SLIDER

What I'm learning
Tampilkan postingan dengan label What I'm learning. Tampilkan semua postingan

Ramadhan yang tak terlihat

Sabtu, 09 Maret 2024

Ramadhan sebentar lagi tiba. (sambil nyanyi-nyanyi marhaban tiba, marhaban tiba, marhaban tiba) 🎤

Pagi ini saya buka email dan  beberapa subscription mengirim notifikasi blogpost dengan tema yang sama; menyiapkan anak menyambut Ramadan. Keduanya memberi saran dan perspektif yang bagus, seperti biasanya. Tapi kemudian saya mengenang masa-masa kecil dan pengalaman pribadi saya selama Ramadhan, lalu bertanya-tanya dalam hati "hubungan apa yang saya miliki dengan Ramadhan ketika masih kecil? Apa yang membuat bulan ini istimewa bagi saya yang masih anak-anak? Apakah itu mempengaruhi diri saya setelah dewasa?"

Photo by Rachael Gorjestani on Unsplash

Pertanyaan-pertanyaan itu makin menguat karena memang belakangan perbincangan parenting makin simpang siur, terutama di kalangan orang tua muslim. Saya sebagai orang tua apa adanya, selalu jadi penonton setiap ada dialog-dialog mengenai pendidikan agama diangkat disetiap obrolan grup atau komunitas. Bahkan kalau ada postingan Instagram tentang parenting, saya selalu rajin menyimak kolom komentar hanya demi memantau respon para orang tua dan cerita-cerita mereka. Tidak jarang perdebatan mana yang benar dan salah membuat keributan makin menarik disimak.

Tentang Ramadhan, sejak kecil saya tidak pernah merasakan ada penyambutan yang luar biasa di rumah. Justru perayaan menyambut Ramadhan itu saya rasakan sebagai komunitas masyarakat. Tradisi saling mengirim makanan dan menabuh bedug seharian menjelang malam Ramadhan menjadi momen paling saya tunggu setiap tahun. Tidak ada aktivitas membersihkan rumah apalagi dekorasi ulang, justru perhatian kami terpusat pada masjid. Anak-anak akan berkumpul di masjid dan mencuci lantai masjid (literally mencuci pakai deterjen dan main plesetan di dalam masjid) serta membersihkan apapun yang bisa dibersihkan pagi hari menjelang Ramadhan.

Pengalaman puasa pun tidak saya anggap istimewa. Satu hal yang mungkin agak berbeda bagi saya adalah bahwa saya tidak diwajibkan berpuasa oleh orang tua sampai saya mau sendiri berpuasa. Seingat saya, yang agak galak nyuruh saya puasa itu kakak. Saya pernah dimarahi ketika ketahuan makan siang waktu bulan puasa, padahal Mamak dan Bapak saja nggak pernah marah walaupun mereka tahu saya nggak puasa.

Orang tua saya tidak pernah menyuruh saya berpuasa. Mungkin memang agak aneh, berbeda dengan orang tua kebanyakan. Saya tidak pernah diajari berpuasa setengah hari dulu buat latihan dan seterusnya. Tapi saya tetap merasakan pengalaman bangun sahur, berangkat tarawih dan tadarus Al-Qur'an bersama teman-teman di masjid. Setelah dewasa pernah saya bertanya kepada Mamak, kenapa tidak menyuruh saya berpuasa waktu saya masih kecil. Beliau bilang, 'Kan sudah ngaji, kalau sudah paham pasti nanti puasa sendiri. Lagian masih anak-anak kan memang belum wajib.' Sampai hari ini pun saya masih bingung dengan jawaban itu, tapi memang begitulah adanya.

Mamak tidak pernah menyuruh berpuasa, tapi selalu membangunkan saya sahur dan memaksa saya ikut makan sahur. Saya masih ingat diejek oleh teman-teman karena tidak berpuasa dan makan cemilan ketika sedang bermain. Tapi saya yang memang dasarnya cuek tidak menggubris ejekan mereka dan melanjutkan makan sambil pamer. Baru sekitar kelas 4 SD kalau tidak salah ingat, saya mulai puasa karena buku laporan puasa saya yang sebelumnya selalu jadi masalah ketika diserahkan kembali ke wali kelas. 😂

Apakah didikan orang tua saya itu benar? Saya tidak tahu. Faktanya sejak saya memutuskan untuk puasa memang saya tidak pernah batal. Tapi teman-teman saya sepertinya juga mendapatkan pengalaman yang tidak terlalu jauh berbeda dengan saya(?!) 

Photo by Arham on Unsplash

Setelah jadi orang tua, sebenarnya saya ingin mempraktikkan pengalaman saya itu kepada anak-anak tapi tentu saja suami tidak setuju. Suami memutuskan membesarkan anak seperti orang-orang kebanyakan dan saya memilih untuk mematuhinya karena pasti akan sangat berat untuk dia menjadi anomali diantara teman-temannya. Dia nggak akan sanggup. 😆 Tapi sekarang yang menyebalkan adalah kami harus membuat dekorasi menyambut Ramadhan setiap tahun sebagai tugas sekolah. Hal yang nggak pernah kami lakukan ketika kami masih kecil.

Dan yang makin memalaskan adalah alasan dibalik tugas itu; katanya supaya anak-anak menganggap Ramadhan lebih menyenangkan dibanding ulang tahun. Masalahnya, kami nggak pernah merayakan apapun. Kami bukan tipe keluarga yang suka perayaan. Kami adalah keluarga yang santai, dan merayakan keberhasilan atau kebahagiaan dengan berkumpul bersama di kamar dan menceritakan pengalamannya sambil menertawakan kesalahan-kesalahan kecil. Dekorasi-dekorasi yang nantinya akan dihapus lagi kami anggap mubazir, dan bukannya mubazir itu salah satu kebiasaan setan?!

Tapi tentu saja kami tidak bisa mempertahankan prinsip itu karena ada tuntutan dari sekolah. Mau bagaimana lagi. Dan kalau tugas itu tidak kami laksanakan, kemeriahan Ramadhan mungkin benar-benar tidak akan anak-anak rasakan sama sekali karena sekarang di tempat mereka tinggal tidak ada tradisi penyambutan Ramadhan yang bersifat komunal seperti yang saya rasakan ketika masih kecil. Satu-satunya cara untuk membuat mereka merasakan dan melihat Ramadhan adalah dengan mengenalkan Ramadhan di dalam rumah.


