SLIDER

Tegang dari awal sampai akhir, tapi 2 episode mubazir || Review The Last of Us

Sabtu, 22 April 2023

 


After a global pandemic destroys civilization, a hardened survivor takes charge of a 14-year-old girl who may be humanity’s last hope.

Pedro Pascal (The Mandalorian, Wonder Woman 1984) and Bella Ramsey (HBO’s His Dark Materials and Game of Thrones) star as Joel and Ellie. Gabriel Luna (True Detectiveas Joel’s younger brother and former soldier, Tommy; Merle Dandridge (The Last of Us video games, The Flight Attendant) as resistance leader Marlene; and Anna Torv (Fringe) as Tess, a smuggler and fellow hardened survivor.

The series guest stars Nico Parker (The Third Day) as Sarah, Joel’s 14-year old daughter; Murray Bartlett (The White Lotus) and Nick Offerman (Parks and Recreation) as Frank and Bill, two post-pandemic survivalists living alone in their own isolated town; Storm Reid (Euphoria) as Riley, an orphan in Boston; and Jeffrey Pierce (The Last of Us video games) as Perry, a rebel in a quarantine zone. Lamar Johnson guest stars as Henry and Keivonn Woodard as Sam, brothers in Kansas City hiding from a revolutionary movement seeking vengeance. Graham Greene guest stars as Marlon and Elaine Miles as Florence, a married couple surviving alone in the wilderness of post-apocalyptic Wyoming. 

Written and executive produced by Craig Mazin (HBO’s Chernobyl) and Neil Druckmann, of The Last of Us and Uncharted video game franchises.

Carolyn Strauss (HBO’s Chernobyl and Game of Thrones) serves as executive producer, along with Evan Wells from the original game’s developer, Naughty Dog, and PlayStation Productions’ Asad Qizilbash and Carter Swan.


Liburan kali ini sepertinya saya akan banyak mengulas film atau serial-serial dari HBO, gara-gara suami pingin nonton Batman pekan lalu. Sayang kan, sudah langganan kalau tidak dioptimalkan?! Dan untuk ulasan pertama saya memilih menonton serial The Last of Us. Mengapa? Tentu saja karena saya melihat kehebohannya di sosial media.

WARNING: Review ini mengandung spoiler!

The Last of Us mengisahkan tentang seorang pria bernama Joel dan seorang gadis remaja 14 tahun bernama Ellie dalam upayanya untuk bertahan hidup di dunia pasca pandemi yang penuh dengan zombie dan kelompok-kelompok manusia berbahaya.

Cerita dimulai pada tahun 2013, ketika sebuah wabah yang disebut "Cordyceps Brain Infection" menyebar ke seluruh dunia dan mengubah manusia menjadi zombie yang agresif dan mematikan. Joel kehilangan putrinya dalam kekacauan itu dan menjadi seorang penyelundup yang melakukan berbagai tindakan ilegal untuk bertahan hidup di kota karantina yang dijaga ketat.

Pada suatu hari, Joel bertemu dengan Marlene, seorang pemimpin kelompok gerilyawan yang meminta Joel untuk membawa Ellie keluar dari kota. Ellie diketahui memiliki kekebalan terhadap virus tersebut sehingga dia adalah kunci untuk menemukan obat yang dapat menyelamatkan umat manusia dari kepunahan. Joel awalnya enggan menerima tawaran tersebut, tetapi kemudian setuju untuk membawa Ellie keluar dari kota.

Joel dan Ellie kemudian melakukan perjalanan melintasi Amerika Serikat yang penuh dengan bahaya dan tantangan. Mereka bertemu dengan berbagai kelompok manusia yang berjuang untuk bertahan hidup, termasuk kelompok penjarah yang sangat kejam dan kelompok militer yang otoriter.

Selama perjalanan, Joel dan Ellie semakin dekat dan membentuk ikatan batin yang kuat. Mereka juga mengalami banyak pengalaman pahit, termasuk ketika Joel terluka parah dan Ellie harus menjaga dan merawatnya.

