SLIDER

What I'm thinking
Tampilkan postingan dengan label What I'm thinking. Tampilkan semua postingan

Suatu hari, ku tak peduli pada lingkaran itu lagi

Rabu, 12 Juli 2023

Suatu hari, beberapa kenalan di Instagram membagikan postingan Amar Ar-risalah di story mereka. Sebuah postingan reflektif tentang liqo', sebutan untuk halaqah jama'ah tarbiyah yang kini entah sudah berganti jadi apa namanya. Atas dasar kepo yang berlebihan, saya baca juga tulisan itu. Saya akui, dia memang jagoan bikin kata-kata indah yang menyentuh hati.

Intinya, tulisan itu merupakan ajakan kepada orang-orang yang sudah tidak melingkar lagi untuk kembali. Kembali melingkar lagi, mengaji bersama murabbi dan mungkin berjama'ah lagi. Seketika membaca tulisan itu saya bertanya-tanya dalam hati. Dan pertanyaan-pertanyaan itu mau saya tulis di sini sekalian saya mau mengeluh dan mengungkapkan isi hati 😌.

Photo by Hasan Almasi on Unsplash

Sejak dulu, -dulunya tuh dulu banget, sekitar tahun 2007an waktu awal-awal saya mulai liqo'- ketika mendengar cerita tentang orang-orang yang meninggalkan jama'ah setelah menikah atau lulus kuliah saya tidak pernah terlalu judgemental. Kata salah seorang teman, kemungkinan karena saya dari latar belakang Nahdhiyin yang sudah terbiasa mengaji sejak kecil maka kebutuhan berjama'ah tidak terlalu penting buat saya. Meskipun begitu, saya juga bukan termasuk orang yang meremehkan tarbiyah. Butuh waktu sekitar 2 tahun untuk saya mempelajari Ikhwanul Muslimin sebelum akhirnya memutuskan untuk meminta dicarikan murabbi.

Saya bukan kader rekrutan yang ditemukan para senior kampus lalu terjebak dalam pembinaan wajib mata kuliah agama. Saya membaca Risalah Pergerakan sampai tuntas Syarah Ushul 'Isyrin sebelum dijadikan kader. Setelah menjadi kader pun, saya bukanlah tipe kader yang taat membeo kepada senior. Lagi-lagi, kata seorang teman memang seperti itu tipikal kader yang sudah berwarna ketika bergabung dengan jama'ah tarbiyah.

Ketika memutuskan untuk bergabung, saya tidak melihat jama'ah ini sebagai sebuah bangunan tanpa cela. FYI, saya bergabung ketika masa-masa kader-kader ini masih seperti orang-orang salafi hari ini. Urusan bid'ah dan tidak nyunnah, beberapa kali saya ributkan dengan kakak sendiri. Berkali-kali saya ingatkan para senior-senior dakwah itu untuk belajar Bahasa Arab supaya tidak mempermalukan diri sendiri dan jama'ah. Belakangan saya baru sadar, kalau karakter ndablegnya para senior itu sesungguhnya sudah terlihat dari dulu, sayanya saja yang terlalu naif. Buktinya hampir tiap hari saya beri tahu kalau kaburo maqtan itu tidak ada hubungannya dengan kemunafikan, masiiiih saja dipakai sebagai ungkapan harian.

Ketika sudah masuk kuliah pun, saya seringkali dicurigai sebagai kader yang mbalelo. Ngobrol santai dengan teman laki-laki, salaman dengan dosen laki-laki sampai cium tangan, pasang foto profil di facebook, nggak pakai kaos kaki di rumah meskipun ada tamu, pokoknya hal-hal yang dulu dianggap tabu bagi jama'ah sudah saya lakukan tanpa rasa bersalah. Saya masih ingat ketika ada cerita menyebar tentang seorang akhwat senior yang hampir pingsan di tempat KKN karena bersikeras tidak mau dibonceng teman lelakinya padahal harus menempuh jalan berkilometer, semua kader menjadikannya sebagai bahan tausiyah di lingkaran-lingkaran pekanan itu. Sekian tahun kemudian, ketika Gojek merajalela beberapa kali saya berpapasan dengan beliau menggunakan jasa Goride di jalan 😐.

Photo by Rizal Hamzah on Unsplash

Jadi mengapa saya dulu memutuskan untuk bergabung? Karena saya melihat harapan. Orang-orang yang tidak terlalu paham agama -ini yang di sekitar saya, ya...- tapi semangat sekali mengamalkannya. Mereka masih belajar, tapi ruh dakwahnya membara sampai-sampai saya yang sudah ngaji sejak kecil kadang merasa malu melihat semangat mereka. Apalagi setelah membaca buku-bukunya, saya kemudian berpikir kalau sepertinya memang jama'ah yang ini lebih sesuai untuk saya.

Begitu bergabung, saya lompat kelas. Langsung bergabung membina ROHIS SMA di Bandar Lampung bahkan mengisi beberapa kajiannya. Ya mau bagaimana lagi, ada label jebolan pesantren nancep di jidat jadi harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, kan?! Kelompok lingkaran otomatis bukan dengan anak-anak baru. Meskipun teman-teman saya seumuran, tapi mereka adalah anak-anak yang terbina sejak masuk SMP dan jadi pengurus inti di lembaga dakwah sekolah masing-masing. Bicara soal strategi dakwah dan jama'ah sudah jadi bahasan wajib setiap pekan. Bahkan bahasan tentang partai pun sudah biasa buat kami, padahal ada yang masih dibawah 17 tahun usianya.

Menjalani hari-hari bersama dalam lingkaran dakwah tarbiyah sangat tidak mudah. Setidaknya itu yang saya pahami dari orang-orang yang memilih keluar. Bukan hanya karena amanah dan tuntutan komitmen yang berat, tapi juga karena orang-orangnya yang ternyata tidak mudah untuk diajak berjama'ah. Ironi sekali, kan?! Dulu saya pikir, kondisi dakwah kampus saja yang bermasalah. Tapi ternyata sedikit demi sedikit saya amati, memang ada yang aneh dengan jama'ah ini.

Photo by Edho Pratama on Unsplash

Mari mulai dari konflik. Seingat saya, keributan internal itu mulai saya rasakan di tahun 2010. Saat itu saya baru pulang dari Jogja, dan mendapati bahwa ternyata teman-teman yang dikirim ke Jogja bersama saya adalah kader-kader 'bermasalah'. Mereka dikenal sebagai kader pemberontak yang disinyalir sedang melakukan 'gerakan' bawah tanah yang dicurigai akan merusak tatanan dakwah di kampus. Memang kalau dipikir-pikir, keikutsertaan saya ke Jogja waktu itu cukup aneh. Dari 7 orang mahasiswa dari Lampung yang lulus sertifikasi kader, cuma saya sendiri yang dari IAIN. Dan karena 6 orang lainnya adalah kader calon blacklist, tentu saja saya jadi pantas juga dicurigai.

Usut punya usut, ternyata 6 orang kader itu hanya ingin melakukan pembaruan di kampus. Menurut mereka cara kader dakwah menjalankan pemerintahan kampus sudah sama saja dengan orang lain. Tidak demokratis. Dan karena saya berteman dengan kedua pihak, maka saya konfirmasi ke pihak lain. Dari sisi lain, mereka dianggap tidak paham dengan metode dakwah. Namun yang membuat saya akhirnya memihak mereka adalah cara para senior itu memperlakukan mereka. Tiba-tiba mereka diblacklist dari daftar kader, tidak diizinkan liqo' dan diboikot. Gila!

Dari kejadian itu, rentetan kejadian lain mulai bermunculan. Prahara paling besar memang terjadi di kampus Unila dan saya yang waktu itu kuliah di IAIN tidak terlalu mau tahu. Lagipula karakter kader di IAIN memang tidak terlalu terpengaruh dengan kebijakan jama'ah. Lagi-lagi, alasannya karena kebanyakan kader-kader di kampus IAIN adalah orang-orang yang tidak buta agama sehingga untuk mengenalkan mereka dengan gerakan atau manhaj dakwah tertentu akan terlalu beresiko terhadap jalannya proses kaderisasi. Little did I know, saya adalah kader yang paling diwaspadai karena saya bersahabat sangat dekat dengan kader terbaik kampus. Para senior sangat khawatir saya akan mempengaruhi pemikiran si kader ini dan membuat rusak sistem dakwah kampus. Dari mana saya tahu? Beberapa hari sebelum sahabat saya ini pulang kampung karena ternyata lulus tes CPNS, dia ceritakan semua dugaan buruk sangka dari para senior yang pernah disampaikan ke dia. Ternyata, salah satu hal yang membuat dia mau bersahabat dengan saya adalah rasa penasaran pada gosip tentang saya yang dia dengar sejak saya masuk kampus 😐.