Mencatat dengan pena, antara dalil dan sains

Selasa, 21 November 2023

Dengan kemajuan teknologi saat ini, menulis dengan tangan mungkin sudah bukan cara yang menarik lagi dalam belajar. Saya sendiri mulai menyadari bahwa tradisi menulis mulai luntur sejak semakin canggihnya kamera yang tertanam di smartphone. Di setiap kajian yang saya hadiri, makin jarang orang yang mencatat dengan buku dan pena. Kebanyakan hanya memotret apa yang ditampilkan di layar proyektor. Jika ada yang cukup rajin mencatat di aplikasi note di HPnya. Tidak berbeda jauh ketika kajian online, pertanyaan "nanti slidenya akan dishare, kan?" seperti sudah jadi tradisi.

Lebih jauh lagi, sekarang bahkan ada fitur baru -yang sebenarnya tidak terlalu baru juga- yang bisa mengubah suara menjadi tulisan. Pertama kali saya melihat hal seperti itu di film Body of Lies yang dibintangi DiCaprio tahun 2008. Nggak pernah menyangka kalau itu beneran bakal jadi kenyataan. Akhirnya sekarang, alih-alih mengetik dengan jari kita bisa memilih untuk langsung bicara dan gawai akan langsung mengubah suara kita menjadi tulisan.

Tapi seiring dengan perkembangan teknologi catat-mencatat itu, ternyata ada orang-orang yang merasa bahwa tradisi menulis dengan tangan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Lalu dilakukanlah berbagai penelitian untuk mencari tahu apa manfaat menulis dengan tangan dan bagaimana hubungannya dengan latihan kognitif.

Photo by eleni koureas on Unsplash

Dari sebuah artikel saya merangkum 20 manfaat yang akan kita dapatkan ketika menulis atau mencatat ilmu dengan tangan;

1. Menstimulasi area otak yang bertanggungjawab untuk belajar

Menulis catatan dengan tangan melibatkan bagian otak yang disebut Reticular Activating System (Sistem Pengaktifan Retikuler). Ini adalah semacam filter untuk segala sesuatu yang diproses oleh otak kita. Sistem ini menetapkan prioritas yang lebih tinggi untuk materi yang sedang kita fokuskan saat ini, sehingga menghasilkan retensi informasi yang lebih baik. 

2. Mencegah distraksi

Ada alasan mengapa sekarang muncul begitu banyak aplikasi untuk membantu kita fokus. Karena ada terlalu banyak gangguan ketika kita bekerja di depan komputer atau menggunakan smartphone. Dengan menggunakan pena dan kertas, kita meniadakan semua gangguan yang mungkin terjadi sehingga bisa fokus pada pikiran dan materi pelajaran.

Beberapa orang yang rutin mengupload video study vlog di instagram ada yang mengatakan bahwa mereka merekam proses belajar dengan menggunakan HP agar ketika belajar tidak diganggu dengan notifikasi HP sehingga bisa fokus belajar.

3. Peningkatan fungsi kognitif

Ketika masih kecil, kita pasti sering mendengar peribahasa tentang pentingnya belajar yang disamakan seperti pisau yang tidak pernah diasah. Makin lama tidak diasah, otak akan menjadi tumpul seperti pisau yang berkarat. Ya, otak kita tidak akan bertambah tajam seiring bertambahnya usia. Namun seperti halnya kulit yang mengalami penuaan, otak juga mengalaminya. Salah satu cara untuk mencegah atau menunda proses penuaan otak adalah dengan menulis. Berlatih menulis dengan tangan melibatkan keterampilan motorik, meningkatkan proses berpikir, dan meningkatkan daya ingat, yang semuanya memiliki pengaruh positif pada otak secara keseluruhan.

4. Mendapat manfaat meditasi

Penelitian membuktikan bahwa menulis dengan tangan memiliki pengaruh yang mirip dengan meditasi pada otak. Alasannya adalah karena proses menulis meningkatkan tingkat aktivitas saraf di bagian otak tertentu. Maka tidak heran kalau sekarang banyak sekali kelas-kelas atau workshop menulis dengan tujuan healing atau meditasi. Saya sendiri banyak sekali melihat iklan-iklan kelas seperti itu di beranda instagram.

If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. - Steve Jobs-

5. Memperlambat proses berpikir secara positif

Tidak seperti mengetik yang cepat, menulis dengan tangan dapat meningkatkan kesadaran (mindfulness) dan mencegah kita dari sikap terburu-buru dalam berpikir. Hal ini tentu berdampak positif karena memungkinkan otak untuk beristirahat lebih banyak, yang kemudian dapat meningkatkan kreativitas.

6. Integrasi dan kombinasi beberapa fungsi tubuh dan otak

Menulis dengan tangan meningkatkan efisiensi otak. Proses menulis dengan tangan membantu otak mengembangkan spesialisasi fungsional. Proses ini mengintegrasikan pemikiran, kontrol gerakan dan sensasi. Dengan kata lain, beberapa bagian otak terlibat dalam tugas pada saat yang bersamaan.

7. Peningkatan keterampilan motorik

Tulisan tangan yang baik membutuhkan koordinasi mata dan tangan yang khusus. Tidak hanya itu, kebutuhannya pun berbeda-beda untuk setiap huruf dalam alfabet. Oleh karena itu, menulis dengan tangan juga berfungsi sebagai latihan untuk keterampilan motorik yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan yang tepat.

8. Meningkatkan daya ingat

Menulis catatan dengan tangan membantu kita mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang informasi dan mengingatnya kembali. Menggunakan tulisan tangan tidak hanya membantu kita mengingat informasi dengan lebih baik, tetapi juga memungkinkan kita menafsirkannya dengan lebih leluasa, mengungkapkan pemahaman yang lebih dalam tentang materi.

Oleh karena itu, mencatat atau menulis ulang kitab menjadi salah satu tradisi belajar yang masih dijaga di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia sampai hari ini. Karena kekuatan ilmu seorang muslim datang dari kuatnya hafalan, maka menulis dengan tangan menjadi salah satu alat paling utama untuk menjaga ilmu.

