SLIDER

You; 3 Desember 2019

Selasa, 31 Agustus 2021

 


// i wrote this letter for myself but i'm sharing this with the hopes
that it might make anyone else feel a little less alone //

Dear you, 

Thank you for trying your best today. 
I know how hard it must be, trying to make sense of it all, especially when time is scurrying past you, and every day you get further and further away from where you actually want to be. But you pulled yourself out from hebetude, and you showed up. Even at 8 pm when it was much easier to throw in the towel and say "day's gone anyway", you got up, splashed some water on your face, and you got down to work. So yes, thank you for trying your best today. 

Thank you for being your own friend today.
You spend a lot of time on your own. Some nights it gets so quiet and unbearably lonely that you cry yourself to sleep. But within this gentle lull of silence, you realised that you now get to hear your own voice. A voice that has been so desperate to reach out, but have been drowned by the noises and clutter of this world. At first, you resisted and fought against it. But one by one, He sent everyone away so that you could be with the only company you need. And with His grace, you started giving yourself the chance to get to know the only person who will ever be with you in every painful, beautiful, nerve-wrecking, bewildering phases of your life. You also will soon realise how dandy you actually are, but you will also acknowledge the human-ness of your own being: that sometimes you mess up and have no idea what in the heavens you are actually doing with your life. But that's cool - because now you have you. You are your own advocate and you are your own cheerleader and when your roots are deep, there is no reason to fear the wind. So thank you for anchoring yourself, and for being your own friend today.  

Thank you for forgiving today. 
There was once you asked, "when will all this pain end?" The hurt swallowed you up like a reckless fire savouring a helpless piece of wood. Today you finally realised the answer; that you choose when the pain ends.  While it is easier said than done, you still know in your heart of hearts that you can never heal and move forward if you don't make the decision today to forgive and let go. So thank you for forgiving today - you forgive not because you condone the act or the behaviour, but you forgive so that you stop destroying your own heart. 

Thank you for choosing gratitude today.
It is so easy to play the victim and blame everyone and everything when nothing is going your way. It's even easier to compare and complain. But "grass will always be greener where you water it", and you've realised that where you focus your energy on, grows. Which is why you've been counting your blessings - big, tiny, small, epic - all of them, regardless the "size". And this powerful act has changed your world. So thank you for not waiting for "joy" to happen before you choose to be grateful. Thank you for choosing gratitude so that it makes you joyful instead. <3

Thank you for speaking to Him today. 
I will leave the conversations you have with Him private, as it should always be, but thank you, for spending a bit of time with the One who loves you most. If you only know how much He misses you when you drift away and get too busy to have these on-on-one conversations with Him. So please don't go too far and chase the mirage of this temporary world and forsake your forever, ok?

Thank you for doing the heartwork today.
The path back to Him is a wonderful one, but some days you can falter and lose your bearings and directions. Not every day will you feel a spiritual connection, let alone a high. Missed prayers, times wasted, bad company - it's a struggle. But heart work is hard work and for every good intention, humble attempt, and sincere seeking of Him, Allah will guide, send help, and reward. Just remember that there is always sweetness in the struggle, so keep striving just like you did today, will you?

Most of all, thank you for choosing you today.
Thank you for getting up today, and choosing to live. Thank you for seizing this temporary gift of life that Allah has bestowed onto you to do something good. Thank you for choosing growth over grief, hope over despair, and trust over contempt. You've been such a warrior because of all the fighting you've done against yourself, but you now know that it's time to finally be your own ally, and I can't wait to see how much your life will completely transform now that you've started choosing yourself. :) So thank you.

-

My dear, it is my own fault that I don't say this enough, but again, from the bottom of my heart, thank you, dear self. I promise to take better care of you and to work hard with you to be on His path, till the day we finally get to return to Him. Amin. 

I love you,
a.



Dari self-confidence sampai senyum tanpa pamrih

Sabtu, 28 Agustus 2021

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
In the name of Allah, the most Gracious, the most Merciful

Membaca salah satu Tuesday Love Letter hari ini, dari topik self-confidence sampai berujung pada urgensi amal tersenyum membuat saya merenung.

Pertama, tentang kepercayaan diri. Bahwa ketika kita sedang berada di lingkungan asing dan keluar dari zona nyaman -mencoba hal-hal baru, misalnya- akan membantu dalam membangun kepercayaan diri. Perasaan merasa sendiri dan tidak mempunyai apapun/siapapun untuk diandalkan akan membuat diri kita terpaksa mengandalkan diri sendiri.

Saya sering sendiri sejak kecil. Pulang sekolah sendiri, sampai di rumah sendiri, yang itu membuat saya tidak ingin menjadi ibu bekerja. Saya iri melihat teman-teman saya pulang sekolah disambut ibunya di rumah. Tapi itu mungkin jadi penyebab paling awal saya terbiasa dengan kesendirian. I'm OK being alone, bahkan akhirnya saya merasa lebih baik ketika sendirian. Dan rasa nyaman terhadap kesendirian itu mungkin yang menyebabkan saya menjadi introvert.