Tidak lama sejak kejadian itu, kelompok liqo' saya dirombak dan tebak.... ternyata yang dirombak cuma saya sendiri. Yes, saya berada dalam kelompok liqo' yang pembahasan pekanannya adalah tentang strategi dakwah kampus. Dan ternyata adanya saya di kelompok itu hanya karena sahabat saya ini yang meminta. Karena pemikiran saya dibutuhkan, maka permintaan itu dikabulkan. Tapi setelah sahabat saya ini pergi, mereka tidak mau lagi mengambil resiko berdebat dengan saya setiap kali rapat atau liqo' karena mungkin tidak akan ada lagi penengahnya. Dari mana saya tahu, teman liqo' saya yang menyampaikan. Setelah saya tidak lagi menjadi anggota kelompok liqo' itu tidak ada perubahan anggota liqo'. Tidak ada anggota baru yang masuk, padahal pekan sebelumnya murabbi kami bilang kalau ini adalah perombakan rutin dan kami bahkan sampai tukar kado. 😂

Photo by Tim Mossholder on Unsplash

Saya tidak pernah ambil pusing dengan hal-hal itu. Jujur, sejak awal bergabung dengan jama'ah tarbiyah saya tidak pernah menganggap mereka yang ada di dalamnya adalah orang-orang yang istimewa. Saya selalu memandang mereka seperti muslim lainnya, dan tentu saja masih banyak muslim yang lebih baik dari mereka. Mengapa saya harus sampaikan seperti ini? Karena ada tendensi ujub yang saya rasakan dari kader-kader yang berada dalam jama'ah ini. Perasaan menganggap orang yang tidak bersama mereka adalah orang yang tidak mendapat hidayah, atau orang yang memusuhi mereka adalah orang yang belum terbuka hatinya. Pernah dengar kalimat, "dia baik orangnya, tapi sayang jilbabnya masih kecil..." Dan kembali ke peristiwa pembuangan saya, sejujurnya tidak masalah bagi saya. Masalah baru muncul ketika ternyata saya menikah dengan salah satu pimpinan kader kampus 😆.

Saya tidak akan cerita tentang tragedi pernikahan, karena ini menyangkut suami saya jadi saya harus menjaga nama baiknya -tsaaaah-. Tapi yang jelas, pernikahan kami bukanlah pernikahan yang diharapkan oleh para petinggi dakwah kampus. Kebetulan kami akhirnya menjadi guru sekolah, maka ada alasan untuk menonaktifkan kami dari dakwah kampus. Saya dipindahkan kelompok liqo'nya ke kelompok yang tidak aktif 😝 dan suami diminta untuk fokus pada dakwah sekolah. Dan suami saya adalah kader paling loyal yang pernah saya lihat, dia jalankan amanah baru itu dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya sekarang saya tahu dia sudah masuk ke dalam barisan kader paling penting. Ada istilah untuk kelompok mereka tapi tidak akan saya sebutkan namanya karena -really- kader jama'ah tarbiyah ini penakut sekali.

Berpindah liqo' dari kampus ke dunia kerja membuat saya melihat ketidakteraturan dalam pembinaan jama'ah tarbiyah terhadap kader-kadernya. Terhitung sejak tahun 2013 sampai 2023 ini, saya baru 4 kali berganti murabbi. Padahal normalnya, kelompok liqo' itu ganti tiap tahun. Selain itu, selama 10 tahun agenda pekanan tidak pernah berjalan normalnya kegiatan liqo' yang saya kenal. Entah untuk alasan apa, saya merasa kader-kader yang tidak masuk dalam lingkaran partai tidak mendapat perhatian layaknya kader yang bisa dimanfaatkan untuk partai. Darimana saya bisa dapat kesimpulan itu? Karena sekarang saya mulai masuk ke dalam pembinaan partai, tanpa izin saya. Mungkin suatu saat ketika saya mulai menolak tugas-tugas partai, saya akan dipindahkan lagi?! Who knows.

Bisa dibilang, berada dalam kelompok kader-kader yang aktif dengan kegiatan partai cukup mengobati kerinduan saya pada kegiatan liqo' yang dinamis. Materi yang disampaikan juga lebih terstruktur. Dan ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa di kelompok liqo' yang anggotanya bukan kader partai suasana ilmiahnya sama sekali tidak terasa? Bahkan murabbinya pun seperti tidak punya energi untuk membina? 10 tahun saya berganti-ganti teman liqo', tidak sekalipun saya merasa ada diskusi menarik tentang materi yang disampaikan atau encouragement dari murabbi untuk mengajak kader belajar Islam.

Lalu apakah di kelompok kader partai kondisinya lebih baik? Tidak juga sebenarnya. Sama saja, tidak ada encouragement dari murabbi untuk mengajak kader belajar Islam lebih jauh. Hal-hal yang fundamental biasanya hanya disampaikan lewat agenda-agenda besar seperti seminar online tapi tidak ada follow up di liqo'. Tapi mungkin itu bukan salah sistemnya. Mungkin hanya kondisi kadernya saja yang memang jumud, sampai-sampai di usia sudah hampir 30an banyak yang masih belum pernah mendengar tentang hadits-hadits yang cukup umum. Padahal dia sudah lama ngaji. Pun ketika ada diskusi di liqo' pandangan-pandangan mereka masih dilandasi sudut pandang yang sangat sempit. Karakter ujub dan menganggap diri lebih utama dibanding kelompok atau manhaj lain membuat jama'ah tarbiyah kekurangan sumber belajar karena mereka tidak punya ustadz rujukan. Tradisi ilmiah pun kurang berjalan karena imbas dari hal sebelumnya, referensi bacaan para murabbi pun terbatas dan kemampuan membaca konteks sebuah dalil jadi sangat terbatas juga. Seringkali saya merasa putus asa ketika dalam kajian sebuah ayat dicomot seenaknya untuk menguatkan tugas tertentu yang padahal tidak ada hubungannya. Saya melihat kader-kader di jama'ah ini seperti orang-orang kebingungan yang patuh saja pada penggembalanya.

Masih banyak yang bisa diceritakan untuk mengungkapkan kekecewaan saya pada lingkaran ini. Tapi sepertinya jadi kurang baik, karena seolah-olah saya malah membuka aib sendiri. Dan mengapa saya masih saja bertahan di sini? Sejujurnya karena suami saya. Mungkin kalau suami saya bukan suami saya yang sekarang, mungkin saya sudah meninggalkan lingkaran itu sejak lama. Alasan kedua adalah karena saya sudah tidak memandang lingkaran itu dengan kacamata yang lain. Kalau dulu saya hadir di lingkaran sebagai sebuah komitmen seorang muslim dan tentara Allah, sekarang saya hadir untuk menjalin silaturahim dengan sesama muslim. Saya butuh bersosialisasi dengan manusia yang bisa saya jabat tangannya. Selebihnya, saya tidak peduli lagi. Mungkin tulisan saya ini terasa sangat arogan, tapi sungguh saya merasakan arogansi yang luar biasa dari sistem jama'ah ini yang tidak bisa saya pahami. Mungkin, suatu saat jika ruh dakwah bisa kembali saya rasakan dari lingkaran itu saya akan hadir dengan semangat yang seperti dulu lagi. Untuk saat ini, saya hanya akan menjalaninya sedemikian adanya.

Dear Diary, I have so much to tell you

Rabu, 05 Juli 2023

 


Dear diary, I have so much to tell you. Begitu banyak hal yang telah terjadi sejak terakhir kali saya duduk dan mulai menuliskan apa yang saya rasakan. Ada begitu banyak cerita yang belum pernah saya bagikan kepadamu. Tapi kenapa? Mengapa saya tidak menulis sesuatu yang pribadi di blog saya? Saya tidak benar-benar memiliki jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. Hanya saja, di suatu tempat di sepanjang perjalanan, saya mulai menyadari betapa saya telah menjauhkan diri dari blog saya. Namun, ada satu faktor terbesar yang memainkan peran besar. Dan itu adalah: Hidup saya terasa berantakan. Dan dalam kekacauan itu, I lost myself.


There, saya akhirnya mengatakannya. Sejujurnya, saya merasa seperti kehilangan diri saya sendiri beberapa tahun ini.


Saya tidak menyadarinya pada awalnya, atau setidaknya saya mencoba yang terbaik untuk mengabaikannya sebisa mungkin. Saya terus mengatakan pada diri saya bahwa semuanya masih sama, tidak ada yang berubah dan saya masih bisa mengendalikan semuanya. Saya mati-matian berusaha untuk tetap berada di jalur yang sama, keseimbangan saya yang lama. Itu semua adalah kebohongan yang sangat besar. Dengan semua hal yang terjadi, mustahil bagi saya untuk tetap sama. Bahkan ketika saya berhenti memikirkan pengalaman-pengalaman masa lalu ini, jejak mereka di pikiran saya tidak akan hilang. Saya membawanya ke mana-mana seperti tato di kulit saya. Perlahan-lahan mereka membentuk saya menjadi orang lain, meskipun pada kenyataannya saya masih berpegang pada gambaran diri saya yang lama. Tentu saja, selalu ada saat-saat tertentu yang membuat saya berjalan menyusuri jalan kenangan dan mengenang semua yang terjadi. Namun demikian, saya masih berpikir bahwa semuanya akan kembali normal jika saya terus berjalan. 'Teruslah bergerak maju, jangan menyerah,' adalah sesuatu yang selalu saya katakan pada diri saya sendiri. Di satu sisi, hal ini memang terjadi. Jika kita melihat waktu sebagai suatu hal yang kronologis (chronos, χρόνος), waktu berlalu begitu saja. Berhari-hari, berminggu-minggu, dan bahkan berbulan-bulan. Namun, orang Yunani Kuno juga menggunakan bentuk kedua dari waktu yang disebut kairos (καιρός). Kairos tidak bersifat linier, seperti halnya kronos. Kairos tidak dapat diukur seperti kronos. Kairos digambarkan sebagai suatu periode atau musim, suatu momen dengan jumlah waktu yang tidak pasti di mana suatu peristiwa penting terjadi. Singkatnya, kairos berarti 'saat yang tepat atau tepat'.  Dan jika ada satu hal yang saya yakini, yaitu tidak ada momen dalam hidup saya yang terasa seperti momen yang tepat.


