Senja; antara 'Cemas' & 'Pulang"
Bagi saya, matahari terbenam adalah waktu untuk 'pulang'. Dulu ketika masih kecil, saya biasa duduk di bangku beton, tepat di bendungan kecil saluran irigasi yang mengalir di belakang rumah saya. Gambaran pemandangan yang saya lihat setiap hari kurang lebih seperti di foto ini. Rasannya damai dan tenang. Kalau air irigasinya sedang mengalir, suasananya jadi lebih nyaman. Saya bisa duduk sendiri sampai matahari benar-benar tenggelam dan azan berkumandang dari masjid depan rumah. Kadang, kakak saya akan duduk bersama saya. Kadang juga, bahkan sekeluarga kami duduk sambil ngobrol ringan tentang kehidupan.
![]() |
Photo by Rejaul Karim on Unsplash |
Sampai saatnya saya meninggalkan rumah selama sekian tahun dengan segala dramanya. Lalu ketika kembali, tempat itulah yang saya kunjungi pertama kali. Bersama dengan kakak, kami kembali memandang matahari sore sambil berdiskusi soal kuliah dan kehidupan di kota. Lalu kami menyadari, matahari jatuh tidak di tempat biasanya, agak jauh bergeser ke arah kiri. Lalu tercetus, "Jangan-jangan nanti ketika matahari benar-benar terbit dari barat, tidak ada yang menyadarinya. Karena selama ini diam-diam dia bergeser, sedikit-demi sedikit."
Tapi postingan kali ini bukan membahas tentang kiamat, tapi pada senja yang kemerah-merahan. Pekan lalu ketika diskusi tadabbur Surat Al-Insyiqaq, saya menemukan satu istilah baru yang disampaikan Mbak Trias; Sunset Anxiety.
Ternyata bagi sebagian orang, waktu senja justru menjadi titik refleksi yang menyakitkan. Waktu senja bisa terasa seperti 'kekosongan tak terisi', menandai masuknya malam yang sepi lalu akhirnya membuat mereka menjadi overthinking.
Hal ini bisa disebabkan karena ada tekanan dalam pikiran, "Hari sudah selesai, --apa yang sudah aku capai?" Bagi orang yang tinggal sendiri atau minim interaksi, senja berarti pintu menuju malam yang sepi dan sunyi. Dan biasanya, pikiran tentang masa depan atau kematian sering muncul menjelang malam saat aktivitas fisik menurun.
Saya lalu melakukan sedikit riset tentang istilah 'yang baru saya dengar' ini. Ternyata, sunset anxiety bukan diagnosis klinis melainkan sebuah istilah untuk perasaan cemas saat matahari terbenam di ujung hari.
Keadaan dimana cahaya alami yang berkurang bisa menyebabkan orang memiliki lebih sedikit energi dan motivasi. Kedua hal itu dapat menyebabkan perasaan cemas. Perasaan cemas atau ketidaknyamanan yang dirasakan karena orang memiliki lebih banyak waktu dan lebih sedikit cara untuk mengisinya setelah matahari terbenam. Secara psikologis, perubahan suasana hati itu bisa juga disebabkan oleh perubahan hormone. Produksi melatonin kita sensitif terhadap cahaya, dan sinyal-sinyal dalam tubuh kita bisa berubah secara tiba-tiba jika cahaya itu meredup. Perubahan ini dapat memicu perubahan suasana hati dan meningkatkan rasa lelah, karena ketika hari menjadi lebih gelap, tubuh bersiap untuk tidur. Sebagaimana yang tertulis dalam Surat An-Naba' ayat 10;
وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ لِبَاسًۭا
Malam yang terasa 'menyelimuti' ternyata terasa berat bagi sebagian orang.
Dalam artikel lain, saya menemukan sebab lain yang memicu sunset anxiety adalah perasaan telah 'menyia-nyiakan waktu'. Ketika seseorang merasa masih banyak yang harus dia kerjakan sementara hari sudah hamper berakhir, saat itulah dia merasa cemas. Lebih lengkap tentang ini bisa dibaca dalam buku Toxic Productivity: Reclaim Your Time and Emotional Energy in a World That Always Demands More. Keadaan yang dalam buku itu disebut sebagai 'productivity guilt' terjadi karena kita memiliki ekspektasi berlebihan untuk dicapai dalam jangka waktu tertentu. Ketika kita gagal memenuhinya, kita merasa bersalah. Dan hal ini tidak selalu berhubungan dengan pekerjaan: Pola pikir toxic productivity ini juga bisa mencakup tekanan untuk menghabiskan waktu liburan dengan 'bijak' dan 'memanfaatkan' malam hari, liburan, atau akhir pekan 'dengan benar'.
Anticipatory anxiety --ketika kita mengkhawatirkan masa depan-- juga bisa berperan. Ketika hari berakhir, kita teringat tentang segala sesuatu yang belum atau tidak bisa kita lakukan dan kita tahu bahwa besok akan dimulai dengan tugas-tugasnya sendiri, sehingga hal-hal yang belum kita selesaikan akan terasa lebih berat.