I like the process of pencil and paper as opposed to a machine. I think the writing is better when it's done in handwriting. -Nelson DeMille-

9. Meningkatkan rasa percaya diri

At some point, tulisan tangan adalah sebuah tantangan yang menarik. Pada awalnya hanya merupakan tantangan untuk belajar menulis, tapi kemudian kita dapat melatih diri kita untuk menulis lebih cepat atau lebih kaligrafis. Mengatasi tantangan yang berhubungan dengan tulisan tangan akan membuat kita lebih percaya diri, bersama dengan peningkatan memori, daya ingat dan ketangkasan.

10. Meningkatkan kemungkinan mencapai tujuan belajar

Studi menunjukkan bahwa orang yang menuliskan tujuan mereka cenderung memiliki peluang lebih tinggi untuk mencapainya. Salah satu alasannya adalah karena mereka dapat berbagi tujuan yang telah mereka tulis dengan orang lain. Oleh karena itu, mereka memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar untuk benar-benar mencapainya.

11. Membantu proses belajar bahasa

Ada hubungan yang kuat antara bahasa lisan dan tulisan; perkembangan bahasa yang satu mengarah pada peningkatan bahasa yang lain. Menulis dengan tangan berdampak pada proses neurologis yang mendukung kemampuan literasi (termasuk bahasa lisan, menulis, dan membaca) dan membantu penulis untuk mendapatkan keotomatisan dan kefasihan. Oleh karena itu, orang yang belajar bahasa selalu memiliki buku catatan. Dan kalau kita ingin belajar bahasa baru tapi tidak punya buku catatan, kesempatan untuk berhasil dalam belajar sudah turun dengan sendirinya. Jika ingin belajar bahasa baru, siapkan buku catatan!

12. Melibatkan kedua belahan otak (kanan dan kiri)

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tulisan tangan memerlukan kombinasi fungsi kognitif dan keterampilan motorik. Tidak heran jika tulisan tangan melibatkan kedua belahan otak. Sementara mengetik hanya menuntut sedikit sekali fungsi otak, menulis dengan tangan lebih menantang karena menuntut otak kita untuk lebih banyak bekerja.

My handwriting was nothing to write home about, and I had this idea that calligraphy was like taking latin in high school: that it was one of the bricks, the building bricks, that you had to understand about the forms of writing. -Katherine Dunn-

13. Meningkatkan motivasi

Yang satu ini sebagian besar bisa diterapkan pada anak-anak yang belum bisa menulis dengan baik. Ini adalah keterampilan yang perlu dikuasai setiap anak, dan mengetahui bahwa menulis dengan baik adalah hal yang mungkin dilakukan akan membantu mereka tetap termotivasi. Setelah itu, perasaan berhasil akan membantu mereka bertahan dalam tantangan-tantangan selanjutnya.

Sejujurnya saya sedikit kecewa melihat kenyataan saat ini pelajaran menulis tidak mendapat porsi yang cukup banyak di tingkat pendidikan dasar. Qia, yang sekarang sudah kelas 3 tidak pernah tuntas mendapat pelajaran menulis di sekolah. Ketika saya perhatikan Aqsha yang sekarang duduk di kelas 1, pun terulang kembali. Di awal tahun ajaran saya sudah senang ketika guru kelasnya mengatakan akan fokus pada belajar menulis dan membaca. Tapi ternyata setelah masuk bulan September Aqsha sudah mulai belajar mata pelajaran lain dan menulis mulai disingkirkan dari kegiatan belajar sekolah. Sangat berbeda dengan saya dulu yang masih belajar menulis tegak bersambung sampai kelas 4 SD.

14. Meningkatkan disiplin diri

Mempelajari tulisan kursif juga membantu mengembangkan disiplin diri. Setelah berhasil beberapa kali, akan muncul keinginan untuk beralih ke penguasaan keterampilan yang lebih menyeluruh. Pengetahuan untuk memperoleh keterampilan akan menjadi tujuan akhir, dan untuk mencapainya hanya mungkin dilakukan dengan disiplin yang cukup.

15. Lebih banyak kreativitas

Menulis kata-kata di atas kertas memberi kita perasaan yang lebih kuat untuk benar-benar menciptakan sesuatu. Kombinasi dari sifat meditatif, gerakan tanga yang lambat dan stabil membantu tulisan tangan kita meningkatkan kreatifitas.

Handwriting is a spiritual designing, even though it appears by means of a material instrument. -Euclid-

16. Keterampilan komposisi yang lebih baik

Studi yang dilakukan pada siswa sekolah menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan pena dan kertas dapat menulis esai yang lebih panjang dengan kalimat yang lebih lengkap. Tidak mengherankan jika banyak penulis yang memuji tulisan tangan dan lebih memilihnya daripada mengetik naskah mereka.

17. Peningkatan kinerja akademik

Ada hubungan antara prestasi akademik yang baik dan tulisan tangan yang baik. Ketika tulisan siswa terbaca dan terlihat meyakinkan, prestasi akademik mereka biasanya dapat mengarah pada peningkatan bidang lain dalam bentuk pencapaian yang konsisten.

Saya sendiri menemukan anak-anak yang kecerdasannya di atas rata-rata memang biasanya memiliki tulisan tangan yang rapi, meskipun tidak selalu indah. Dan anak-anak dengan tulisan rapi atau indah dengan kemampuan kognitif yang standar bahkan rendah, biasanya adalah anak-anak yang tekun belajar.

18. Mengurangi 'mindless information processing'

Ketika kita mengetik kata-kata di keyboard, kita hanya mengandalkan jari-jari untuk memilih huruf yang diperlukan tanpa proses berpikir yang sebenarnya. Di sisi lain, menulis dengan tangan membuat otak kita terus aktif, mencegah kita melamun dan menyalin informasi tanpa berpikir.

19. Latihan motorik sensorik

Gerakan yang terjadi saat menulis dengan tangan bertindak sebagai latihan motorik sensorik yang luar biasa. Otak menerima umpan balik dari tindakan tubuh, yang membantu membangun hubungan yang lebih kuat antara apa yang sedang ditulis sekarang dan apa yang akan dibaca nanti.

20. Keterampilan problem solving yang lebih baik

Tulisan tangan dianggap sebagai variasi dalam menerjemahkan ide ke dalam gambar (atau sketsa kasar) untuk meningkatkan proses pemecahan masalah. Representasi visual dari pemikiran kita yang dibuat dengan tangan dapat membantu dalam memahami materi.

