Saya akan memulai tulisan ini dari ingatan saya tentang obrolan tentang anak dengan salah seorang teman. Suatu hari dalam obrolan kami, dia mengatakan, "yang penting kalau bisa anak kita itu nggak ngerasain susah kayak orang tuanya. Dia mau apa, selama kita bisa kasih pasti kita usahakan."
Tentu tidak ada yang salah dengan perkataan itu. Siapa sih yang pengen anaknya hidupnya susah?! Jelas nggak ada. Tapi karena ucapan itu muncul setelah percakapan yang panjang, saya tahu bahwa ada yang salah dengan kesimpulan yang dimiliki oleh teman saya itu. Dan kemudian saya mulai berpikir, jangan-jangan memang kebanyakan orang tua sekarang memiliki pemikiran yang sama seperti itu.
Satu cerita lagi tentang sepupu saya yang usianya sekitar 6-7 tahun lebih tua dari saya. Dia anak perempuan satu-satunya dari pakde saya. Saya ingat dulu orang tua saya pernah membahasnya. Saat itu kalau tidak salah kami sedang membahas bisnis orang tua saya. Mamak berkata kalau sepupu saya itu nanti pasti akan kesulitan menjalani kehidupannya, karena tidak pernah ditolak oleh orang tuanya. Dalam artian, apapun yang diminta pasti dituruti oleh orang tuanya. Dan sepertinya saya sudah pernah membuktikan perkataan orang tua saya itu.
***
Menjadi guru selama kurang lebih 10 tahun, saya sudah bertemu dengan berbagai macam jenis orang tua. Tentu tidak sebanyak guru lain yang lebih berpengalaman dan berdedikasi, tapi tipe-tipe manusia itu juga tidak terlalu banyak untuk dicermati. Dan yang saya lihat, kebanyakan orang tua yang saya temui selama 10 tahun belakangan ini adalah jenis orang tua yang terlalu fokus pada kebahagiaan anak. Sehingga mereka cenderung menuruti apapun keinginan si anak. Padahal kebahagiaan muncul dari ketahanan yang membantu anak-anak mengatur emosi yang sulit dan situasi yang penuh tekanan. Dan ketahanan itu bukan sifat naluriah, butuh keterampilan yang harus dilatih dan itu butuh bantuan dari orang tua untuk menumbuhkannya pada diri anak-anaknya.
Dalam bukunya, Dr. Becky Kennedy bercerita tentang para orang tua jenis ini -yang terlalu berharap anaknya bahagia-, dan mengatakan bahwa sepertinya inti dari harapan para orang tua itu bukan pada kebahagiaan. Karena tentu saja semua orang tua pasti ingin anaknya bahagia. Tapi memangnya apa yang bisa membuat kita bahagia? Apakah dengan menghilangkan rasa khawatir dan kesepian pada anak-anak kita, memastikan mereka merasa nyaman setiap saat lalu mereka akan mampu menumbuhkan kebahagiaan dengan sendirinya? Sebenarnya, ketika kita mengatakan, "saya hanya ingin anak-anak saya bahagia" apa yang sedang kita maksud dengan bahagia di kalimat itu?
Para orang tua murid di sekolah saya dulu pernah menawarkan untuk membelikan AC di asrama dengan alasan agar anak-anaknya bisa tidur nyenyak dan merasa nyaman di asrama. Mereka mengatakan bahwa dengan suasana yang nyaman, anak-anak akan merasa betah di asrama dan semangat belajar. Sejujurnya, saya tidak pernah bisa menemukan korelasi antara kenyamanan dengan semangat belajar. Dan silakan cari sampai ke ujung dunia, orang-orang cerdas yang suka belajar itu tidak pernah menuntut tempat yang nyaman untuk bisa belajar. Mereka belajar karena mereka memiliki motivasi dari dalam dirinya sendiri untuk belajar, tempat yang nyaman hanyalah pendukung. Kalaupun tempatnya tidak nyaman, tidak akan mengubah motivasi dalam dirinya dan tidak akan membuat mereka jadi malas belajar.
