SLIDER

Catatan Baca: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu (bag. 1)

Sabtu, 18 Januari 2025

Struktur buku ini cukup menarik, meski di bagian mukaddimah membahas seputar keutamaan ilmu dan kemuliaan menuntut ilmu namun bagian inti bukunya langsung menyinggung tentang faktor-faktor penghalang dalam menuntut ilmu. Ini seperti berlawanan dengan kitab-kitab tentang adab menuntut ilmu yang sudah ada lebih dulu. 

Buku ini kami pilih untuk menjadi pengisi spesial season Quran Study Rahmah Study Club karena kami memahami bahwa urgensi mempelajari adab dalam menuntut ilmu itu tidak terhindarkan tapi nyatanya banyak dari kami yang seringkali masih abai dengannya, termasuk saya sendiri. Dan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya yang perlu untuk dikaji ulang dari waktu ke waktu, ilmu tentang adab menuntut ilmu tentunya menjadi cabang ilmu yang paling butuh untuk selalu dimuraja'ah karena akan menjadi pondasi bagi kokohnya ilmu lain yang ingin dibangun.

Sudah nggak asing kan dengan fakta tentang buruknya adab manusia zaman sekarang? Jangankan anak-anak, orang tuanya juga sering ada yang kelakuannya bikin geleng-geleng kepala. Dan virus kurang adab ini secara pribadi juga saya rasakan dalam diri. Baca buku ini mudah-mudahan bisa memberikan dampak baik untuk saya.

Rangkuman Bacaan

Apa yang membuat aktifitas belajar jadi nggak bermanfaat?

1. Niat yang salah

"Tidak ada satu urusan yang lebih berat bagiku untuk aku obati selain daripada niat." Sufyan Ats-Tsauri

Kalau Sufyan Ats-Tsauri seorang imam besar agama ini saja mengatakan seperti itu, apa lagi saya? Saya adalah orang yang paling mudah kotor hatinya. Makanya seringkali khawatir kalau mau nambah ilmu. Lho?! Nah, ini salah satu penyakit tambahan lagi. Karena saya ini mudah sekali merasa sombong, saya jadi takut kalau misalnya nanti saya jadi berilmu lalu merasa lebih mulia dibanding orang lain. Sampai saat ini saya masih berusaha membenahi penyakit yang satu ini.

Tapi terlepas dari keadaan pribadi saya, kondisi yang disampaikan di dalam buku ini menunjukkan bahwa niat yang salah dalam menuntut ilmu itu bukan barang langka. Kemuliaan yang dijanjikan bagi para ahli ilmu tentu menjadi godaan yang sulit diabaikan. Dan disebutkan dengan jelas, niat ingin tampil, ingin terkenal, atau ingin menguasai majelis adalah beberapa niat salah yang sering menjangkiti para penuntut ilmu. Padahal harusnya menuntut ilmu itu kita niatkan untuk mendapatkan ridho Allah, karena menuntut ilmu adalah perintahNya. 

Berkaitan dengan niat ini, sebagai guru saya sering banget menemukan dan/atau mendengar berbagai alasan anak-anak murid sekarang ketika ditanya tujuan mereka belajar atau sekolah. Sebagian besar mereka (atau setidaknya murid-murid saya) nggak punya big reason yang membuat mereka ingin tampil maksimal di sekolah. Rata-rata mereka sekolah hanya karena orang tua mereka yang menyuruh untuk sekolah, atau ada yang bilang, 'kalo nggak sekolah emang mau ngapain?'. Deep in their hearts mereka menganggap bahwa sekolah nggak punya manfaat signifikan dalam hidup mereka, tapi tetap mereka tempuh karena ya hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Pada titik ekstrem satunya, anak-anak yang bersemangat sekolah punya tujuan yang sangat pragmatis untuk masa depannya, sampai-sampai mereka tanpa sadar menggadaikan ilmu agamanya untuk tujuan yang sangat remeh. Menghafal Al-Qur'an misalnya, banyak sekali yang berjuang demi menjadi hafidz Quran karena ingin bisa masuk PTN favorit tanpa tes atau melalui jalur undangan. Rasanya sulit sekali untuk membenahi cara berpikir pragmatis ini karena hal itu juga sudah ditanamkan oleh orang tua dan masyarakat sekitar mereka.

