SLIDER

Istilah baru; POSER



Singkat cerita, karena sekarang lagi musim-musimnya penyanyi pada konser maka suatu hari di kelas saya sempat membahas hal tersebut bersama anak-anak murid. Salah satu yang kami bahas tentu saja konser Blackpink beberapa waktu yang lalu. Kemudian salah satu anak tiba-tiba nyeletuk, "pingin lho, nonton konser juga."


Lalu saya pun menanyakan, "emangnya kamu suka Blackpink juga?"


"Nggak sih, Umi. Tapi kayaknya seru aja gitu kan semuanya pada nonton."


Seketika saya langsung keceplosan, "eh, beneran ada ya orang kayak gitu?" Dan anak-anak pun bertanya-tanya maksud perkataan saya itu.


Poser, istilahnya. Saya baru tahu setelah beberapa kali postingan tentang istilah tersebut lewat di beranda sosial media. Ternyata istilah itu ditujukan untuk orang-orang yang ikut-ikutan trend hanya supaya diterima oleh lingkungan pertemanan tertentu. Dan seperti yang disampaikan di mana-mana, sepertinya hampir semua orang pernah mengalami masa ketika dirinya menjadi seorang poser.


Saya sendiri dulu pernah berpura-pura suka sama novel 5 cm hanya karena novel itu best seller dan disukai banyak orang. Padahal dalam hati saya waktu baca, sering bosan dengan dialog-dialognya. Tapi waktu itu saya berpikir saya yang salah karena nggak menyukai novel laris. Apakah itu juga termasuk poser?


Sementara kalau urusan musik, bisa dibilang saya termasuk yang punya pendirian 😁. Sejak dulu saya memang punya selera yang beda dengan orang-orang sekitar. Ya walaupun yang saya sukai adalah genre musik yang memang tenar pada masanya; semacam pop-punk/rock tapi tetap saja genre musik seperti itu bisa dibilang nggak pernah diputar di radio-radio kampung.

***

Nah, kembali ke cerita si anak tadi. Saya kemudian mencoba memperjelas pernyataannya. "Kalo misalnya kamu punya uang dan punya kesempatan, kamu mau berangkat nonton konser Blackpink?!"


"Mau lah, Umi." Dengan alasan yang sama seperti yang dia sampaikan diawal, 'kayaknya seru'.


Yang saya pikirkan tentang kejadian itu adalah, ada berapa banyak anak-anak kita sekarang yang punya pola pikir semacam itu? Cerita tentang konser Blackpink tempo hari yang 'katanya' banyak diisi poser-poser dadakan membuat saya mengevaluasi masa muda diri sendiri.


Dulu tahun 2005 Avril Lavigne pertama kali konser ke Indonesia. Seharian saya kepikiran terus sampai nggak semangat untuk ngobrol sama orang. Tapi kalaupun saat itu saya punya uang dan kesempatan untuk pergi nonton konsernya, saya tetap nggak akan berangkat. Kenapa? Karena pada saat itu prioritas utama saya bukanlah hiburan. Kok saya bisa tahu? Karena saya juga bahas hal itu pada saat itu, dengan adik saya.


Ketika memutuskan untuk membelanjakan uang yang banyak, selalu ada pikiran, "is it worth it?" Saya beli album Avril Lavigne yang asli sampai harus menabung berhari-hari karena saya pikir itu sebagai bentuk apresiasi terhadap karyanya, tapi kalau untuk datang ke konsernya saya masih ragu-ragu. "Apakah dia bisa tampil sebagus seperti di rekamannya? Apakah uang sebanyak itu bisa saya belanjakan untuk hal lain yang lebih berguna?" Padahal Avril Lavigne adalah satu-satunya penyanyi yang saya sukai pada saat itu.


Maka ketika mendengar ada orang yang ingin menonton konser hanya karena 'kayaknya seru', saya benar-benar nggak habis pikir. Mau bilang pikirannya dangkal kok kasar banget, tapi saya nggak nemu istilah lain yang bisa menggambarkan kedangkalan pikiran semacam itu. Coba deh pikirin, uang ratusan ribu bahkan jutaan yang bisa untuk makan sebulan (bahkan buat umroh 😩) kamu habiskan hanya untuk melakukan sesuatu yang kamu sendiri nggak tahu, kamu suka atau nggak sama hal itu?! Bahkan untuk urusan kesukaan, kamu sendiri nggak tahu apa yang kamu sukai?! What the hell???? Kok bisa?!


