SLIDER

Wrapping Up 2023; What an adventurous year to go through

Minggu, 31 Desember 2023

It's been a short year but slow. For context, saya memulai paragraf pertama ini di bulan Oktober karena nggak mau kehilangan memori sebelum akhir tahun. Ada banyak hal terjadi selama tahun ini yang membuat perasaan saya naik-turun, tapi juga saya merasakan banyak kekosongan di hati. Pada saatnya nanti, tepatnya bulan Desember, saya ingin merangkum semuanya tanpa ada yangg tertinggal. Makanya mau saya cicil pelan-pelan mulai saat ini.


So, what happened in 2023? Banyak, sebagian menyenangkan dan sebagiannya lagi membuat saya ingin menyerah. Tapi memang seperti itulah hidup, kan?! Kadang sedih, kadang bahagia. Tadinya saya berencana menceritakan semuanya di sini, tapi setelah dipikir-pikir kok ya agak nggak pantes. Apalagi bagian yang sedih-sedihnya. Apa urusannya orang baca cerita sedih saya? Kayak mereka nggak punya masalah sendiri aja kok harus tahu masalah saya juga. Sepertinya saya memang butuh terapi supaya bisa menormalisasi cerita-cerita sedih kayak orang-orang sekarang. 

JANUARI

Saya memulai 2023 dengan sangat opstimis. Bikin planner sendiri, mulai dari cover, monthly spread sampai daily journal. Baca buku sampai tuntas, nonton First Love dan The Glory dan seperti yang sudah saya duga di pertengahan bulan mulai terlihat tanda-tanda dramanya. Untungnya saya sudah lupa apa hal buruk yang terjadi di bulan ini, tapi karena tercatat suasana hati saya di planner jadi akhirnya tahu deh... Ini sih salah satu manfaat journaling, jadi terdata segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita sesuai dengan apa yang kita inginkan.

FEBRUARI

Peristiwa besar yang terjadi di bulan ini tentu saja adalah kaos merch Linkin Park saya sampai, di tanggal 13 😂. Saking sayangnya saya sampai nggak mau pakai karena takut kotor. Ya salah saya sendiri kenapa beli kaos warna putih. Selebihnya, nggak ada yang spesial.

MARET

Adalah bulan di mana saya sudah benar-benar kehilangan motivasi. Monthly spread saya kosong dan daily journal hanya terisi di tanggal 1, 4, dan 8. Mungkin karena menjelang Ramadhan jadi saya mulai burn out karena pekerjaan. Tapi yang saya ingat dari bulan ini adalah saat saya memutuskan untuk resign. Setelah itu, semua berjalan apa adanya.

Photo by LOGAN WEAVER | @LGNWVR on Unsplash

Karena planner saya berakhir di bulan Maret, maka setelah itu saya nggak punya data lagi apa yang terjadi. Kalau diingat-ingat, hal-hal yang paling memorable sepertinya nggak banyak;

ONE OK ROCK Merchandise

Saya beli jaket Luxury Disease Japan Tour dengan memberanikan mengirim DM orang random di Instagram. Hmmm.... Nggak random-random amat sih. Saya pelajari dulu akun dan orang dibaliknya, dan memutuskan untuk nanya. Ternyata ada temennya yang buka jastip merchandise, akhirnya jadilah saya punya produk kedua merchandise dari artis favorit. Dan mungkin karena ketagihan sama kualitasnya (walaupun harganya bikin nangis), bulan November saya beli lagi dong, kaos konsernya ONE OK ROCK & My First Story. Janji, tahun depan nggak gini lagi. Bangkrut rekening orang gara-gara jajan beginian.

Jalan-jalan

Yang pertama ke Padang, yang kedua ngintilin suami field trip ke Jawa. Masing-masing udah saya ceritain walaupun nggak lengkap. Tahun ini sepertinya bakal balik lagi ke Padang, dan who knows mungkin ada tempat lain yang akan saya kunjungi.

