SLIDER

What I learnt from the revenge story

Akhirnya kesampaian juga nonton The Glory season 2 setelah menunggu sekian lama. Season 1 sudah tuntas saya tonton ketika liburan sekolah semester lalu, kalo gak salah. Pokoknya pas lagi heboh-hebohnya itu. Dan sejak episode pertama, saya sudah ada feeling kalau jalan cerita serial The Glory akan seperti novel The Count of Monte Cristo. Buku klasik yang jadi bacaan terbaik saya di tahun 2021.



Mengingat sekarang sudah lewat jauh sejak pertama kali serial ini rilis, tampaknya udah nggak masalah kalo saya menulis ulasan di sini dengan penuh spoiler, kan?!



Genre: Revenge tragedy
Jumlah Episode: 16
Penulis Naskah: Kim Eun-sook
Sutradara: Ahn Gil-ho
Bahasa: Korea
Platform: Netflix

Sepertinya saya nggak perlu nulis sinopsis deh, saking ramenya serial ini di mana-mana malah bisa dibilang saya yang terlambat nonton 😏. Intinya serial ini bercerita tentang Moon Dong-eun yang mau balas dendam ke satu geng beranggotakan 5 orang yang dulu membully dia waktu masih SMA. Pembullyan itu sangat parah sampai-sampai Dong-eun sekujur badannya penuh luka bakar akibat dibakar pakai catokan rambut.

Cakep banget ya, posternya?!

Proses pembalasan dendam itu membutuhkan waktu sangat lama karena para pembully itu berasal dari keluarga kaya -3 orang aja sih sebenernya-, sehingga Dong-eun harus merencanakan balas dendamnya dengan sangat teliti dan hati-hati.

Di season 1 kita disuguhkan cerita pembullyan Moon Dong-eun sampai akhirnya dia berhenti sekolah dan merencanakan balas dendamnya. Alur cerita yang maju-mundur membuat kita harus sedikit mikir dan nggak boleh berpaling matanya. Menurut saya cara penyajian seperti ini sangat jenius karena membuat penonton mau nggak mau mantengin terus ceritanya karena kehilangan detail sedikit saja akan membuat kita kehilangan alurnya.

Kalau dibandingkan dengan Monte Cristo yang alurnya maju dan pace-nya lambat, The Glory benar-benar seperti orang berjalan cepat. Dan begitu kita sampai pada plot twist yang mencengangkan, akan langsung disambut dengan flash back yang menjelaskan plot tersebut. 


Apakah The Glory terinspirasi oleh Monte Cristo?!


Pertanyaan ini memenuhi pikiran saya sepanjang menonton season 1. Karakter Dong-eun muda yang lugu dan begitu polos melihat dunia, orang-orang baik di sekitarnya yang tidak berdaya menolong, dan perkembangan karakternya sepanjang cerita membuatnya sangat mirip dengan Edmond Dantes, karakter utama di novel Monte Cristo.

Sikap Dong-eun yang mengingat orang-orang yang sudah berjasa di masa lalunya, mirip seperti Dantes yang kembali menolong orang-orang yang dia ketahui baik dan telah berusaha menolongnya di masa lalu. Cara liciknya dalam mengadu domba musuh-musuhnya juga sama seperti Dantes, bahkan kekhawatirannya untuk menyakiti Ha Ye-sol sama seperti Dantes yang tak tega menyakiti Edouard de Villefort.


Sepertinya bukan tidak mungkin The Glory mengadaptasi novel Monte Cristo mengingat novel itu memang merupakan salah satu kisah balas dendam paling epik sepanjang sejarah, sampai-sampai diadaptasi ke dalam bentuk film berkali-kali. Dan itu tidak masalah, saya benar-benar puas melihat tokoh-tokoh yang awalnya tidak berdaya kemudian menjadi tangguh dan berhasil balas dendam. 


Beberapa hal yang saya notice ketika menonton The Glory salah satunya adalah HP Samsung yang dipakai semua karakter, kecuali Son Myeong-oh. Cuma dia sendiri yang pakai Apple dan nasibnya adalah disiram miras sama Park Yeon-jin. Nggak penting sih, tapi menurut saya itu lucu 😅.

Selanjutnya, profesi Park Yeon-jin sebagai pembawa berita ramalan cuaca. Kalau dilihat dengan POV orang Indonesia, nggak make sense Yeon-jin bisa seterkenal itu hanya karena profesinya. Saya jadi tahu kalau ramalan cuaca jadi hal pertama yang selalu disimak orang Korea sebelum memulai aktifitas mereka di pagi hari, terutama kalau mau keluar rumah. Dengan persepsi itu, wajar saja kalau Yeon-jin menjadi terkenal.

Setting tempat yang bukan di Seoul. Lagi-lagi, kalau dibandingkan dengan sinetron di Indonesia maka ini menjadi menarik buat saya. Kita tahu sendiri bagaimana sinetron kita selalu menampilkan setting tempat di Jakarta dan sekitarnya. Kalaupun bikin cerita tentang orang kampung, nggak bener-bener di kampung bikinnya. Kangen nggak sih, sama sinetron kayak Camelia yang dulu dibintangin Maudi Koesnaedy sama Ari Sihasale yang syutingnya sampai Padang demi menyesuaikan setting ceritanya?! Saya bukan penikmat drakor. Jadi mohon maaf kalau apa yang menurut saya menarik ini ternyata adalah hal biasa di dunia per-drakor-an. 