My thoughts after watching it? Mixed, of course.
Pertama-tama, film tentang zombie-zombiean begini sama sekali bukan favorit saya. Biasanya saya nggak akan pernah tertarik untuk menonton film bergenre semacam ini. Satu-satunya alasan saya nonton The Last of Us hanyalah scene Christine Hakim yang katanya keren banget. Dan sejujurnya setelah saya nonton, menurut saya biasa aja kok. I mean, she is amazing and what she does in the film is what she usually does. Jadi kayak aneh aja kalau orang Indonesia kelihatan heboh ketika nonton akting Christine Hakim yang hebat. Tapi dengar-dengar katanya aktingnya dipuji sama kritikus film luar negeri? Itu saya nggak tahu. Yang saya tahu adalah dia memang hebat, dan ini bukan kali pertama dia bergabung dalam proyek pembuatan film luar negeri kan?

Adegannya sendiri ternyata hanyalah tambahan di episode 2. Awalnya saya pikir, Christine Hakim benar-benar punya peran di serial ini. By the way, saya juga nggak punya latar belakang pengetahuan tentang game The Last of Us. Jadi pendapat saya pure hanya tentang serialnya. OK? Ketika adegan Jakarta selesai, saya pikir "apakah adegan ini benar-benar diperlukan?" and guess what? Ternyata pertanyaan itu berlanjut ke episode 3.

is it necessary to include lgbtq+ representation in every film?

Saya gemes banget setelah nonton episode 3, karena menurut saya tokoh Frank dan Bill nggak perlu sampai punya episode khusus seperti itu. Yes kehadiran mereka memang penting, tapi apakah latar belakang karakter mereka sampai harus diexplore sejauh itu? Menurut saya tidak. Saya nggak peduli mereka mau gay, atau kesepian seumur hidup, yang saya mau tahu adalah peran mereka membantu perjalanan Joel dan Ellie. Cukup sampai di situ, saya nggak perlu membuang-buang waktu 50an menit menonton kisah cinta aneh 2 laki-laki ini.

Dan ternyata tidak cukup sampai di situ saudara-saudara. Ellie pun ternyata harus jadi anak lesbian. Di episode 7 muncullah tokoh Riley yang merupakan sahabat terdekat Ellie sekaligus orang pertama yang dibunuhnya gara-gara mereka diserang zombie.


Karena sudah berpengalaman dengan episode 3, saya banyak skip episode ini sampai bagian akhir dimana mereka diserang zombie. Biar nggak mubazir waktu saya. ๐Ÿ˜‚ However, keberadaan dua kisah cinta aneh ini banyak dipuji media luar negeri. Jadi mungkin wajar saja kalau sekarang setiap film selalu memasukkan unsur cerita model begituan. 

Saya banyak membaca komentar-komentar para warga konservatif Amerika yang juga sudah mulai terganggu dengan hal-hal ini. Bahkan kata seorang teman, di drama korea pun sekarang sudah mulai memasukkan unsur-unsur queer di dalamnya walaupun lebih soft dan 'santai'. Saya sendiri juga sekarang jadi lebih hati-hati memilih film untuk anak-anak karena khawatir dengan hal itu. Dan untuk The Last of Us, menurut saya tambahan kisah cinta ini benar-benar tidak perlu sampai sejauh itu. Banyak karakter-karakter penting lain yang cukup saya pahami latar belakangnya hanya dengan beberapa menit flash back. Nggak perlu sampai 1 episode penuh.

Smart characters, but stupid decisions

Hal lain yang agak mengganggu saya adalah endingnya. Joel yang grumpy dan dingin kan ceritanya berakhir sayang sama Ellie. Saking sayangnya sampai-sampai sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Wajar karena mereka sudah menghabiskan waktu bersama berbulan-bulan, bahkan mungkin setahun. Ketika akhirnya mereka berhasil bertemu dengan Marlene, disitulah kebingungan saya dimulai. Bagaimana mungkin, karakter-karakter hebat ini malah membuat keputusan bodoh hanya karena asumsi. Like,... how?

Jadi, ketika Joel dan Ellie sampai di markas Firefly mereka dilumpuhkan oleh penjaga karena para penjaga nggak mengenali mereka. Joel dan Ellie pingsan lalu dirawat di ruang berbeda. Joel, ketika sadar dan bertemu dengan Marlene tentu saja langsung bertanya tentang keberadaan Ellie. Dan Marlene, dengan tenang berusaha menjelaskan bahwa Ellie harus dioperasi demi mencari di mana mereka bisa menemukan obat untuk virus jamur ini. Masalahnya adalah, jamur ini tumbuh di otak dan kalau Ellie dioperasi maka kemungkinan dia bertahan hidup tentu sangat kecil atau bahkan mungkin dia harus mati. 

