SLIDER

Avatar The Last Airbender Live Action yang mengecewakan (lagi)

Sejak pertama kali tahu kalau Avatar mau dibuat versi live action, saya jadi salah satu yang paling deg-degan ingin lihat seperti apa hasilnya. Beda dengan One Piece, saya punya kenangan cukup dalam dengan Avatar anime. Saya nggak terlalu yakin apakah dari episode pertama nontonnya, tapi yang jelas saya paham betul alur cerita dan karakter tokoh-tokohnya. Avatar adalah salah satu acara TV yang menemani saya melalui masa-masa kekosongan ketika saya masih pengangguran dan tanpa harapan. Waktu adaptasi filmnya pertama kali muncul saya juga langsung cari akses untuk bisa nonton bajakan dengan kualitas terbaik 😂 (mohon maaf dari dulu saya nggak suka ke bioskop). Dan sama juga kayak fans yang lain, saya kecewa berat sama film itu.

Saya nggak pernah nonton ulang Avatar dan bahkan sempat melupakannya sampai pada suatu hari seorang Youtuber favorit menyebutnya sebagai salah satu cerita terbaik sepanjang masa. Sepanjang menyimak penjelasannya, saya lalu mulai mengingat-ingat lagi setiap episode dan scene-scene yang disebutkannya itu dan akhirnya setuju. Memang sebagus itu jalan cerita Avatar, dan kalau dipikir-pikir saya dulu sampai tertegun sendiri ketika melihat adegan Azula yang marah membabi-buta putus asa  waktu bertarung dengan Zuko. Mungkin yang membuat saya nggak terlalu ingin mengulang nonton Avatar adalah karena saking nggak enaknya kondisi saya disekitaran tahun 2006-2008 itu. 😁

Di radar saya, kabar pembuatan serial Avatar Netflix muncul berbarengan dengan tayangnya One Piece live action. Hal itu membuat saya berharap agak banyak karena melihat One Piece live action yang digarap cukup baik sama Netflix. Nonton trailernya pun saya sempat terkagum-kagum. Tapi kemudian kabar bahwa authornya lepas tangan di tengah proyek pembuatan serial, saya mulai ragu deh. Sampai akhirnya hari itu pun tiba, dan ternyata benar, saya kembali kecewa. Butuh waktu sampai selama ini untuk saya meyakinkan diri bahwa memang Avatar Netflix gagal total, meskipun sudah dibungkus budget mahal dan aktor-aktor berwajah oriental.

Bahas Avatar, saya nggak bisa nggak membandingkannya dengan One Piece dalam hal penggarapannya. Di awal, Avatar dan One Piece sama-sama dijanjikan akan dibuat bersama dengan penulisnya. Untuk One Piece, Eiichiro Oda sendiri bahkan yang memilih langsung aktor-aktornya dan ikut menentukan jalan cerita untuk versi live actionnya. Tim pembuat serialnya pun diketahui adalah fans berat One Piece. Avatar, di sisi lain meskipun di awal penggarapannya didampingi oleh 2 orang author aslinya, ternyata beredar kabar bahwa mereka memutuskan untuk meninggalkan proyek itu ditengah jalan. Kepergian mereka pun akhirnya menimbulkan banyak spekulasi dikalangan fans. Banyak yang khawatir Avatar akan jadi kegagalan lain dari Netflix.

Saya yang hanya fans kasual sebenarnya nggak mau terlalu ikut mikirin itu, tapi ternyata kepikiran dong setelah nonton. Jadi, di sinilah saya akan tuliskan perasaan saya ketika menonton Avatar live action, biar lega hati ini.