Photo by Jay-Pee Peña 🇵🇭 on Unsplash

Ketika menyimak kajian tafsir dan tadabbur Surat Al-'Alaq, salah satu yang membuat saya merenung adalah tentang pena. Urgensi mencatat ilmu, bagi saya bukan sesuatu yang perlu dimuraja'ah karena sudah diajarkan sejak kecil dan merupakan kewajiban tidak tertulis ketika masih belajar di pesantren. Tapi saya sempat termenung sebentar ketika ustadz menjelaskan bahwa pena ini tidak bisa digantikan dengan yang lainnya.

Cobalah menulis dengan pena sungguhan, bukan diganti dengan aplikasi catatan di HP, apalagi sekadar screenshot. Jujur, saya dulu sempat berpikir bahwa tidak apa-apa menulis dengan catatan digital. Toh sama-sama mencatat. Ternyata, bahkan menulis tangan dengan tablet masih tidak lebih baik dibanding menulis tangan dengan pena dan kertas.

Jadi tidak heran kalau para ulama tidak meremehkan perintah Rasulullah saw untuk mencatat ilmu. Karena ilmu yang hanya didengar, hati akan sulit untuk mengingatnya. Jika hati sudah lupa, maka ilmu akan hilang perlahan-lahan. Oleh karena itu, penting sekali untuk mencatat ilmu. Bahkan di beberapa pesantren, mencatat ilmu memiliki beberapa persyaratan. Harus dengan tinta tertentu, ditulis dengan cara tertentu hingga jenis penanya pun ditentukan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memaksimalkan hasil belajar. Agar ilmu yang dipelajari semakin tertanam di hati.

Maka saya tidak habis pikir ketika mendapati murid-murid yang tidak punya buku catatan dan merasa cukup dengan hanya buku pegangan yang diberikan sekolah. Saking mentoknya, saya pernah tanyakan kepada mereka apakah tidak ada keinginan untuk punya catatan dari tulisan tangan sendiri. Ternyata mereka bilang tidak pernah mencatat selama sekolah. Sejak kelas 1 SD sampai SMP tidak pernah ada tugas untuk mencatat.

Dulu, mungkin kita menganggap tugas merangkum atau menulis kembali isi buku adalah tugas aneh yang tidak ada manfaatnya. Tapi sekarang lihatlah, anak-anak kita bahkan tidak bisa mengambil intisari dari sebuah kalimat. Tidak bisa menilai mana yang penting dan mana yang hanya merupakan tambahan dalam sebuah buku teks. Lebih jauh lagi, anak-anak seumuran anak saya bahkan tidak diajarkan menulis dengan tuntas, tidak diajarkan membaca sampai tuntas, tapi ujug-ujug punya buku pegangan dengan teks dan narasi-narasi yang panjang. Kurikulum kita benar-benar sudah gila.

Makin jauh memikirkan nasib pendidikan anak-anak kita, makain khawatir saya dengan masa depan generasi yang akan datang. Dulu, orang tua kita akan menyerahkan urusan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah dan mengawal pembentukan karakter dan perangai kita dari rumah. Sekarang, sejujurnya saya sudah sangat kasihan dengan guru sekolah. Betapa besar tanggung jawab yang harus mereka pikul, mendidik anak-anak yang kehilangan orang tua di rumah dan masih harus dituntut tugas-tugas negara yang tidak ada habisnya.

Kalau dibandingkan dengan saya sendiri, rasanya Qia kelas 3 SD saat ini masih belum mengerti apa-apa dibanding saya kelas 3 dulu. Bukan hanya dalam pelajaran, tapi yang paling mendasar itu; menulis dan membaca. Masih banyak yang harus dia kejar. Dan ini sejujurnya membuat saya kadang merasa hopeless dengan sekolah dan biayanya yang selangit itu.

Setelah bikin kelas menulis Arab, lalu...

Minggu, 27 Agustus 2023

Beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan makin berkembangnya berbagai komunitas journaling terutama melalui sosial media, aktifitas menulis dengan tangan mulai kembali diminati. Banyak kursus-kursus handlettering bermunculan. Banyak artikel dan konten-konten di sosial media mengenai manfaat belajar handlettering saya temukan.

Saya pun sempat tertarik dan meminta suami untuk mengajari, tapi ternyata kemampuan saya tidak sebaik dia dalam mengayunkan pena di atas kertas. Meskipun sering dibilang bahwa tulisan tangan saya bagus, tapi sepertinya saya belum siap untuk meluangkan waktu belajar membuat tulisan kursif menggunakan kuas. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak menyibukkan diri dengan keahlian tersebut. Lagipula, kegiatan journaling yang biasa saya lakukan hanya merupakan curhatan biasa -seperti saat ini, misalnya- dan saya tidak pernah merasa bosan meskipun hanya melihat deretan huruf berjejer dalam tumpukan kertas ratusan halaman.

Photo by eleni koureas on Unsplash

Seiring berjalannya waktu, sampailah saya pada satu momen kehidupan bernama 'menjadi guru bahasa Arab'. Pada saat-saat inilah saya mulai mengeksplorasi tentang pendidikan literasi dengan lebih dalam. Saya mulai penasaran bagaimana cara menjelaskan perbedaan bahasa Arab dengan membaca Al-Quran, bagaimana struktur/urutan mengajar bahasa Arab agar mudah dipahami dan akhirnya mencoba mencari-cari pembanding dengan mulai belajar kembali bahasa Mandarin dan Jepang agar saya punya gambaran seperti apa silabus pendidikan bahasa dalam konteks 'akademik' seharusnya diajarkan.

Setelah mengajar beberapa lama, saya mulai menyimpulkan satu hal yang mungkin bisa saja tidak valid tapi saya yakini memiliki peran besar mengapa kebanyakan pendidikan bahasa Arab tidak berhasil diajarkan di sekolah-sekolah; Karena pengajarannya tidak komprehensif. Mungkin ini berlaku juga untuk bahasa Inggris, saya tidak terlalu yakin. Tapi saya merasakan sekali bahwa banyak anak-anak yang bisa berbahasa Arab tapi tidak bisa membaca bahkan menulis kata-kata yang mereka hafal. Dalam konteks ini, saya mengajar di sekolah, yang menurut saya sistem dan tujuan belajarnya pun seharusnya lebih komprehensif ketimbang kursus-kursus bahasa yang biasanya hanya fokus pada beberapa kompetensi tertentu.