Aku tahu apa yang kau pikirkan. 'Ayolah, dia mungkin overreacting. Dia terlihat begitu teratur dan mengendalikan hidupnya, itu tidak mungkin benar.'


Di satu sisi, kamu benar. Hidup saya tidak berantakan. Saya mengalami beberapa hal luar biasa yang terjadi dan saya merasa beruntung. Saya mendapatkan banyak hal yang oleh orang lain hanya bisa diangan-angankan. Saya tidak mengatakan bahwa semua ini tidak hebat. Namun, ini hanya sebagian dari hidup saya. Bagian lainnya terus bergerak cepat, berubah ke arah yang berbeda dan saya tidak bisa mengikutinya. Di suatu tempat dalam kekacauan semua peristiwa (yang tidak beruntung) yang terjadi pada saya, saya kehilangan diri saya sendiri. Dan hal ini membuat saya merasa tidak memiliki kairos yang tepat dalam hidup saya. Ada sesuatu yang tidak beres. Saya tidak beres.

Photo by pure julia on Unsplash

Sebelum saya membicarakannya lebih jauh, saya perlu membahas sedikit prasangka yang mungkin dimiliki orang tentang saya. Saya biasanya tidak membicarakan topik ini, tetapi penting untuk membicarakannya sekali dan untuk selamanya. Tentu saja, dihakimi oleh orang lain adalah bagian dari pekerjaan yang saya pilih. Bukan berarti saya tidak mengharapkan orang lain memiliki pendapat tentang saya. Saya juga tidak pernah menemukan orang lain yang menghakimi saya sebelumnya. Saya selalu menjadi salah satu dari orang-orang yang tidak pernah bisa menyesuaikan diri dengan orang banyak. Di satu sisi, saya bahkan tidak ingin menyesuaikan diri. Saya hanya tidak mengerti 'maksud' dari menjadi seperti orang lain. Hal ini menyebabkan beberapa orang memiliki pendapat yang cukup keras tentang saya. Namun, hal-hal yang dikatakan beberapa orang tentang saya di belakang saya berada di tingkat yang berbeda. Saya tidak akan membahas apa itu. Apa yang kamu pikirkan tentang saya, positif atau negatif, bukanlah intinya. Itu terserah, dan saya menghormatinya. Namun, banyaknya hal yang dikatakan orang secara terbuka tentang kita, adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa kita persiapkan. Tidaklah wajar bagi manusia untuk terpapar dengan begitu banyak opini setiap hari. Dalam kehidupan sehari-hari, orang cenderung menyimpan penilaian mereka untuk diri mereka sendiri. Tapi di belakang, orang merasa tidak ada hambatan untuk menyuarakan pikiran dan perasaan mereka, dan akhirnya mengatakan hal-hal yang tidak akan pernah mereka katakan di hadapan orang tersebut. Meskipun saya cukup percaya diri dengan diri saya sendiri, dan saya tidak membiarkan orang lain memberi tahu saya apa yang harus saya lakukan, selalu ada hari-hari ketika beberapa kata yang mengejutkan dapat benar-benar menjatuhkan. Karena terkadang, itu terlalu berlebihan. Orang-orang tidak menyadari betapa kuatnya kata-kata ini, dan itu sangat menakutkan. Kata-kata bukan hanya sekedar kata-kata. Kata-kata adalah tindakan, yang benar-benar memiliki dampak fisik pada diri kita (ini disebut teori Speech Act dari John Austin). Itulah mengapa kata-kata dapat sangat mempengaruhi perilaku kita dan cara kita berpikir tentang diri kita sendiri. Namun pada akhirnya, hal terbaik yang harus dilakukan adalah mengabaikan hal-hal negatif semacam itu sebanyak mungkin. 


Selain itu, ada juga aspek lain yang saya perjuangkan: orang-orang berpikir bahwa mereka mengenal saya. Melalui cara saya bicara, dan opini yang terbentuk berdasarkan hal itu, orang-orang mulai menciptakan gambaran tertentu tentang saya. Saya harus masuk ke dalam kotak tertentu yang sesuai dengan pandangan mereka, jika tidak, semuanya tidak akan sesuai. 'Berpikir dalam kotak' ini menjadi sangat jelas bagi saya, ketika banyak hal yang berubah dalam kehidupan pribadi saya. Hidup saya berubah dan begitu pula saya.


Oke, maaf untuk sedikit cerita panjang lebar ini. Yang benar adalah: tahun ini merupakan tahun yang sangat sulit bagi saya. Rasanya seperti semua fondasi yang telah saya bangun selama beberapa tahun terakhir runtuh seketika. Hal-hal yang sangat ingin saya capai, sama sekali tidak menarik minat saya.  Mereka memberi saya perasaan canggung yang kadang-kadang kita dapatkan ketika kitaberada dalam situasi yang harus kita hadapi. Orang-orang tertentu yang saya pikir akan selalu berada di pihak saya, apa pun yang terjadi, sekarang terasa seperti teman yang bersahabat. Ini seperti ketika makan makanan favorit di waktu kecil, tetapi rasanya tidak sama. Kita ingat betapa kita menyukai rasa makanan itu ketika masih kecil, tetapi ketika mencicipinya sekarang, rasanya tidak seenak ingatan kita dulu. Keyakinan yang saya yakini sebagai kebenaran saat itu, sekarang tampak seperti lelucon di dalam hati. Alasan mengapa saya kehilangan diri saya sendiri bukan karena perubahan ini. Itu karena saya berpikir bahwa perubahan itu buruk. Fondasi hidup saya tidak runtuh secara acak. Mereka runtuh, karena saya tahu bahwa saya menemukan bahwa mereka tidak benar bagi saya lagi dan saya harus memikirkan sesuatu yang lebih baik. Memilih fokus pada Rahmah Study Club, membuat saya harus menanam mimpip baru dan mengubur yang lama, menerima hubungan saya yang berubah dengan orang-orang dan yang paling penting, menemukan apa yang benar-benar membuat saya bahagia; hal-hal ini membuat saya menyadari betapa pikiran saya telah berubah dan bahwa saya tidak bisa terus berpura-pura menjadi orang yang sama seperti sebelum semua ini. Saya sangat ingin tetap masuk ke dalam kotak yang saya dan orang lain buat untuk diri saya sendiri, sehingga saya berhenti merenungkan apa yang dapat membuat saya bahagia.

Photo by Debby Hudson on Unsplash

Saya merasa masyarakat begitu fokus pada rencana. Apa yang ingin Anda capai dalam 5 tahun ke depan? Apa tujuan hidup Anda yang paling utama? Siapapun mengharapkan Anda menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dalam waktu 0,3 detik. Dan meskipun saya sangat percaya pada pentingnya membuat rencana, saya percaya bahwa kita tidak boleh lupa bahwa rencana hanya akan membawa kita sejauh ini. Kita tidak akan pernah tahu. Itulah mengapa kita bisa membuat rencana hidup, tapi kita tidak bisa merencanakan hidup kita. Jadi saya tidak mengatakan bahwa membuat rencana itu tidak baik, saya hanya mengatakan bahwa merefleksikan mengapa kita ingin mencapai rencana-rencana tersebut akan lebih baik. Hal ini seperti menciptakan gambaran yang lebih besar: Jika kita tahu untuk apa kita hidup, tidak masalah jika kita tidak berpegang teguh pada rencana awal kita.


Rencana bisa menjadi berbahaya jika kita berhenti melakukan refleksi. Mengejar tujuan hanya untuk mencapainya, seperti itulah yang terjadi pada saya. Saya begitu bertekad untuk berhasil dalam tujuan yang saya buat untuk diri saya sendiri, sehingga saya benar-benar lupa untuk bertanya pada diri sendiri apakah rencana-rencana yang terwujud ini akan membuat saya bahagia. Saya kehilangan diri saya dalam kekacauan yang disebut kehidupan ini, karena saya mencari stabilitas untuk mencapai tujuan-tujuan yang saya miliki, bukannya fullfillment. Saya mencoba untuk mematok kehidupan, pikiran, keyakinan dan orang-orang. Saya tidak mengerti bahwa jalan hidup saya mungkin pernah bersinggungan dengan mereka di masa lalu, tetapi kemudian, saya harus bergerak menuju tujuan yang berbeda. Hanya dengan merefleksikan tujuan, impian, dan rencana saya yang sebenarnya, saya menemukan apa yang benar-benar saya inginkan dalam hidup saya. 


Jika ada pesan moral dari cerita ini, saya ingin kamu tahu bahwa kita harus menerima perubahan. Yes, klise memang. Namun, coba pikirkanlah. Meskipun 'perubahan itu baik' adalah salah satu hal yang akan kita dengar berkali-kali dalam hidup, mungkin dari berbagai macam orang yang berbeda, pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar memikirkannya dengan tulus. Bagi saya pribadi, saya sama sekali tidak menerima perubahan. Perubahan yang terjadi pada diri saya bertentangan dengan rencana awal saya dan cara saya untuk menemukan keseimbangan dalam hidup saya. Perubahan yang nyata tidak tampak baik bagi saya. Sekarang saya menyadari bahwa saya salah. Perubahan tidak bisa dihindari, dan itu adalah hal yang baik. Tanpa perubahan ini, saya tidak akan pernah mencapai begitu banyak hal, saya tidak akan pernah belajar begitu banyak, dan saya pasti tidak akan pernah berada di tempat yang sama seperti sekarang ini. Dan meskipun saya berharap bahwa beberapa perubahan ini dapat terjadi secara berbeda, lebih anggun, pada akhirnya saya selamat dari semuanya. Dan itu membuat saya menjadi orang yang lebih kuat dari sebelumnya.


