SLIDER

Dari self-confidence sampai senyum tanpa pamrih

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
In the name of Allah, the most Gracious, the most Merciful

Membaca salah satu Tuesday Love Letter hari ini, dari topik self-confidence sampai berujung pada urgensi amal tersenyum membuat saya merenung.

Pertama, tentang kepercayaan diri. Bahwa ketika kita sedang berada di lingkungan asing dan keluar dari zona nyaman -mencoba hal-hal baru, misalnya- akan membantu dalam membangun kepercayaan diri. Perasaan merasa sendiri dan tidak mempunyai apapun/siapapun untuk diandalkan akan membuat diri kita terpaksa mengandalkan diri sendiri.

Saya sering sendiri sejak kecil. Pulang sekolah sendiri, sampai di rumah sendiri, yang itu membuat saya tidak ingin menjadi ibu bekerja. Saya iri melihat teman-teman saya pulang sekolah disambut ibunya di rumah. Tapi itu mungkin jadi penyebab paling awal saya terbiasa dengan kesendirian. I'm OK being alone, bahkan akhirnya saya merasa lebih baik ketika sendirian. Dan rasa nyaman terhadap kesendirian itu mungkin yang menyebabkan saya menjadi introvert.

Orang biasanya mengasosiasikan introvert sebagai pemalu. Padahal menurut saya, justru orang-orang introvert itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dulu saya sering sekali merasa aneh melihat teman-teman saya yang batal jalan ke kantin hanya karena tidak ada temannya. 'Kamu yang laper pengen jajan kenapa harus temenmu yang ikut jalan?' Atau merasa geram ketika ada orang terlambat karena menunggu temannya yang lambat, like... HOW??? Kenapa harus rela merendahkan integritas diri hanya karena teman? That doesn't make any sense. Dan orang-orang ini, yang biasanya rame dan so called ekstrovert bilang bahwa kami introvert ini pemalu. Pemalu dari mananya?!

---

Lalu berlanjut kepada pembahasan berikutnya, tentang tersenyum. Dalam suratnya, Aida menceritakan tentang pengalaman muslimah yang travelling ke negeri minoritas muslim. Bagaimana mereka harus menghadapi tatapan-tatapan aneh dari orang-orang di sekitar karena penampilan yang berbeda, itu membuat sangat tidak nyaman dan mau tidak mau berakibat pada munculnya rasa insecure dalam diri mereka.

Aida is such an intelligent woman. Responnya terhadap cerita-cerita tersebut adalah menanyakan, "have you ever tried, just smiling at them?" dan penjelasannya terhadap hal ini membuat saya merenungi lagi keberadaan 'kasta-kasta muslimah' di negeri kita sendiri. Seorang muslimah dengan hijab di negeri orang, tentu merasa terpojok jika mendapat tatapan aneh dari penduduk setempat. Tapi di Indonesia, dulu sekali, menjadi muslimah berjilbab panjang saja bisa mendapat tatapan sangat aneh dari sesama muslimah. Ironi sekali memang. Dan sumber tatapan aneh itu, bukan berasal dari kebencian melainkan dari ketidaktahuan. Mereka mungkin menatap aneh karena jilbab yang kita kenakan adalah konsep yang asing bagi mereka dan apapun yang mereka ketahui tentang jilbab ini hanya terbatas pada apa yang mereka lihat/baca di media. Let's be real, kalau sesama muslim saja banyak yang tidak tahu tentang Islam, bagaimana mungkin kita mengharap non-Muslim untuk mengetahuinya, kan?!

Dan untuk menghadapi tatapan-tatapan aneh itu, you could try smiling. Terdengar sederhana dan mudah, tapi percayalah, it's not. Terutama bagi para jilbaber di masa-masa awal dakwah Islam masih asing di sini. Terlebih lagi dengan sifat alamiah perempuan yang pemalu seperti saya gambarkan di awal tulisan ini.

