pendidikan Islam yang saya kenal.

Maka kemudian saya belajar kembali, mencari-cari referensi dunia pendidikan kekinian. Lalu saya menemukan, ternyata apa yang dipraktikkan sekolah-sekolah Islam kenamaan ini pun hanyalah sepenggal-sepenggal dari berbagai konsep yang sekarang pun mulai tenggelam di negara tempat konsep itu pertama kali dikenalkan. Setiap kali pelatihan membahas konsep-konsep itu, otak saya tidak berhenti teriak, "what the hell are they thinking? Ini konsep udah basiiii!!!"

Karena sadar kalau kerusakan ini sudah sistemik, saya bertahan dengan satu harapan; semoga ada satu atau dua orang anak yang mendapatkan inspirasi dari saya. Harapan itulah satu-satunya yang membuat saya tetap semangat mengulik kurikulum aqidah terbaik untuk dimodifikasi supaya cocok dengan model pengajaran sekolah. Harapan itu yang membuat saya rela membayar mahal untuk mendaftar Sekolah Adab bagi Guru beberapa tahun yang lalu. Harapan itu yang mendorong saya untuk terus belajar, agar tetap bisa catch up dengan teori-teori dan penemuan terbaru di dunia pendidikan. Sampai akhirnya saya merasa bahwa harapan itu tidak lagi layak saya perjuangkan.

Tahun 2017 saya memutuskan resign. Ada banyak hal yang melatarbelakangi keputusan itu, tapi yang paling utama adalah karena saya butuh menjaga kewarasan. Saya kehilangan banyak hal dengan mempertahankan satu harapan yang belum pasti terwujud. Sebagai guru Al-Quran saya malah merasa semakin jauh dengan Al-Quran ketika menjalani hari-hari selama mengajar. Kok bisa?! I don't know how to explain it

Saya tetap mengajar, di tempat yang berbeda, sesuai keinginan saya sendiri. Dan saya juga kembali belajar. Bisa dibilang, masa-masa dimana saya menjadi ibu rumah tangga tanpa penghasilan itu sungguh membahagiakan. Secara finansial memang keluarga kami merasa kekurangan, tapi secara emosional saya merasa nyaman. Satu-satunya yang membuat tidak nyaman hanyalah kekhawatiran suami ๐Ÿ˜….

Atas dasar kekhawatiran suami itulah saya menerima ketika tawaran mengajar datang lagi di tahun 2020. Saya masih bisa mengingat dengan jelas, saya pindah ke asrama tepat satu pekan sebelum kehadiran Covid-19 menghantui seluruh dunia. Saya kembali mengajar dengan paradigma baru; lakukan apa yang bisa dilakukan, jangan terlalu banyak berharap. Saya tahu itu bukanlah cara berpikir yang optimis, tapi itulah hal paling realistis yang bisa dilakukan supaya perjalanan kerja saya tetap lancar.

Sekolah online cukup banyak memberikan cerita, tapi saya tidak mau terlalu mempermasalahkan hal itu. Toh semua orang mengalami kesulitan yang sama, bahkan sebagian orang benar-benar menderita di masa-masa itu. Penyebab saya memutuskan untuk resign lagi justru paling besar adalah dari pemikiran internal saya sendiri.

Terlalu banyak kehilangan yang saya alami lagi setelah kembali mengajar, terutama sejak lokasi sekolah pindah. Secara emosional, finanasial bahkan spiritual. Yang terakhir ini sesungguhnya menjadi alasan paling utama. Sangat tidak masuk akal, menjadi guru Al-Quran tapi justru rasanya malah menambah dosa dari hari ke hari. Akan sangat banyak kalau mau diuraikan permasalahan yang saya rasakan selama menjadi guru, tapi mungkin perlu ruang tersendiri dan keberanian lebih untuk menuliskannya. Yang jelas, saya sudah mantapkan hati bahwa saya tidak perlu kembali menjadi guru di sekolah itu lagi terutama jika keadaannya masih saja seperti ini. 

Everything I want to say about The Idol

Rabu, 14 Juni 2023

 

Saya warning dulu, bahwa saya cuma akan misuh-misuh di postingan kali ini. Jadi mohon kalau yang mudah baper silakan minggir. Dan untuk memulainya, saya akan katakan bahwa The Idol adalah film p*rn*!!!


Baiklah, mari kita mulai dengan alasan saya menontonnya. Pertama-tama karena saya sudah terlanjur langganan HBO sebulan ini, -kemungkinan bulan depan kita akan pindah ke Netflix- maka sudah pasti The Idol selalu nongol di beranda sebagai serial paling direkomendasikan. Alasan kedua tentu saja kehadiran Jennie Blackpink yang menarik begitu banyak perhatian manusia di dunia sampai-sampai cuplikan-cuplikan dia joget-joget itu lewat terus di beranda Instagram saya. Jujur saja, ketika melihat cuplikan-cuplikan itu saya nggak terlalu kaget karena kalau dibanding dengan member Blackpink yang lain, memang kelihatannya Jennie yang paling berani tampil sexy. 


Dan sebagai tambahan lagi, saya sudah 33 tahun. Sejak menikah dan punya anak saya sudah berani ngintip film 21+, walaupun masih saya pilih-pilih juga tergantung bagaimana review orang-orang. Sejauh ini film 21+ yang saya tonton baru Red Sparrow. Game of Thrones saja baru pekan kemarin saya nonton episode satunya dan sempat bikin saya ngusir suami gara-gara terkaget-kaget sama scenes anehnya. Khusus The Idol, saya bilang itu bukan sekadar film 21+, it's literally p*rn yang harusnya cuma bisa diakses di website-website ilegal. Sepanjang nonton 2 episode serial itu nggak habis-habis saya mikir, "kok bego banget sih Jennie, mau-maunya main di film nggak mutu begitu?" se-nggak mutu itu sampai cuma dapet rating 26% di Rotten Tomatoes.