Orang biasanya mengasosiasikan introvert sebagai pemalu. Padahal menurut saya, justru orang-orang introvert itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dulu saya sering sekali merasa aneh melihat teman-teman saya yang batal jalan ke kantin hanya karena tidak ada temannya. 'Kamu yang laper pengen jajan kenapa harus temenmu yang ikut jalan?' Atau merasa geram ketika ada orang terlambat karena menunggu temannya yang lambat, like... HOW??? Kenapa harus rela merendahkan integritas diri hanya karena teman? That doesn't make any sense. Dan orang-orang ini, yang biasanya rame dan so called ekstrovert bilang bahwa kami introvert ini pemalu. Pemalu dari mananya?!

---

Lalu berlanjut kepada pembahasan berikutnya, tentang tersenyum. Dalam suratnya, Aida menceritakan tentang pengalaman muslimah yang travelling ke negeri minoritas muslim. Bagaimana mereka harus menghadapi tatapan-tatapan aneh dari orang-orang di sekitar karena penampilan yang berbeda, itu membuat sangat tidak nyaman dan mau tidak mau berakibat pada munculnya rasa insecure dalam diri mereka.

Aida is such an intelligent woman. Responnya terhadap cerita-cerita tersebut adalah menanyakan, "have you ever tried, just smiling at them?" dan penjelasannya terhadap hal ini membuat saya merenungi lagi keberadaan 'kasta-kasta muslimah' di negeri kita sendiri. Seorang muslimah dengan hijab di negeri orang, tentu merasa terpojok jika mendapat tatapan aneh dari penduduk setempat. Tapi di Indonesia, dulu sekali, menjadi muslimah berjilbab panjang saja bisa mendapat tatapan sangat aneh dari sesama muslimah. Ironi sekali memang. Dan sumber tatapan aneh itu, bukan berasal dari kebencian melainkan dari ketidaktahuan. Mereka mungkin menatap aneh karena jilbab yang kita kenakan adalah konsep yang asing bagi mereka dan apapun yang mereka ketahui tentang jilbab ini hanya terbatas pada apa yang mereka lihat/baca di media. Let's be real, kalau sesama muslim saja banyak yang tidak tahu tentang Islam, bagaimana mungkin kita mengharap non-Muslim untuk mengetahuinya, kan?!

Dan untuk menghadapi tatapan-tatapan aneh itu, you could try smiling. Terdengar sederhana dan mudah, tapi percayalah, it's not. Terutama bagi para jilbaber di masa-masa awal dakwah Islam masih asing di sini. Terlebih lagi dengan sifat alamiah perempuan yang pemalu seperti saya gambarkan di awal tulisan ini.

Photo by Pixabay

Let me tell you a story. Dulu, waktu masih awal-awal kuliah saya sering dianggap sebagai akhwat gampangan di kalangan akhwat-akhwat kampus. Saya memang jarang tersenyum -jaaaaaaaraaaaang sekali- tapi saya selalu mencoba membuka obrolan kepada siapapun, termasuk laki-laki. Dan kalau sudah mengobrol, seringkali secara tidak sadar saya akhirnya tersenyum kepada lawan bicara. Hal yang sangat asing dilihat dari seorang akhwat, karena ketika akhwat lain 'terpaksa' mengobrol mereka selalu ingin segera mengakhiri. Siapa coba yang mau ngobrol sama orang yang nggak mau diajak ngobrol?!

Kalian tidak akan percaya bahwa saya adalah introvert kalau melihat saya sedang mengobrol dengan teman-teman saya di kampus. Tapi kalian akan menganggap saya pembunuh berdarah dingin kalau sedang sendiri. Teman-teman sekelas saya sering mengatakan kalau saya punya 2 kepribadian yang berbeda. 😂

Alasan saya bermuka dua itu adalah karena saya mengamati bahwa ada yang kurang tepat dengan pembawaan para akhwat-akhwat di lingkungan mereka. Akhwat-akhwat berjilbab lebar selalu dianggap sombong dan eksklusif. Saya tidak tahu apakah ini masih berlaku sampai sekarang. Tapi saya melihat itu adalah sesuatu yang tidak benar. Maka saya mencoba to break the stereotypes meskipun itu sangat bertolak belakang dengan kepribadian saya sendiri. Karena kalau mau jujur, kita tidak bisa mengharap stereotype itu hilang jika kita tidak memulai langkah pertama. Kita tidak bisa memaksa orang lain memahami kita jika kita tidak menjelaskan terlebih dahulu kepada mereka. Nyatanya saya hanya butuh beberapa bulan untuk akhirnya bisa kembali kepada kepribadian saya yang asli setelah mengajak teman-teman sekelas saya memahami kepribadian asli saya yang aneh. Setelah mengenal saya, mereka tidak pernah segan lagi mengganggu saya meskipun saya datang ke kampus dengan wajah datar dan menatap sesuatu dengan pandangan sinis. 