2. Ingin terkenal dan cari popularitas

Menjadi pintar dan cerdas sepertinya sudah nggak istimewa lagi di zaman sekarang ini. Jadi mungkin poin ini nggak terlalu relevan, tapi bukan berarti nggak ada orang yang belajar untuk tujuan itu. Masih mirip dengan poin pertama, seseorang yang belajar atau menuntut ilmu dengan tujuan selain Allah berarti sudah salah niat.

"Sesuatu yang paling terakhir hilang dari orang-orang yang shalih adalah, keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk tampil." Imam Asy-Syathibi

Membaca penjelasan tentang poin ini membuat saya melihat pada posisi selebritas saat ini, terutama jika dibandingkan dengan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal (hal. 6) "...sungguh aku telah diuji dengan popularitas." Betapa terhormat dan mulianya posisi ahli ilmu saat itu sehingga menjadi ahli ilmu kedudukannya seperti selebritas atau pejabat. 

Pada circle tertentu saya masih menjumpai orang-orang yang mengidolakan ulama dengan berlebih-lebihan, dan hal itu pasti godaan yang sangat berat bagi para ulama tersebut. Dan sebagai penuntut ilmu, saya berharap dan berdoa agar tidak terjebak pada ambiguitas antara ghuluw dan penghormatan kepada ahli ilmu.

3. Lalai menghadiri majelis ilmu

Seandainya kebaikan yang ada dalam majelis-majelis ilmu tersebut hanya berupa ketenangan bagi yang menghadirinya, dan rahmat Allah ta'ala yang meliputi mereka, tentulah cukup dua hal itu saja sebagai pendorong untuk menghadirinya.

Padahal kebaikan dari majelis ilmu itu jauh lebih besar dari dua hal itu; ilmu yang bermanfaat yang bisa memberikan ganjaran pahala dan balasan surga di akhirat.

Masih teringat sangat jelas dalam ingatan saya ketika suatu hari ngobrol dengan beberapa teman, yang ternyata mereka menganggap bahwa pertemuan pekanan di forum liqo' itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan ilmiyah mereka. Saya sangat terkejut saat itu, karena ternyata bahkan bagi mereka yang sudah terbiasa 'ngaji' sejak lama, kesadaran untuk menuntut ilmu syar'i itu belum tumbuh dan benar-benar merasa cukup dengan keadaan mereka itu. Lalu ketika ada hal-hal yang mereka belum ketahui, mereka hanya mendiskusikannya di grup-grup chat sesama mereka dan sama sekali nggak terpikir untuk mencarinya melalui kajian ilmiyah. Saya benar-benar nggak habis pikir ketika suatu hari teman saya menanyakan tentang penjelasan hadits, lalu teman lainnya membalas dengan screenshot jawaban dari Gemini. Like, don't you think of asking a real scholar, sis? Apalagi tema yang ditanyakan adalah hadits arba'in, tema yang sangat banyak bertebaran kajiannya di Youtube.

Saat itu saya langsung memberikan rekomendari kajian yang bisa disimak agar mereka nggak salah paham dan malah membuat kesimpulan sendiri. Tapi yang saya sadari adalah, ternyata kelalaian dalam menghadiri majelis ilmu itu bukan hanya ketika kita tidak memperhatikan dengan saksama ketika bermajelis tapi juga ketika merasa tidak butuh dengan majelis ilmu itu sendiri. Seperti kata Selir Gyokuyou, 'Ignorance is a sin'.