Ketika kita hanya fokus pada kebahagiaan, kita mengabaikan semua emosi lain yang pasti akan muncul di sepanjang hidup anak-anak kita, yang berarti kita tidak mengajarkan mereka cara mengatasi emosi tersebut. Dan Dr. Becky menjelaskan, cara kita menghadapi rasa sakit atau kesulitan akan berdampak pada cara mereka berpikir tentang diri mereka sendiri dan masalah mereka selama beberapa dekade ke depan.
"Orang tua kan hanya ingin yang terbaik untuk anaknya." Terdengar -atau terbaca- familiar?! Coba tanyakan lagi kepada diri sendiri, apakah "yang terbaik" untuk anak kita adalah "bahagia"?! Saya pribadi saat ini sudah tidak terlalu tertarik dengan kebahagiaan dan saya bersyukur dididik oleh orang tua saya untuk menjadi tangguh sejak kecil. Melihat betapa manjanya anak-anak sekarang, saya pernah tersulut emosi dan dengan sombong bilang ke mereka, " orang tua saya dulu punya pembantu 7 tapi nggak semanja kalian." And that's true. Karena pada akhirnya ketika takdir tidak memberikan saya banyak pilihan hidup yang mudah, sekarang saya bisa bertahan dengan baik. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya suami saya kalau punya istri yang nggak bisa mencuci piring karena biasa dilayani oleh banyak pembantu.
Bagaimanapun juga, menumbuhkan kebahagiaan bergantung pada kemampuan kita untuk mengatasi rasa tertekan. Kita harus merasa aman sebelum bisa merasa bahagia. Mengapa kita harus belajar mengatur hal-hal yang sulit? Mengapa sulit sekali untuk bahagia dan mengalahkan semua emosi yang lain? Karena pada kenyataannya, dalam hidup ini hal-hal yang paling penting membutuhkan kerja keras dan waktu. Dan itu masalah kebanyakan orang tua saat ini. Mereka tidak punya waktu.
Analogi ini menurut saya sangat baik. Kita ibaratkan tubuh kita seperti sebuah toples yang dikelilingi oleh banyak emosi. Katakanlah ada dua emosi utama; emosi yang terasa menjengkelkan dan emosi yang terasa "lebih bahagia". Di dalam toples emosi kita itu -yang bisa berkembang seiring kemampuan kita mengelola emosi-, ada emosi-emosi lainnya yang ukurannya juga terus berubah. Secara natural, tubuh kita memiliki sistem alarm bawaan dan secara konstan lebih sensitif terhadap bahaya daripada ancaman lainnya. Ketika kita tidak bisa mengatasi emosi seperti kekecewaan, frustrasi, iri, kesedihan dan ukuran emosi-emosi itu mulai memenuhi toples emosi, tubuh kita akan memulai respon stress.
Dan bukan hanya perasaan sulit itu sendiri yang mendorong tubuh kita untuk merasa tidak aman. Kita juga merasa tertekan akan mengalami kesusahan (feel distress over having distress), atau mengalami rasa takut akan ketakutan (fear of fear). Dengan kata lain, ketika kita mulai berpikir, "saya harus menghilangkan perasaan ini." rasa tertekan itu tumbuh dan berkembang bukan sebagai reaksi dari pengalaman nyata yang asli, tapi karena kita percaya bahwa emosi negatif ini salah, buruk, menakutkan, atau berlebihan. Itulah mengapa kita sering mendapati anak-anak sekarang begitu pengecut, karena mereka tidak terbiasa menghadapi tantangan atau mengalami kekalahan. Baru diberi tugas, sudah bilang stress padahal belum dikerjakan. Kesulitan mengerjakan tugas, rasanya ingin mati. Dan saya tidak melebih-lebihkan, anak-anak sekarang benar-benar mudah untuk menyerah karena di dalam tubuh mereka mengatakan bahwa bukan perasaan itu yang seharusnya mereka rasakan. Bukan kesulitan yang seharusnya mereka hadapi. Seharusnya saya bahagia, bukan menghadapi kesulitan seperti ini.