Jadi di sinilah saya, 2500 tahun kemudian, dengan kata-kata yang sangat pribadi. Semoga ada sesuatu yang bisa dipelajari dari sini atau ada sesuatu tentang hal ini yang mungkin terasa relate denganmu. Jika kamu berada di posisi yang sama dengan saya (kamu menyadari bahwa kamu telah berubah, namun kamu belum ingin berkomitmen pada konsekuensinya, karena itu terasa menakutkan), saya sangat berharap tulisan ini membantu. Saya tahu ada orang yang membaca blog saya, tetapi itu tidak menghentikan saya untuk berbagi pengalaman pribadi. Sejujurnya, saya bahkan tidak bisa membayangkan sebuah ruangan yang dipenuhi oleh ratusan orang, apalagi ribuan orang. Meskipun demikian, jika ada satu orang saja yang bisa saya bantu, saya merasa tugas saya sudah selesai.

Photo by Domenico Loia on Unsplash

Blog ini akan selalu terasa seperti tempat pribadi saya di world wide web: buku harian online saya yang entah mengapa sedang kamu baca saat ini. Mungkin kamu telah mengikuti perjalanan saya selama beberapa waktu. Mungkin kamu baru saja tiba. Atau mungkin kamu hanya sedikit usil dan judul ini membuatmu penasaran (maaf, tidak bermaksud membuatnya terdengar clickbaity dalam hal ini). Bagaimanapun juga: dalam beberapa bentuk, kamu adalah bagian dari hidup saya sekarang. Dan saya ingin berterima kasih untuk itu. Terima kasih telah menjadi bagian dari cerita saya dan meluangkan waktu berharga dalam hidup Anda untuk membaca tulisan ini. Saya tidak dapat melakukan ini tanpamu.


Menulis akan selalu menjadi gairah utama saya. Sejak saya masih kecil, saya ingin menjadi seorang penulis (bukan putri Disney atau ibu rumah tangga, saya ingin menuliskan cerita). Saya suka membuat video Youtube, saya suka membuat konten visual, tapi tidak ada yang lebih memuaskan saya selain bisa mengekspresikan diri saya dengan kata-kata dan membuat orang lain merasakan kata-kata itu juga. Bahasa sangat kuat, ajaib dan misterius. Semua orang menggunakannya, namun tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana perkembangannya. Itulah yang saya sukai dari hal ini. Namun, saya ingin jujur dengan kalian. Kali ini, saya merasa sangat menakutkan untuk menulis dan mempublikasikan postingan blog ini. Bukannya saya tidak pernah terbuka kepada kalian sebelumnya, tapi kali ini rasanya berbeda. Segalanya berbeda. Benar. Dan itu adalah hal yang baik. Saatnya untuk mengakhiri bab ini sekarang, dan mulai menulis awal dari bab yang baru.


Tulisan asli dari blog Lilylike, saya terjemahkan karena merasa relate dengannya

I quit (again), and now it's for good

Rabu, 21 Juni 2023

Per tahun ajaran baru ini saya sudah tidak lagi mengajar di sekolah (lagi)✌️. Beberapa orang tua murid menanyakan alasan, dan Alhamdulillah saya punya alasan yang cukup baik untuk menjawabnya. Sesungguhnya perihal resign kerja ini sudah pernah saya tulis di blog saya yang sebelumnya. Tapi karena blognya sudah saya sembunyikan jadi saya tulis lagi di sini. Sekalian saya mau curhat maksimal 👀.

Sejak mulai mengajar mengaji di usia 16 tahun, saya sudah merasakan bahwa ini adalah pekerjaan yang tidak mudah. Konsep tentang "sumur itu didatangi, bukan mendatangi" yang sudah nancep mantep di hati membuat saya sulit menghadapi model-model murid yang pemalas. Hal itu yang akhirnya membuat saya nggak bertahan lama ngajar ngaji privat.

Tahun 2013 ketika akhirnya saya memutuskan mendaftar menjadi guru sekolah, sesungguhnya saya berpikir akan mengajar tahsin, saja. Tapi ternyata dunia sekolah sungguh berbeda. Yang tadinya saya pikir sekolah Islam eksklusif akan punya caranya sendiri dalam mendidik murid, pun ternyata hanya khayalan saja.

Ada target hafalan yang harus tercapai, sementara kompetensi anak tidak memadai. Pembiasaan ibadah hingga ke sunnah, tapi adab dan akhlak pribadinya sungguh memprihatinkan. Lebih miris lagi, ternyata gurunya pun tidak jauh berbeda. Dalam hal ini, tentu saja saya sedang membicarakan diri sendiri juga. Saya dulu sampai curhat juga tentang kecewanya saya kepada diri sendiri di blog.

Karena saya mengajar SMP, saya sangat terkejut ketika mengetahui bahwa anak-anak lulusan SD IT dengan hafalan rata-rata 1 sampai 2 juz masih belum benar bacaan Al-Qur'annya. Dulu, saya mengira bahwa anak-anak yang bisa menghafal juz 30 itu luar biasa. Tapi mendapati kenyataannya, saya justru sedih melihatnya. Lebih menyedihkan lagi, yang saya kira hal itu hanya terjadi di sekolah saya ternyata adalah fenomena hampir di sekian banyak sekolah Islam yang saya ketahui. Belum lagi pengelolaan yang sangat tidak profesional, membuat saya makin kecewa melihat bagaimana 'orang-orang soleh' ini seperti tidak ubahnya pejabat birokrasi berlabel yayasan dakwah.

Satu tahun bekerja di satu sekolah pada naungan yayasan tertentu, saya memilih pindah bekerja bersama suami di bawah naungan yayasan yang punya tempat khusus di hati saya. Selain karena memudahkan bekerja bersama suami, saya pikir pada hal-hal tertentu saya akan lebih mudah mendapatkan apresiasi jika mengutarakan pendapat karena saya tahu yayasan ini digerakkan dengan ruh dakwah.

Namun saya kembali kecewa. Harapan untuk menumbuhkan tradisi belajar ala salaf di lingkungan sekolah asrama ternyata tidak bisa diterima. Entah dari mana orang-orang itu mengambil teori pendidikan, tapi hampir kesemuanya justru hanyalah kebalikan dari konsep pendidikan Islam yang saya kenal.

Maka kemudian saya belajar kembali, mencari-cari referensi dunia pendidikan kekinian. Lalu saya menemukan, ternyata apa yang dipraktikkan sekolah-sekolah Islam kenamaan ini pun hanyalah sepenggal-sepenggal dari berbagai konsep yang sekarang pun mulai tenggelam di negara tempat konsep itu pertama kali dikenalkan. Setiap kali pelatihan membahas konsep-konsep itu, otak saya tidak berhenti teriak, "what the hell are they thinking? Ini konsep udah basiiii!!!"

Karena sadar kalau kerusakan ini sudah sistemik, saya bertahan dengan satu harapan; semoga ada satu atau dua orang anak yang mendapatkan inspirasi dari saya. Harapan itulah satu-satunya yang membuat saya tetap semangat mengulik kurikulum aqidah terbaik untuk dimodifikasi supaya cocok dengan model pengajaran sekolah. Harapan itu yang membuat saya rela membayar mahal untuk mendaftar Sekolah Adab bagi Guru beberapa tahun yang lalu. Harapan itu yang mendorong saya untuk terus belajar, agar tetap bisa catch up dengan teori-teori dan penemuan terbaru di dunia pendidikan. Sampai akhirnya saya merasa bahwa harapan itu tidak lagi layak saya perjuangkan.

Tahun 2017 saya memutuskan resign. Ada banyak hal yang melatarbelakangi keputusan itu, tapi yang paling utama adalah karena saya butuh menjaga kewarasan. Saya kehilangan banyak hal dengan mempertahankan satu harapan yang belum pasti terwujud. Sebagai guru Al-Quran saya malah merasa semakin jauh dengan Al-Quran ketika menjalani hari-hari selama mengajar. Kok bisa?! I don't know how to explain it

Saya tetap mengajar, di tempat yang berbeda, sesuai keinginan saya sendiri. Dan saya juga kembali belajar. Bisa dibilang, masa-masa dimana saya menjadi ibu rumah tangga tanpa penghasilan itu sungguh membahagiakan. Secara finansial memang keluarga kami merasa kekurangan, tapi secara emosional saya merasa nyaman. Satu-satunya yang membuat tidak nyaman hanyalah kekhawatiran suami 😅.

Atas dasar kekhawatiran suami itulah saya menerima ketika tawaran mengajar datang lagi di tahun 2020. Saya masih bisa mengingat dengan jelas, saya pindah ke asrama tepat satu pekan sebelum kehadiran Covid-19 menghantui seluruh dunia. Saya kembali mengajar dengan paradigma baru; lakukan apa yang bisa dilakukan, jangan terlalu banyak berharap. Saya tahu itu bukanlah cara berpikir yang optimis, tapi itulah hal paling realistis yang bisa dilakukan supaya perjalanan kerja saya tetap lancar.