4. Beralasan dengan banyaknya kesibukan

Bagian ini adalah kritikan paling keras untuk diri saya yang selalu merasa kehabisan waktu untuk belajar. To be fair, saya memang kehilangan waktu juga untuk bersenang-senang. Video-video Youtube yang biasanya bisa saya tonton langsung segera setelah tayang, sekarang jadi saya simpan dulu ke 'Tonton Nanti' dan jumlahnya sudah sampai ratusan. Sesibuk itu sampai-sampai rasanya burn out terus setiap hari.

Saya berharap nggak jadi salah satu dari orang-orang yang selalu beralasan untuk menghindari belajar. Terus, sekarang jadi teringat sama hafalan yang sudah lama nggak dimuroja'ah.

5. Menyia-nyiakan kesempatan belajar di waktu kecil

Sudah mafhum banget, tiap orang dewasa yang baru sadar dan berhijrah pasti menyesali masa mudanya. Bahkan saya yang beruntung bisa mendapat pendidikan agama dengan baik waktu masih kecil pun, menyesal karena nggak memanfaatkan masa-masa itu dengan baik dan malah memilih jalan lain.

6. Enggan mencari ilmu

Kalau tadi ada yang lalai dari majelis ilmu karena ignorance, ada juga ternyata orang-orang yang memang males aja buat belajar. Buat mereka belajar ilmu agama itu capek, dan bukan tugas mereka. Belajar agama itu tugasnya ustadz, atau orang yang ingin jadi ustadz. Ada juga orang yang paham urgensinya tapi nggak siap dengan kesulitannya, akhirnya jadi bikin-bikin alasan; umur udah nggak bersahabat, undah nggak ada waktu, dll, dsb.

Satu kutipan yang benar-benar membuat saya refleksi adalah ini;

Sangat disayangkan, banyak aktifis muda yang marah apabila larangan Allah ta'ala dilanggar, dan menangis karena larangan Allah ta'ala dilecehkan, namun mereka meremehkan berbagai kemaksiatan yang lainnya seperti ghibah, namimah, dan lainnya. Mereka tidak melaksanakan shalat seperti yang dicontohkan Nabi saw, mereka tidak berwudhu seperti wudhunya Rasulullah saw...;

Dan masih senada dengan poin nomor 3 tadi, poin ini membuat kondisi umat Islam dan bahkan yang mendaku sebagai aktifis dakwahnya menjadi semakin terpuruk. Banyak sekali saya temui orang-orang yang semangat berdakwahnya luar biasa tapi ternyata nggak punya pemahaman ilmu syar'i bahkan yang dasar sekalipun. Tentu ini disebabkan banyak hal dan bukan di sini tempatnya untuk dibahas, tapi ini jadi pengingat untuk diri saya bahwa keengganan dalam mencari ilmu berdampak sangat besar bukan hanya untuk diri saya sendiri tapi juga umat Islam secara keseluruhan. Kebangkitan Islam nggak bisa tercapai kalau saya sebagai pribadi muslim nggak mau atau nggak peduli dengan peran saya sebagai hamba Allah. Karena peran inilah yang paling penting sebelum peran-peran lainnya. Maka, menuntut ilmu itu menjadi keharusan dan kebutuhan untuk saya supaya upaya saya dalam mendakwahkan Islam dilandasi dengan pemahaman yang benar. Bukan sekadar ikut-ikutan orang.

7. Menilai baik diri sendiri

Ini saya banget, sih! Entah gimana ya ngilangin perasaan ini. Sejauh ini cara yang saya lakukan adalah dengan menghindari ketenaran dan mengurangi tampil di hadapan banyak orang. Kalaupun tampil, bicaranya nggak boleh kebanyakan. Tapi setiap kali ketemu orang yang dipuji-puji orang padahal aslinya biasa saja, saya selalu mbatin, 'kok begitu doang kalian udah kagum sih?!' Innalillah...

8. Tidak mengamalkan ilmu

"...tidak mengamalkan ilmu merupakan sebab utama tidak berkahnya ilmu."