Baca review saya tentang One Piece Live Action

Menurut saya, secara umum ada tiga hal yang paling menarik dari Avatar. Pertama, worldbuilding dan magic system yang ada di dunianya. Konsep tentang keseimbangan 4 elemen di dunia mungkin memang bukan hal baru, tapi ketika nonton anime Avatar saya sangat terkesan dengan konsep pengendalian elemen dan bagaimana kemampuan itu bisa ditingkatkan sampai tahap yang sangat sakti. Dari pengendali air jadi pengendali darah? Itu keren banget, woy! Toph yang berhasil mengendalikan besi? Cheff's kiss. Kedua, character development. Avatar menceritakan karakter-karakter yang masih terbilang anak-anak. Bagi saya yang waktu nonton animenya masih seusia Zuko, karakter-karakter di Avatar anime terasa sangat relatable. Saya bisa merasakan para tokoh itu tumbuh dari yang tadinya sering mengambil keputusan-keputusan konyol dan tidak bertanggung jawab di episode-episode awal, sampai akhirnya bisa dengan penuh kesadaran menentukan pilihan di episode-episode akhir. Dan itu semua didukung dengan hal ketiga; kemampuan penulisnya mengangkat tema-tema yang berat dan gelap jadi lebih mudah dicerna oleh anak-anak. Kalau butuh contoh cerita yang "Show, don't tell" dalam karya fiksi, Avatar adalah juaranya. Genosida, penjajahan, misogini/patriarki, trauma, dan beberapa tema berat lainnya nggak jadi menyeramkan ketika menonton Avatar tapi bukan dalam bentuk romantisasi. Justru di situ kita ditunjukkan betapa buruknya hal-hal itu hingga tanpa sadar kita menaruh simpati pada karakter-karakter yang menghadapi luka dan trauma dari peristiwa-peristiwa menyedihkan dalam hidupnya.

Kegagalan Avatar live action adalah terlalu fokus pada hal pertama dan tidak memedulikan hal kedua dan ketiga. Padahal justru pada dua hal itulah Avatar jadi punya makna yang mendalam bagi fans. Netflix menghabiskan banyak dana untuk kostum dan CGI tanpa mikirin script yang bisa menopang pembangunan karakter yang kuat. Selama nonton dari episode 1 sampai 8, saya sering banget merasa cringe dengan dialog-dialog para karakter. Beberapa kali saya nangis pun, yang terjadi adalah saya mengingat scene tersebut di anime. Bukan karena aktornya yang bisa bikin dialog jadi hidup.

Humor-humor yang ditampilkan pun rasanya kering. Jauh dari kesan konyol yang biasa kita tangkap ketika nonton anime. Aang dibuat jadi terlalu serius, padahal dia masih 12 tahun. Di beberapa interview, mereka memang menjelaskan kalau ingin mengurangi jokes receh supaya lebih menyesuaikan dengan penonton dewasa. Tapi saya nggak nyangka kalau akan jadi sekering itu. Kalau dibandingkan dengan One Piece, saya masih bisa lho sedikit-sedikit ketawa di beberapa scene. Nontor Avatar, seingat saya nggak ada yang bikin saya ketawa karena vibenya nggak cocok buat diketawain. Sering banget malah saya sampai mempertanyakan keputusan si pembuat serial ini, 'yakin ini buat penonton yang lebih dewasa?' karena saya merasa seperti dianggap anak-anak pada beberapa scene. Di tiap episode kita sebagai penonton rasanya berulang kali diingatkan tentang betapa menderitanya Aang, Katara dan Zuko sampai bosen lihatnya. So much of this show felt it was written by AI, there was no heart and soul in it.

And this is the ultimate problem: the writing. Plot, pacing, dialogue, storyline, nggak ada yang bener. 

Opening Scene

Everything wrong with the opening scenes. Mari kembali kita bandingkan dengan One Piece. One Piece anime dan Avatar anime sama-sama punya opening yang iconic. Beberapa kalimat pembuka itu jadi semacam rangkuman dan latar belakang dari cerita yang akan kita tonton. Kita jadi tahu bahwa One Piece sangat menarik perhatian para bajak laut karena itu adalah 'warisan' Raja Bajak Laut. Di Avatar, kita jadi tahu apa yang sedang terjadi di 'dunia' dan mengapa kita butuh Avatar. Nggak cuma itu, Katara yang menarasikan kisah itu jadi penegas bahwa cerita ini akan berfokus pada perjuangan anak-anak yang berusaha menjadikan dunia kembali seimbang. The centre of the story is about the kids fighting back against the oppressive regime. Tapi apa yang kita dapat di live action?! INI??? 👇

Ok, memang ada bagian opening lines itu tapi diubah kalimatnya dan naratornya bukan Katara. WHY? Kenapa bukan Katara? Padahal Katara adalah salah satu karakter paling penting di cerita. Dan kenapa harus diganti? Biar apa? Padahal tinggal dibaca ulang, kan?! Itu grand-grand tahu ceritanya! Word by word. Tapi kayak nggak ada nyawanya saya dengernya. We don't need that intro. We want Katara!!! Dengan menghapus Katara sebagai narator intro, mereka menghapus peran penting Katara dalam cerita. Dan memang itu yang terjadi sampai akhir. Katara hampir seperti karakter yang nggak berguna. Padahal dia adalah ibu bagi tim Avatar dan guru pengendalian air Aang.