Sekolah online cukup banyak memberikan cerita, tapi saya tidak mau terlalu mempermasalahkan hal itu. Toh semua orang mengalami kesulitan yang sama, bahkan sebagian orang benar-benar menderita di masa-masa itu. Penyebab saya memutuskan untuk resign lagi justru paling besar adalah dari pemikiran internal saya sendiri.

Terlalu banyak kehilangan yang saya alami lagi setelah kembali mengajar, terutama sejak lokasi sekolah pindah. Secara emosional, finanasial bahkan spiritual. Yang terakhir ini sesungguhnya menjadi alasan paling utama. Sangat tidak masuk akal, menjadi guru Al-Quran tapi justru rasanya malah menambah dosa dari hari ke hari. Akan sangat banyak kalau mau diuraikan permasalahan yang saya rasakan selama menjadi guru, tapi mungkin perlu ruang tersendiri dan keberanian lebih untuk menuliskannya. Yang jelas, saya sudah mantapkan hati bahwa saya tidak perlu kembali menjadi guru di sekolah itu lagi terutama jika keadaannya masih saja seperti ini. 

Istilah baru; POSER

Sabtu, 20 Mei 2023



Singkat cerita, karena sekarang lagi musim-musimnya penyanyi pada konser maka suatu hari di kelas saya sempat membahas hal tersebut bersama anak-anak murid. Salah satu yang kami bahas tentu saja konser Blackpink beberapa waktu yang lalu. Kemudian salah satu anak tiba-tiba nyeletuk, "pingin lho, nonton konser juga."


Lalu saya pun menanyakan, "emangnya kamu suka Blackpink juga?"


"Nggak sih, Umi. Tapi kayaknya seru aja gitu kan semuanya pada nonton."


Seketika saya langsung keceplosan, "eh, beneran ada ya orang kayak gitu?" Dan anak-anak pun bertanya-tanya maksud perkataan saya itu.


Poser, istilahnya. Saya baru tahu setelah beberapa kali postingan tentang istilah tersebut lewat di beranda sosial media. Ternyata istilah itu ditujukan untuk orang-orang yang ikut-ikutan trend hanya supaya diterima oleh lingkungan pertemanan tertentu. Dan seperti yang disampaikan di mana-mana, sepertinya hampir semua orang pernah mengalami masa ketika dirinya menjadi seorang poser.


Saya sendiri dulu pernah berpura-pura suka sama novel 5 cm hanya karena novel itu best seller dan disukai banyak orang. Padahal dalam hati saya waktu baca, sering bosan dengan dialog-dialognya. Tapi waktu itu saya berpikir saya yang salah karena nggak menyukai novel laris. Apakah itu juga termasuk poser?


Sementara kalau urusan musik, bisa dibilang saya termasuk yang punya pendirian 😁. Sejak dulu saya memang punya selera yang beda dengan orang-orang sekitar. Ya walaupun yang saya sukai adalah genre musik yang memang tenar pada masanya; semacam pop-punk/rock tapi tetap saja genre musik seperti itu bisa dibilang nggak pernah diputar di radio-radio kampung.

***

Nah, kembali ke cerita si anak tadi. Saya kemudian mencoba memperjelas pernyataannya. "Kalo misalnya kamu punya uang dan punya kesempatan, kamu mau berangkat nonton konser Blackpink?!"


"Mau lah, Umi." Dengan alasan yang sama seperti yang dia sampaikan diawal, 'kayaknya seru'.


Yang saya pikirkan tentang kejadian itu adalah, ada berapa banyak anak-anak kita sekarang yang punya pola pikir semacam itu? Cerita tentang konser Blackpink tempo hari yang 'katanya' banyak diisi poser-poser dadakan membuat saya mengevaluasi masa muda diri sendiri.


Dulu tahun 2005 Avril Lavigne pertama kali konser ke Indonesia. Seharian saya kepikiran terus sampai nggak semangat untuk ngobrol sama orang. Tapi kalaupun saat itu saya punya uang dan kesempatan untuk pergi nonton konsernya, saya tetap nggak akan berangkat. Kenapa? Karena pada saat itu prioritas utama saya bukanlah hiburan. Kok saya bisa tahu? Karena saya juga bahas hal itu pada saat itu, dengan adik saya.


Ketika memutuskan untuk membelanjakan uang yang banyak, selalu ada pikiran, "is it worth it?" Saya beli album Avril Lavigne yang asli sampai harus menabung berhari-hari karena saya pikir itu sebagai bentuk apresiasi terhadap karyanya, tapi kalau untuk datang ke konsernya saya masih ragu-ragu. "Apakah dia bisa tampil sebagus seperti di rekamannya? Apakah uang sebanyak itu bisa saya belanjakan untuk hal lain yang lebih berguna?" Padahal Avril Lavigne adalah satu-satunya penyanyi yang saya sukai pada saat itu.


Maka ketika mendengar ada orang yang ingin menonton konser hanya karena 'kayaknya seru', saya benar-benar nggak habis pikir. Mau bilang pikirannya dangkal kok kasar banget, tapi saya nggak nemu istilah lain yang bisa menggambarkan kedangkalan pikiran semacam itu. Coba deh pikirin, uang ratusan ribu bahkan jutaan yang bisa untuk makan sebulan (bahkan buat umroh 😩) kamu habiskan hanya untuk melakukan sesuatu yang kamu sendiri nggak tahu, kamu suka atau nggak sama hal itu?! Bahkan untuk urusan kesukaan, kamu sendiri nggak tahu apa yang kamu sukai?! What the hell???? Kok bisa?!


Tapi akan selalu ada alasan untuk ikut melakukan yang orang-orang lakukan. Karena tentu lebih mudah bersama dengan orang banyak daripada sendirian. Hanya saja kalau sampai harus merugikan diri sendiri dan masa depan, (dalam hal ini materi) kok rasanya sayang sekali. Saya sendiri baru berani beli kaos merchandise Linkin Park baru-baru ini karena merasa selama ini kurang mengapresiasi mereka sebagai salah satu musisi yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Baru berani pesen jaket ONE OK ROCK dan beli tiket konser online-nya awal bulan Juni mendatang karena yakin bahwa mereka benar-benar sudah merebut hati saya. (Belum checkout sih, tapi sudah fix mau beli nanti setelah gajian) Coldplay? Saya cuma tahu 4 lagunya, jadi bye bye saja lah.


Dan setelah saya pikirkan, ternyata saya yang begitu pemilih ketika menentukan sikap itu sepertinya dipengaruhi salah satunya oleh pola asuh orang tua. Sejak kecil, orang tua saya selalu berpesan untuk 'ojo melu ubyug', yang bisa diartikan 'jangan ikut kerumunan' atau 'jangan suka ikut-ikutan yang dilakukan orang-orang kebanyakan'. Orang tua saya begitu selektif 'memilihkan' teman untuk saya, saking selektifnya sampai-sampai saya cuma boleh temenan sama buku 😂. Setiap kali mengetahui saya mengoleksi sesuatu, mereka selalu menanyakan alasannya. Saya tidak boleh menyukai sesuatu tanpa alasan.


Maka ketika akhir tahun 2020 lalu saya mulai tertarik dengan ONE OK ROCK, dalam pikiran saya refleks muncul pertanyaan 'apa yang membuat band ini istimewa di hati saya?'. Saya pikir itu agak berlebihan, tapi setelah diingat-ingat itu memang sudah kebiasaan yang dibangun orang tua kepada saya sejak kecil. Jangan menyukai atau melakukan sesuatu hanya karena orang lain juga menyukainya atau melakukannya. Kamu harus menyukainya atau melakukannya karena kamu tahu alasan kebaikan hal tersebut.


Dan ternyata ... hal itu juga merupakan ajaran agama Islam. Tentu saja orang tua saya yang nggak bisa baca Alif Ba Ta itu nggak tahu tentang konsep 'Imma'ah'. See? Seorang muslim itu harus punya prinsip, harus punya landasan mengapa dia melakukan sesuatu. Kalau bahasa kerennya, harus tahu ilmunya. 


Dari Abdurrahman bin Yazid, diriwayatkan bahwa ia menceritakan, "Abdullah berkata

'Janganlah kamu sekalian menjadi imma'ah.' Orang-orang yang hadir bersama beliau bertanya, 'Apakah arti imma'ah itu?' Beliau menjawab, 'Yaitu sikap orang yang menyatakan, 'Saya ikut dengan kebanyakan mereka, baik dalam hal yang ada petunjuknya atau pun dalam hal yang tidak ada petunjuknya (kesesatan).' Ingatlah, hendaknya masing-masing diantara kamu menguatkan dirinya, yakni bila orang banyak itu kufur, maka engkau tidak ikut kufur."


Coba pikirkan lagi nasihat di atas. Kalau ikut-ikutan maksiat wajar lah nggak boleh. Tapi nasihat itu juga menyebutkan bahwa kita nggak boleh ikut-ikutan berbuat kebaikan. Intinya, jangan ikut-ikutan kalau melakukan sesuatu. Harus ada alasan pribadinya. Harus tahu kenapanya. Dan hal ini yang saya lihat tidak dimiliki orang-orang, alasan untuk setiap gerakannya. Apa akibatnya?