Salah satu hal yang saya perhatikan dari poin ini adalah, tentang zikir. Sudah lama sekali rasanya saya nggak mengamalkan zikir dan doa-doa kecil itu. Mestinya harus saya amalkan lagi. Dan saya berdoa semoga saya bisa mengamalkan setiap ilmu yang saya pelajari.

"... adapun zakat ilmu adalah dengan mengamalkan dan mengajarkannya...."

9. Putus asa dan rendah diri

10. Sikap menunda-nunda

Saya yang suka nunggu momen tertentu untuk memulai kebaikan, saya yang suka nunggu tahun baru untuk mulai kebiasaan baik, saya yang nunggu hari tertentu untuk melakukan sesuatu. Pokoknya ini saya yang suka menunda-nunda.

Photo by Nik on Unsplash

Kesempatan yang sering disia-siakan oleh sebagian penuntut ilmu

1. Ziarah (saling mengunjungi)

Yang saya ingat dari bacaan ini mungkin nggak ada kaitannya, tapi menurut saya juga penting. Di podcast ini, beliau menyebutkan bahwa sistem pesantren itu bagus banget dan highlightnya beliau bilang, 'kita tuh nggak bisa sholeh sendirian'. Saya yang seintrovert ini pun percaya kalau saya nggak bikin RSC, mungkin saya nggak akan bersemangat untuk belajar. Saya bersyukur hidup di zaman ini di mana untuk berkumpul dalam majelis nggak perlu sampai meninggalkan rumah.

2. Sibuk dengan urusan yang tidak terlalu penting

"...jika Anda memiliki kemampuan lebih, janganlah Anda menghalangi diri Anda untuk melakukan sesuatu yang baik, dan memanfaatkan waktu. Sungguh umur kita sangat pendek dan ilmu itu sangat luas."

"Jika kita mau mengatur dan menjaga waktu dari berbagai kesibukan, agar selalu bermanfaat lalu mengatur dan menjaga waktu dari berbagai kesibukan, agar selalu bermanfaat lalu mengatur waktu untuk membaca dan menghafal, niscaya kita akan mendapatkan kelezatan dan menisnya ilmu. Kita akan merasa rindu untuk banyak membaca dan membahas tentang ilmu."

3. Kaset, CD, atau rekaman kajian

Ketidakpedulian kita dalam mengatur waktu, lebih tepatnya tidak pandainya kita dalam menempatkan prioritas membuat kita gagal dalam mengambil manfaat dari kemudahan yang kita miliki hari ini. Dengan menulis 'kita' ini maksudnya saya.

4. Waktu antara adzan dan iqomah

Contoh yang ditulis pada bagian ini kembali menyadarkan saya tentang betapa berharganya waktu mustajab yang satu ini dan betapa kita seringkali mengabaikannya. Saya sendiri biasa menunggu waktu shalat jamaah dengan tilawah. Tapi seperti yang ditulis di buku ini, saya lebih sering lalai karena hadir ke jama'ah terlambat sehingga nggak punya waktu untuk memaksimalkan kesempatan baik ini.

5. Membaca secara bebas

Saya sebagai pembaca novel, dengan egois akan mengatakan bahwa novel-novel yang saya baca itu ada manfaatnya. Jadi, kalaupun saya nggak baca buku pelajaran juga nggak pa-pa 😅.

Adab Penuntut Ilmu

Yang paling dibutuhkan dalam menuntut ilmu sebelum yang lainnya adalah memurnikan niat hanya untuk Allah. Menuntut ilmu juga membutuhkan pengorbanan; baik yang terkait dengan pengorbanan jasmani, waktu, jiwa atau pun harta.

Bahkan dengan segala kemudahan yang kita miliki saat ini, menuntut ilmu tetap membutuhkan usaha yang luar biasa terutama usaha untuk mengalahkan nafsu dan syahwat. Bagi saya dan tentu sebagian orang lain, membeli buku adalah pengeluaran tersier yang selalu berada di prioritas akhir dibanding makan dan lainnya.Tapi dengan adanya ulama-ulama yang tersebar, mestinya kita masih tetap bisa mengambil manfaat dari mereka. Internet, adalah alat yang sangat baik untuk bisa menjangkau kemanfaatan ilmu di zaman sekarang.