The Idol, menceritakan tentang seorang penyanyi pop Jocelyn (Lily-Rose Depp) yang lagi galau parah gara-gara ditinggal mati ibunya, setahun yang lalu. Mungkin karena sang Ibu adalah satu-satunya keluarga buat dia, bikin Jocelyn jadi kacau balau hidupnya. Selama setahun itu dia batalin konser dan nggak ada rilisan lagu.


Mau pakai pin juga nggak akan ngaruh, anak sekarang nonton beginian di Telegram ๐Ÿ˜’


Episode 1


Adegan pembuka, kita disuguhi mukanya Jocelyn yang lagi berpose buat pemotretan. Layar fokus penuh sama muka dia yang diminta ngasih bermacam-macam ekspresi. Karena saya nggak baca-baca sinopsis pas mau nonton serial ini, saya pikir dia tuh aktor gitu. Ternyata saya salah sangka. Ketika angle makin dijauhin mulailah keliatan si Jocelyn yang difoto itu hampir bugil. Hanya dalam beberapa detik, saya udah shock.


Cerita berlanjut dengan kehadiran orang-orang di sekitar Joceclyn. Mulai dari asisten, manajer, wartawan majalah, produser, pokoknya orang-orang yang paling berpengaruh dalam karirnya Jocelyn. Di situ ditunjukin mereka lagi ngeributin fotonya Jocelyn yang nggak senonoh yang nyebar di internet. Yang aneh adalah, mereka panik tapi nggak ada upaya buat nanganin masalah. Diusut kek siapa yang nyebar fotonya, bikin apa gitu. Jadi kepanikan yang mereka ributin di belakang Jocelyn kayak nggak ada artinya. Sepanjang episode, itu foto dibahas terus tapi gantung aja nggak ada juntrungannya.


Abis itu adegan nari yang nyebar ke mana-mana itu, tuh, yang ada Jennie-nya. Kayaknya sih di situ peran Jennie coba dimasukin ke plot cerita. Jocelyn keliatan cuma ngobrol sama Dyanne yang diperanin Jennie, nggak sama dancer yang lain. Dyanne digambarkan sebagai dancer yang paling berkompeten di kelompok itu. Lewat Dyanne juga nanti Jocelyn kenalan sama Tedros yang diperankan The Weeknd.


Setelah mikir agak lama, memang cuma itu inti dari episode 1. Sisanya cuma nunjukin Jocelyn bugil, sama adegan-adegan nggak jelas lainnya. Plotnya nggak jelas, penokohan karakter-karakternya juga nggak dipikirin, vibenya malah kayak film horor. Awalnya saya pikir akan ada eksplorasi tentang rahasia gelap dunia hiburan Hollywood yang sering dibicarakan orang-orang. Makanya saya lanjutin deh ke episode 2.


Episode 2


Akan tetapi saya kembali kecewa. Kalau di episode 1 isinya cewek-cewek hampir bugil, di episode 2 malah makin parah. Kalau ada orangtua yang membaca tulisan ini dan anak Anda adalah penggemar Blackpink, Anda harus khawatir. The Idol benar-benar cuma film p*rn*. Saking cabulnya sampai saya nggak nemu foto yang bisa ditempel di blog ini, amit-amit ya Allah.


Saya berharap di episode 2 bakal ada flashback atau cerita tentang peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Jocelyn yang bikin dia sekacau itu. Setidaknya kalau di episode 1 nggak ada apa-apa, bisa lah dibangun pelan-pelan, ya kan?! Nyatanya malah dikasih cerita yang makin nggak nyambung. Semua informasi tentang Jocelyn dikisahkan lewat karakter-karakter lain yang justru bikin Jocelyn kehilangan daya tariknya sebagai tokoh utama.


Dan yang paling bikin geregetan adalah scene pengambilan video musik. Maksa banget! Jocelyn pake baju yang cuma tempelan doang, kelihatan nggak siap tapi semua maksa dia untuk tetap tampil. Karena ngulang nari berkali-kali, kakinya sampai berdarah, giliran udah oke penampilannya -ini yang diluar nalar- malah kameranya yang error. Ingin berkata kasar rasanya.


Di mana Jennie di episode 2? Cuma ngucapin beberapa kalimat. Lucu banget, sebuah film yang bercerita tentang seorang Idol, menampilkan salah satu idol paling berpengaruh di dunia, tapi cuma dipakai buat pajangan. Saya curiga, Jennie cuma dipasang di serial ini supaya penggemar-penggemarnya nonton film p*rn* tanpa sengaja.


Saya nggak akan nerusin nonton, mending saya lanjutin Game of Thrones yang walaupun banyak begituannya tapi paling nggak yang saya lihat di episode 1 memang cocok sama novelnya. 

Cerita nonton Transformers: Rise of The Beasts

Senin, 12 Juni 2023

 

Lagi dan lagi, saya dan suami terlambat banget masuk studio. Saking gemesnya saya sampai bilang ke suami, "kok kamu nggak bosen sih selalu terlambat begini tiap nonton di bioskop? Nggak ngerasa rugi, gitu?"


So, for give you a context ya gaes ya... Saya kan udah hampir 10 tahun nih, nikahnya. Selama 10 tahun itu udah beberapa kali lah nemenin suami nonton di bioskop. Kenapa saya bilang nemenin? Karena sejatinya saya adalah anak rumahan yang penyabar. Lebih suka nonton di Netflix atau temen-temennya daripada harus bayar mahal ke bioskop. Nggak pa-pa ketinggalan cerita toh intinya sama aja. Nah, selama nemenin suami saya nonton itu, belum pernah -catet ya- belum pernah kami ontime. Pasti adaaaaaa aja kejadiannya yang bikin kami terlambat. Kayak pas nonton Fast X kemaren harusnya ontime, tapi ternyata temen kami yang terhalang hujan.