***

Anehnya, tahun 2024 ini saya justru memulai dengan mood yang sangat buruk. Padahal malah lagi sibuk-sibuknya. Sekarang saya lagi rajin-rajinnya belajar bahasa Jepang lagi, dapet beasiswa belajar nulis khot, dan Alhamdulillah suami dapet pekerjaan baru. We'll see, mungkin anomali ini justru akan diakhiri dengan kebahagiaan di akhir tahun nanti?!

Drama sakit gigi berlanjut ke rumah sakit

Kamis, 21 Desember 2023

 


Setelah drama sakit gigi di klinik berakhir di season pertama (karena saya yakin akan ada season berikutnya), petualangan saya berlanjut ke Rumah Sakit yang jarak tempuhnya butuh sekitar 45 menit dari rumah. Saya tahu kalau 45 menit itu nggak lama buat sebagian orang di kota-kota besar, tapi buat saya yang tinggal di Bandar Lampung, waktu tempuh 45 menit itu jauh banget.

Jadi ceritanya saya dirujuk ke Rumah Sakit Airan Raya, sebuah rumah sakit baru di Bandar Lampung. Awalnya sih katanya mau dirujuk ke Advent, tapi ternyata ketika mau didaftarkan tidak berhasil. Akhirnya dengan pasrah saya mengiyakan saja untuk dirujuk ke rumah sakit di ujung Bandar Lampung itu. Sesuai keterngan mbak resepsionis klinik, saya cukup datang ke rumah sakit dan menunjukkan aplikasi JKN ke petugas rumah sakit. 

Sambil menanti kepastian jadwal kosong suami, saya pun mulai mencari-cari info tentang rumah sakit itu. Karena jaraknya yang jauh, saya nggak mau dong kena zonk. Dari Google sampai instagram, tidak banyak informasi yang saya dapat. DM nggak terbalas, website juga nggak update. Jadi yasudah, bermodal bismillah saya berangkat.

Sampai di rumah sakit, karena baru pertama kali ke sana kami butuh muter-muter dulu untuk menemukan area lobi rumah sakitnya. Dengan ragu-ragu saya langsung menemui seorang petugas di loket-loket yang berbaris. Ternyata saya salah. Sebelum ke loket harus registrasi dulu untuk mendapatkan nomor antrean. OK, pindah ke petugas registrasi ternyata saya tidak bisa dilayani. 😂

Untungnya mamas petugasnya dengan sabar dan ramah menjelaskan dengan sangat detil. Waktu saya bilang mau periksa gigi, dia kayaknya langsung tahu kalau saya baru pertama kali ke sana dan seketika saya dipersilakan duduk. Dari mamas inilah saya tahu kalau semua rujukan untuk pemeriksaan gigi di Lampung sekarang hanya ada di rumah sakit Airan Raya. Waktu saya dengar itu, sebenarnya saya pengen nanya, "lho, kok bisa? Aneh banget? Jadi apa gunanya rumah sakit umum sebesar itu ada dua njogrok di sana?" tapi saya tahan karena pasti buang-buang waktu. Saya dikasih tahu kalau saya harus mendaftar dulu di aplikasi, dan dia menyarankan untuk mendaftar sejak pagi sekali karena di rumah sakit hanya ada 2 dokter gigi setiap harinya dan masing-masing mereka hanya bisa menangani 20 pasien. Bayangkan 2 orang dokter harus melayani pasien BPJS se-provinsi dong, itu gimana antrenya? Sejak tengah malam, saudara-saudara. Nggak bisa pagi-pagi.