Tapi, refleksi paling menarik dari topik ini menurut saya adalah tentang niat tersenyumnya itu sendiri. Ketika tersenyum kepada orang-orang di luar lingkaran pertemanan, saya bisa tulus dan tidak mengharap balasan apa-apa. Tapi seringkali, sadar atau tidak, saya seringkali mengharap balasan jika senyum itu say aarahkan kepada sesama muslimah terutama yang berjilbab lebar. Dan tentu saja saya sering kecewa, karena rata-rata mereka sudah menyetel diri mereka untuk menjaga jarak dengan orang lain. Tentu tidak semuanya, tapi setidaknya kebanyakan yang saya temui dulu begitu, don't know why. Padahal senyum adalah salah satu amalan paling ringan, dan harusnya saya melakukannya bukan sekadar ingin dinilai sebagai orang yang ramah atau demi menjaga image di hadapan manusia. 

Senyumlah engkau hanya kerana Allah
Itulah senyuman bersedekah

I don't know why lagu itu sudah saya dengar sejak lama sekali tapi baru sekarang saya merasa benar-benar memahami maknanya. Jika kamu tersenyum pada orang lain dan dia tidak membalas senyummu, so what?! Kalau kamu mengharapkan balasan senyuman dari orang itu, bisa jadi itu adalah pertanda bahwa kamu belum ikhlas dengan senyummu.

Saya benar-benar harus mulai lebih peduli dengan apa yang saya lakukan dan bagaimana saya merespon hal-hal yang ada diluar kendali daripada sibuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan atau lakukan terhadap saya. Dan lebih banyak tersenyum dengan niat yang benar; melaksanakan perintah Allah dan menebarkan keramahan Islam ke sesama manusia. That's all.

Semua Menang, Semua Senang

Jumat, 20 Agustus 2021

 



Jadi ceritanya beberapa hari yang lalu sekolah Aqsha mengadakan lomba dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam sekaligus Hari Kemerdekaan Indonesia. Lombanya ada 2, nyanyi lagu nasional sama mewarnai. Tentu saja Aqsha ikut lomba mewarnai karena dia nggak bisa nyanyi dan orang tuanya terlalu sibuk untuk nyanyi bareng dia. 

Hasil lomba diumumkan tadi siang, dan seperti yang sudah saya duga Aqsha juara. Juara apa gitu tadi saya lupa. Nah, persoalan juara ini yang mau saya bahas kali ini.

Saya sudah punya masalah dengan konsep perlombaan di lembaga tempat saya mengajar ini sejak dahulu kala. Awalnya dulu waktu saya pertama kali mengalami jadi panitia lomba sekolah dan harus membuat kriteria pemenang yang bejibun. Saya heran kan, "kalau pemenangnya banyak ya nanti menang semua dong?" Muncullah pertanyaan itu. Dan Anda tahu bagaimana jawabannya saudara-saudara?! 'Kita mau mengapresiasi usaha mereka, Bu. Lagipula semua anak itu juara.'

Sampai 2017, seingat saya tradisi lomba ala-ala itu masih ada. Tapi belakangan sepertinya sudah mulai hilang. Terbukti ketika lomba Muharram dan HUT RI kemarin pemenangnya sudah mulai lebih dikurasi. Tapi yang SD dan TK ini yang masih belum berubah. Saya perhatikan, sejak Qia sekolah sampai sekarang Aqsha mengalami lomba masih saja mereka dapat juara.

Yang membuat saya penasaran adalah, darimana orang-orang ini punya pemikiran aneh seperti itu. Saya paham tentang logika 'semua anak adalah juara'. Tapi mbok yo lihat konteksnya. Yang namanya lomba itu memang harus ada yang menang, Qia saja tahu tanpa perlu diajarin soal itu. Kalau bagi rapor tanpa peringkat itu juga saya paham, karena yang dinilai bukan satu atau dua kompetensi. Sementara yang namanya lomba, tentu saja spesifik. Lomba nyanyi, lomba ngaji, lomba nulis, dll. Pesertanya haruslah sudah merasa punya kompetensi untuk mengikutinya. Sehingga ketika ada yang lebih unggul dari dia hal itu akan memacunya untuk berjuang menjadi lebih baik lagi. Lha kalau usaha minimal saja sudah jadi juara terheboh, juara termanis, juara tersopan, kapan dia belajar gagalnya?!