Bahkan saya juga merasakan dampak dari tidak mampunya anak-anak menulis arab ini ke dalam pelajaran membaca Al-Qur'an. Seringkali saya sulit menjelaskan tentang sebab-sebab hukum tertentu yang berkaitan dengan kaidah penulisan bahasa Arab, dan ujung-ujungnya saya hanya bisa menjawab, "itu akan kalian pahami kalau kalian mengerti bahasa Arab." Akhirnya saya pun mencoba untuk mewajibkan latihan menulis pada murid halaqoh selama 1 semester. Saya minta mereka menyiapkan satu buku khusus untuk latihan menulis, dan setelah beberapa bulan sudah terlihat bagaimana perbedaan tulisan mereka yang tadinya acakadut menjadi lebih rapi dan teratur.

Apakah hal itu membantu dalam proses belajar bahasanya? Saya belum bisa memastikan karena sekarang sudah tidak mengajar di sekolah lagi. Tapi dari hasil pengamatan terhadap Aqsha -anak saya- setiap kali mau menuliskan huruf di buku dia pasti selalu mengucapkan dulu bacaannya. Dan saya melihat itu sebagai sebuah proses yang sangat baik. Wajar kalau kemudian banyak studi mengatakan bahwa menulis dengan tangan membantu hafalan dan pemahaman. Karena ketika menulis dengan tangan kita membaca dan memproses informasi tersebut dengan lebih pelan sehingga mungkin akan lebih mudah dicerna otak. (?)

Photo by Paradigm Visuals on Unsplash

Sebenarnya awalnya saya ragu untuk membuka kelas menulis arab ini karena saya sadar bahwa tulisan tangan saya tidak indah. Saya juga tidak pernah belajar menulis arab secara formal. Kemampuan menulis arab saya tumbuh bersama kegiatan belajar saya sejak masih di madrasah depan rumah sampai masuk pesantren yang semuanya berlangsung alamiah saja. Kesalahan-kesalahan yang saya lakukan dikoreksi hanya sekilas oleh para guru atau seringkali hanya oleh senior. Jadi, bisa dibilang saya tidak punya kompetensi. Tapi karena saya tidak menemukan ada orang lain yang membuka kelas seperti ini akhirnya saya memberanikan diri.

Belakangan baru saya temukan beberapa iklan kelas menulis, tapi itupun kelas menulis kaligrafi.

Diawal-awal pun saya bingung harus mematok harga berapa untuk kelas ini karena sebenarnya ini adalah ilmu yang sangat basic. Dan sebenarnya bisa dipelajari secara gratis, terutama jika bisa berbahasa Arab. Karena saya menemukan beberapa youtuber yang mengupload konten belajar menulis arab walaupun tidak terstruktur. Orang lain yang saya dapati membuat kelas semisal ini pun memakai bahasa pengantar bahasa Inggris. Jadi mungkin memang orang-orang Indonesia belum banyak yang menyadari pentingnya belajar secara terstruktur sehingga konten-konten belajar menulis arab biasanya hanya seputar kaligrafi. Padahal, bagaimana mau menulis kaligrafi kalau menulis khot standarnya saja tidak bisa?!

Bismillah saja, ternyata sampai saat ini ada 55 orang yang sudah mendaftar kelas ini. Walaupun saya perhatikan sepertinya mereka tidak terlalu berkomitmen dengan proses belajarnya, tapi saya bersyukur setidaknya ada orang-orang yang tertarik untuk mempelajari cara menulis arab dengan benar.

Dan pada akhirnya justru yang paling mendapat benefit dari kelas ini adalah saya. Setelah menamatkan worksheet dan rumusan belajar, saya mulai mengevaluasi kembali proses belajar sebelumnya dan sekarang berencana untuk memperbaikinya. Saya memutuskan untuk membuat level belajar menulis ini lebih banyak dan menjadikannya sebagai platform dalam mendokumentasikan proses belajar saya sendiri. Bagi para peserta tentu saja ini bisa jadi sarana investasi belajar seumur hidup yang menguntungkan, tapi bagi saya ini adalah sebuah tantangan untuk mengupgrade diri sebagai seorang pembelajar. Apalagi setelah membaca buku Al-Muhadditsat, dan menemukan bahwa banyak ulama-ulama wanita di zaman dulu yang memiliki kemampuan kaligrafi, membuat saya makin penasaran dan mulai berniat untuk mempelajarinya lagi.

Photo by Jay-Pee Peña 🇵🇭 on Unsplash

Saya berharap nantinya bisa menguasai khat naskhi dan riq'ah dengan baik, dan peserta belajar yang mendaftar kelas ini bisa mengikuti perkembangan saya. Ada semacam ambisi dalam diri saya untuk mengenalkan kaligrafi arab sebagaimana kaligrafi latin saat ini diminati begitu rupa. Ada kecemburuan dalam diri saya ketika muslim-muslimah begitu semangat belajar kaligrafi latin sementara mereka tidak mampu menulis huruf arab tanpa bantuan. Mestinya menulis arab adalah kemampuan dasar yang dimiliki semua anak muslim, bukan terlupakan dan baru disadari urgensinya ketika mereka sudah menjadi orang tua.

How to be a mindful muslim; beraktifitas dengan sadar

Minggu, 06 Agustus 2023

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
 

Sejak beberapa tahun yang lalu, mungkin tepatnya tahun 2018 saya mulai aware dengan isu mental health. Salah satu sebabnya ketika buku Ikigai mulai populer di Indonesia, dan akun-akun psikologi bertebaran di Instagram. Lalu ibu mertua saya yang mengalami Anxiety Disorder tanpa bisa disembuhkan, membuat saya makin penasaran dengan masalah kesehatan mental.

Macam-macam artikel saya baca --tentu yang ringan saja--, video-video youtube juga saya simak sampai saya mulai mengenal beberapa istilah yang selama ini tidak pernah saya ketahui sama sekali sebagai hal-hal yang berkaitan dengan mental health.

Segala pembahasan mengenai mental health yang berseliweran di sosial media saya baca. Tapi ternyata makin banyak saya membaca, makin aneh saya menangkap pesan mental health awareness yang dikampanyekan orang-orang di sosial media itu. Lalu sampailah masanya saya membaca buku Stop Pretending Start Practicing. Sebuah buku yang berisi transkrip ceramah Syaikh Hamza Yusuf, seorang ulama terkenal di Amerika Serikat yang juga merupakan presiden Zaytuna College, institusi pendidikan tinggi yang jurusan-jurusannya khusus tentang Islamic Knowledge. Jujur saja, institusinya itu menawarkan program-program belajar yang sangat menarik.