Photo by Pixabay

Let me tell you a story. Dulu, waktu masih awal-awal kuliah saya sering dianggap sebagai akhwat gampangan di kalangan akhwat-akhwat kampus. Saya memang jarang tersenyum -jaaaaaaaraaaaang sekali- tapi saya selalu mencoba membuka obrolan kepada siapapun, termasuk laki-laki. Dan kalau sudah mengobrol, seringkali secara tidak sadar saya akhirnya tersenyum kepada lawan bicara. Hal yang sangat asing dilihat dari seorang akhwat, karena ketika akhwat lain 'terpaksa' mengobrol mereka selalu ingin segera mengakhiri. Siapa coba yang mau ngobrol sama orang yang nggak mau diajak ngobrol?!

Kalian tidak akan percaya bahwa saya adalah introvert kalau melihat saya sedang mengobrol dengan teman-teman saya di kampus. Tapi kalian akan menganggap saya pembunuh berdarah dingin kalau sedang sendiri. Teman-teman sekelas saya sering mengatakan kalau saya punya 2 kepribadian yang berbeda. 😂

Alasan saya bermuka dua itu adalah karena saya mengamati bahwa ada yang kurang tepat dengan pembawaan para akhwat-akhwat di lingkungan mereka. Akhwat-akhwat berjilbab lebar selalu dianggap sombong dan eksklusif. Saya tidak tahu apakah ini masih berlaku sampai sekarang. Tapi saya melihat itu adalah sesuatu yang tidak benar. Maka saya mencoba to break the stereotypes meskipun itu sangat bertolak belakang dengan kepribadian saya sendiri. Karena kalau mau jujur, kita tidak bisa mengharap stereotype itu hilang jika kita tidak memulai langkah pertama. Kita tidak bisa memaksa orang lain memahami kita jika kita tidak menjelaskan terlebih dahulu kepada mereka. Nyatanya saya hanya butuh beberapa bulan untuk akhirnya bisa kembali kepada kepribadian saya yang asli setelah mengajak teman-teman sekelas saya memahami kepribadian asli saya yang aneh. Setelah mengenal saya, mereka tidak pernah segan lagi mengganggu saya meskipun saya datang ke kampus dengan wajah datar dan menatap sesuatu dengan pandangan sinis. 

Tapi, refleksi paling menarik dari topik ini menurut saya adalah tentang niat tersenyumnya itu sendiri. Ketika tersenyum kepada orang-orang di luar lingkaran pertemanan, saya bisa tulus dan tidak mengharap balasan apa-apa. Tapi seringkali, sadar atau tidak, saya seringkali mengharap balasan jika senyum itu say aarahkan kepada sesama muslimah terutama yang berjilbab lebar. Dan tentu saja saya sering kecewa, karena rata-rata mereka sudah menyetel diri mereka untuk menjaga jarak dengan orang lain. Tentu tidak semuanya, tapi setidaknya kebanyakan yang saya temui dulu begitu, don't know why. Padahal senyum adalah salah satu amalan paling ringan, dan harusnya saya melakukannya bukan sekadar ingin dinilai sebagai orang yang ramah atau demi menjaga image di hadapan manusia. 

Senyumlah engkau hanya kerana Allah
Itulah senyuman bersedekah

I don't know why lagu itu sudah saya dengar sejak lama sekali tapi baru sekarang saya merasa benar-benar memahami maknanya. Jika kamu tersenyum pada orang lain dan dia tidak membalas senyummu, so what?! Kalau kamu mengharapkan balasan senyuman dari orang itu, bisa jadi itu adalah pertanda bahwa kamu belum ikhlas dengan senyummu.

Saya benar-benar harus mulai lebih peduli dengan apa yang saya lakukan dan bagaimana saya merespon hal-hal yang ada diluar kendali daripada sibuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan atau lakukan terhadap saya. Dan lebih banyak tersenyum dengan niat yang benar; melaksanakan perintah Allah dan menebarkan keramahan Islam ke sesama manusia. That's all.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.