Tips memilih pesantren untuk anak dari alumni pesantren
Meskipun tips memilih pesantren banyak bertebaran di internet, iklan-iklan sekolah Islam/pesantren juga muncul terus di media sosial, sepertinya memang rekomendasi dan review dari mulut ke mulut masih tetap jadi pertimbangan terbesar orang memilih sekolah, atau apapun lah! Dulu waktu masih jadi guru, biasanya kalau sudah masa-masa pendaftaran siswa baru, atau seputaran bulan September-Desember teman-teman lama akan menghubungi saya meminta rekomendasi sekolah atau pesantren. Kebanyakan sih buat keponakannya, dan mereka minta saran saya bukan hanya karena saya guru pesantren sekaligus alumni pesantren tapi juga karena saya paling brutal kalau sudah berpendapat. Nggak mikir jaga perasaan, pokoknya apa adanya saja. That's why, saya nggak pernah merekomendasikan sekolah tempat saya bekerja kepada mereka. Karena menurut saya, tempat kerja saya bukanlah pesantren. Kita akan bahas itu nanti.
Photo by Nicate Lee on Unsplash |
Setiap kali diminta rekomendasi, saya pasti akan menanyakan dulu tujuan orang tua menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren. Hal ini penting, karena ternyata sekarang definisi pesantren itu sudah jauh bergeser dari yang dulu -setidaknya saya pahami-. Dulu seingat saya, yang namanya pesantren itu pasti santrinya pinter ngaji, bisa memimpin doa dan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang agama. Karena dulu jenis-jenis pesantren juga hanya ada 2, pesantren biasa (yang belajar ilmu agama seluruhnya) dan pesantren khusus (yang khusus menghafal Al-Qur'an, khusus belajar kaligrafi, dll). Yang jenis kedua ini pun nggak terlalu populer, tapi justru sekarang pesantren tahfidz jadi yang paling ramai dicari orang. Oh iya, pesantren modern menurut saya masuk ke kategori pertama, karena pada dasarnya di sana ya belajar ilmu agama juga. Hanya saja pemakaian bahasa sehari-harinya bukan bahasa daerah, tapi bahasa Arab dan Inggris. Gontor jadi salah satu contohnya.
Ternyata seiring berjalannya waktu, setelah dewasa saya baru tahu kalau ada jenis pesantren yang ketiga. Namanya Islamic Boarding School. Keren banget nggah tuh, namanya? Kalau secara etimologi sih sebenarnya nggak terlalu berbeda dengan pondok pesantren. Tapi ternyata praktiknya beda jauh, saudara-saudara. Maka dari itu, sangat penting untuk Anda mengetahui perbedaan itu. Supaya nggak salah paham, menyangka anaknya akan belajar agama dengan baik padahal sekolahnya 'hanya' di Islamic Boarding School.
Jadi, apa tujuan memasukkan anak ke 'so-called' pesantren?
Pesantren sebagai bengkel anak rasanya bukan lagi hal baru yang perlu kita bicarakan, ya? Saya juga nggak merasa perlu melakukan klarifikasi apa-apa tentang hal itu karena nyatanya saya adalah salah satu produk rusak hasil reparasi pesantren 😂. Maka, menurut saya nggak pa-pa banget kalau orang tua menjadikan pesantren sebagai salah satu ikhtiar dalam memperbaiki keadaan anaknya. Dalam kasus ini, apapun pesantren yang dipilih nggak akan terlalu berpengaruh, mau ke pesantren modern, tradisional, tahfidz atau Islamic Boarding School sama saja. Karena tujuan utamanya adalah pada perbaikan akhlak dan budi pekerti, dan itu sepertinya jadi satu-satunya kesamaan dari semua jenis pesantren yang ada sekarang. Tapi yang perlu dan pentiiiing sekali diingat oleh orang tua adalah, anak bukan barang. Pada akhirnya yang memperbaiki hati dan jiwa anak kita adalah Allah. Jadi kalau ternyata setelah masuk pesantren anak kita masih begitu-begitu saja, bukan berarti pesantrennya yang nggak becus mendidik anak. Bisa jadi memang belum waktunya kesadaran itu muncul pada diri anak kita. Atau karena memang Anda nggak layak punya anak bener. #eh Saya sendiri keluar pesantren di usia 15 tahun dan baru mulai bener di usia 18.
Yang sangat penting dimiliki oleh orang tua yang punya tujuan memperbaiki anaknya adalah; berdoa teruuuus! Karena pendidikan sudah diserahkan kepada pesantren, maka tugas Anda adalah mendoakan. Siapa yang didoakan? Bukan cuma anak, tapi juga guru-gurunya. Jangan pelit dan mengerdilkan dahsyatnya doa. Kan Allah sesuai prasangka hambanya?!