Pelajaran dari kisah pembalasan dendam The Glory dan Monte Cristo


Jangan terlalu baik jadi orang. Pernah dengar kalimat itu? Saya meyakini, menjadi baik tentulah sebuah akhlak yang baik, jadi mungkin kalimat yang lebih tepat adalah jangan terlalu naif jadi orang. Edmond Dantes yang terlalu lugu dan polos membuatnya mudah ditipu dan akhirnya masuk penjara. Dong-eun di sisi lain memang tidak punya pilihan. Dia dibully oleh orang-orang yang berkuasa. Dia sudah melawan tapi tidak berdaya. Jika Edmond Dantes butuh waktu 15 tahun di penjara untuk membuka matanya dan butuh mentor untuk berubah menjadi Monte Cristo, Dong-eun butuh waktu 18 tahun untuk mengumpulkan strategi dan uang supaya balas dendamnya berjalan lancar.

Pada akhirnya setiap orang akan mendapat balasan atas perbuatannya. Tidak peduli bagaimana kita mendapat apa yang kita inginkan, karma dan pembalasan nyata adanya. Karakter-karakter baik di Monte Cristo maupun The Glory pada akhirnya kembali merasakan hidup yang tenang. Dan sebagai muslim, hal yang paling menentramkan ketika menghadapi ketidakadilan adalah mengetahui bahwa balasan Allah pasti datang. Jika tidak di dunia, maka pengadilan itu akan ditemui di akhirat. Atas tuntutan kesabaran inilah kenapa saya -dan sepertinya kita semua- suka sekali dengan cerita balas dendam. Kita merasa mendapat validasi dan visualisasi atas karma yang akan dialami para antagonis dalam hidup kita sebelum nanti melihatnya di akhirat 😆.


A man's desire for revenge can sustain him for years. Sepertinya sangat  luar biasa, keinginan Dong-eun maupun Dantes untuk balas dendam membuat mereka bertahan hidup meski menjalaninya dengan penuh penderitaan. Dalam konteks lain, sebenarnya kita bisa melihat semangat yang sama pada kisah orang-orang tertindas. Saya jadi ingat buku Man's Search for Meaning yang bercerita tentang survivor camp penyiksaan Nazi. Saya belum baca bukunya, tapi berdasarkan review orang-orang saya pikir kisah itu memiliki spirit yang sama. Begitu juga tentang kisah orang-orang yang berjuang melawan kemiskinan seperti di film Pursuit of Happyness misalnya.

Memang ada orang-orang yang murni jahat. Entah mengapa karakter-karakter jahat di The Glory nggak ada satu pun yang punya validasi yang masuk akal atas kejahatan mereka. Jika melihatt karakter Joker dalam cerita Batman misalnya, sebagian dari kita pasti akan merasa bahwa kejahatannya menjadi bisa ditolerir karena perlakuan orang-orang di sekitarnya. Tapi saya suka dengan karakter-karakter antagonis di The Glory karena membuktikan bahwa memang ada orang-orang yang punya pemikiran sesakit itu, yang membuat mereka benar-benar tidak bisa dimaafkan. Sama seperti orang-orang berdosa yang nanti pada akhirnya tidak akan punya alasan untuk diampuni di akhirat. Jadi, jangan seenaknya sama hukum Allah. Mentang-mentang Allah Maha Penyayang terus semena-mena merasa Allah menerima kita apa adanya?! Ngimpi!!!

Ada banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari kisah The Glory maupun Monte Cristo. Saya bahkan menandai banyak sekali kutipan-kutipan bagus di Monte Cristo yang kalau di tulis di sini akan membuat postingan ini jauh lebih panjang. Tapi satu hal sepertinya yang membuat saya kurang sreg dengan The Glory adalah endingnya yang too good to be true. Saya mengerti itu tentu untuk kepuasan penonton, tapi kalau mau dibandingkan saya pikir Monte Cristo memiliki ending yang jauh lebih bagus. Villefort yang menjadi korban juga membuktikan bahwa pada akhirnya tidak ada yang menang atau kalah dalam sebuah pembalasan dendam. Edmond Dantes sadar telah mengambil alih peran Tuhan dan tersadar atas kesalahannya, sementara Dong-eun mendapatkan akhir yang bahagia.

Tapi lagi-lagi, karakter Dong-eun memang jauh lebih matang dibanding Dantes. Sejak awal Dong-eun tidak pernah memosisikan dirinya sebagai malaikat pencabut nyawa. Dia menyadari bahwa apa yang dia lakukan bukanlah perpanjangan tangan Tuhan, meskipun sekuat tenaga dia memperjuangkan keadilan untuk Yoon So-hee. Dong-eun juga tidak pernah jumawa dengan keberhasilan usaha-usahanya. Dia sadar bahwa dia ada di bawah musuh-musuhnya. Mungkin karena kematangan karakternya itu, dia layak mendapatkan hasil yang mulus.

Jadi gimana, udah tertarik untuk baca novel Monte Cristo setelah ini?! Kalau sudah baca, jangan lupa cerita di kolom komentar tentang pendapatmu ya...

Rating:⭐⭐⭐⭐ 4/5

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.