Orang yang nggak punya alasan untuk tindakannya pasti akan lemah pendiriannya. Hari ini suka A, bulan depan suka B. Sekarang beli C, besok belanja D. Hanya karena melihat orang-orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Maka penting sekali kita mengenali standar pribadi. Kalau dalam hal selera hiburan misalnya, jenis musik seperti apa yang disukai? Genre film seperti apa yang menurutmu seru? Sarana hiburan apa yang membuat kamu paling bersemangat? Sehingga ketika kamu akhirnya membelanjakan uang untuk hal-hal tersier tersebut, kamu benar-benar berakhir bahagia karena bisa menghilangkan kepenatan dan memuaskan seleramu. Kalau cuma ikut-ikutan, yang ada malah cuma pemborosan karena dirimu yang sesungguhnya bisa jadi nggak mendapatkan haknya karena kamu kasih sesuatu yang bukan kebutuhannya./

10 tahun kemudian

Kamis, 06 April 2023

 


10 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 2 April 2013 saya membuat sebuah tulisan cukup panjang tentang gambaran kehidupan yang saya cita-citakan di usia saat ini. Ketika membaca ulang, saya merasa bersyukur bahwa blog lama itu tidak saya hapus. Saya jadi bisa refleksi sambil introspeksi dari kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan, sekaligus menertawakan kenaifan anak muda berusia 20-an itu. Sungguh, membaca tulisan itu membuat saya sadar bahwa mimpi-mimpi yang saya tuliskan itu benar-benar sebuah harapan kosong yang langsung terlupakan segera setelah dituliskan. Dan sekali lagi saya bersyukur tidak menghapusnya, karena pada tahun 2017 kalau tidak salah saya baru disadarkan kembali tentang cita-cita itu lalu mulai berusaha membangunnya sedikit demi sedikit.


Lalu, 10 tahun kemudian apa yang terjadi?


Nothing, 😂. Well, actually so much happened in the last 10 years in my life. So, saya akan coba mengurai semua kekacauan ini dalam sebuah tulisan yang mudah-mudahan cukup mudah untuk dicerna.


Pada dasarnya, cita-cita saya cukup --cukup buat saya-- sederhana. Saya hanya ingin jadi ibu rumah tangga. Tinggal di rumah yang sederhana, dan punya 4 anak di usia ini. Yang terakhir ini, saya menyerah 😑. Faktanya, Alhamdulillah kami sudah punya rumah walaupun belum ditinggali. Dan malah mengontrak rumah yang jauh lebih baik dari rumah milik kami sendiri. Saya gagal jadi ibu rumah tangga, tapi masih berusaha memperjuangkannya. Dan kami memutuskan untuk bertahan dengan 2 anak terlebih dahulu, karena ternyata memiliki anak membutuhkan energi yang sangat besar. Bukan hanya secara finansial, tanggung jawab menjadi orang tua ternyata tidak sesederhana yang kami pikirkan. Dengan banyaknya tantangan di zaman ini, kami belum yakin bisa membentengi anak-anak kami dengan sebaik-baik bekal. Jadi, Alhamdulillah Qia dan Aqsha sekarang tumbuh jadi anak baik dan pengertian kepada orang tuanya.


Selanjutnya, ternyata saya sama sekali tidak punya kemampuan untuk menjadi manager keluarga 😆. Bahkan kami berdua adalah sama-sama orang yang kacau hidupnya. Tapi tidak apa-apa, selama kami saling memahami InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Hahaha.... Setidaknya cita-cita memiliki perpustakaan pribadi sudah terwujud dan mudah-mudahan bulan Juli nanti saya bisa melancarkan program baca buku intensif untuk bisa mewujudkan program saya mandiri dari rumah 💪.


Dan dengan keadaan saya 10 tahun belakangan ini, sejujurnya saya agak sanksi apakah bisa menularkan hobi membaca buku kepada anak-anak. Karena ternyata curiosity tidak bisa diwariskan. Qia jelas anak yang cerdas, tapi saya belum bisa mengajak dia menyukai buku. Sejauh ini saya baru bisa menunjukkan kepadanya bahwa ibunya suka membaca. Memberi teladan bahwa belajar sangat menyenangkan. Dan mudah-mudahan suatu saat dia mau mengambil buku-buku yang sudah saya belikan dan membacanya, lalu adiknya akan menirunya.


Menulis, membaca dan menghafal Al-Quran akan jadi proyek utama setelah saya resign nanti. Bahkan bukan hanya menulis Al-Quran, saya harus mengajarkan hal lain kepada mereka karena ternyata semua ilmu itu tidak bisa saya limpahkan kepada sekolah. Kadang-kadang saya heran, bagaimana bisa biaya sekolah sekarang sangat mahal tapi tidak bisa mengajarkan hal-hal penting mendasar secara tuntas kepada anak-anak kita? 


Tentang bisnis dari rumah atau membuka toko buku, saya sudah tidak menginginkannya lagi. Saya ingin fokus saja pada komunitas yang sudah saya bangun sejak 2021 dan berharap akan ada benefit yang saya dapatkan nanti. Tentang melanjutkan kuliah, saya pun masih ragu. Keinginan tentu saja masih ada, tapi apakah saya masih membutuhkannya? Karena saya sudah tidak ingin lagi menjadi dosen. Hanya saja, sekarang minat saya malah ingin belajar bahasa. Sejauh ini saya sudah mendapat banyak resource untuk belajar bahasa Arab, Jepang dan Mandarin. Mungkin suatu saat saya bisa menguasai bahasa-bahasa tersebut dan mendapatkan manfaatnya.


Yang terakhir, menjadi guru Al-Quran. Faktanya saya memang menjadi guru Al-Quran sejak lulus kuliah, tapi ternyata setelah 10 tahun menjalaninya saat ini saya sampai pada keputusan bahwa bekerja di sekolah bukanlah ide yang bagus untuk saya. Terlalu banyak kontradiksi yang saya rasakan dan akhirnya malah membuat saya banyak dosa kalau memaksakan diri untuk bertahan. Mungkin lain kali akan saya tuliskan juga tentang hal ini.


Jadi, 10 tahun kemudian... Seperti inilah hidup saya. Sedang berusaha membangun kehidupan yang lebih baik walaupun sulit. Saya punya deadline sampai bulan Juni untuk merencanakan masa depan, and I can't wait to pursuit my hapiness.

Dari self-confidence sampai senyum tanpa pamrih

Sabtu, 28 Agustus 2021

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
In the name of Allah, the most Gracious, the most Merciful

Membaca salah satu Tuesday Love Letter hari ini, dari topik self-confidence sampai berujung pada urgensi amal tersenyum membuat saya merenung.

Pertama, tentang kepercayaan diri. Bahwa ketika kita sedang berada di lingkungan asing dan keluar dari zona nyaman -mencoba hal-hal baru, misalnya- akan membantu dalam membangun kepercayaan diri. Perasaan merasa sendiri dan tidak mempunyai apapun/siapapun untuk diandalkan akan membuat diri kita terpaksa mengandalkan diri sendiri.

Saya sering sendiri sejak kecil. Pulang sekolah sendiri, sampai di rumah sendiri, yang itu membuat saya tidak ingin menjadi ibu bekerja. Saya iri melihat teman-teman saya pulang sekolah disambut ibunya di rumah. Tapi itu mungkin jadi penyebab paling awal saya terbiasa dengan kesendirian. I'm OK being alone, bahkan akhirnya saya merasa lebih baik ketika sendirian. Dan rasa nyaman terhadap kesendirian itu mungkin yang menyebabkan saya menjadi introvert.

Orang biasanya mengasosiasikan introvert sebagai pemalu. Padahal menurut saya, justru orang-orang introvert itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dulu saya sering sekali merasa aneh melihat teman-teman saya yang batal jalan ke kantin hanya karena tidak ada temannya. 'Kamu yang laper pengen jajan kenapa harus temenmu yang ikut jalan?' Atau merasa geram ketika ada orang terlambat karena menunggu temannya yang lambat, like... HOW??? Kenapa harus rela merendahkan integritas diri hanya karena teman? That doesn't make any sense. Dan orang-orang ini, yang biasanya rame dan so called ekstrovert bilang bahwa kami introvert ini pemalu. Pemalu dari mananya?!

---

Lalu berlanjut kepada pembahasan berikutnya, tentang tersenyum. Dalam suratnya, Aida menceritakan tentang pengalaman muslimah yang travelling ke negeri minoritas muslim. Bagaimana mereka harus menghadapi tatapan-tatapan aneh dari orang-orang di sekitar karena penampilan yang berbeda, itu membuat sangat tidak nyaman dan mau tidak mau berakibat pada munculnya rasa insecure dalam diri mereka.

Aida is such an intelligent woman. Responnya terhadap cerita-cerita tersebut adalah menanyakan, "have you ever tried, just smiling at them?" dan penjelasannya terhadap hal ini membuat saya merenungi lagi keberadaan 'kasta-kasta muslimah' di negeri kita sendiri. Seorang muslimah dengan hijab di negeri orang, tentu merasa terpojok jika mendapat tatapan aneh dari penduduk setempat. Tapi di Indonesia, dulu sekali, menjadi muslimah berjilbab panjang saja bisa mendapat tatapan sangat aneh dari sesama muslimah. Ironi sekali memang. Dan sumber tatapan aneh itu, bukan berasal dari kebencian melainkan dari ketidaktahuan. Mereka mungkin menatap aneh karena jilbab yang kita kenakan adalah konsep yang asing bagi mereka dan apapun yang mereka ketahui tentang jilbab ini hanya terbatas pada apa yang mereka lihat/baca di media. Let's be real, kalau sesama muslim saja banyak yang tidak tahu tentang Islam, bagaimana mungkin kita mengharap non-Muslim untuk mengetahuinya, kan?!