Baca juga cerita saya nonton Fast X

Dari sekian kali nemenin nonton itu, sudahlah selalu terlambat, selama nonton pun dia bakal bolak-balik kamar mandi karena mungkin nggak tahan sama dinginnya AC studio. Gimana nggak rugi, tuh? Taruhlah film itu durasinya sekitar 2 jam, saya bisa pastikan 30 menitnya itu kepotong buat terlambat dan ke kamar mandi. Kalo saya sih, beneran ngerasa rugi. Tapi karena ini bukan saya, jadi saya cuma bisa ngomel di sini.


Jadi ceritanya pas saya masuk studio, di layar udah nayangin scene dimana Elena lagi ngutak-ngatik batu aneh di sebuah ruangan museum yang awalnya saya kira laboratorium. Untungnya saya sedikit paham alur ceritanya tiap film Transformers yang selalu mundur ke belakang, jadi pas lihat Noah yang naik mobil agak antik saya bisa bayangin kalo setting film ini kayaknya tahun 90an.


Elena dan Noah, tokoh utama dari bangsa manusianya

Karena saya udah ketinggalan sejauh itu, ini saya kasih aja sinopsis ceritanya dari IMDb ya...


Returning to the action and spectacle that have captured moviegoers around the world, Transformers: Rise of the Beasts will take audiences on a '90s globetrotting adventure with the Autobots and introduce a whole new faction of Transformers - the Maximals - to join them as allies in the existing battle for earth. Directed by Steven Caple Jr. and starring Anthony Ramos and Dominique Fishback.—Paramount Pictures


Film ini dimulai di planet Maximals, di mana dewa Transformer yang gila, Unicron (Colman Domingo), bersiap untuk turun ke bumi dan menguasai planet ini demi mendapatkan kekuasaan. Unicron mengirimkan antek-anteknya, Terrorcons, yang dipimpin oleh Scourge (Peter Dinklage), untuk mengambil Transwarp Key, yang akan memberikan Unicron kekuatan untuk mengakses dunia tanpa batas untuk dikonsumsi. Para Maximals - Apelinq (David Sobolov), Primal (Ron Perlman), Airazor (Michelle Yeoh), Rhinox (juga David Sobolov), dan Cheetor (Tongayi Chirisa) - bersiap untuk pergi dari planet ini, namun Apelinq tetap tinggal untuk melawan sambil menganugerahi Primal dengan nama "Optimus Primal". Scourge, seorang pemburu piala, tiba dan bertempur melawan Apelinq bersama drone Freezer-nya. Sementara Apelinq menghancurkan Freezer, Scourge melukai Apelinq dengan parah namun terlambat menyadari bahwa Maximals telah melarikan diri dengan kuncinya. Unicron kemudian melanjutkan untuk melahap planet ini.


1994, Brooklyn - Mantan tentara/ahli elektronik Noah Diaz (Anthony Ramos) tinggal bersama ibunya Breanna (Luna Lauren Velez) dan adik laki-lakinya Kris (Dean Scott Vasquez). Kris menderita penyakit, dan keluarga ini berjuang untuk mendapatkan uang untuk pengobatannya. Noah pergi ke rumah sakit dan tidak memiliki asuransi untuk adiknya untuk mendapatkan bantuan, dan ketika dia pergi untuk wawancara kerja, dia diberitahu oleh manajer perusahaan bahwa dia telah membatalkan wawancara setelah berbicara dengan mantan komandan Noah, yang mengatakan bahwa dia adalah seorang yang berani tetapi tidak dapat bekerja dalam sebuah tim.


Elena Wallace (Dominique Fishback) bekerja sebagai pekerja magang untuk pemilik galeri yang sombong bernama Jillian (Sarah Stiles). Para detektif datang ke tempat kerjanya karena seorang direktur seni tertangkap basah dan mungkin menyimpan barang palsu. Elena memastikan kepada Jillian mana yang asli dan mana yang palsu, namun Jillian mengambil pujian atas temuannya. Elena kemudian menemukan sebuah patung yang menyerupai Airazor, lengkap dengan lambang Transformers yang terukir di atasnya. Jillian mengira itu adalah patung Sumeria kuno, tapi Elena melakukan penelitian.


Noah menemui temannya Reek (Tobe Nwigwe), yang meyakinkannya untuk mencuri mobil Porsche yang disimpan di garasi perusahaan lain agar bisa dijual. Noah berhasil menyelinap masuk dan menemukan Porsche tersebut, lalu membobolnya. Pada saat yang sama, Elena menggunakan sebuah alat untuk melihat lebih jauh ke dalam patung, tetapi akhirnya merusaknya dan menemukan bagian dari Transwarp Key di dalamnya. Hal ini mengirimkan sinyal yang membangunkan Autobots, dan Optimus Prime (Peter Cullen) memanggil Bumblebee, Arcee (Liza Koshy), dan Mirage (Pete Davidson), yang terakhir adalah mobil yang sedang ditumpangi oleh Noah. Seorang penjaga keamanan menangkap Noah, yang mendorong Mirage untuk mulai mengemudikan mobilnya keluar dari sana. Pengejaran di seluruh kota pun terjadi, di mana Noah menyadari bahwa mobil itu mengemudikan dirinya sendiri. Saat polisi semakin dekat, Mirage menunjukkan kekuatannya dengan menciptakan ilusi dirinya untuk mengalihkan perhatian polisi, sehingga dia dan Noah dapat melarikan diri.


Sampai sini aja cerita versi IMDb-nya, lanjutannya versi saya, OK?!