Sesuai instruksi mamas registrasi, besoknya saya coba daftar lewat aplikasi. Dan ternyata sang dokter sudah full booked sampai 3 hari ke depan. Besoknya saya coba lagi daftar lewat aplikasi setelah shalat subuh, sudah full booked lagi. Begitu terus sampai akhir pekan dan akhirnya jadwal tindakan untuk gigi saya tertunda karena saya tiba-tiba jalan-jalan ke Jawa selama 10 hari. Selama perjalanan inilah saya secara nggak sengaja berhasil mendaftar. Gara-gara nggak bisa tidur di bus, saya coba buka aplikasi dan mendaftar pas jam 12 malam. Akhirnya saya tahu waktu yang tepat untuk mendaftar.

Pulang dari Jawa, jadilah saya ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang pertama. Kali ini saya nggak berharap gimana-gimana sama dokternya. Sudah pasrah saja lah. Dan jujur, saya cukup kagum dengan pelayanan di rumah sakit ini. Mungkin karena proses pendaftarannya yang harus lewat aplikasi jadi yang datang ke rumah sakit memang orang-orang yang benar-benar akan ditangani jadi rumah sakitnya tidak terlihat sumpek. Dari proses registrasi sampai saya masuk ke ruang poli, semua petugas melayani dengan cekatan dan cepat serta ramah. Begitu masuk ke ruangan juga saya nggak berharap akan diajak ngobrol sama dokternya. Rasanya udah kasihan aja sih kalau teringat bu dokter harus menangani 20 orang pasien BPJS setiap hari tanpa tahu akan dapat bayaran atau nggak. #eh

Tindakan pertama saya nggak sengaja menelan obat yang disemprotkan ke gigi gara-gara nahan napas karena terlalu tegang. Sepanjang perjalanan pulang mulut saya rasanya kayak ngemut Byclean dan mual luar biasa. Tindakan kedua, karena gagal bangun tengah malam saya terpaksa mendaftar dengan dokter yang lain. Tapi alhamdulillah dokter yang baru ini pun nggak ribet. 

Di tindakan terakhir yang bikin saya agak gimanaaaa gitu ya, karena saya pikir akan butuh waktu lama. Ternyata tambalan gigi saya cuma seperti tambalan aspal jalanan yang bolong itu lho, gaes 😆. Nggak ada seninya sama sekali. Saya juga nggak berharap bakal kayak yang di video-video Youtube para dokter gigi itu sih, tapi saya juga nggak nyangka bakal sesederhana itu. Untungnya suami saya menenangkan, sudah disyukuri saja bisa berobat gratis yang aslinya butuh biaya jutaan. Dan kalau dipikir-pikir memang iuran BPJS saya kalau ditotalkan seluruhnya pun nggak akan bisa menutupi pelayanan kesehatan yang saya dapat. Walaupun saya nggak pernah pakai BPJS kalau berobat biasa, tapi biaya melahirkan 2 anak saya saja sudah bisa buat DP rumah kalau nggak dicover BPJS.

Saya yakin drama gigi ini akan berlanjut karena nasib gigi bungsu saya belum juga ada kejelasan. Sayang sekali dari 5 dokter gigi yang memeriksa saya, hanya 1 orang yang mau dengan rela memeriksa mulut saya secara menyeluruh yang sebenarnya nggak butuh waktu lama. Akhirnya nggak ada satupun dari 4 dokter yang menyarankan saya untuk cabut gigi. Bayangkan kalau saya nggak ketemu sama dokter pertama waktu itu, saya nggak akan tahu kalau saya punya gigi bungsu dan mungkin baru akan ke dokter gigi lagi ketika sakit gigi, dan saya pernah dengar kalau tindakan gigi bungsu juga butuh effort bagi dokter gigi sendiri. Saya cuma berharap lain kali kalau saya periksa lagi, dokternya mau meluangkan sedikit waktu untuk melihat lebih dalam dan bilang, "lho, ada gigi bungsunya ini, Bu. Harus dicabut ya, bahaya kalau dibiarin."

Yang penting anak bahagia

Selasa, 05 Desember 2023

Saya akan memulai tulisan ini dari ingatan saya tentang obrolan tentang anak dengan salah seorang teman. Suatu hari dalam obrolan kami, dia mengatakan, "yang penting kalau bisa anak kita itu nggak ngerasain susah kayak orang tuanya. Dia mau apa, selama kita bisa kasih pasti kita usahakan."