1. Niat yang ikhlas

2. Antusias untuk menghadiri berbagai majelis ilmu

Semangat ini tentunya adalah karunia dari Allah, maka jangan pernah lupa untuk meminta kepadaNya untuk diberikan semangat dalam menuntut ilmu dan bersyukurlah karena Allah telah membuat hati ini cenderung kepada ilmu.

3. Bersegera mendatangi majelis ilmu di awal waktu dan tidak terlambat

Sepertinya ini adalah kritik keras untuk para penuntut ilmu, apalagi di Indonesia yang budayanya lebih menghargai orang yang terlambat dibanding yang tepat waktu. Saking parahnya, saya sering merasa kurang nyaman untuk hadir di awal waktu karena yang lain pasti terlambat.

4. Mencari tahu pelajaran yang tertinggal

Jika di pondok ada istilah menambal kitab. Dulu ketika sekolah pun kita terbiasa bertanya kepada teman jika sekiranya kita nggak hadir di hari sebelumnya. Tapi sekarang, budaya ini sepertinya sudah hilang. 11 tahun jadi guru, saya belum pernah mendapati murid yang mengerjakan tugas yang dia tinggalkan ketika absen. Hal ini benar-benar mengkhawatirkan. Murid-murid yang nggak merasa rugi ketika meninggalkan kelas, nggak peduli dengan kewajibannya, apa yang bisa kita harapkan darinya?

5. Mencatat faedah-faedah yang penting pada buku cetak

Tradisi ini yang sedang kami coba bangun di RSC. Bukan hanya membaca, tapi juga menuliskan manfaat yang kami dapatkan dari buku tersebut. Dan yang sekarang ini juga sedang saya coba lakukan.

Pesan lain yang ada di bagian ini juga mengingatkan saya pada buku How to Read a Book karya Mortimer J. Adler. Melihat dan membaca informasi buku secara garis besar atau inspectional reading, membantu kita mengetahui tema besar apa yang dibahas dalam buku tersebut sehingga kita bisa menentukan apakah kita perlu membacanya segera atau bisa ditunda untuk lain waktu. Beberapa tahun belakangan kebiasaan anotasi mulai populer, dan hal itu juga adalah salah satu poin yang disarankan di buku How to Read a Book. Kalau kalian punya kesempatan untuk membaca buku itu, saya sangat rekomendasikan karena di dalamnya ada banyak sekali manfaat yang bisa membantu aktifitas membaca kita menjadi lebih menarik.

6. Diam ketika pelajaran disampaikan, dan tidak menyibukkan diri dengan hal yang lain

7. Menghadiri berbagai majelis ilmu yang memungkinkan untuk dihadiri

Sungguh Allah ta'ala telah banyak memberikan kita nikmat berupa sarana-sarana yang dapat memudahkan kita untuk menuntut ilmu, baik berupa buku-buku maupun kaset-kaset. Namun itu semua tidak dapat menggantikan secara persis kehadiran kita di dalam majelis ilmu; karena dengan menghadiri majelis ilmu itu ada ganjaran yang tidak didapatkan dengan membaca buku, ataupun mendengarkan kaset.

8. Tidak mudah putus asa

Apa yang paling sering membuat saya putus asa? Hafalan Quran dan Nahwu-Sharaf. 😓

9. Tidak memotong pembicaraan guru

10. Beradab dalam bertanya

Dua jenis pertanyaan yang nggak perlu ditanyakan kepada guru ketika sedang berada dalam majelis; pertanyaan yang kita sudah tahu jawabannya, dan pertanyaan yang menunjukkan kebodohan kita. Untuk yang pertama ini saya cukup sering menyaksikannya, bahkan salah satunya baru saja kejadian pekan lalu. Salah seorang teman saya bertanya kepada guru kami tentang hukum sebuah perbuatan dan dia mengatakan bahwa ustadz A berpendapat begini. Lalu saya langsung menimpali, "Kalau sudah tahu ustadz A mengatakan begini, mengapa masih bertanya kepada Umi?"