Mirage membawa Noah ke sebuah gedung kosong dan kemudian berubah menjadi bentuk Autobot-nya, otomatis Noah kaget dan ketakutan. Pas lagi ngobrol-ngobrol itu, datanglah para Autobots yang lain dan Optimus Prime. Di scene ini saya merasa bahwa kita mau dikasih tahu awal mulanya Optimus Prime berhubungan sama manusia. Dan saya mulai nyambung sama tagline di poster filmnya; Unite or Fall. Optimus Prime awalnya nggak suka ada manusia di antara mereka karena selama ini dia nyuruh Autobots untuk sembunyi dari manusia. Yang lain setuju, kecuali Bee yang udah pernah temenan sama Hailee Steinfeld. Itu setting filmnya tahun 80an kan kalo nggak salah, ya?!


Saya udah bilang belum kalau saya suka banget ngasih spoiler?! 


Singkat cerita, mau nggak mau para Autobots perlu bantuan Noah untuk ngambil Transwarp Key di museum. Tapi ketika dia lagi berusaha merebut kunci itu dari Elena, rombongan Scourge juga udah sampai sana. Terjadilah pertempuran antara Autobots dan Scourge yang mengakibatkan Bee mati di situ -atau lebih tepatnya kehabisan baterai-. Noah dan Elena berhasil diselamatkan tapi Transwarp Key berhasil direbut Scourge. Autobots juga udah kewalahan melawan Scourge yang lebih kuat, tapi tiba-tiba Airazor datang membantu. Scourge yang sudah memegang Transwarp Key memilih untuk pergi meninggalkan arena pertarungan dan petualangan pun dimulai.


Airazor

Setelah kalah bertarung dan istirahat, mulailah ramah tamah antara Autobots dengan Airazor dan 2 orang manusia itu. Optimus Prime udah putus asa kan tuh, ceritanya. Tapi semangatnya muncul lagi ketika Airazor bilang kalau kunci yang dibawa Scourge itu cuma setengah, nggak akan ada gunanya. Maka Optimus Prime memutuskan bahwa kunci setengahnya lagi harus dia pegang. Dan yang mengetahui keberadaan setengah kunci lainnya itu adalah Elena, berdasarkan temuan-temuan yang dia lihat dan catat selama penelitian. Maka diputuskan, mereka terbang ke Peru untuk menyelamatkan Bumi dari kehancuran ๐Ÿ˜.


Untuk sampai ke Peru, geng ini menumpang Stratosphere, Autobot yang berubah menjadi pesawat tua yang reyot. Dalam perjalanan, Noah memberi tahu Elena bahwa mereka harus menghancurkan kunci untuk mencegah kedatangan Unicron, meskipun itu berarti Autobots akan terjebak di Bumi. Begitu mereka tiba, mereka bertemu dengan Autobot lokal bernama Wheeljack yang memandu mereka ke lokasi. Mirage juga memberikan Noah sebuah alat yang melingkari pergelangan tangannya untuk berjaga-jaga.

Arcee & Wheeljack

Noah dan Elena memasuki gua bawah tanah setelah menemukan simbol Transformers dan turun ke bawah. Sayangnya, Terrorcons juga telah tiba, dan Scourge mengirimkan lebih banyak Freezer untuk mengejar Noah dan Elena. Keduanya menemukan ruang bawah tanah yang seharusnya menjadi tempat penyimpanan kunci, namun ternyata kosong. Ketika mereka terlihat, mereka melarikan diri, dan Autobots mengikutinya. Selama pengejaran, Optimus bersumpah akan membalas dendam untuk Bumblebee dengan mencoba mengejar Scourge, sementara yang lain menghadapi Battletrap dan Nightbird. Airazor bergabung dalam pertarungan, tetapi dia ditandai oleh Scourge dengan salah satu senjatanya. Yang lainnya nyaris nggak bisa melarikan diri.


Noah dan Elena keluar dari gua dan berakhir di hutan di mana mereka berhadapan dengan Primal dan Maximals lainnya. Autobots muncul untuk membela manusia sampai Airazor memberi tahu Primal bahwa mereka adalah sekutu. Dia memberi tahu yang lain bahwa dia dan Maximals memindahkan separuh kunci lainnya agar tetap aman. Maximals memandu semua orang ke desa terdekat yang mereka lindungi dan berbagi aliansi dengan manusia yang tinggal di sana, karena merekalah yang menjaga separuh kunci lainnya tetap aman. Kemudian, Primal menunjukkan energi mentah kepada Optimus yang dapat digunakan untuk menghidupkan kembali Bee, namun membutuhkan energi yang besar. Sementara itu, Elena mengatakan kepada Noah bahwa mungkin mereka tidak harus menghancurkan kunci tersebut dan membandingkannya dengan Optimus, karena mereka berdua adalah kakak beradik yang menjaga keluarganya.

Pertemuan Autobots dan Maximals


Prime dan Primal

Paginya, Airazor telah sepenuhnya rusak oleh energi gelap yang menginfeksinya. Gejalanya mirip kalau orang udah kena hasutan Scarlett Witch gitu, deh. Pikirannya dikendalikan dari jauh. Dia mulai menyerang hingga para Maximals lainnya mencoba untuk menaklukkannya. Primal mencoba menahannya, tetapi Airazor sudah menyerah. Dia minta Primal untuk membunuhnya. Di kesempatan itu Noah berusaha menghancurkan kunci dengan senjata tangannya, tetapi Optimus memintanya untuk tidak melakukannya sampai dia mengalah. Sayangnya, hal ini memberikan kesempatan bagi Scourge untuk merebut kunci tersebut dan kembali ke Unicron.