Tentu tidak ada yang salah dengan perkataan itu. Siapa sih yang pengen anaknya hidupnya susah?! Jelas nggak ada. Tapi karena ucapan itu muncul setelah percakapan yang panjang, saya tahu bahwa ada yang salah dengan kesimpulan yang dimiliki oleh teman saya itu. Dan kemudian saya mulai berpikir, jangan-jangan memang kebanyakan orang tua sekarang memiliki pemikiran yang sama seperti itu.

Photo by Tuva Mathilde Løland on Unsplash

Satu cerita lagi tentang sepupu saya yang usianya sekitar 6-7 tahun lebih tua dari saya. Dia anak perempuan satu-satunya dari pakde saya. Saya ingat dulu orang tua saya pernah membahasnya. Saat itu kalau tidak salah kami sedang membahas bisnis orang tua saya. Mamak berkata kalau sepupu saya itu nanti pasti akan kesulitan menjalani kehidupannya, karena tidak pernah ditolak oleh orang tuanya. Dalam artian, apapun yang diminta pasti dituruti oleh orang tuanya. Dan sepertinya saya sudah pernah membuktikan perkataan orang tua saya itu.

***

Menjadi guru selama kurang lebih 10 tahun, saya sudah bertemu dengan berbagai macam jenis orang tua. Tentu tidak sebanyak guru lain yang lebih berpengalaman dan berdedikasi, tapi tipe-tipe manusia itu juga tidak terlalu banyak untuk dicermati. Dan yang saya lihat, kebanyakan orang tua yang saya temui selama 10 tahun belakangan ini adalah jenis orang tua yang terlalu fokus pada kebahagiaan anak. Sehingga mereka cenderung menuruti apapun keinginan si anak. Padahal kebahagiaan muncul dari ketahanan yang membantu anak-anak mengatur emosi yang sulit dan situasi yang penuh tekanan. Dan ketahanan itu bukan sifat naluriah, butuh keterampilan yang harus dilatih dan itu butuh bantuan dari orang tua untuk menumbuhkannya pada diri anak-anaknya.

Dalam bukunya, Dr. Becky Kennedy bercerita tentang para orang tua jenis ini -yang terlalu berharap anaknya bahagia-, dan mengatakan bahwa sepertinya inti dari harapan para orang tua itu bukan pada kebahagiaan. Karena tentu saja semua orang tua pasti ingin anaknya bahagia. Tapi memangnya apa yang bisa membuat kita bahagia? Apakah dengan menghilangkan rasa khawatir dan kesepian pada anak-anak kita, memastikan mereka merasa nyaman setiap saat lalu mereka akan mampu menumbuhkan kebahagiaan dengan sendirinya? Sebenarnya, ketika  kita mengatakan, "saya hanya ingin anak-anak saya bahagia" apa yang sedang kita maksud dengan bahagia di kalimat itu?

Para orang tua murid di sekolah saya dulu pernah menawarkan untuk membelikan AC di asrama dengan alasan agar anak-anaknya bisa tidur nyenyak dan merasa nyaman di asrama. Mereka mengatakan bahwa dengan suasana yang nyaman, anak-anak akan merasa betah di asrama dan semangat belajar. Sejujurnya, saya tidak pernah bisa menemukan korelasi antara kenyamanan dengan semangat belajar. Dan silakan cari sampai ke ujung dunia, orang-orang cerdas yang suka belajar itu tidak pernah menuntut tempat yang nyaman untuk bisa belajar. Mereka belajar karena mereka memiliki motivasi dari dalam dirinya sendiri untuk belajar, tempat yang nyaman hanyalah pendukung. Kalaupun tempatnya tidak nyaman, tidak akan mengubah motivasi dalam dirinya dan tidak akan membuat mereka jadi malas belajar.