Teman saya ini mengatakan bahwa dia hanya ingin mendengar pendapat lain, terutama dari guru kami tersebut. Apakah beliau memiliki pendapat yang berbeda, ataukah sama. Tapi itu bukanlah adab yang baik karena seolah-olah kita ingin mengadu pendapat satu guru dengan yang lain. Bahkan banyak diantara jenis pertanyaan yang dilontarkan dengan cara yang sama ini, kebanyakan penanya hanya ingin mencari guru yang memiliki jawaban yang sesuai dengan hawa nafsunya. 

Untuk jenis yang kedua memang agak sulit untuk dikenali. Tapi dari pengalaman mengajar, saya sering menemukan murid-murid yang jengkel jika salah satu teman mereka menanyakan hal yang baru saja saya jelaskan. Mungkin itu jadi salah satu contoh, karena menanyakan hal yang baru saja dijelaskan guru itu menunjukkan bahwa kita kurang memperhatikan selama pelajaran berlangsung, yang tentu sama saja seperti menyia-nyiakan waktu. Dan dengan menanyakannya, kita bukan hanya menyia-nyiakan waktu kita sendiri tapi juga waktu teman-teman kita yang sedang belajar bersama kita. Dan dulu di pesantren, kami jarang sekali bertanya kepada guru ketika di kelas, namun biasanya pertanyaan-pertanyaan itu kami lontarkan kepada sesama teman ketika mudzakarah bersama. Jika ternyata kami sama-sama tidak menemukan jawaban, maka barulah kami akan tanyakan kepada guru di pertemuan berikutnya.

11. Meneladani akhlak guru

Sejujurnya ini adalah bagian paling mengerikan buat saya sebagai seorang guru. Sebagai murid, saya selalu memperhatikan bagaimana guru saya membawakan pelajaran di dalam majelis. Dan saya sangat sadar bahwa anak-anak murid saya juga pasti melakukan hal yang sama kepada saya. Sementara saya ini adalah orang paling random di sekolah 😂. Semoga Allah jaga saya dan menyembunyikan semua keburukan saya di hadapan murid-murid saya.

As Long As The Lemon Trees Grow; the right book at the right time

As Long As The Lemon Trees Grow; the right book at the right time

Sabtu, 04 Januari 2025

Saya sudah tahu buku ini sejak pertama rilis dan langsung penasaran. Tapi karena ada yang bilang kalau bagusan versi aslinya, jadi saya agak menahan diri untuk beli sampai akhirnya sempat kehilangan keinginan untuk baca. Kayak udah terlambat gitu lho, sudah lewat 4 tahun sejak bukunya rilis. Untungnya bulan Oktober kemarin saya ngide bikin bookclub ala-ala dengan beberapa murid. Waktu saya cerita sedikit sinopsis buku ini, anak-anak langsung setuju untuk baca bareng buku ini selama bulan November.

Sayangnya saya nggak bisa tepat waktu nuntasin baca bukunya. Tentu saja karena banyak kerjaan dan memang kalau baca buku bahasa Inggris saya butuh effort lebih banyak dibanding baca buku bahasa Indonesia. Eh, tergantung juga sih. Soalnya baca The Apothecary Diaries bisa sehari tamat satu jilid 😅. Saya baca buku ini pelan-pelan, diantara alasannya adalah karena tema bukunya yang lumayan berat dan awalnya saya ingin buat reading vlog untuk buku ini. Ternyata saya kehilangan mood di tengah jalan, jadi saya tulis saja reviewnya di sini. Mungkin nanti saya tetap buat video reviewnya setelah menulis ini.