Scourge dan Terrorcons menggabungkan kedua bagian kunci tersebut dan menciptakan sebuah platform di atas gunung berapi untuk memanggil Unicron. Setelah Optimus dan Noah menyadari bahwa tindakan mereka telah memperburuk keadaan, Autobots and the geng bergabung untuk menghentikan para penjahat untuk selamanya. Elena menggunakan tanda yang dia temukan untuk membuat kode yang dapat menonaktifkan kunci. Para pahlawan kemudian maju ke medan perang, dengan Primal memerintahkan Rhinox dan Cheetor untuk berubah menjadi tubuh Transformers mereka untuk bertarung melawan gerombolan Scorponoks yang datang. Mirage membantu Noah dan Elena menemukan jalan masuk untuk naik ke platform dan memasukkan kode. Optimus dan Primal kemudian bekerja sama untuk merobek Battletrap sebelum Primal menghancurkan kepalanya dengan bola penghancurnya sendiri. Scene ini kalau dipotong untuk ditayangin di seminar-seminar kepemimpinan cocok banget, deh.


Unicron mulai mendekat ke Bumi, kehadirannya bisa dirasakan di seluruh dunia melalui asap tebal yang menyelimuti langit. Ketika Noah mendekat, Scourge berusaha membunuhnya, namun Mirage menggunakan tubuhnya untuk melindungi Noah sebelum dia juga terbunuh. Namun, Mirage mampu memindahkan sebagian tubuhnya ke perangkat pergelangan tangan untuk membuat sebuah baju yang dapat digunakan Noah dalam pertempuran setelah mendengar Kris berbicara dengannya melalui radio Mirage. Maka Noah seketika menjadi Iron Man.


Gelombang energi dari kunci itu juga berhasil mengisi energi, menghidupkan kembali Bee. Dia memasuki pertempuran dan mulai membantu membalikkan keadaan, termasuk terbang ke langit bersama Nightbird dan mencabik-cabiknya. Optimus bertarung dengan Scourge, hampir menang hingga Scourge meledakkan komputer yang digunakan Elena untuk memasukkan kunci, membuatnya tidak berguna. Optimus memotong-motong Scourge sebelum mencabik-cabik kepalanya dan kemudian memutuskan untuk menghancurkan kuncinya sendiri untuk mencegah Unicron mendekat. Kunci tersebut meledak, menyebabkan pusaran yang membuat Unicron menjauh namun hampir menarik Optimus hingga Primal dan Noah membantu menariknya kembali.


Sementara Unicron mungkin masih ada di luar sana, Autobots dan Maximals mengakui kemenangan mereka dan berpisah. Noah dan Elena terbang pulang ke rumah dengan Stratosphere, dan kembali ke rumah Kris dan ibu mereka.


Kemudian, Noah bersiap untuk wawancara kerja lagi. Ia bertemu dengan seorang pria bernama Agen Burke, yang mengetahui bahwa Noah berada di Peru dan bekerja dengan Autobots, meskipun Noah berusaha menyangkalnya. Burke menawarkan Noah kesempatan untuk bergabung dengan organisasi rahasia pemerintah, bahkan menjamin bahwa biaya pengobatan Kris akan ditanggung. Noah sangat berterima kasih dan melihat Burke memasuki sebuah ruangan rahasia yang penuh dengan kendaraan, gadget, dan benda-benda rahasia lainnya. Noah kemudian melihat kartu nama Burke dan mengetahui nama organisasi tersebut - G.I. JOE.


Selama kredit, Noah bersama Reek yang sedang memperbaiki Mirage. Reek berpikir tidak ada gunanya sampai Noah memanggil Mirage untuk menyala, dan Autobot hidup kembali dengan bangga.


***


UDAH. CAPEK.


***

Peperangan terakhir

Pengalaman saya nonton film ini sama persis kayak waktu nonton Fast  X. Nggak ada emosionalnya, nggak ada mikirnya, pokoknya have fun aja. Bener-bener hanya untuk hiburan. Kalau mau ngajak anak nonton dan diambil hikmah diakhir film juga bisa, sih. Ada nilai-nilai kasih sayang sesama keluarga di situ, ada semangat kebersamaan juga, ada kebijaksanaan dan apapun nilai kebaikan yang bisa ditanamkan kepada anak Anda sejak kecil.


Tapi buat orang dewasa, ya cuma buat ngobatin kangen sama kerennya mobil-mobil berubah jadi robot. Itu doang. Angkat tangan deh, siapa yang abis nonton Transformers lalu lihat truk gede tetep biasa aja? Nggak ada, kan?! Pasti langsung terbayang-bayang proses transformasinya sambil terngiang-ngiang suara 'chu chu chu chu chu....' di kepala. Udah ngaku aja, nggak pa-pa. Saya paham kok ๐Ÿ˜„. Jadi, menurut saya, daripada nonton Fast X yang pura-pura heroik tapi nggak nyambung dan banyak mbak-mbak seksinya mending nonton Transformers yang memang karuan fantasi.


*Seperti biasa, foto-foto diambil dari IMDb

Dikira ending, ternyata beginning || Review Fast X

Selasa, 06 Juni 2023


Siang-siang waktu saya lagi bengong di depan komputer bingung mau ngapain karena kebanyakan ide tapi nggak tahu mana yang mau dikerjain duluan, tiba-tiba masuk chat WA dari teman kerja. Ngajak nonton bareng Fast X. Alasannya sih suami saya yang ngajak, tapi waktu dia sudah pulang ternyata nggak ngaku. Malah katanya mereka yang di kantor yang ngajakin. Pokoknya siapapun yang ngajak saya nggak peduli, selama saya nggak perlu bayar apa-apa. Jadilah malamnya saya bolos kerja dan malah nonton bareng di bioskop bareng suami dan 4 orang lain.