Ketika kita hanya fokus pada kebahagiaan, kita mengabaikan semua emosi lain yang pasti akan muncul di sepanjang hidup anak-anak kita, yang berarti kita tidak mengajarkan mereka cara mengatasi emosi tersebut. Dan Dr. Becky menjelaskan, cara kita menghadapi rasa sakit atau kesulitan akan berdampak pada cara mereka berpikir tentang diri mereka sendiri dan masalah mereka selama beberapa dekade ke depan.

"Orang tua kan hanya ingin yang terbaik untuk anaknya." Terdengar -atau terbaca- familiar?! Coba tanyakan lagi kepada diri sendiri, apakah "yang terbaik" untuk anak kita adalah "bahagia"?! Saya pribadi saat ini sudah tidak terlalu tertarik dengan kebahagiaan dan saya bersyukur dididik oleh orang tua saya untuk menjadi tangguh sejak kecil. Melihat betapa manjanya anak-anak sekarang, saya pernah tersulut emosi dan dengan sombong bilang ke mereka, " orang tua saya dulu punya pembantu 7 tapi nggak semanja kalian." And that's true. Karena pada akhirnya ketika takdir tidak memberikan saya banyak pilihan hidup yang mudah, sekarang saya bisa bertahan dengan baik. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya suami saya kalau punya istri yang nggak bisa mencuci piring karena biasa dilayani oleh banyak pembantu.

Bagaimanapun juga, menumbuhkan kebahagiaan bergantung pada kemampuan kita untuk mengatasi rasa tertekan. Kita harus merasa aman sebelum bisa merasa bahagia. Mengapa kita harus belajar mengatur hal-hal yang sulit? Mengapa sulit sekali untuk bahagia dan mengalahkan semua emosi yang lain? Karena pada kenyataannya, dalam hidup ini hal-hal yang paling penting membutuhkan kerja keras dan waktu. Dan itu masalah kebanyakan orang tua saat ini. Mereka tidak punya waktu.

Photo by Keszthelyi Timi on Unsplash

Analogi ini menurut saya sangat baik. Kita ibaratkan tubuh kita seperti sebuah toples yang dikelilingi oleh banyak emosi. Katakanlah ada dua emosi utama; emosi yang terasa menjengkelkan dan emosi yang terasa "lebih bahagia". Di dalam toples emosi kita itu -yang bisa berkembang seiring kemampuan kita mengelola emosi-, ada emosi-emosi lainnya yang ukurannya juga terus berubah. Secara natural, tubuh kita memiliki sistem alarm bawaan dan secara konstan lebih sensitif terhadap bahaya daripada ancaman lainnya. Ketika kita tidak bisa mengatasi emosi seperti kekecewaan, frustrasi, iri, kesedihan dan ukuran emosi-emosi itu mulai memenuhi toples emosi, tubuh kita akan memulai respon stress.

Dan bukan hanya perasaan sulit itu sendiri yang mendorong tubuh kita untuk merasa tidak aman. Kita juga merasa tertekan akan mengalami kesusahan (feel distress over having distress), atau mengalami rasa takut akan ketakutan (fear of fear). Dengan kata lain, ketika kita mulai berpikir, "saya harus menghilangkan perasaan ini." rasa tertekan itu tumbuh dan berkembang bukan sebagai reaksi dari pengalaman nyata yang asli, tapi karena kita percaya bahwa emosi negatif ini salah, buruk, menakutkan, atau berlebihan. Itulah mengapa kita sering mendapati anak-anak sekarang begitu pengecut, karena mereka tidak terbiasa menghadapi tantangan atau mengalami kekalahan. Baru diberi tugas, sudah bilang stress padahal belum dikerjakan. Kesulitan mengerjakan tugas, rasanya ingin mati. Dan saya tidak melebih-lebihkan, anak-anak sekarang benar-benar mudah untuk menyerah karena di dalam tubuh mereka mengatakan bahwa bukan perasaan itu yang seharusnya mereka rasakan. Bukan kesulitan yang seharusnya mereka hadapi. Seharusnya saya bahagia, bukan menghadapi kesulitan seperti ini