Mengapa opening scene ini penting? Karena dari sini akan terbentuk konsep dalam pikiran penonton dimana pusat ceritanya. Di anime, the center of the story adalah Aang dan kawan-kawannya. Tapi di live action, secara nggak langsung opening scene ini menunjukkan bahwa pusat cerita ada di Negara Api dan sepanjang cerita memang begitu yang saya lihat. Avatar live action lebih fokus ke villain daripada karakter protagonisnya. 

Useless addition, deleting important parts

Penambahan yang sangat jelas tentu saja opening scenes yang menunjukkan pusat cerita pada Negara Api, berlanjut dengan scene The Air Nomads Genocide yang lagi-lagi membuat kita fokus kepada kekuatan Negara Api. Penambahan ini jelas sekali menghapus esensi Avatar yang komedik menjadi gelap dan berat. Tapi bukan cuma itu, nilai dan moral yang diangkat dalam kisah original Avatar juga tereduksi habis.

Pertama, Aang diberi tahu tentang takdirnya hanya beberapa saat sebelum dia pergi bersama Appa. Hal ini menjadi tidak masuk akal ketika disambungkan dengan fakta bahwa dia merasa bersalah ketika bangkit dari es. Karena di sini dia pergi hanya untuk cari angin. Bukan kabur dari takdir sebagai Avatar. Di anime, Aang sudah tahu lama bahwa dirinya Avatar. Makanya dia merasakan perbedaan perlakuan orang-orang di sekitarnya dan merasa tidak nyaman dengan itu. Aang benar-benar kabur. Dia pergi, dia tidak mengambil tanggungjawab sebagai Avatar ketika dia dibutuhkan, dan itu membawa penyesalan berat dalam dirinya ketika bangun dan wajar semua orang menyalahkannya.

Di live action, there's no reason to hate Him! Di mata teman-temannya Aang hanyalah anak istimewa yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata sehingga lebih disayang daripada mereka. Ketika diberi tahu tentang takdirnya, Aang hanya pergi menenangkan diri. Bukan mau kabur dari tanggungjawabnya. Jadi sangat tidak masuk akal ketika Bhumi begitu membencinya, karena memang Aang nggak salah. Mengubah cerita ini, menghilangkan nilai yang diajarkan oleh anime Avatar, bahwa perbuatan tidak bertanggungjawab bisa membawa konsekuensi yang besar. Sementara di live action, mereka seolah-olah menunjukkan bahwa ini semua hanya salah paham. Dan sepanjang serial, Aang berkali-kali ngomong di depan kamera betapa menyesalnya dia karena sudah kabur, padahal nggak, dan berkali-kali juga diberi tahu orang-orang disekitarnya bahwa dia tidak bersalah. Which is sickening! Saya merasa dianggap bodoh sama yang buat serial ini.

Satu-satunya yang bener di live action adalah dia

Kedua, Aang belajar dari buku catatannya Zuko?! Again, live action Avatar seolah ingin menonjolkan Negara Api dibanding Avatar sendiri. Karena Aang nggak punya informasi apa-apa tentang Avatar, dia butuh bantuan untuk memahami perannya. Dan yang membantunya adalah orang dari negara api. Great! 😈 Kenapa harus begitu? Karena sejak awal memang sudah disettingnya begitu. Aang nggak dikasih kesempatan untuk tahu tugas dan informasi apapun tentang Avatar. Ini nggak ada di anime, karena di anime Aang sudah tahu dia harus ngapain, tapi kabur. Jadi ketika dia bangun, dia hanya butuh untuk melaksanakan tanggungjawabnya dan menebus kesalahan.