Author : Zoulfa Katouh
Published : 2022
Genre : Historical Fiction, Romance, YA
Seeting : Homs, Syria, 2011s

As Long As The Lemon Trees Grow. Mengapa judulnya seperti itu? Salah seorang teman ada yang pernah bertanya kepada saya. Sejujurnya itu juga yang saya pikirkan ketika pertama kali melihat buku ini berseliweran di YouTube. Lalu setelah saya telusuri, ternyata buah lemon adalah salah satu komoditas utama di Suriah. Saya baca di sini, betapa buah lemon memiliki arti yang mendalam bagi orang Arab secara umum. Mungkin seperti buah zaitun bagi orang Palestina. Buah lemon bukan hanya melambangkan kebersamaan keluarga, tapi juga persistensi dan keteguhan harapan mereka.

Dan tema inilah yang ingin diangkat oleh Zoulfa Katouh dalam novelnya. Bercerita tentang Salama, gadis berusia 18 tahun yang seharusnya masih menjadi mahasiswa farmasi, tapi terpaksa membantu sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit di daerahnya karena perang saudara yang terjadi. Salama tinggal berdua dengan kakak ipar yang juga teman baiknya, Layla yang sedang hamil 7 bulan. Kakak dan Ayahnya ditangkap oleh tentara Suriah karena 'memberontak'. Ibunya meninggal tidak lama setelah itu karena bom, dan dia juga hampir saja kehilangan Layla belum lama ini.

Salama harus mengambil pilihan yang sulit. Di satu sisi dia ingin menyelamatkan Layla dan calon keponakannya dengan mencari suaka ke Eropa, tapi di sisi lain jumlah tenaga medis makin menipis dan dia tidak bisa mengabaikan tanggung jawab itu begitu saja. Di sepanjang novel ini kita akan mengikuti pergulatan batin Salama dan bagaimana dia menjalani hari-harinya dengan segala kekacauan yang terjadi di negerinya.

Bagian romantis dari novel ini dimulai setelah Kenan muncul, seorang pemuda 19 tahun yang ingin menjadi bagian dari revolusi. Kehadiran Kenan membuat Salama semakin berani menghadapi ketakutan dan traumanya sambil menumbuhkan harapan dalam hatinya.

Di As Long As The Lemon Trees Grow, kesehatan mental merupakan dasar bagi alur cerita dan karakter. Salama yang masih muda dan awalnya adalah anak bungsu dari keluarga bahagia, harus kehilangan keluarga secara mendadak dan tragis. Hal itu membuatnya trauma dan akhirnya muncullah sosok Khawf yang mungkin adalah produk dari PTSDnya. Bukan hanya Salama, karakter lain juga digambarkan mengalami trauma seperti Yusuf yang kesulitas bicara.

Kehadiran Khawf dalam novel mau tidak mau mengingatkan saya pada karakter Xiu Bai-jiu di film Wu Xia. Setiap kali Khawf muncul, caranya hadir yang mengusik Salama selalu tergambar seperti adegan di film itu. Kalau kalian belum nonton, saya rekomendasikan banget film ini😉. Jika mau dianalisis lebih jauh, sepertinya sosok seperti Khawf bisa dijadikan kajian tersendiri, apakah dia adalah simbolis dari rasa takut seperti yang disampaikan Salama? Khawf berarti 'takut' dalam bahasa Arab, btw. Pun kalau akan dikategorikan sebagai antagonis, sesungguhnya dia yang selalu membimbing Salama untuk menghadapi kehilangan yang dirasakan Salama selama perang.

Awalnya saya pikir karakter Kenan sama sekali nggak perlu ada di novel ini. Dan saya sempat mengira kehadirannya dibuat hanya untuk menarik pembaca saja. Tapi ternyata setelah membaca sampai sekitar 2/3 bagian buku, barulah saya sadar kalau Kenan memiliki peran vital dalam memulihkan kestabilan emosi Salama dan hubungan mereka memberikan harapan di tengah kehancuran kota Homs dan Suriah.