Sesungguhnya saya sudah nggak tertarik dengan serial Fast & Furious, dan alasannya sepertinya juga sama saja seperti orang lain. Ceritanya yang sudah nggak jelas. Tapi, dengan alasan yang sama saya semangat nonton kali ini karena katanya ini adalah ending dari cerita Dom Toretto. Baiklah, lumayan kan kalau bisa bagaimana akhir kisahnya? Dan ternyata saya tertipu. ๐Ÿ˜‚ Belakangan saya baru tahu kalau kisah ending Franchise abadi ini akan jadi trilogi. ๐Ÿ˜


Please note, this post is might be full of spoilers


Kami terlambat masuk studio karena nunggu teman yang kehujanan di jalan, alhasil pas masuk film udah diputar sekitaran 10 menit lebih kayaknya. Dan mungkin karena nggak terlalu peduli dengan ceritanya, saya sampai lupa ada di bagian mana saya nonton pertama kali ๐Ÿ˜‚. Pokoknya, intinya di film ini tiba-tiba Dom udah punya anak, -please note, saya nggak nonton F9- dan musuhnya kali ini adalah anak dari penjahat yang duluuuuu banget mati gara-gara kelompok aka. keluarganya, Dante Reyes yang diperankan mamang Aquaman. Demi Allah saya juga udah lupa siapa dan gimana penjahat itu karena film-film awal Fast and Furious itu rilis pas saya masih bocah.


Aktor-aktor lama ngumpul semua. Eh, nggak semua ding...

Yang paling menarik perhatian saya di film ini adalah deretan castingnya. Pilihan mamang Aquaman -bentar saya cari namanya dulu- Jason Momoa dan Brie Larson sempat membuat saya ngitung-ngitung berapa duit yang dikeluarkan untuk bikin film ini. Dan kemunculan Gal Gadot di bagian ending cukup membuat saya penasaran sama kelanjutan ceritanya.


Saking nggak pedulinya saya sampai nggak tahu mamang Jakob ini siapa dan pernah muncul di film yang mana.

Nah, karena ini baru awal cerita maka tokoh Dante nggak mudah untuk dikalahkan. Bagaikan Edmond Dantes di novel Monte Cristo yang menunggu bertahun-tahun untuk membalas dendam, tokoh Dante disini pun sudah menyiapkan segalanya untuk menghancurkan keluarga Dom. Ibaratnya, segala usaha dan strategi yang diupayakan Dom udah diperkirakan sama Dante. Jangan-jangan yang bikin cerita film ini terinspirasi sama novel Monte Cristo.


Baca juga: Review novel Monte Cristo


Terus terang kalau nonton film-film macam begini saya kurang tertarik untuk mengulik jalan ceritanya. Karena perhatian saya hanya fokus pada aksi ngebut-ngebutan mobil dan lokasi-lokasi syuting yang nggak bakal bisa saya kunjungi di kehidupan nyata. Tapi untungnya, di film kali ini sepertinya pembuat filmnya memperhatikan plot dengan cukup serius. Yaaaa walaupun tetap banyak hal yang diluar nalar, tapi kembali lagi ke pernyataan awal saya; cukup dinikmati aja nggak perlu terlalu banyak mikir.


Btw saya kok suka ya sama gaya mamang Aquaman di sini. Geli-geli pingin jitak gitu lihatnya.

Oke, balik ke cerita film. Dante meneror Dom melalui orang-orang yang ada kaitannya dengannya. Pertama, adalah musuhnya -Cipher- yang tiba-tiba muncul di rumahnya dalam keadaan terluka. Pura-puranya bawa pesan ancaman gitu deh. Kondisinya yang dikhianati semua pengikutnya dan nggak punya apa-apa lagi membuat Dom dan keluarganya pun mau nggak mau percaya kalau ancaman yang dia bawa adalah nyata.


Cipher yang lagi dikeroyok anak buahnya, gara-gara semua keluarga anak buahnya udah ada dalam kendali Dante.

Nggak perlu nunggu lama, besoknya aksi penyerangan dan lari-larian bawa mobil langsung dimulai. Dante yang udah sangat siap dengan balas dendamnya berhasil bikin keluarga Dom terpisah-pisah sehingga nggak bisa saling bantu. Roman, Tej, Han dan Ramsey ceritanya lagi ada proyek nyolong apa gitu ke Roma. Eh nggak tahunya itu pesanan palsu, dan malah yang ada bom raksasa yang siap meledak. Begitu Dom menyadarinya dia langsung nyusul dong ke Roma. Ninggalin anaknya sama Mia di rumah untuk kemudian dibawa kabur lagi sama saudaranya yang lain, Jakob. -Nih Jakob bener-bener deh saya lupa sama dia-. Di sanalah aksi kejar-kejaran sama bom super besar terjadi.


Letty yang tadinya ngejar Dante malah berujung dikejar bom.

Dom gagal matiin bom, tapi paling nggak dia berhasil meminimalisir efek akibat bom itu. Di sini saya merasa lega, jadi agak masuk akal ceritanya. Sayangnya, Letty malah ketangkep sama polisi -atau apapun namanya- yang harusnya dukung Dom. Ternyata mereka udah disusupi sama orangnya Dante yang juga punya dendam sendiri sama Dom. 


Udah pecah belah kan, tuh. Dom yang galau terus ke Rio de Janeiro buat ngadepin Dante. Kayaknya sekalian pulang kampung sih. Di sana dia ketemu lagi sama temen-temen balapannya, termasuk adik dari salah satu temannya yang saya juga lupa siapa ๐Ÿ˜. Lagi enak-enaknya reunian, Dante datang nantangin balapan. Yang saya nggak paham di sini kenapa yang balapan jadinya 4 orang. Kenapa nggak Dom sama Dante aja. Kan jadi mati si Diogo?!