Satu alasan yang pernah saya dengar dari salah satu rekan guru yang sebenarnya juga tidak setuju dengan konsep aneh ini tapi tidak punya daya dan upaya untuk berbuat sesuatu adalah bahwa kasihan kalau anak-anak yang masih kecil harus mengalami hal yang menghancurkan hatinya. Dan alasan itu justru membuat saya semakin heran, sekaligus menyimpulkan sesuatu juga sih. Heran karena saya tidak mengerti bagaimana mungkin orang-orang dengan pengalaman bertahun-tahun menjadi pendidik kok bisa tidak tahu bahwa kalau anak sejak kecil tidak pernah mengalami kegagalan justru dia akan menjadi rentan ketika dewasa. Dan disaat yang bersamaan saya pun jadi maklum kenapa anak-anak Islam Terpadu itu rata-rata daya juangnya rendah sekali. Karena memang jarang mengalami kegagalan. Pokoknya juara. Selama lombanya di lingkungan sendiri pasti menang. Lihatlah anak-anak IT yang ikut lomba di luar lingkungannya, jarang yang menang kan?!

Jadi ya gitu. walaupun diminta untuk mengambil bingkisan juara saya pun tidak terlalu semangat untuk ke sekolah karena saya tahu kualitas Aqsha belum cocok untuk jadi juara. Saya hanya berharap tradisi aneh ini suatu saat akan disadari oleh mereka dan diperbaiki.

Tidak Ada Foto Hari Ini

Rabu, 18 Agustus 2021

 


Salah satu hal yang saya baru sadari setelah menjadi guru adalah bahwa kami juga harus punya keterampilan sebagai fotografer untuk murid-murid. Terutama para wali murid kelas 7, hampir setiap hari akan menanyakan kabar dan minta foto. Kalau sudah dikirimkan foto, akan tanya lagi ke mana anaknya kok tidak terlihat. Contohnya pas tanggal 17 Agustus kemarin. Karena di sekolah ada lomba-lomba, kami bagikan foto-foto dan video kegiatan di grup wali murid. Dan karena niatnya memang buat dokumentasi kegiatan, yang jadi objek ya kegiatannya. Kalaupun ada anak-anak yang ketangkap kamera itu berarti dia sedang beruntung.

Seperti yang sudah diduga, selain ucapan terima kasih dari orang tua yang beruntung menemukan wajah anaknya di foto dan video tersebut, tidak lupa beberapa orang tua lain yang menanyakan keberadaan anaknya. "Kok nggak ada ya, Ustadz?" "Itu lagi ngapain ya, Ustadz?" yang sebenarnya seringkali bikin saya geregetan bacanya.

Gini lho, saya jelasin... Mudah-mudahan bisa jadi bahan renungan untuk teman-teman yang ada rencana mau masukin anaknya ke pesantren atau sekolah berasrama lainnya.

Itu anak ratusan, gurunya 30an kurang. Masa mau difoto anaknya satu-satu buat dikirim ke orangtuanya biar apa sih?! Obat kangen?! Ya kalau nggak mau kangen jangan sekolah di pesantren! Eh, kok jadi kayak nyolot ya malahan?!

Sebenarnya orangtua yang rajin nanyain kabar anaknya itu nggak banyak. Biasanya dari 30 murid, 10 diantaranya punya orangtua yang sangat perhatian. 10 x 2 jadinya 20 karena biasanya orangtua itu terdiri dari Ayah dan Bunda. Anggap saja di sekolah kami ada 6 kelas, jadi sekitar 120 orangtua yang hampir setiap hari menanyakan kabar anaknya dan minta foto. Gimana? Mulai terbayang? 😁

Dan karena bukan mayoritas, maka sebenarnya saya juga tidak punya alasan untuk mengeluh begini. Hanya saja, teman-teman, sebagai penganut ideologi pendidikan konservatif, izinkan saya cerita. Bahwa zaman dulu, orang-orang hebat dari para ulama kita itu nggak ada yang digandoli sama orangtuanya ketika sedang menuntut ilmu. Ini bukan masalah teknologi. Apakah kalau Imam Syafi'i hidup di zaman sekarang ibunya akan ngechat gurunya tiap hari untuk menanyakan kabar anaknya?! For me, it's a part of lack of adab. Dan sebagai orangtua, seharusnya menjadi teladan bagi anaknya untuk menjaga adab terhadap gurunya.

Suami saya dulu kadang-kadang juga mengeluh ke saya kalau sudah mulai banyak menerima pertanyaan meminta foto dan menanyakan kabar. Dan biasanya saya jawab dengan santai, 'berarti nanti kita jangan repotin gurunya Qia dan Aqsha kalau ada foto-foto kegiatan di grup WA.' 

And here He is. Setiap kali gurunya Qia nge-share foto kegiatan, sebelum pandemi, dia selalu ngezoom fotonya satu per satu lalu komentar sendiri, 'segini banyak foto kok nggak ada Qia.' 😏


© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.