Pada akhirnya, seperti inilah bagaimana kecemasan menguasai diri seseorang. Dan sepertinya bukan hanya anak-anak, kita orang dewasa pun sudah mulai terjebak dengan sugesti ini. Jargon-jargon jangan lupa bahagia sudah berhasil menyetir pikiran kita bahwa hanya bahagialah satu-satunya emosi yang boleh kita rasakan. Sehingga ketika mengalami kesulitan, serta merta kita mempertanyakan takdir dan merasakan kecemasan. Maka istilah anxiety sekarang menjadi sangat lumrah kita dengar. Kecemasan adalah ketidaktoleranan terhadap ketidaknyamanan. Tubuh kita tidak akan membiarkan kita untuk rileks jika kita percaya bahwa perasaan dalam diri kita terlalu kuat dan menakutkan. Dan pada akhirnya, kita tidak akan pernah bahagia karena toples emosi kita dikuasai oleh rasa cemas. Padahal seharusnya tidak perlu seperti itu. Kalau saja kita biasa mengelola rasa frustrasi, kekecewaan, iri, dan kesedihan-kesedihan yang lain maka semakin banyak ruang yang kita miliki untuk memupuk kebahagiaan. Mengatur emosi pada dasarnya mengembangkan bantalan di sekitar perasaan-perasaan itu, melembutkannya dan mencegahnya menghabiskan seluruh toples. Regulatin first, happines second.

Jika diterjemahkan ke dalam pengasuhan anak; semakin luas rentang perasaan yang dapat kita beri nama dan toleransi pada anak-anak kita, semakin luas juga rentang perasaan yang dapat mereka kelola dengan aman, sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Itulah pentingnya kita ajarkan ketangguhan kepada mereka. Ketangguhan, dalam banyak hal, adalah kemampuan kita untuk mengalami berbagai macam emosi dan tetap merasa seperti diri kita sendiri. Ketangguhan membantu kita bangkit kembali dari stress, kegagalan, kesalahan dan kesulitan dalam hidup kita. Ketangguhan, memungkinkan munculnya kebahagiaan.

***

Satu hal lagi yang menarik tentang hal ini, adalah bahwa analogi toples emosi itu sesungguhnya sudah kita kenal dalam budaya Islam dan Indonesia; lapang dada. Kalau kita cari, tidak ada padanan kata lapang dada dalam bahasa Inggris. Dan lapang dada adalah idiom yang juga dekat dengan nilai-nilai Islam. Setiap kali ada tema tentang kesulitan disebut dalam Al-Quran maka akan disebut tentang hati yang sempit. Dan Rasulullah adalah manusia yang telah dilapangkan dadanya oleh Allah. Sehingga beliau bisa mengatur emosi-emosi negatif dalam hidupnya dan tidak hilang arah. 

Bagaimana Allah menumbuhkan ketangguhan dalam diri Rasulullah dan orang-orangg beriman? Jika kita lihat sejarah, Rasulullah tidaklah kebal terhadap stress atau perjuangan -dan memang itulah kenyataan hidup yang tidak bisa kita hindari- tapi ketangguhan beliau memperlihatkan kepada kita bagaimana beliau menghadapi saat-saat sulit  dan mengalaminya. Orang yang tangguh lebih mampu mengatasi saat-saat yang penuh tekanan. Dan ketangguhan bukanlah sifat bawaan. Ketangguhan adalah sebuah keterampilan yang dapat dikembangkan. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang mampu membantu menanamkannya kepada anak-anak kita sejak dini. Karena kita tidak bisa selalu mengubah penyebab stress di sekitar kita, tapi kita selalu bisa mengupayakan kemampuan kita untuk menambah daya tahan.

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.