Dan untuk menghadapi tatapan-tatapan aneh itu, you could try smiling. Terdengar sederhana dan mudah, tapi percayalah, it's not. Terutama bagi para jilbaber di masa-masa awal dakwah Islam masih asing di sini. Terlebih lagi dengan sifat alamiah perempuan yang pemalu seperti saya gambarkan di awal tulisan ini.

Photo by Pixabay

Let me tell you a story. Dulu, waktu masih awal-awal kuliah saya sering dianggap sebagai akhwat gampangan di kalangan akhwat-akhwat kampus. Saya memang jarang tersenyum -jaaaaaaaraaaaang sekali- tapi saya selalu mencoba membuka obrolan kepada siapapun, termasuk laki-laki. Dan kalau sudah mengobrol, seringkali secara tidak sadar saya akhirnya tersenyum kepada lawan bicara. Hal yang sangat asing dilihat dari seorang akhwat, karena ketika akhwat lain 'terpaksa' mengobrol mereka selalu ingin segera mengakhiri. Siapa coba yang mau ngobrol sama orang yang nggak mau diajak ngobrol?!

Kalian tidak akan percaya bahwa saya adalah introvert kalau melihat saya sedang mengobrol dengan teman-teman saya di kampus. Tapi kalian akan menganggap saya pembunuh berdarah dingin kalau sedang sendiri. Teman-teman sekelas saya sering mengatakan kalau saya punya 2 kepribadian yang berbeda. 😂

Alasan saya bermuka dua itu adalah karena saya mengamati bahwa ada yang kurang tepat dengan pembawaan para akhwat-akhwat di lingkungan mereka. Akhwat-akhwat berjilbab lebar selalu dianggap sombong dan eksklusif. Saya tidak tahu apakah ini masih berlaku sampai sekarang. Tapi saya melihat itu adalah sesuatu yang tidak benar. Maka saya mencoba to break the stereotypes meskipun itu sangat bertolak belakang dengan kepribadian saya sendiri. Karena kalau mau jujur, kita tidak bisa mengharap stereotype itu hilang jika kita tidak memulai langkah pertama. Kita tidak bisa memaksa orang lain memahami kita jika kita tidak menjelaskan terlebih dahulu kepada mereka. Nyatanya saya hanya butuh beberapa bulan untuk akhirnya bisa kembali kepada kepribadian saya yang asli setelah mengajak teman-teman sekelas saya memahami kepribadian asli saya yang aneh. Setelah mengenal saya, mereka tidak pernah segan lagi mengganggu saya meskipun saya datang ke kampus dengan wajah datar dan menatap sesuatu dengan pandangan sinis. 

Tapi, refleksi paling menarik dari topik ini menurut saya adalah tentang niat tersenyumnya itu sendiri. Ketika tersenyum kepada orang-orang di luar lingkaran pertemanan, saya bisa tulus dan tidak mengharap balasan apa-apa. Tapi seringkali, sadar atau tidak, saya seringkali mengharap balasan jika senyum itu say aarahkan kepada sesama muslimah terutama yang berjilbab lebar. Dan tentu saja saya sering kecewa, karena rata-rata mereka sudah menyetel diri mereka untuk menjaga jarak dengan orang lain. Tentu tidak semuanya, tapi setidaknya kebanyakan yang saya temui dulu begitu, don't know why. Padahal senyum adalah salah satu amalan paling ringan, dan harusnya saya melakukannya bukan sekadar ingin dinilai sebagai orang yang ramah atau demi menjaga image di hadapan manusia. 

Senyumlah engkau hanya kerana Allah
Itulah senyuman bersedekah

I don't know why lagu itu sudah saya dengar sejak lama sekali tapi baru sekarang saya merasa benar-benar memahami maknanya. Jika kamu tersenyum pada orang lain dan dia tidak membalas senyummu, so what?! Kalau kamu mengharapkan balasan senyuman dari orang itu, bisa jadi itu adalah pertanda bahwa kamu belum ikhlas dengan senyummu.

Saya benar-benar harus mulai lebih peduli dengan apa yang saya lakukan dan bagaimana saya merespon hal-hal yang ada diluar kendali daripada sibuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan atau lakukan terhadap saya. Dan lebih banyak tersenyum dengan niat yang benar; melaksanakan perintah Allah dan menebarkan keramahan Islam ke sesama manusia. That's all.

Semua Menang, Semua Senang

Jumat, 20 Agustus 2021

 



Jadi ceritanya beberapa hari yang lalu sekolah Aqsha mengadakan lomba dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam sekaligus Hari Kemerdekaan Indonesia. Lombanya ada 2, nyanyi lagu nasional sama mewarnai. Tentu saja Aqsha ikut lomba mewarnai karena dia nggak bisa nyanyi dan orang tuanya terlalu sibuk untuk nyanyi bareng dia. 

Hasil lomba diumumkan tadi siang, dan seperti yang sudah saya duga Aqsha juara. Juara apa gitu tadi saya lupa. Nah, persoalan juara ini yang mau saya bahas kali ini.

Saya sudah punya masalah dengan konsep perlombaan di lembaga tempat saya mengajar ini sejak dahulu kala. Awalnya dulu waktu saya pertama kali mengalami jadi panitia lomba sekolah dan harus membuat kriteria pemenang yang bejibun. Saya heran kan, "kalau pemenangnya banyak ya nanti menang semua dong?" Muncullah pertanyaan itu. Dan Anda tahu bagaimana jawabannya saudara-saudara?! 'Kita mau mengapresiasi usaha mereka, Bu. Lagipula semua anak itu juara.'

Sampai 2017, seingat saya tradisi lomba ala-ala itu masih ada. Tapi belakangan sepertinya sudah mulai hilang. Terbukti ketika lomba Muharram dan HUT RI kemarin pemenangnya sudah mulai lebih dikurasi. Tapi yang SD dan TK ini yang masih belum berubah. Saya perhatikan, sejak Qia sekolah sampai sekarang Aqsha mengalami lomba masih saja mereka dapat juara.

Yang membuat saya penasaran adalah, darimana orang-orang ini punya pemikiran aneh seperti itu. Saya paham tentang logika 'semua anak adalah juara'. Tapi mbok yo lihat konteksnya. Yang namanya lomba itu memang harus ada yang menang, Qia saja tahu tanpa perlu diajarin soal itu. Kalau bagi rapor tanpa peringkat itu juga saya paham, karena yang dinilai bukan satu atau dua kompetensi. Sementara yang namanya lomba, tentu saja spesifik. Lomba nyanyi, lomba ngaji, lomba nulis, dll. Pesertanya haruslah sudah merasa punya kompetensi untuk mengikutinya. Sehingga ketika ada yang lebih unggul dari dia hal itu akan memacunya untuk berjuang menjadi lebih baik lagi. Lha kalau usaha minimal saja sudah jadi juara terheboh, juara termanis, juara tersopan, kapan dia belajar gagalnya?!

Satu alasan yang pernah saya dengar dari salah satu rekan guru yang sebenarnya juga tidak setuju dengan konsep aneh ini tapi tidak punya daya dan upaya untuk berbuat sesuatu adalah bahwa kasihan kalau anak-anak yang masih kecil harus mengalami hal yang menghancurkan hatinya. Dan alasan itu justru membuat saya semakin heran, sekaligus menyimpulkan sesuatu juga sih. Heran karena saya tidak mengerti bagaimana mungkin orang-orang dengan pengalaman bertahun-tahun menjadi pendidik kok bisa tidak tahu bahwa kalau anak sejak kecil tidak pernah mengalami kegagalan justru dia akan menjadi rentan ketika dewasa. Dan disaat yang bersamaan saya pun jadi maklum kenapa anak-anak Islam Terpadu itu rata-rata daya juangnya rendah sekali. Karena memang jarang mengalami kegagalan. Pokoknya juara. Selama lombanya di lingkungan sendiri pasti menang. Lihatlah anak-anak IT yang ikut lomba di luar lingkungannya, jarang yang menang kan?!

Jadi ya gitu. walaupun diminta untuk mengambil bingkisan juara saya pun tidak terlalu semangat untuk ke sekolah karena saya tahu kualitas Aqsha belum cocok untuk jadi juara. Saya hanya berharap tradisi aneh ini suatu saat akan disadari oleh mereka dan diperbaiki.

Lagu-lagu untukmu yang merasa kesepian di rumahmu sendiri

Minggu, 20 Juni 2021

 


Belakangan ini saya sering melihat konten-konten tentang mental health di sosial media maupun kanal YouTube yang tampaknya menyasar ke pemirsa muda. Orang tua yang tidak supportif bahkan cenderung abusif, lingkungan pertemanan yang toxic, pasangan yang menyakiti dan lain-lain. Kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan itu lambat laun akhirnya merusak mental generasi remaja kita. Dan yang menurut saya lebih menyakitkan adalah, kebanyakan kemudian berujung -cenderung- menyalahkan generasi sebelumnya.

