SLIDER

Setelah bikin kelas menulis Arab, lalu...

Beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan makin berkembangnya berbagai komunitas journaling terutama melalui sosial media, aktifitas menulis dengan tangan mulai kembali diminati. Banyak kursus-kursus handlettering bermunculan. Banyak artikel dan konten-konten di sosial media mengenai manfaat belajar handlettering saya temukan.

Saya pun sempat tertarik dan meminta suami untuk mengajari, tapi ternyata kemampuan saya tidak sebaik dia dalam mengayunkan pena di atas kertas. Meskipun sering dibilang bahwa tulisan tangan saya bagus, tapi sepertinya saya belum siap untuk meluangkan waktu belajar membuat tulisan kursif menggunakan kuas. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak menyibukkan diri dengan keahlian tersebut. Lagipula, kegiatan journaling yang biasa saya lakukan hanya merupakan curhatan biasa -seperti saat ini, misalnya- dan saya tidak pernah merasa bosan meskipun hanya melihat deretan huruf berjejer dalam tumpukan kertas ratusan halaman.

Photo by eleni koureas on Unsplash

Seiring berjalannya waktu, sampailah saya pada satu momen kehidupan bernama 'menjadi guru bahasa Arab'. Pada saat-saat inilah saya mulai mengeksplorasi tentang pendidikan literasi dengan lebih dalam. Saya mulai penasaran bagaimana cara menjelaskan perbedaan bahasa Arab dengan membaca Al-Quran, bagaimana struktur/urutan mengajar bahasa Arab agar mudah dipahami dan akhirnya mencoba mencari-cari pembanding dengan mulai belajar kembali bahasa Mandarin dan Jepang agar saya punya gambaran seperti apa silabus pendidikan bahasa dalam konteks 'akademik' seharusnya diajarkan.

Setelah mengajar beberapa lama, saya mulai menyimpulkan satu hal yang mungkin bisa saja tidak valid tapi saya yakini memiliki peran besar mengapa kebanyakan pendidikan bahasa Arab tidak berhasil diajarkan di sekolah-sekolah; Karena pengajarannya tidak komprehensif. Mungkin ini berlaku juga untuk bahasa Inggris, saya tidak terlalu yakin. Tapi saya merasakan sekali bahwa banyak anak-anak yang bisa berbahasa Arab tapi tidak bisa membaca bahkan menulis kata-kata yang mereka hafal. Dalam konteks ini, saya mengajar di sekolah, yang menurut saya sistem dan tujuan belajarnya pun seharusnya lebih komprehensif ketimbang kursus-kursus bahasa yang biasanya hanya fokus pada beberapa kompetensi tertentu.

Bahkan saya juga merasakan dampak dari tidak mampunya anak-anak menulis arab ini ke dalam pelajaran membaca Al-Qur'an. Seringkali saya sulit menjelaskan tentang sebab-sebab hukum tertentu yang berkaitan dengan kaidah penulisan bahasa Arab, dan ujung-ujungnya saya hanya bisa menjawab, "itu akan kalian pahami kalau kalian mengerti bahasa Arab." Akhirnya saya pun mencoba untuk mewajibkan latihan menulis pada murid halaqoh selama 1 semester. Saya minta mereka menyiapkan satu buku khusus untuk latihan menulis, dan setelah beberapa bulan sudah terlihat bagaimana perbedaan tulisan mereka yang tadinya acakadut menjadi lebih rapi dan teratur.

Apakah hal itu membantu dalam proses belajar bahasanya? Saya belum bisa memastikan karena sekarang sudah tidak mengajar di sekolah lagi. Tapi dari hasil pengamatan terhadap Aqsha -anak saya- setiap kali mau menuliskan huruf di buku dia pasti selalu mengucapkan dulu bacaannya. Dan saya melihat itu sebagai sebuah proses yang sangat baik. Wajar kalau kemudian banyak studi mengatakan bahwa menulis dengan tangan membantu hafalan dan pemahaman. Karena ketika menulis dengan tangan kita membaca dan memproses informasi tersebut dengan lebih pelan sehingga mungkin akan lebih mudah dicerna otak. (?)