Pada salah satu tulisan yang berjudul "Doa sebagai senjata andalan orang mukmin" Syaikh Hamza Yusuf membahas tentang pentingnya doa dalam kehidupan seorang Muslim, serta bagaimana doa dapat menjadi sumber kekuatan dan keberkahan. Beliau juga membahas tentang beberapa doa yang disebutkan dalam Al-Quran dan Hadis, serta bagaimana cara untuk memperdalam hubungan kita dengan Allah melalui doa. Namun ada beberapa kutipan yang sangat membekas dalam pikiran saya, yaitu;

Doa secara harfiah juga adalah cara untuk membangunkan kesadaran orang. Dengan kata lain, Anda memulai tindakan Anda sebagai manusia yang sadar, bukan sebagai pejalan tidur seperti yang terjadi pada kebanyakan orang. (Hlm 111)

Ketika membaca bagian itu, pikiran saya langsung teringat dengan teori mindfulness. Dalam teori psikologi, mindfulness didefinisikan sebagai sebuah moment-to-moment awareness of one's experience without judgement. Sebagian orang mengasosiasikan mindfulness dengan meditasi, walaupun sebenarnya tidak. Mindfulness is a state, not a trait.



Sebagai seorang muslim, seluruh aktifitas keseharian kita hampir selalu diiringi dengan panduan doa dan zikir. Selain itu, hampir setiap amalan pun ada aturannya. Di halaman 113, Syaikh Hamza Yusuf mengatakan;

Kemudian, Nabi membaca doa saat beliau berpakaian. Beliau pun berpakaian dengan cara tersendiri. Beliau mengenakan sirwal (kain) sambil duduk di lantai. Beliau tidak mengenakan sirwal sambil berdiri. Beliau benar-benar duduk dan mengenakannya sambil duduk di lantai. Beliau mengikat serbannya dengan cara tersendiri. Beliau melakukan takwir (memutar) terhadap serbannya dari kanan ke kiri. Sangat menarik. Cara yang sama seperti Anda mengitari Ka'bah. Setiap hal tersebut, tak perlu diragukan lagi, memiliki makna. Tidak perlu diragukan lagi. Sebab, ini adalah proses untuk "bangun tidur" sebagai manusia.

Setiap doa dan adab ini sesungguhnya adalah 'meditasi' khusus bagi orang beriman untuk menjaga kita tetap 'sadar' ketika beramal. Agar setiap aktifitas yang kita lakukan memiliki nilai/makna bahkan pahala. Dan setelah menuntaskan satu bab di buku tersebut, saya sungguh menyayangkan diri sendiri dan umat muslim saat ini yang banyak mencari ketenangan dan makna kehidupan dari berbagai macam teori self-help di luar Islam.

Photo by Nick Page on Unsplash

Dalam artikel di Yaqeen Institute disebutkan bahwa Islam mengenal mindfulness dengan istilah Muraqabah. Sebuah istilah yang berasal dari akar kata yang berarti "melihat, mengamati, memperhatikan dengan penuh perhatian." Sebagai istilah teknis spiritual, muraqabah didefinisikan sebagai "pengetahuan hamba yang konstan dan keyakinan dalam pengawasan Al-Haq, memujiNya, atas kondisi lahiriah dan batiniah seseorang." Artinya, seorang Muslim yang berada dalam keadaan muraqabah berada dalam pengetahuan penuh yang terus menerus bahwa Allah Maha Mengawasi dirinya, baik secara lahir maupun batin. Ini adalah keadaan penuh kesadaran diri yang penuh kewaspadaan dalam hubungan seseorang dengan Allah dalam hati, pikiran, dan tubuh. Dasar dari muraqabah adalah pengetahuan kita bahwa Allah selalu mengawasi kita setiap saat dan, sebagai konsekuensinya, kita mengembangkan perhatian dan kepedulian yang lebih besar terhadap tindakan, pikiran, perasaan, dan kondisi batin kita. Sebagaimana firman Allah, "Ingatlah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam jiwamu, maka bertakwalah kepada-Nya." (QS Al-Baqarah: 235)

Dalam praktik keseharian seorang Muslim, sesungguhnya shalat adalah sarana meditasi terbaik untuk menjaga diri agar tetap berkesadaran penuh dan terkendali. Namun bukan hanya itu, doa, zikir, tilawah Al-Qur'an dan tafakkur juga merupakan sarana-sarana 'meditasi Islam' yang seharusnya menyehatkan bukan hanya pikiran tapi juga jiwa kita.

Mudah-mudahan kita mampu menjadikan shalat, doa dan zikir-zikir kita sebagai sarana 'meditasi' agar hidup kita tetap 'mindfulness' dan tidak tertinggal dengan trend mental health yang sedang berkembang sekarang 😜.


Selera Linguistik

Selasa, 25 Juli 2023

Istilah ini pertama kali saya dengar dari guru Al-Qur'an kami ketika di Ma'had Mahasiswa. Ketika itu, beliau sedang membahas tentang waqaf. Karena sebagian kami belum pernah belajar bahasa Arab sebelumnya, beliau mengatakan bahwa modal paling awal untuk mengenali tempat waqaf bagi orang yang tidak mempunyai pengetahuan bahasa Arab adalah Dzauqul Lughah. Beliau mendefinisikannya dengan 'perasaan berbahasa'. Menghadirkan hati ketika melihat, membaca atau mendengar sebuah kalimat. Tidak hanya menggunakan indera, karena lagipula Al-Qur'an diturunkan untuk hati.

Photo by Debby Hudson on Unsplash

FYI, kami tidak disarankan memakai Al-Qur'an terjemahan atau jenis-jenis Al-Qur'an dengan tools bantuan ketika belajar. Maka saya perhatikan bagaimana teman-teman saya belajar, sampai mereka akhirnya menemukan polanya di mana harus berhenti dan mengulang bacaan. Lalu, saya pun iri. Keirian yang ditertawakan guru kami. Karena saya sudah tahu bahasa Arab dasar, seharusnya tidak perlu iri dengan yang tidak bisa bahasa Arab. Tapi, saya merasa selama ini tidak pernah menggunakan hati ketika tilawah. Hanya berbekal pengetahuan bahasa Arab untuk memahami maknanya. Sementara teman-teman saya, tanpa bisa bahasa Arab justru bisa menghadirkan hatinya hingga mampu mengenali kalimat-kalimatnya dengan tepat.