Salah satu scene paling iconic di serial Fast & Furious

Dengan dibantu Isabel yang Dom selamatkan, yang ternyata adik temennya itu, Dom nyari tempat persembunyian Dante. Di lain tempat, Jakob otw bawa anaknya buat ketemu sama Dom. Ternyata ketemuannya mereka pun udah direncanain sama Dante. Kok bisa? Ya bayangin aja berapa tahun Dante merencanakan pembalasan dendamnya? Semuanya udah dia pelajari. Pokoknya kalau kalian baca novel Monte Cristo nanti akan paham. Mirip-mirip gitulah konsepnya.


Isabel yang imut-imut yang saya nggak paham kenapa harus ikut balapan

Di lain tempat lagi, Letty yang berusaha keluar dari penjara ternyata ketemu juga sama Cipher dan dibantu -bareng-bareng sih- kabur dari penjara. Di tempat lain lagi, Ramon dkk yang juga bingung mau bantuin Dom dan malah nyasar ke London minta bantuan Shaw. Tadinya sih Shaw nggak mau. Tapi setelah tahu kalau urusannya Dom ini ada efeknya ke dia juga akhirnya dia berangkat.


Balik lagi ke Dom. Karena Dom udah kalah langkah dan strategi, posisi dia terpojok. Jakob mati berkorban buat dia, mobil nggak ada, pokoknya udah nggak ada jalan keluar. Film dibuat nggantung di situ, dan ditutup dengan scene dimana Letty berhasil keluar dari penjara yang ternyata ada di Antartika dan ditemukan oleh Gal Gadot.


UDAH GITU DOANG.


Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, saudara-saudara. Nggak perlu mikir nonton film ini. Nggak perlu musingin aksi-aksi yang nggak masuk akal. Pokoknya nikmatin aja tabrak-tabrakan mobilnya, hajar-hajaran aktornya, dan mbak-mbak seksinya. Jadi saya nggak mau ngasih rating. Pokoknya alhamdulillah saya udah nonton.


*semua foto saya ambil dari IMDb

Ternyata begini rasanya jadi fangirl

Sabtu, 03 Juni 2023

 


Saya akan selalu menyalahkan suami kalau ditanya kenapa bisa suka dengan band satu ini. Walaupun dia tidak pernah sekalipun mengenalkan mereka, tapi secara tidak langsung dialah yang membuat saya menemukan mereka. Kalau sudah begini, saya merasa menjadi perempuan seutuhnya. -๐Ÿ˜‚ Hobi nyalahin suami padahal dianya sendiri yang ribet.-


Saya tumbuh dewasa dengan mendengarkan musik. Saking sukanya dengan musik, sampai-sampai dulu ada anekdot bahwa kalau sehari saja saya tidak menyanyi bisa dipastikan saya sedang sakit. Saya nggak bisa main alat musik, -mungkin akan bisa kalau punya kesempatan belajar- tapi sejak SMP selalu dekat dengan teman-teman cowok yang hobi main ke studio musik. Bahkan sempat pacaran dengan cowok yang bisa mainin 3 instrumen musik; drum, gitar, dan piano. ๐Ÿ™Š


Meskipun sangat suka musik, saya sangat pemilih untuk menentukan suara siapa yang boleh masuk ke telinga. Saya memang tetap keep up dengan perkembangan dunia musik, tahu lagu-lagu apa yang sedang hype dan akan ikut-ikutan nyanyi kalau orang lain nyanyi -mau bagaimana lagi? lagu yang diputar di radio kan itu-itu aja?!-, tapi kalau sudah balik ke kamar musik yang saya putar hanyalah dari musisi-musisi favorit saya sendiri. Dan musisi favorit yang saya sukai bisa dibilang sangat limited. Yang utama dan yang paling nomor satu tentu saja Avril Lavigne. 


Seperti yang sudah saya tulis di postingan ini, bahwa saya selalu butuh alasan untuk suka sama sesuatu. Kalau ditanya kenapa bisa suka sama Avril Lavigne, jawaban singkatnya adalah karena dia yang membuka jalan bagi saya menemukan genre Pop Punk/Rock, dia yang mengantarkan saya ketemu sama musisi-musisi keren lainnya dan utamanya karena dia yang ngajarin saya bahasa Inggris lewat lagu-lagunya.


Pertemuan saya dengan ONE OK ROCK juga sebenarnya nggak bisa lepas dari peran Avril Lavigne. Sebagai Pop-Punk Queen dia kan memang fansnya bukan cuma orang biasa macam saya, Taylor Swift aja ngefans loh masa kamu nggak?! Ternyata di tahun 2017 saya pernah mendengar lagu kolaborasi ONE OK ROCK dan Avril Lavigne. Tapi sebab pertama saya mulai sadar sama bakat mereka adalah karena suami saya yang suka sekali jejepangan.


Jadi ceritanya, pada suatu hari tahun 2020 muncullah di halaman eksplore instagram, sebuah trailer film favorit suami saya. Karena saya istri yang berbakti, maka saya klik deh itu gambar video. Dan tentu saja, hal pertama yang langsung menarik perhatian saya adalah lagu soundtracknya yang hanya sepenggal itu.


Sesungguhnya suami saya sudah berkali-kali merekomendasikan film Rurouni Kenshin kepada saya karena tahu saya dulu cukup suka dengan serial anime Samurai-X ketika masih kecil. Tapi karena saya trauma gara-gara nonton live action Detective Conan yang nggak banget, -beneran jelek banget- jadi saya nggak pernah tertarik untuk nonton live action dari manga atau anime. Takut kecewa intinya. Tapi karena melihat trailer film terakhirnya itu dengan mata kepala sendiri, diam-diam saya penasaran.