Eliminating the role of female characters

Di anime, es yang membungkus Aang pecah gara-gara Katara yang lagi ngamuk ke kakaknya, Sokka. Dari situ saja, kita bisa tahu betapa hebatnya kekuatan Katara dan seperti apa karakter Katara dan Sokka. Sementara di live action, es itu pecah gitu aja. Ujug-ujug, kayak cuma udah bosen aja gitu. Katara dan Sokka cuma mancing berdua, ribut biasa kayak saudara pada umumnya. Katara cuma berusaha narik perahu mereka yang hanyut dan tiba-tiba es di belakangnya pecah(?!) Nggak ada yang istimewa. Nggak ada dialog Sokka yang meremehkan Katara yang bikin dia marah, yang alasannya katanya supaya mengurangi sexismnya Sokka, yang padahal itu penting banget untuk pengembangan karakternya Sokka sendiri dan perempuan-perempuan di sekitarnya.

Lihat bedanya? Masa tangan ke depan yang pecah belakang???

Kedua, ketika es yang membungkus Aang pecah Katara adalah wajah yang pertama kali dilihat oleh Aang. Dari situ romance Aang-Katara mulai tumbuh, that scene is important! Pada kisah selanjutnya selalu Katara yang membantu Aang ketika dia terjebak pada Avatar State. Dan karena scene ini dihapus, maka seeeemua hal-hal penting yang terjadi dengan bantuan Katara di episode-episode berikutnya juga hilang, termasuk ketika mereka mengunjungi Kuil Pengendali Udara, teriakan Katara nggak ngefek apa-apa karena memang dia bukan siapa-siapa. Sementara di anime, Katara yang menenangkan Aang, bukan Gyatso.

Katara yang seharusnya menjadi gurunya Aang, nggak punya peran apa-apa di live action. Justru yang terjadi sebaliknya, Aang yang berkali-kali ngajarin Katara teknik pengendalian. Di Omashu, Jet yang ngasih dia visi untuk menyempurnakan jurus. Now, that's sexism. Avatar live action seolah-olah menunjukkan kalau Katara nggak akan bisa menguasai elemennya dengan baik kalau tanpa bantuan Aang dan Jet. Dan ketika Jet mengingatkan tentang hal itu, dia nggak ngaku(?!) How arrogant she is?? Kok malah jadi kayak mereka mau bikin Katara jadi cewek nyebelin? 

Girl, He literally gave you an advice!

Pada akhirnya, karakter Katara jadi meaningless karena dia memang nggak ada gunanya. Bener-bener cuma pelengkap yang kalau nggak ada juga nggak pa-pa. Katara yang temperamental dan kompetitif di anime jadi seperti emotionless, padahal seharusnya dari sifatnya itulah dia akan terus tumbuh menjadi pengendali air yang hebat. Sementara di live action, proses itu nggak terlihat sama sekali. Di awal dia tiba-tiba bisa nangkis serangan apinya Zuko, besoknya bikin ombak aja nggak bisa(?!) Katara yang seharusnya jadi inti tim Avatar seolah-olah cuma numpang di perjalanan Aang menuju Kutub Utara.

Next, Suki 😒. Aktor pemeran Suki, memang cantik. Beneran cocok banget jadi Suki. Tapi ya Allah kenapa ceritanya harus begitu??? Makin terlihat betapa sexist pembuat live action Avatar di episode ini. Peran Suki yang sangat penting bagi Sokka justru diputarbalik, seolah Sokka yang jadi gurunya Suki. Well, bukan guru dalam artian harfiah. Tapi sedikit konflik yang terjadi antara Suki dan emaknya (yang nggak ada di anime) menunjukkan kalau Suki seperti terperangkap di Pulau Kyoshi. Kebanggaannya sebagai Kyoshi Warrior seolah hanya kamuflase. Sehingga dia merasa perlu berterimakasih ke Sokka yang sudah datang dan memberi sedikit warna dalam hidupnya. Pret, lah!!

Dia yang ngajarin, dia yang bilang makasih?