Tapi kalau sudah punya tujuan yang jelas tentang kemampuan seperti apa yang diharapkan dari anak, bisa deh mulai dipilih jenis pesantren yang cocok untuk mengembangkan kompetensinya. Model-model orang tua visioner nih cocok banget diajak ngobrol beginian. Coba diajak ngobrol dulu anaknya. Cita-citanya mau jadi apa, atau minimal sukanya belajar apa. Kalau anaknya pemalu macam anak saya, berarti orang tua yang harus lebih perhatian dikit. Dilihat selama ini anaknya paling suka pas lagi belajar apa. Atau kalau Anda adalah orang tua yang beruntung itu, yang punya anak super penurut, setidaknya tetap minta pendapatnya tentang masa depan yang dia inginkan, atau cari tahu bakat dan keterampilan anak. Bekal itu akan memudahkan kita dalam memilih jenis pesantren yang cocok untuk anak.
Kalau anak punya kecerdasan dibidang akademik, pilihannya jadi lebih mudah. Banyak pesantren tradisional yang jaringannya sudah sampai timur tengah. Yang latar belakang NU, biasanya lulusannya yang berprestasi punya kesempatan belajar ke Yaman dan sekitarnya. Pesantren modern lebih luas lagi, bisa ke negara-negara Barat juga. Tapi kalau ternyata anak lebih suka pada bidang-bidang non-akademik, maka yang perlu kita perhatikan adalah ada atau tidaknya sarana-dukungan untuk mengembangkan bakat itu di pesantren nantinya. Guru ngaji saya dulu punya kemampuan splash painting. Setelah masuk pesantren beliau berhenti melukis karena tidak ada waktu untuk berlatih. Memang beliau nggak menyesali itu, tapi kalau Anda peduli sebaiknya pertimbangkan juga hal-hal seperti itu. Kalau anak Anda suka membaca dan ingin jadi penulis, misalnya, jangan dimasukkan ke pesantren yang melarang bacaan diluar buku pelajaran. Pesantren saya contohnya, nggak boleh santri membaca selain buku pelajaran kecuali pada jadwal rukhsah.
Tapi, masalahnya adalah...
Selama 10 tahun menjadi guru saya menemukan banyak orang tua yang ternyata nggak punya cita-cita yang jelas untuk anaknya. Setiap interview atau ngobrol, perbincangan yang paling sering diucapkan hanyalah tentang harapan agar anaknya jadi hafidz Qur'an, sopan kepada orang tua atau shalat 5 waktu tanpa diperintah. Hanya 3 hal itu. Sejujurnya itu membuat saya sedih.
Bukan berarti 3 hal itu nggak penting, tapi alangkah kecilnya cita-cita kita untuk generasi masa depan?! Pernah suatu hari saya curhat kepada sesama guru, "mungkin salah satu alasan kenapa kita sangat kesulitan mendidik juga karena orang tua yang terlalu receh harapannya?" Karena lihatlah tokoh-tokoh agama ini, baik yang berpengaruh besar (Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-Fatih, dll) maupun yang dikenal justru karena ketawadhu'annya (Uwais Al-Qarni, Abu Muslim, dll) mereka adalah orang-orang yang visinya jauh menembus langit melampaui kehidupan dunia. Kalau harapan kita hanya punya anak yang sopan kepada orang tua, alangkah banyak orang yang berwajah manis hanya di depan tapi sadis di belakang? Dan -I'm not sorry- itu yang banyak saya temukan pada anak-anak sekolah Islam, mereka manipulatif. Ketika ada tamu begitu sopan tapi luar biasa sulit diatur oleh guru dan orang tua. Lebih sedih lagi ketika orang tua yang ingin anaknya menjadi hafidz Qur'an supaya bisa mendapat jaminan masuk PTN. 😩
Saya kasih tahu ya, Bapak dan Ibu... Orang tua saya dulu, walaupun anaknya ini nakal begajulan tapi mereka selalu bilang kepada saya bahwa mereka berharap saya jadi da'i. Yes, di hadapan saya. Padahal mereka bahkan nggak ngerti alif, ba, ta. Dan meskipun sekarang saya nggak jadi ustadzah Nabilah tapi setidaknya ternyata harapan orang tua saya itu seperti menuntun jalan hidup yang saya tempuh selama ini. Jadi, jangan terlalu rendah lah cita-citanya. Kasihan anak-anak yang sebenarnya punya banyak kesempatan, jadi terhambat karena orang tuanya yang nggak punya visi masa depan.
***
Setelah masalah cita-cita dan tujuan selesai, selanjutnya baru memilih pesantren. And let me tell you, sekolah-sekolah Islam yang berlabel Islamic Boarding School itu menurut saya kebanyakan bukan pesantren. Sekalipun mereka mengklaim sebagai pesantren, itu hanya 'pesantren ala-ala'. Sekali lagi, istilah pesantren ala-ala ini bukan saya yang buat, ya. Adalah salah seorang coach pendidikan yang pernah mengucapkannya beberapa tahun lalu pada sebuah seminar pendidikan. Karena kalau kita kembalikan makna pesantren seperti awalnya dulu muncul, sebuah pesantren itu berdiri justru diawali dari adanya Kyai atau tokoh agamanya dulu. Baru kemudian santri hadir, disusul dengan bangunannya. Pesantren sekarang kan kebalik, ya? Sekolahnya dulu dibangun, pasang iklan di mana-mana, baru santrinya daftar.