Singkat cerita, saya lupa lagi deh sama Kenshin karena ternyata Covid-19 membuat filmnya gagal tayang di bioskop. Tapi irama dan kekuatan suara mas Taka di trailer itu membuat saya kepo. Lalu pada suatu hari saya ketikkan keyword ONE OK ROCK di beranda Youtube. Dan muncullah salah satu video fan made dimana lagu mereka Listen dinyanyikan bareng Avril Lavigne. I was like, "lho, ini kan dulu aku pernah denger lagunya. Oooh jadi band ini tooh."


Udah, sampai situ dulu. Kok udah? Ya karena saya orangnya tuh santai, nggak gampang bikin saya jatuh cinta. Jadi abis sekali denger Renegade yang drumnya keren banget itu, saya pikir, "keren nih bandnya." Terus saya tinggal lagi mereka. Selain itu, sekarang saya sudah jadi guru ngaji. Harus jaga image walaupun sama diri sendiri. Jangan sampai tergoda sama hal-hal sia-sia lagi macam musik dan hiburan lainnya.๐Ÿ˜Ž Maka saya mencukupkan diri dengan 1 lagu itu.


Fast forward, akhir tahun 2021 ketika saya bingung mau ngisi liburan dengan nonton film apa muncullah sederetan gambar Rurouni Kenshin di beranda Netflix. Sepertinya karena suami saya baru saja nonton 2 film terakhirnya jadi mereka nongol semua minta ditonton juga. Lalu saya tanya ke suami, minta review. Suami bilang, The Beginning jelek. Dia ngantuk nontonnya. And guess what, kalau suami bilang bosen sama sebuah film biasanya itu adalah tipe film yang saya suka. Penasaran saya muncul lagi dong. Akhirnya daripada gabut, saya tontonlah film Rurouni Kenshin dari awal sampai akhir. And the rest is history.


Musik yang menghentak dan vokal yang raspy tapi sopan banget masuk telinga membuat saya teringat dengan Linkin Park setiap mendengar soundtrack tiap filmnya. Dan tentu saja, setiap 1 film selesai muncul gambar film dokumenter ONE OK ROCK - Flip a Coin di deretan film rekomendasi. "Tahan dulu, selesaikan dulu petualangan Kenshin. Nanti abis itu baru dengerin semua discography mereka."


Siapapun, kalau kalian penikmat musik dan orang normal pasti akan suka sama ONE OK ROCK. -Tapi suami saya normal kok. Dia cuma nggak terima istrinya naksir sama Taka.- Listening to the studio version of ONE OK ROCK is a thing, watching them live is everything. Kalau kalian pernah nonton video live Linkin Park, kalian akan dapat perasaan yang sama ketika nonton live performance dari ONE OK ROCK. Dan salah satu performance yang bikin saya tertakjub adalah lagu ini. 

How on earth does he sing while running and jumping and maintain such a voice and energy? How? Please explain it to me?


Hal lain yang bikin saya kepincut sama ONE OK ROCK adalah lirik-lirik lagunya yang kebanyakan sangat uplifting. Seperti fans garis keras ONE OK ROCK lainnya, lagu We Are, Stand Out Fit In, I Was King, sepertinya selalu jadi andalan untuk menyemangati diri. Pertama kali dengar Stand Out Fit In pun saya sempat sesak napas sebentar saking relatenya lagu itu. Lagu-lagu cintanya juga romantis abiiiis. Dan yang paling bikin saya meleleh adalah lagu-lagunya yang menceritakan pengalaman personal Mas Taka sama keluarganya; Take What You Want, Nobody's Home, Hard to Love sukses bikin saya kangen orang tua.


Back to their stage presence. Bukan cuma Taka, tapi semua member. Nggak ada habisnya kalau ngomongin kehebatan mereka menguasai panggung. Biasanya ketika band manggung, kita hanya akan fokus sama vokalis karena memang dia frontman. Dan Taka bener-bener frontman yang hebat -udah gak tau lagi saya jelasinnya-. Tapi lihatlah drummernya, Tomoya tetap menarik perhatian walaupun posisinya selalu di belakang. Ryota yang selalu all out dan present in the moment di setiap lagu, dan Toru yang... -dia sih diem aja udah keren-. Saya belum pernah ketemu band yang seasik itu di panggung. Belum pernah.


Nyanyi sambil diem berdiri aja susah, gimana sambil jumpalitan begitu coba?!
Photo by JulenPhoto

Untung saya orangnya realistis, kalo nggak pasti udah halu ke mana-mana liat manusia satu ini

The fact that he is the brother-in-law of Avril Lavigne makes me love the band even more.

He really is the happiest man on earth.
Photo by Rui Hashimoto

Semakin banyak saya mendengar lagu-lagu dari ONE OK ROCK, makin gandrung saya sama mereka. Apalagi setelah nonton film dokumenternya, Flip a Coin di Netflix. Baru mereka inilah musisi yang bikin saya nangis karena nonton dokumenternya. FYI, saya suka nonton film dokumenter para musisi. Mereka semua hebat dan punya kisah kelamnya masing-masing. Tapi ONE OK ROCK justru nggak terlalu banyak nyeritain kehidupan pribadi mereka. Mungkin tipikal orang Jepang kali ya, yang sangat menghargai privasi. Cerita pribadi mereka tuh biasa banget, tapi cerita tentang karir mereka yang sukses bikin saya baper karena I can feel their passion for what they do. It feels so honest and pure.


Saking gandrungnya sampai saya rela beli jaket merchandise mereka langsung dari Jepang, beli tiket online konsernya sore ini, dan sekarang saya mulai khawatir bakalan kalap karena baru kemarin mereka  mengumumkan jadwal konser di Jakarta tanggal 29 September mendatang. Baru kali ini saya pengen bangeeeeeet nonton konser. Rasanya tuh sampai pengen teriak kayak Taka waktu lupa lirik karena saya tahu itu mubazir. 


 

๐Ÿ˜ช ternyata kayak gini ya rasanya jadi fangirl ๐Ÿ˜ฅ

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.