Alasan lain yang cukup menarik bagi saya adalah waktu. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa kita yang seringkali sibuk, fokus untuk menyelesaikan tugas dan menjalani hari. Tidak ada waktu untuk kecemasan merayap masuk dalam hari itu. Ini seperti sebuah lemari; kita memasukkan semua pikiran dan perasaan ke dalamnya dan melupakannya. Mereka --pikiran dan perasaan itu-- tidak pernah hilang. Kita hanya tidak memprosesnya. Sehingga Ketika kita akhirnya bisa beristirahat dari kesibukan saat matahari terbenam, rasa cemas akan muncul dengan sendirinya. Masa-masa saat tidak ada kewajiban ini juga membawa ketidakpastian tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya, dan jika kita merasa lelah setelah seharian bekerja keras, kita mungkin tidak memiliki sisa-sisa energi kognitif untuk memutuskan apa yang harus dibuat untuk makan malam atau sekadar berjalan-jalan santai.
Senja sebagai tempat pulang
Seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini, bagi saya senja berarti waktu untuk 'pulang'. Pulang dari segala kepenatan yang sudah saya alami sepanjang hari. Mungkin karena saya adalah introvert, menyendiri di dalam rumah bagi saya adalah ketenangan. Ditambah dengan pengalaman masa kecil yang selalu mendapat hadiah pemandangan indah setiap hari di waktu senja, maka matahari terbenam bagi saya menjadi seperti sebuah kebebasan. Rasanya damai ketika menyadari bahwa ini adalah saatnya pulang ke tempat di mana saya seharusnya berada. “Akhirnya hari ini selesai. Aku bisa pulang. Aku bisa tenang.”
Namun saya mendapat perspektif lain ketika mengkaji Surat Al-Insyiqaq, terutama di ayat 16;
فَلَآ أُقْسِمُ بِٱلشَّفَقِ
Allah bersumpah demi merahnya waktu senja. Ayat ini menunjukkan kemegahan langit saat senja sebagai tanda kekuasaan Allah dan transisi besar dalam siklus harian. Senja adalah titik antara terang dan gelap, yang sering dikaitkan dengan keterjagaan hati, kesadaran, dan perubahan. Memang tidak disampaikan dalam kajian tafsir yang saya simak, tapi saya merasa bahwa waktu senja itu adalah simbol kematian. Syafaq bagi saya adalah simbol kefanaan. Waktu yang sebentar lagi lenyap. Sama seperti kehidupan di dunia, yang akan mulai menuju akhirnya ketika sakaratul maut menjemput.
Dan jika kita berusaha lebih positif, dalam kalender hijriah waktu maghrib adalah awal dari hari baru, bukan akhir. Maka jika kita sudah memasuki waktu maghrib, sesungguhnya kita sudah menjalani hari yang baru. Sudah saatnya move on, lupakan semua yang membuat hati kita penat di hari ini. Kita persiapkan diri untuk awal yang baru. Kematian pun sama, merupakan awal yang baru bagi jiwa kita. Kematian hanyalah akhir dari dunia, dan memang bukan dunia tempat kita seharusnya. Dan lagi, sebagaimana langit senja yang selalu memberikan keindahan di setiap harinya, kematian juga merupakan proses transisi yang indah. Oleh karena itu, banyak salafus shalih begitu merindukannya.
Senja sebagai pengingat
Waktu senja menjadi salah satu waktu yang utama untuk berdoa, terutama pada hari-hari tertentu. Pada hari biasa, kita disarankan untuk berzikir, mengingat Allah di saat-saat menjelang matahari terbenam. Ini bisa jadi salah satu cara untuk meredakan anxiety yang mungkin kalian alami.
Menulis jurnal juga bisa jadi pilihan tambahan. Setelah berzikir, cobalah tulis 3 hal yang kalian syukuri di hari itu. Mungkin bukan hal besar. Sesederhana menu makan yang rasanya enak, atau kelancaran dalam menjalankan tugas, atau sekadar senyum dari teman-teman kerja. Terlalu banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita setiap hari, hingga nikmat untuk terlahir/bangun kembali di pagi hari sesungguhnya adalah nikmat yang sangat layak kita syukuri. Lebih bagus lagi jika menulis jurnal ini dilakukan sambil menikmati matahari terbenam.
Jika harimu tidak produktif, atau berantakan semua, ceritakan kepada Allah. Mungkin kamu bukan tipe yang bisa menulis cerita, maka bicaralah padaNya dalam diam. Allah Maha Mendengar, bahkan jika hanya hatimu yang merintih Ia bisa mendengarnya. Atau jika tidak terjadi apa-apa di hari itu, maka tidak apa-apa. Hari yang 'terasa kosong' tetap punya makna: mungkin itu hari istirahat jiwa.
***
Semakin sibuk kita di dunia, semakin terhalang kita dari alam tempat belajar, sepertinya kebutuhan untuk memperlambat laju langkah kita jadi semakin mendesak. Dalam lambatnya senja, ini momen untuk bertanya “apa yang sedang aku kejar?” bukan hanya “apa yang sudah hilang?”
Tidak ada komentar
Posting Komentar