Tentu saja Joel nggak mau kehilangan anak lagi, kan?! Dia pun marah dan ingin menghentikan operasi itu. Tapi dilarang Marlene, dengan alasan bahwa dia sangat mengerti bagaimana perasaan Joel. FYI Marlene adalah orang yang dipercaya ibu Ellie untuk merawatnya. So basically, Marlene adalah ibunya Ellie. Tapi tampaknya keputusan logis tetap harus dilakukan, dan menurut saya Marlene sama sekali tidak mengambil keputusan logis. Karena ternyata dia memutuskan untuk mengoperasi Ellie tanpa memberitahukan Ellie bahwa bagian yang akan dioperasi adalah otaknya. Dia menduga Ellie pasti akan setuju karena Ellie pasti ingin membuat keputusan yang benar, -menyelamatkan dunia-. 

Dan dengan pengetahuannya tentang kehebatan Joel, dia malah dengan entengnya nyuruh hanya 2 orang prajurit untuk mengusir Joel keluar dan memerintahkan untuk membunuhnya kalau dia melawan. Joel bisa bertahan hidup di luar sana berbulan-bulan, menghadapi segala macam jenis manusia dan zombie jagain orang lain dan Marlene tahu itu, dan dia cuma ngasih 2 prajurit untuk jagain Joel mode marah?! That is STUPID. Tentu saja Joel dengan mudah mengalahkan semua orang di gedung itu, termasuk Marlene. Semua mati. Ellie terselamatkan, tapi keputusan bodoh lain terjadi. Joel nggak jawab jujur ketika Ellie nanya tentang proses operasinya.

Pada bagian akhir ini, saya merasa orang-orang dewasa di sekitar Ellie benar-benar tidak menghargai dia sebagai manusia. Karena meskipun Ellie masih 14 tahun, mentally dia bukan anak kecil! Kalau dari awal Marlene ngajak Joel dan Ellie duduk bareng dan membicarakan tindakan yang perlu dilakukan mungkin saya nggak akan kesel. Setidaknya Ellie dan Joel berhak tahu. Biarkan Ellie membuat keputusan sendiri. It's her life! Kalau pada akhirnya dia menolak, maka setidaknya kita bisa membenarkan tindakan Joel membunuh orang sebanyak itu. Dan kalau dia bersedia, maka Joel nggak perlu membunuh. Atau mungkin Joel bisa nggak setuju karena nggak mau kehilangan Ellie, biarkan keributan terjadi. Tapi setidaknya, ngobrol aja dulu! Selalu bisa dibuat chaos kok, keputusan apapun yang akan mereka ambil. Tapi caranya itu lho... please....

Is it worth to watch?

Yes, absolutely yes. Serial ini keren. Keluhan-keluhan saya di atas sama sekali nggak mengurangi ketegangan dan intensitas yang ada di film. Plot ceritanya benar-benar rapi, karakter-karakter pendukungnya bagus untuk character development Joel dan Ellie. Teori saintifiknya juga bisa diterima sama orang awam macam saya. Adegan-adegan brutalnya juga cukup, nggak terlalu berlebihan tapi juga nggak nanggung. Definitely worth to watch.

Rating: 4/5  ⭐⭐⭐⭐

Yang teringat dari Ramadhan tahun ini

Kamis, 20 April 2023

 ุจِุณْู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…ٰู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู…ِ 

Dengan nama Allah, yang Maha Pengasih, Maha Penyayang




Sesungguhnya nggak ada yang penting dari postingan kali ini. Hanya karena menurut saya unik dan mungkin suatu saat akan ada manfaatnya, jadi saya akan abadikan di sini.

Jadi ceritanya, pada sebuah acara buka bersama yang rutin diadakan tiap Ramadhan oleh sekolah kami terjadilah sebuah obrolan santai para ibu. Lalu sampailah kami pada pembahasan lailatul qadr. Masing-masing mengutarakan dugaan kapan terjadinya, karena kami memang sudah memasuki hari-hari terakhir Ramadhan. Hingga salah seorang ada yang nyeletuk, "nggak ada yang tahu kapan malam ganjil, kalau ternyata Ramadhannya cuma 29 hari berarti yang kita sangka malam ganjil kan berarti malam genap?" 