Tapi akan selalu ada alasan untuk ikut melakukan yang orang-orang lakukan. Karena tentu lebih mudah bersama dengan orang banyak daripada sendirian. Hanya saja kalau sampai harus merugikan diri sendiri dan masa depan, (dalam hal ini materi) kok rasanya sayang sekali. Saya sendiri baru berani beli kaos merchandise Linkin Park baru-baru ini karena merasa selama ini kurang mengapresiasi mereka sebagai salah satu musisi yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Baru berani pesen jaket ONE OK ROCK dan beli tiket konser online-nya awal bulan Juni mendatang karena yakin bahwa mereka benar-benar sudah merebut hati saya. (Belum checkout sih, tapi sudah fix mau beli nanti setelah gajian) Coldplay? Saya cuma tahu 4 lagunya, jadi bye bye saja lah.


Dan setelah saya pikirkan, ternyata saya yang begitu pemilih ketika menentukan sikap itu sepertinya dipengaruhi salah satunya oleh pola asuh orang tua. Sejak kecil, orang tua saya selalu berpesan untuk 'ojo melu ubyug', yang bisa diartikan 'jangan ikut kerumunan' atau 'jangan suka ikut-ikutan yang dilakukan orang-orang kebanyakan'. Orang tua saya begitu selektif 'memilihkan' teman untuk saya, saking selektifnya sampai-sampai saya cuma boleh temenan sama buku 😂. Setiap kali mengetahui saya mengoleksi sesuatu, mereka selalu menanyakan alasannya. Saya tidak boleh menyukai sesuatu tanpa alasan.


Maka ketika akhir tahun 2020 lalu saya mulai tertarik dengan ONE OK ROCK, dalam pikiran saya refleks muncul pertanyaan 'apa yang membuat band ini istimewa di hati saya?'. Saya pikir itu agak berlebihan, tapi setelah diingat-ingat itu memang sudah kebiasaan yang dibangun orang tua kepada saya sejak kecil. Jangan menyukai atau melakukan sesuatu hanya karena orang lain juga menyukainya atau melakukannya. Kamu harus menyukainya atau melakukannya karena kamu tahu alasan kebaikan hal tersebut.


Dan ternyata ... hal itu juga merupakan ajaran agama Islam. Tentu saja orang tua saya yang nggak bisa baca Alif Ba Ta itu nggak tahu tentang konsep 'Imma'ah'. See? Seorang muslim itu harus punya prinsip, harus punya landasan mengapa dia melakukan sesuatu. Kalau bahasa kerennya, harus tahu ilmunya. 


Dari Abdurrahman bin Yazid, diriwayatkan bahwa ia menceritakan, "Abdullah berkata

'Janganlah kamu sekalian menjadi imma'ah.' Orang-orang yang hadir bersama beliau bertanya, 'Apakah arti imma'ah itu?' Beliau menjawab, 'Yaitu sikap orang yang menyatakan, 'Saya ikut dengan kebanyakan mereka, baik dalam hal yang ada petunjuknya atau pun dalam hal yang tidak ada petunjuknya (kesesatan).' Ingatlah, hendaknya masing-masing diantara kamu menguatkan dirinya, yakni bila orang banyak itu kufur, maka engkau tidak ikut kufur."


Coba pikirkan lagi nasihat di atas. Kalau ikut-ikutan maksiat wajar lah nggak boleh. Tapi nasihat itu juga menyebutkan bahwa kita nggak boleh ikut-ikutan berbuat kebaikan. Intinya, jangan ikut-ikutan kalau melakukan sesuatu. Harus ada alasan pribadinya. Harus tahu kenapanya. Dan hal ini yang saya lihat tidak dimiliki orang-orang, alasan untuk setiap gerakannya. Apa akibatnya?


Orang yang nggak punya alasan untuk tindakannya pasti akan lemah pendiriannya. Hari ini suka A, bulan depan suka B. Sekarang beli C, besok belanja D. Hanya karena melihat orang-orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Maka penting sekali kita mengenali standar pribadi. Kalau dalam hal selera hiburan misalnya, jenis musik seperti apa yang disukai? Genre film seperti apa yang menurutmu seru? Sarana hiburan apa yang membuat kamu paling bersemangat? Sehingga ketika kamu akhirnya membelanjakan uang untuk hal-hal tersier tersebut, kamu benar-benar berakhir bahagia karena bisa menghilangkan kepenatan dan memuaskan seleramu. Kalau cuma ikut-ikutan, yang ada malah cuma pemborosan karena dirimu yang sesungguhnya bisa jadi nggak mendapatkan haknya karena kamu kasih sesuatu yang bukan kebutuhannya./

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.