Sejak saat itu, kehadiran hati menjadi satu hal yang saya wajibkan untuk diri saya. Mungkin karena itulah saya jadi tidak bisa membaca Al-Qur'an dengan cepat, bahkan tidak bisa membaca dengan lirih. Saya perlu bisa mendengar suara saya dengan jelas ketika tilawah, sehingga seringkali malu kalau mau tilawah di tempat ramai seperti kantor atau masjid. Beneran semalu itu, soalnya suara saya bakalan memenuhi ruangan 😅. Kan nggak ahsan ya, masa perempuan suaranya membahana?!


Dua tahun kemudian, saya menjadi guru di sekolah. Saya mendapati seorang murid perempuan, yang lancar membaca Al-Qur'annya, dan tepat waqaf-ibtida'nya. Ketika saya tanya apakah dia  belajar bahasa Arab, dijawabnya ,


'hanya yang di sekolah'. Saya sambung pertanyaan,


'Tapi teman-temanmu yang lain tidak punya ketepatan seperti kamu.'


Sambil nyengir dia menjawab, 'pakai perasaan aja, Bu.'


Jawabannya membuat saya mengingat kembali istilah Dzauqul Lughah. 


Fast forward, ketika mengikuti Akademi Al-Quran, Ustaz Herfi kembali menyebut istilah ini dengan frasa Dzauq al-Lughawi dengan definisi yang sedikit berbeda. Mungkin karena konteks materi yang berbeda, maka definisi yang beliau jelaskan pun berbeda. Kalau tidak salah beliau memberi jawaban atas pertanyaan seorang murid, mengenai kemampuan menikmati i'jaz Al-Qur'an jika seseorang tidak mengerti bahasa Arab. Dan jawaban beliau adalah Dzauq al-Lughawi, ketertarikan pada keindahan bahasa.

Photo by Rawan Yasser on Unsplash

Hari ini, tiba-tiba saya teringat lagi pada istilah ini. Lalu menelusuri Google dengan keyword tersebut, dan sebuah blog menarik perhatian saya. Artikel itu berjudul Keindahan Bahasa Arab. Namun di dalamnya penulis menyampaikan bahwa kini bahasa Arab telah rusak, dan salah satu subjudul dalam artikel itu berjudul Rusaknya Dzauq al-Lughawi, yang ketika saya pindahkan teks itu ke Google Translate ternyata bermakna Selera Linguistik


Salah satu bagian paling menarik perhatian saya adalah tulisan berikut;


لكننا للأسف تكوّن لدينا جيل لا يأبه باللغة ولا يتذوق جمالها ولايفرّق بين المعنى الجميل والتشبيه الرائع وبين الكلمة السخيفة الفارغة التي لامعنى لها لافي العربية ولا حتى في العامية المحكية.


وكان القرآن الكريم يتلى حتى على المشركين فيهتزون لقوته وبلاغته ويسدون أسماعهم حتى لايتأثروا فيه!! حتى قال فيه الوليد بن المغيرة وهو مشرك ( والله إن له لحلاوة، وإن عليه لطلاوة، وإن أسفله لمورق، وإن أعلاه لمثمر، ومايقول هذا بشر )


لكننا اليوم نقرأ القرآن فلا تهتز لسماعه ولايصلنا جمال كلماته وبلاغته وقوة بيانه، لأننا فقدنا الذوق اللغوي يوم أن ابتعدنا عن لغتنا الجميلة لغة القرآن العظيم.


Jika diterjemahkan secara bebas, artinya sebagai berikut;


Sayangnya generasi kita saat ini tidak peduli dengan bahasa, tidak bisa merasakan keindahannya, dan tidak bisa membedakan antara makna yang indah dan perumpamaan yang indah. Dan kalimat-kalimat hampa tanpa makna kini menjadi percakapan sehari-hari.


Padahal Al-Qur'an yang Mulia ketika dibacakan kepada orang-orang musyrik bisa membuat hati mereka terguncang oleh kekuatan dan kefasihannya, sampai-sampai mereka menutup telinga mereka agar tidak terpengaruh olehnya. Hingga Walid bin Mughirah berkata 'Demi Allah, (Al-Qur'an) itu mengandung keindahan. Bagian atasnya berbuah ranum, bagian bawahnya rimbun dengan dedaunan, dan padanya terdapat buah yang manis. Ini bukanlah perkataan manusia.'


Akan tetapi hari ini kita membaca Al-Qur'an, tanpa terguncang demi mendengarnya, tidak memahami keindahan kata-katanya, kefasihan dan kekuatan penjelasannya tidak sampai kepada kita. Karena kita telah kehilangan adz-Dzauq al-Lughawi tepat ketika kita meninggalkan bahasa kita yang indah, bahasa Al-Qur'an.


Saya pikir apa yang dibahas dalam tulisan tersebut juga terjadi pada kita di Indonesia. Beberapa kali saya menyimak Ivan Lanin menyampaikan hal serupa, -walaupun tidak setegas itu- dan sepertinya Nara Bahasa berdiri memang untuk mengembalikan nilai Bahasa Indonesia kepada pemiliknya.


Dalam sebuah postingan, Abun Nada juga pernah membahas tentang pentingnya berbahasa dengan benar dan fasih;


Terus terang, sejak mengetahui bahwa bahasa menjadi salah satu hal paling penting dalam sebuah peradaban saya jadi sangat tertarik pada pembahasannya. Namun sampai saat ini, referensi yang saya dapatkan masih sangat terbatas. Pengalaman saya mengajar sebenarnya sudah menunjukkan bahwa kwalitas generasi saat ini sangat buruk dan kemampuan berbahasa mereka juga memprihatinkan.


Seringkali saya dibuat terkejut ketika anak-anak murid meminta penjelasan atas istilah-istilah yang seharusnya sudah bisa dipahami oleh manusia seusia mereka. Film-film kartun di TV yang dulu berbahasa baku pun sekarang dibuat dengan dibuat dengan percakapan yang lebih kasual. Lebih parah lagi ketika mendengar bagaimana mereka berinteraksi, bahasa yang digunakan benar-benar membuat saya tepok jidat.