Seumur hidup, belum pernah saya dengar pernyataan semacam itu dari siapapun. Dan yang bikin makin lucu adalah si ibu sangat percaya diri dengan pernyataannya, bahkan ketika ibu lain berusaha sekuat tenaga untuk mengoreksinya. "ya lihat aja nanti nih misalnya ya bu, lebarannya hari Jumat tuh... Kan berarti 10 malam terakhirnya udah dari 3 hari yang lalu. Jadi sekarang hari ganjilnya."

Sejujurnya saya sudah ingin tertawa ketika menyimak obrolan aneh itu. Tapi saya tahan karena lagi puasa. Saya tahu ketawa saya nanti akan terdengar sangat menyakitkan. ๐Ÿ˜… Jadi daripada cari masalah, saya memilih untuk melerai obrolan itu dengan makanan yang datang.

Masalah diantara si ibu udah selesai, tapi sekarang malah di saya. Sampai malam takbiran ini masih kepikiran. Kok bisa ada orang yang ngitung malam ganjil Ramadhan berdasarkan tanggal 1 Syawalnya?! Yaaaa.... sebenarnya saya punya dugaan, mungkin karena dia menganggap 10 hari terakhir itu dihitung dari Syawal (yang memang harus begitu) lalu dia berkesimpulan kalau hari ganjil/genapnya juga dihitung dari Syawal. ๐Ÿ˜Œ

Nah, kejadian kedua yang bikin saya semangat bikin tulisan hari ini. Yang terjadi baruuuu saja, tadi siang. Ketika saya dan suami ribut bahas 1 Syawal. FYI, saya adalah warga Nahdhiyin tulen yang bahkan sempat nyantri di pondok pesantren tradisional. Sementara suami saya adalah anak ulama Muhammadiyah. Jadi sudah bukan hal baru kalau kami berbeda hari puasa dan idul fitri selama ini. Tapi masalahnya sekarang adalah, anak kami mulai besar dan pasti akan menanyakan kalau orang tuanya lebaran beda hari. Maka kami memutuskan untuk kompromi, tapi ternyata susah juga karena masing-masing nggak mau ngalah. Hingga akhirnya suami saya bilang, "ya udah lho kamu lebaran Sabtu nggak pa-pa, yang penting Jumat ikut sholat." And I was like, "What????"

"Kalau saya ikut sholat hari Jumat artinya saya lebaran hari Jumat, Bapaaaak. Artinya saya nggak boleh puasa hari Jumat ituuuu, haraaaaaam."

Entahlah, orang-orang sekarang kok lucu-lucu ya? Mungkin mulai pada males mikir, yang penting ngomong.๐Ÿ˜ Dan sampai malam ini suami saya masih belum paham sama omongannya sendiri. Duh,

Untungnya, pondok pesantren alumni saya tahun ini berbeda dengan pemerintah. Entah kenapa tadi sudah mengumumkan untuk lebaran besok. Jadi saya agak lega, nggak nurut pemerintah nurut guru saja.

10 tahun kemudian

Kamis, 06 April 2023

 


10 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 2 April 2013 saya membuat sebuah tulisan cukup panjang tentang gambaran kehidupan yang saya cita-citakan di usia saat ini. Ketika membaca ulang, saya merasa bersyukur bahwa blog lama itu tidak saya hapus. Saya jadi bisa refleksi sambil introspeksi dari kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan, sekaligus menertawakan kenaifan anak muda berusia 20-an itu. Sungguh, membaca tulisan itu membuat saya sadar bahwa mimpi-mimpi yang saya tuliskan itu benar-benar sebuah harapan kosong yang langsung terlupakan segera setelah dituliskan. Dan sekali lagi saya bersyukur tidak menghapusnya, karena pada tahun 2017 kalau tidak salah saya baru disadarkan kembali tentang cita-cita itu lalu mulai berusaha membangunnya sedikit demi sedikit.


Lalu, 10 tahun kemudian apa yang terjadi?


Nothing, ๐Ÿ˜‚. Well, actually so much happened in the last 10 years in my life. So, saya akan coba mengurai semua kekacauan ini dalam sebuah tulisan yang mudah-mudahan cukup mudah untuk dicerna.