Padahal di anime, Suki yang ngajarin Sokka untuk menghormati perempuan. Suki yang membuat Sokka mau berlutut mohon-mohon buat diajari cara bertarung yang benar. Sokka yang biasanya meremehkan Katara, dibully parah di Pulau Kyoshi sampai dia benar-benar sadar akan kesalahannya. Di situ pelajarannya, gaeees!!! Sokka akhirnya minta maaf sama Suki dan dia belajar bahwa perempuan juga bisa menjadi warrior. That's why, Sokka's sexism is necessary, to give him a lesson. Saya benar-benar heran kok bisa mereka nggak bisa nangkep pesan seterangbenderang itu, atau mereka memang sexist sejak awal? They just hate women so bad that they deliberately distort the story. Belum lagi Avatar Kyoshi yang ditampilkan sooo grumpy? Biar apa gitu?

Azula, ya Rabbi I have a lot to say about this. Tapi udah panjang tulisannya. Intinya, Azula yang gila nggak saya lihat di live action. Seperti Ozai, Azula yang seharusnya tampil kejam tanpa emosi justru terlihat tertekan di sini. Ozai nggak berkaca-kaca waktu bakar Zuko, woy! Dia memang sekejam itu, please!!! Kita seolah diminta untuk berempati sama dia. Azula yang seharusnya tampil segila Joker justru terlihat cuma kayak anak biasa yang minta perhatian bapaknya. Padahal Azula itu mengerikan banget, She is craaazy!!! Dia nggak peduli sama Zuko, dia nggak butuh pengakuan bapaknya, She's just obsessed with perfection! Saya nggak peduli Azula mau diperanin cewek tembem atau kurus, poinnya adalah karakter Azula sebagai antagonis yang kejam nggak saya dapatkan di live action. Dan itu membuktikan tulisan saya di atas. Avatar live action ingin penonton menaruh perhatian besar kepada Negara Api, bersimpati kepada karakter-karakter antagonisnya.

Just watch the original, please...

Kalau dilanjut tulisan ini mungkin bisa jadi makalah panjang. Intinya, Avatar live action nggak ngambil apapun dari anime kecuali konsep worldbuilding dan magic systemnya. Nyawa dari kisah Avatar benar-benar hilang. Mereka menghapus hal-hal penting dan justru menambahkan hal-hal yang nggak ada hubungannya sama cerita. Beberapa fans bahkan ada yang menghitung waktu tayang live action yang ternyata nggak beda jauh sama anime, dan mempertanyakan pilihan yang diambil oleh Netflix. 

Mari bandingkan lagi dengan One Piece yang menghapus banyak karakter dan adegan, itu karena memang Season 1 One Piece live action mengcover banyak sekali episode dan mereka menghormatinya dengan tetap menyebutkannya di beberapa adegan. Mereka ngasih tahu penonton. Mereka tahu adegan itu ada dan mereka menyebutnya supaya penonton baru penasaran dan mencarinya di manga atau anime. Meskipun Garp dikenalkan terlalu awal, penonton paham kenapa dia harus ada di live action sejak season 1, karena keberadaan Garp membantu mengisi kekosongan dari episode/chapter yang dihapus dari anime.

Avatar di sisi lain, hanya mengcover 20 episode dan total tayangnya hanya beda 30 menitan dibanding live action. Kenapa nggak pindahin aja semua jadi live action? Kenapa harus nampilin Azula di season 1? Padahal Book 1 Avatar anime harusnya fokus sama proses belajarnya Aang mengendalikan air. Tapi nggak ada itu di live action. Aang sama sekali nggak belajar apapun. Avatar live action nggak ngasih kita apapun selain kostum bagus. Actionnya juga nggak istimewa, standar aja. Nggak ada nilai dan moral yang kita ambil dari serial ini. Wajar kalau penulisnya kabur di tengah jalan.

Dah, gitu aja. Saya butuh minum Pocari Sweat kayaknya.

2 komentar

  1. Dulu lagi masih suka ninton film2 spt ini karena anak2 pada suka. Sekarang bagiku film ini berat untuk mencari jalan ceritanya sejak awal sampai akhir , terlaluhrs mikir, makanya suka skip film2 spt ini. Tentu bagi yang suka bakal nonton

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berarti nggak cocok sama genre fantasi ya? Buat saya malah justru yang kayak begini yang nggak perlu dipikirin karena aslinya tinggal ditonton aja, toh nggak ada padanannya di dunia nyata. 😅 Tapi kalau seleranya beda ya memang nggak nyambung jadinya.

      Hapus

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.