Tapi anggaplah proses itu tidak penting, label pesantren yang banyak diklaim sekolah-sekolah Islam berbasis asrama sekarang sungguh membuat saya khawatir. Pernah di suatu podcast, saya lupa apa namanya pokoknya yang sama Gustika Jusuf -Hatta, temennya itu ngaku alumni pesantren dan setelah saya cari ternyata dia lulusan SMA IT Al-Kahfi. Lagi-lagi, I'm not sorry tapi Al-Kahfi bukan pesantren bagi saya. Kok bisa?!
Jadi gini, karena saya adalah alumni pesantren maka saya punya standar tentang sebuah pesantren. Bagaimana mungkin seseorang bisa disebut sebagai santri kalau bahkan shalat 5 waktu saja, di pesantren, di pesantren nih ya, harus digiring sama gurunya. Saya kaget waktu berkunjung ke Asy-Syifa dan ternyata proses belajar agamanya di sana berbentuk kajian tematik bulanan. Kok bisa kayak gitu dibilang pesantren? Dengan porsi belajar yang hanya sebulan sekali begitu, kira-kira sebanyak apa si santri bisa belajar? Padahal ilmu agama itu luas dan banyak.
Kalau begitu, standar pesantren itu seperti apa? Bagi saya, sebuah pesantren yang standar itu bisa dilihat dari santrinya. Salah satunya ketika shalat, standarnya mereka hadir ke masjid tanpa diperintah dan tenang di masjid menunggu shalat. Standarnya, santri pesantren itu lancar membaca Al-Qur'an meskipun mungkin tidak sempurna. Dan tidak menyepelekan ilmu agama. Jujur saya merasa aneh nulis ini, tapi sampai sekarang masih sangat tidak masuk nalar buat saya bagaimana mungkin ada pesantren yang santrinya tidak bisa bahasa Arab. Bukan harus lancar bicara atau baca kitab kuning ya, tapi setidaknya basicnya saja lah. Bahkan banyak yang nggak bisa nulis Arab. Pesantren macam apa itu? Saya dulu bahkan pernah bilang kepada anak-anak murid yang sering mengeluh dengan jadwal belajar, 'kalian ini cuma sekolah sambil ngaji aja ngeluh melulu.' Nah, mungkin itu ungkapan yang cocok untuk kebanyakan sekolah Islam berasrama yang ada sekarang. Sekolah sambil ngaji. Bahkan TPA di depan rumah saya dulu lebih bagus kurikulumnya. 😪
Dosen saya dulu juga pernah menyampaikan keluhannya tentang Islamic Boarding School yang mahal-mahal itu. Karena beliau juga pernah sekolah berasrama jadi beliau bandingkan dengan sekolahnya dulu yang menurutnya lebih baik. Dengan uang pendaftaran puluhan juta, anaknya nggak bisa diajak ngobrol pakai bahasa Arab ketika mereka ketemu. Padahal itu 'jualan' sekolahnya lho... Jadi, menurut hemat saya untuk memilih pesantren yang berkualitas cara paling sederhana adalah dengan melihat jadwal belajar harian di sekolah maupun di asramanya. Bagi saya, setidaknya porsi belajar agama harus sama dengan ilmu lainnya. Kalau jadwal belajar agamanya hanya sepekan sekali apalagi sebulan sekali, sudah lupakan saja.
Tapi lagi-lagi, kalau memang dari orang tuanya saja sudah cetek cita-citanya sepertinya saran saya nggak akan terlalu berguna. Apalagi bagi orang tua yang menjadikan pesantren hanya sebagai tempat penitipan anak. Yang terjadi pasti nanti orang tua ikut campur dan mengatur proses belajar.
Bayangkan mobil kita sedang diperbaiki di bengkel, dan tiap montirnya megang kitanya ikut ngatur ini-itu. Pasti dibalikin tuh mobil ke kita, ya kan?! Atau misalnya si montir bilang butuh 3 hari diperbaiki, baru sehari kita mau pinjam mobilnya buat nganter istri jalan ke mall. Resiko tanggung sendiri.
Ini salah satu penyakit yang paling banyak saya temui selama mengajar. Orang tua yang nggak menghormati peraturan sekolah dan selalu mencari alasan untuk mengajak anaknya meninggalkan asrama. Orang tua semacam ini buat saya mending lempar ke laut saja. Mereka ini yang jauh lebih mengenaskan daripada orang tua yang bercita-cita rendah. Mereka bahkan merendahkan guru dan ilmu itu sendiri. Mereka menganggap bahwa sekolah berasrama hanyalah tempat untuk menitipkan anak yang aman, dan anak bisa mereka ambil kapan saja kalau mereka butuh. Mereka sama sekali nggak memahami kemuliaan ilmu dan ahli ilmu dalam Islam, dan mereka tidak peduli. Orang tua model begini yang saya juga tidak akan peduli sama anaknya. Makanya saya kemudian memilih resign, karena ternyata memang sebanyak itu orang tua yang berjenis seperti itu.
Tidak ada komentar
Posting Komentar