Pada dasarnya, cita-cita saya cukup --cukup buat saya-- sederhana. Saya hanya ingin jadi ibu rumah tangga. Tinggal di rumah yang sederhana, dan punya 4 anak di usia ini. Yang terakhir ini, saya menyerah ๐Ÿ˜‘. Faktanya, Alhamdulillah kami sudah punya rumah walaupun belum ditinggali. Dan malah mengontrak rumah yang jauh lebih baik dari rumah milik kami sendiri. Saya gagal jadi ibu rumah tangga, tapi masih berusaha memperjuangkannya. Dan kami memutuskan untuk bertahan dengan 2 anak terlebih dahulu, karena ternyata memiliki anak membutuhkan energi yang sangat besar. Bukan hanya secara finansial, tanggung jawab menjadi orang tua ternyata tidak sesederhana yang kami pikirkan. Dengan banyaknya tantangan di zaman ini, kami belum yakin bisa membentengi anak-anak kami dengan sebaik-baik bekal. Jadi, Alhamdulillah Qia dan Aqsha sekarang tumbuh jadi anak baik dan pengertian kepada orang tuanya.


Selanjutnya, ternyata saya sama sekali tidak punya kemampuan untuk menjadi manager keluarga ๐Ÿ˜†. Bahkan kami berdua adalah sama-sama orang yang kacau hidupnya. Tapi tidak apa-apa, selama kami saling memahami InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Hahaha.... Setidaknya cita-cita memiliki perpustakaan pribadi sudah terwujud dan mudah-mudahan bulan Juli nanti saya bisa melancarkan program baca buku intensif untuk bisa mewujudkan program saya mandiri dari rumah ๐Ÿ’ช.


Dan dengan keadaan saya 10 tahun belakangan ini, sejujurnya saya agak sanksi apakah bisa menularkan hobi membaca buku kepada anak-anak. Karena ternyata curiosity tidak bisa diwariskan. Qia jelas anak yang cerdas, tapi saya belum bisa mengajak dia menyukai buku. Sejauh ini saya baru bisa menunjukkan kepadanya bahwa ibunya suka membaca. Memberi teladan bahwa belajar sangat menyenangkan. Dan mudah-mudahan suatu saat dia mau mengambil buku-buku yang sudah saya belikan dan membacanya, lalu adiknya akan menirunya.


Menulis, membaca dan menghafal Al-Quran akan jadi proyek utama setelah saya resign nanti. Bahkan bukan hanya menulis Al-Quran, saya harus mengajarkan hal lain kepada mereka karena ternyata semua ilmu itu tidak bisa saya limpahkan kepada sekolah. Kadang-kadang saya heran, bagaimana bisa biaya sekolah sekarang sangat mahal tapi tidak bisa mengajarkan hal-hal penting mendasar secara tuntas kepada anak-anak kita? 


Tentang bisnis dari rumah atau membuka toko buku, saya sudah tidak menginginkannya lagi. Saya ingin fokus saja pada komunitas yang sudah saya bangun sejak 2021 dan berharap akan ada benefit yang saya dapatkan nanti. Tentang melanjutkan kuliah, saya pun masih ragu. Keinginan tentu saja masih ada, tapi apakah saya masih membutuhkannya? Karena saya sudah tidak ingin lagi menjadi dosen. Hanya saja, sekarang minat saya malah ingin belajar bahasa. Sejauh ini saya sudah mendapat banyak resource untuk belajar bahasa Arab, Jepang dan Mandarin. Mungkin suatu saat saya bisa menguasai bahasa-bahasa tersebut dan mendapatkan manfaatnya.


Yang terakhir, menjadi guru Al-Quran. Faktanya saya memang menjadi guru Al-Quran sejak lulus kuliah, tapi ternyata setelah 10 tahun menjalaninya saat ini saya sampai pada keputusan bahwa bekerja di sekolah bukanlah ide yang bagus untuk saya. Terlalu banyak kontradiksi yang saya rasakan dan akhirnya malah membuat saya banyak dosa kalau memaksakan diri untuk bertahan. Mungkin lain kali akan saya tuliskan juga tentang hal ini.


Jadi, 10 tahun kemudian... Seperti inilah hidup saya. Sedang berusaha membangun kehidupan yang lebih baik walaupun sulit. Saya punya deadline sampai bulan Juni untuk merencanakan masa depan, and I can't wait to pursuit my hapiness.

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.