Sepanjang baca novel ini, saya selalu terbayang video-video tentang Palestina yang sering muncul di beranda sosial media. Saya bersyukur Zoulfa Katouh menulis novel ini dan akhirnya laris di pasaran, karena sejujurnya saya juga sudah mulai lupa pada konflik Suriah sejak pertama kali mendengar beritanya ketika masih kuliah dulu. Membaca novel ini di akhir tahun 2024, sepertinya jadi takdir baik karena nggak lama setelah itu terdengar kabar bahwa Bassar Al-Assad pergi meninggalkan Suriah. Saat ini rakyat Suriah sedang bersuka cita merayakan kemerdekaan mereka atas penjajahan pemimpinnya sendiri.

Meskipun beberapa kali nangis pada adegan-adegan sedih, ada beberapa hal yang membuat saya sering gemas ketika membaca novel ini. Pertama, karena terlalu fokus pada Salama, saya jadi nggak punya gambaran utuh tentang karakter-karakter pendukung lainnya. Sejujurnya saya ingin tahu, ada berapa dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit itu. Karena sepanjang novel yang disebut namanya hanya Dr Ziad dan Nour, setiap kali adegan di rumah sakit saya selalu membayangkan petugas yang berada di sana hanya mereka bertiga. Beberapa kali juga peristiwa dalam sehari diceritakan begitu cepat, sehingga saya merasa Salama yang baru saja berangkat ke rumah sakit di halaman sekian lalu sudah pulang di halaman sebelahnya.

Kedua, saya ingin kenal lebih jauh dengan karakter Am. Pencitraan yang saya terima dari sudut pandang Salama membuat Am tampak seperti sosok yang pragmatis. Tapi entah mengapa saya merasa Am nggak seperti itu. Saya ingin tahu kenapa dia seperti enggan setiap kali Salama menanyakan kabar anaknya. Apakah Am nggak kenal Layla? Apakah benar dia nggak mau meninggalkan Suriah karena bisnis yang dijalaninya itu menghasilkan uang? Apa maksudnya ketika bilang ke Salama, "Don't think about asking for forgiveness." By the way, lewat novel ini juga saya jadi punya gambaran yang jelas tentang bisnis serupa di Palestina. Kalau tidak salah, beberapa tahun lalu Narasi pernah melakukan liputan tentang bisnis ini di channel YouTube mereka.

Ada banyak Quotes yang saya tandai di buku ini, terutama yang berkaitan dengan harapan dan menemukan kebahagiaan. Salah satunya adalah ini,

You deserve to be happy. You deserve to be happy here. Because if you won't try it in Syria, then you won't try in Germany.

Adegan ini semacam pengingat bagi saya tentang alasan orang-orang di Palestina selalu tetap terlihat bahagia dan teguh pendiriannya. Bahwa semenyeramkan apapun kondisi yang mereka hadapi, harus tetap ada usaha untuk mengisi hati agar tetap bersyukur dan menikmati kehidupan yang sementara. Karena pada akhirnya, kematian akan menjemput semua orang. Bagi mereka di Suriah, jika tidak mati karena perang, mungkin mati karena kelaparan.

Meskipun dikategorikan sebagai YA, novel in melampaui batasan usia. Menyentuh hati dan pikiran pembaca dari segala usia. Novel ini bisa menjadi pengingat bahwa tema-tema tentang ketangguhan, harapan dan kegigihan meraih masa depan yang lebih baik adalah nilai-nilai yang dimiliki semua orang tidak peduli dimanapun mereka berada dan dalam kondisi apapun kehidupan mereka. Wajar saja kalau buku ini banyak direkomendasikan, karena memang mampu menyentuh dan menumbuhkan pemahaman serta empati bagi banyak orang yang terkena dampak perang. Karena buku ini, banyak orang di dunia mengenal Suriah dan memahami keganasan yang terjadi di sana. Karena buku ini, saya jadi teringat kembali kepada Suriah dan mendokannya.

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.