Photo by Paradigm Visuals on Unsplash

Sebenarnya awalnya saya ragu untuk membuka kelas menulis arab ini karena saya sadar bahwa tulisan tangan saya tidak indah. Saya juga tidak pernah belajar menulis arab secara formal. Kemampuan menulis arab saya tumbuh bersama kegiatan belajar saya sejak masih di madrasah depan rumah sampai masuk pesantren yang semuanya berlangsung alamiah saja. Kesalahan-kesalahan yang saya lakukan dikoreksi hanya sekilas oleh para guru atau seringkali hanya oleh senior. Jadi, bisa dibilang saya tidak punya kompetensi. Tapi karena saya tidak menemukan ada orang lain yang membuka kelas seperti ini akhirnya saya memberanikan diri.

Belakangan baru saya temukan beberapa iklan kelas menulis, tapi itupun kelas menulis kaligrafi.

Diawal-awal pun saya bingung harus mematok harga berapa untuk kelas ini karena sebenarnya ini adalah ilmu yang sangat basic. Dan sebenarnya bisa dipelajari secara gratis, terutama jika bisa berbahasa Arab. Karena saya menemukan beberapa youtuber yang mengupload konten belajar menulis arab walaupun tidak terstruktur. Orang lain yang saya dapati membuat kelas semisal ini pun memakai bahasa pengantar bahasa Inggris. Jadi mungkin memang orang-orang Indonesia belum banyak yang menyadari pentingnya belajar secara terstruktur sehingga konten-konten belajar menulis arab biasanya hanya seputar kaligrafi. Padahal, bagaimana mau menulis kaligrafi kalau menulis khot standarnya saja tidak bisa?!

Bismillah saja, ternyata sampai saat ini ada 55 orang yang sudah mendaftar kelas ini. Walaupun saya perhatikan sepertinya mereka tidak terlalu berkomitmen dengan proses belajarnya, tapi saya bersyukur setidaknya ada orang-orang yang tertarik untuk mempelajari cara menulis arab dengan benar.

Dan pada akhirnya justru yang paling mendapat benefit dari kelas ini adalah saya. Setelah menamatkan worksheet dan rumusan belajar, saya mulai mengevaluasi kembali proses belajar sebelumnya dan sekarang berencana untuk memperbaikinya. Saya memutuskan untuk membuat level belajar menulis ini lebih banyak dan menjadikannya sebagai platform dalam mendokumentasikan proses belajar saya sendiri. Bagi para peserta tentu saja ini bisa jadi sarana investasi belajar seumur hidup yang menguntungkan, tapi bagi saya ini adalah sebuah tantangan untuk mengupgrade diri sebagai seorang pembelajar. Apalagi setelah membaca buku Al-Muhadditsat, dan menemukan bahwa banyak ulama-ulama wanita di zaman dulu yang memiliki kemampuan kaligrafi, membuat saya makin penasaran dan mulai berniat untuk mempelajarinya lagi.

Photo by Jay-Pee Peña 🇵🇭 on Unsplash

Saya berharap nantinya bisa menguasai khat naskhi dan riq'ah dengan baik, dan peserta belajar yang mendaftar kelas ini bisa mengikuti perkembangan saya. Ada semacam ambisi dalam diri saya untuk mengenalkan kaligrafi arab sebagaimana kaligrafi latin saat ini diminati begitu rupa. Ada kecemburuan dalam diri saya ketika muslim-muslimah begitu semangat belajar kaligrafi latin sementara mereka tidak mampu menulis huruf arab tanpa bantuan. Mestinya menulis arab adalah kemampuan dasar yang dimiliki semua anak muslim, bukan terlupakan dan baru disadari urgensinya ketika mereka sudah menjadi orang tua.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.