Kembali mengutip dari blog di atas, para ulama mengatakan bahwa barangsiapa yang belajar bahasa Arab maka akan melembutkan akhlaqnya. Mungkin, keburukan akhlaq generasi kita saat ini adalah manifestasi dari tidak adanya selera berbahasa dan tidak adanya upaya untuk membangun kecintaan terhadap keindahan bahasa tersebut. Dari muatan pelajaran bahasa Indonesia saja misalnya, anak-anak sekarang tidak lagi diwajibkan menghafal peribahasa-peribahasa lama. Pembahasan karya sastra pun sekadar pengenalan nama sastrawan dan judul-judul karyanya.


Entahlah, mungkin kapan-kapan postingan ini akan berlanjut. Setidaknya, saat ini hanya ini yang ingin saya tulis walaupun ada banyak sampah di kepala. 

10 tahun kemudian

Kamis, 06 April 2023

 


10 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 2 April 2013 saya membuat sebuah tulisan cukup panjang tentang gambaran kehidupan yang saya cita-citakan di usia saat ini. Ketika membaca ulang, saya merasa bersyukur bahwa blog lama itu tidak saya hapus. Saya jadi bisa refleksi sambil introspeksi dari kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan, sekaligus menertawakan kenaifan anak muda berusia 20-an itu. Sungguh, membaca tulisan itu membuat saya sadar bahwa mimpi-mimpi yang saya tuliskan itu benar-benar sebuah harapan kosong yang langsung terlupakan segera setelah dituliskan. Dan sekali lagi saya bersyukur tidak menghapusnya, karena pada tahun 2017 kalau tidak salah saya baru disadarkan kembali tentang cita-cita itu lalu mulai berusaha membangunnya sedikit demi sedikit.


Lalu, 10 tahun kemudian apa yang terjadi?


Nothing, 😂. Well, actually so much happened in the last 10 years in my life. So, saya akan coba mengurai semua kekacauan ini dalam sebuah tulisan yang mudah-mudahan cukup mudah untuk dicerna.


Pada dasarnya, cita-cita saya cukup --cukup buat saya-- sederhana. Saya hanya ingin jadi ibu rumah tangga. Tinggal di rumah yang sederhana, dan punya 4 anak di usia ini. Yang terakhir ini, saya menyerah 😑. Faktanya, Alhamdulillah kami sudah punya rumah walaupun belum ditinggali. Dan malah mengontrak rumah yang jauh lebih baik dari rumah milik kami sendiri. Saya gagal jadi ibu rumah tangga, tapi masih berusaha memperjuangkannya. Dan kami memutuskan untuk bertahan dengan 2 anak terlebih dahulu, karena ternyata memiliki anak membutuhkan energi yang sangat besar. Bukan hanya secara finansial, tanggung jawab menjadi orang tua ternyata tidak sesederhana yang kami pikirkan. Dengan banyaknya tantangan di zaman ini, kami belum yakin bisa membentengi anak-anak kami dengan sebaik-baik bekal. Jadi, Alhamdulillah Qia dan Aqsha sekarang tumbuh jadi anak baik dan pengertian kepada orang tuanya.


Selanjutnya, ternyata saya sama sekali tidak punya kemampuan untuk menjadi manager keluarga 😆. Bahkan kami berdua adalah sama-sama orang yang kacau hidupnya. Tapi tidak apa-apa, selama kami saling memahami InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Hahaha.... Setidaknya cita-cita memiliki perpustakaan pribadi sudah terwujud dan mudah-mudahan bulan Juli nanti saya bisa melancarkan program baca buku intensif untuk bisa mewujudkan program saya mandiri dari rumah 💪.


Dan dengan keadaan saya 10 tahun belakangan ini, sejujurnya saya agak sanksi apakah bisa menularkan hobi membaca buku kepada anak-anak. Karena ternyata curiosity tidak bisa diwariskan. Qia jelas anak yang cerdas, tapi saya belum bisa mengajak dia menyukai buku. Sejauh ini saya baru bisa menunjukkan kepadanya bahwa ibunya suka membaca. Memberi teladan bahwa belajar sangat menyenangkan. Dan mudah-mudahan suatu saat dia mau mengambil buku-buku yang sudah saya belikan dan membacanya, lalu adiknya akan menirunya.


Menulis, membaca dan menghafal Al-Quran akan jadi proyek utama setelah saya resign nanti. Bahkan bukan hanya menulis Al-Quran, saya harus mengajarkan hal lain kepada mereka karena ternyata semua ilmu itu tidak bisa saya limpahkan kepada sekolah. Kadang-kadang saya heran, bagaimana bisa biaya sekolah sekarang sangat mahal tapi tidak bisa mengajarkan hal-hal penting mendasar secara tuntas kepada anak-anak kita? 


Tentang bisnis dari rumah atau membuka toko buku, saya sudah tidak menginginkannya lagi. Saya ingin fokus saja pada komunitas yang sudah saya bangun sejak 2021 dan berharap akan ada benefit yang saya dapatkan nanti. Tentang melanjutkan kuliah, saya pun masih ragu. Keinginan tentu saja masih ada, tapi apakah saya masih membutuhkannya? Karena saya sudah tidak ingin lagi menjadi dosen. Hanya saja, sekarang minat saya malah ingin belajar bahasa. Sejauh ini saya sudah mendapat banyak resource untuk belajar bahasa Arab, Jepang dan Mandarin. Mungkin suatu saat saya bisa menguasai bahasa-bahasa tersebut dan mendapatkan manfaatnya.


Yang terakhir, menjadi guru Al-Quran. Faktanya saya memang menjadi guru Al-Quran sejak lulus kuliah, tapi ternyata setelah 10 tahun menjalaninya saat ini saya sampai pada keputusan bahwa bekerja di sekolah bukanlah ide yang bagus untuk saya. Terlalu banyak kontradiksi yang saya rasakan dan akhirnya malah membuat saya banyak dosa kalau memaksakan diri untuk bertahan. Mungkin lain kali akan saya tuliskan juga tentang hal ini.


Jadi, 10 tahun kemudian... Seperti inilah hidup saya. Sedang berusaha membangun kehidupan yang lebih baik walaupun sulit. Saya punya deadline sampai bulan Juni untuk merencanakan masa depan, and I can't wait to pursuit my hapiness.

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.