Pada akhirnya, seperti inilah bagaimana kecemasan menguasai diri seseorang. Dan sepertinya bukan hanya anak-anak, kita orang dewasa pun sudah mulai terjebak dengan sugesti ini. Jargon-jargon jangan lupa bahagia sudah berhasil menyetir pikiran kita bahwa hanya bahagialah satu-satunya emosi yang boleh kita rasakan. Sehingga ketika mengalami kesulitan, serta merta kita mempertanyakan takdir dan merasakan kecemasan. Maka istilah anxiety sekarang menjadi sangat lumrah kita dengar. Kecemasan adalah ketidaktoleranan terhadap ketidaknyamanan. Tubuh kita tidak akan membiarkan kita untuk rileks jika kita percaya bahwa perasaan dalam diri kita terlalu kuat dan menakutkan. Dan pada akhirnya, kita tidak akan pernah bahagia karena toples emosi kita dikuasai oleh rasa cemas. Padahal seharusnya tidak perlu seperti itu. Kalau saja kita biasa mengelola rasa frustrasi, kekecewaan, iri, dan kesedihan-kesedihan yang lain maka semakin banyak ruang yang kita miliki untuk memupuk kebahagiaan. Mengatur emosi pada dasarnya mengembangkan bantalan di sekitar perasaan-perasaan itu, melembutkannya dan mencegahnya menghabiskan seluruh toples. Regulatin first, happines second.
Jika diterjemahkan ke dalam pengasuhan anak; semakin luas rentang perasaan yang dapat kita beri nama dan toleransi pada anak-anak kita, semakin luas juga rentang perasaan yang dapat mereka kelola dengan aman, sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Itulah pentingnya kita ajarkan ketangguhan kepada mereka. Ketangguhan, dalam banyak hal, adalah kemampuan kita untuk mengalami berbagai macam emosi dan tetap merasa seperti diri kita sendiri. Ketangguhan membantu kita bangkit kembali dari stress, kegagalan, kesalahan dan kesulitan dalam hidup kita. Ketangguhan, memungkinkan munculnya kebahagiaan.
***
Satu hal lagi yang menarik tentang hal ini, adalah bahwa analogi toples emosi itu sesungguhnya sudah kita kenal dalam budaya Islam dan Indonesia; lapang dada. Kalau kita cari, tidak ada padanan kata lapang dada dalam bahasa Inggris. Dan lapang dada adalah idiom yang juga dekat dengan nilai-nilai Islam. Setiap kali ada tema tentang kesulitan disebut dalam Al-Quran maka akan disebut tentang hati yang sempit. Dan Rasulullah adalah manusia yang telah dilapangkan dadanya oleh Allah. Sehingga beliau bisa mengatur emosi-emosi negatif dalam hidupnya dan tidak hilang arah.
Bagaimana Allah menumbuhkan ketangguhan dalam diri Rasulullah dan orang-orangg beriman? Jika kita lihat sejarah, Rasulullah tidaklah kebal terhadap stress atau perjuangan -dan memang itulah kenyataan hidup yang tidak bisa kita hindari- tapi ketangguhan beliau memperlihatkan kepada kita bagaimana beliau menghadapi saat-saat sulit dan mengalaminya. Orang yang tangguh lebih mampu mengatasi saat-saat yang penuh tekanan. Dan ketangguhan bukanlah sifat bawaan. Ketangguhan adalah sebuah keterampilan yang dapat dikembangkan. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang mampu membantu menanamkannya kepada anak-anak kita sejak dini. Karena kita tidak bisa selalu mengubah penyebab stress di sekitar kita, tapi kita selalu bisa mengupayakan kemampuan kita untuk menambah daya tahan.