Nggak perlu salah paham juga, sih. Kita, generasi milenial ini juga sering sekali menganggap generasi saat ini sebagai generasi yang lemah atau dalam istilah Rhenald Kasali; Strawberry Generation. Generasi yang berisi orang-orang yang kreatif, tapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Ingin melakukan perubahan besar, tapi tidak mau menghadapi kesulitan.

Pikiran-pikiran tentang perbedaan karakter antar generasi ini membuat saya terinspirasi untuk mengulik lebih jauh, apa sih yang membuat generasi saya menganggap diri lebih kuat secara mental daripada generasi saat ini?! Lalu tadi siang, ketika selesai karaokean saya mulai menyadari bahwa lagu-lagu yang saya nyanyikan hampir semuanya bertemakan difficult parent-child relationship. Lalu apa hubungannya dengan mental health?!

Musik layaknya khamr bagi jiwa, kata Ibn Taimiyah. Sebuah lagu, itu memabukkan. Ketika kita mendengarkan lagu dengan khidmat, kita akan secara utuh menjiwai isi lagu itu, sedikit demi sedikit jiwa kita akan terbawa seperti apa yang ada di lagu itu. Nah, menyimak kembali lirik dari lagu-lagu yang tadi siang saya nyanyikan, saya mulai menyadari satu hal. Lagu-lagu tentang broken home yang dulu saya favoritkan itu, semenyedihkan apapun, sesakit apapun kisahnya, tetap terselip cinta di sana. Meskipun lagu itu berkisah tentang kepahitan, tapi tetap ada harapan yang disampaikan walau kadang hanya tersirat melalui video musiknya.

Lalu saya mencoba mencari referensi lagu dengan tema yang sama yang kira-kira rilis 10 tahun belakangan ini. Entah kenapa, saya tidak menemukan banyak lagu populer dengan tema itu. Saya tidak tahu, apakah memang begitu atau hanya tidak terlacak radar. Jadi, di postingan ini saya ingin memberikan playlist untuk kalian yang mungkin saat ini sedang sedih karena kondisi keluargamu yang tidak sesuai harapan. Kamu bisa menangis di kamarmu ditemani lagu-lagu ini, supaya kamu tahu bahwa kamu tidak sendiri.

1. Numb - Linkin Park


Kamu merasa orang tuamu menaruh harapan terlalu tinggi untukmu sampai-sampai kamu lelah karena terus mengecewakan mereka?! Chester Bennington paham sekali dengan perasaan itu. Lirik "every step that I take is another mistake to you" adalah tentang bagaimana perasaan seorang anak yang tidak bisa melakukan apapun untuk membuat orang tuanya bangga. Di lagu ini, Linkin Park menggambarkan tentang harapan seorang anak yang ingin menjadi dirinya sendiri tanpa kekangan dari orang tuanya. Tapi bukan hanya itu, Linkin Park juga menyadari bahwa para orang tua juga pernah mengalami kesulitan yang sama. Ketika mendengar lirik "but I know you were just like me with someone disappointed in you" membuat saya memaafkan orang tua saya. Rilis ketika saya kelas 2 SMP, saya mengenal Linkin Park lewat lagu ini yang selalu dinyanyikan teman sekelas yang duduk di belakang saya.

Can't you see that you're smothering me
Holding too tightly, afraid to lose control?
'Cause everything that you thought I would be
Has fallen apart right in front of you

2. Nobody's Home - Avril Lavigne


Lagu ini tidak menceritakan masalah hubungan orangtua-anak secara jelas. Tapi kita bisa melihat dari video musiknya, bahwa sang tokoh utama di lagu ini merasa terbuang dari keluarganya. Lagu ini diciptakan Avril terinspirasi dari kisah salah satu teman sekolahnya yang pergi dari rumah karena tidak cocok dengan orang tuanya. Kalau kamu sedang di posisi yang bertentangan dengan orang tuamu, mungkin lagu ini bisa menyadarkanmu betapa sulitnya menjalani hidup tanpa perlindungan orang tua.

She wants to go home
But nobody's home
That's where she lies
Broken inside
With no place to go
No place to go
To dry her eyes
Broken inside

3. Hold On - Good Charlotte



Opening video musik dari lagu ini straight to the point. Pesan yang disampaikan dari liriknya pun begitu jelas. This is an anti-suicide song. Lagu ini ditulis sebagai respon atas surat-surat dari penggemar mereka yang menceritakan tentang buruknya kehidupan mereka dan seringkali membuat mereka ingin mengakhiri hidup. Kalau kamu merasa sudah ingin menyerah, dengarkanlah lagu ini. Bukan cuma kamu yang merasa sedih dan sakit di dunia ini. Dan masih banyak orang penuh cinta di luar sana yang bisa kamu temui.

But we all bleed the same way as you do
And we all have the same things to go through

Hold on, if you feel like letting go
Hold on, it gets better than you know

4. Family Portrait - P!nk


Lagu ini seperti sebuah ratapan seorang anak kepada kedua orang tuanya yang selalu bertengkar dan hampir bercerai. Kita bisa pahami langsung dari liriknya. Video musiknya pun diperankan seorang anak kecil yang menyanyikan lagu tersebut. Tidak perlu banyak penjelasan, kalau kamu mengalami hal yang sama seperti yang tertuang di lagu itu, kamu pasti ingin memeluk gadis kecil itu.

In our family portrait, we look pretty happy
Let's play pretend, let's act like it comes
Naturally
I don't wanna have to split the holidays
I don't want two addresses
I don't want a step-brother anyways
And I don't want my mom to have to change her
last name

5. Because of You - Kelly Clarkson


Buat saya ini lagu paling sakit dari semua lagu yang ada di list ini. Kalau sedang sedih dan ingin menangis sampai saat ini saya masih akan memutar lagu ini. Lagu ini menceritakan seseorang yang berusaha untuk menghapus kenangan dan pengaruh buruk masa kecilnya yang menyakitkan. Bagaimana kegagalan orang tua menjadi pelajaran baginya, bahwa dia tidak boleh melakukan hal yang sama. Tapi menjalani kehidupan rumah tangga memang semenyulitkan itu, seperti digambarkan dalam lirik ini; And now I cry in the middle of the night, for the same damn thing. Ya, ketika masih menjadi anak-anak kita tidak mengerti mengapa orang tua begitu egois dan tidak memikirkan perasaan anaknya. Tapi nanti, -atau untuk saya sekarang- tahu betapa sulitnya bahkan untuk menjaga perasaan diri sendiri ketika teman hidup tampak tidak sejalan.

Because of you
I try my hardest just to forget everything
Because of you
I don't know how to let anyone else in
Because of you
I'm ashamed of my life because it's empty
Belakangan Kelly Clarckson membuat sebuah lagu yang berjudul Piece by Piece yang merupakan versi lebih dewasa dari Because of You. Pada akhirnya kita harus bisa berdamai dengan masa lalu agar bisa melanjutkan hidup.


6. Perfect - Simple Plan


Perfect adalah lagu untuk Ayah yang selalu menuntut kesempurnaan dari anaknya. Kamu mengalami juga?! Seberapa besarpun nilai di sekolah yang kamu dapat, Ayah akan selalu bilang "belajar lebih giat lagi". Biarkan Simple Plan menghiburmu. Mungkin kalau kamu sudah lelah untuk meyakinkan Ayahmu bahwa kamu menginginkan hal yang berbeda dengannya, kamu bisa bilang I'm sorry I can't be perfect.

I can't believe it's hard just to talk to you
But you don't understand

7. Confessions of a Broken Heart (Daughter to Father) - Lindsay Lohan


Kalau ini, bukan cuma lirik tapi juga video musiknya yang bikin nangis. Anak kecil yang ada di video ini adalah adiknya sendiri dan mereka nangis berdua di situ. Saya sampai terpana ketika pertama kali menonton videonya. Saya tidak perlu banyak cerita sepertinya, tonton sendiri dan menangislah bersama Lindsay dan adiknya.

And I carry the weight of the world on my shoulders
A family in crisis that only grows older

8. Never There - Sum 41


Ini adalah lagu paling baru dari semua lagu yang ada dalam list di sini. Dan karena ditulis oleh orang yang sudah dewasa, maka isi lagunya pun berbeda. Lagu ini ditulis Derek Whibley untuk ayahnya yang tidak dia kenal karena meninggalkan dia dan ibunya ketika dia masih kecil. Derek seolah mencoba memahami mengapa ayahnya pergi dan memaafkannya.

Even though you're never there
I didn't feel you disappear from sight
You did it well

***

Masih banyak lagu-lagu yang bertema broken home, beberapa saya temukan yang berbahasa Indonesia juga ada. Tapi karena genre musiknya tidak sesuai selera saya jadi tidak masuk di daftar ini. Dan sebagai penutup, saya hanya ingin menyampaikan bahwa seberat apapun ujian yang sedang kita alami saat ini pasti kita tidak sendiri. Pasti ada orang lain yang mengalami hal yang sama. Jadi jangan merasa terpuruk sendirian. Semua rasa sakit dan sedih ini akan segera berlalu.

Semoga daftar lagu ini cukup bisa menemani hari-hari kalian. Karena lagu-lagu ini juga yang dulu memberi saya semangat untuk terus hidup. Kalian mau menambahkan lagu lain yang belum masuk di list ini? 

Ikut-ikutan berkemajuan, ternyata malah mundur kejauhan

Sabtu, 05 Juni 2021

Manusia adalah musuh bagi apa yang tidak dia ketahui. Gara-gara ribut sama suami barusan, saya merenungkan lagi kalimat itu. 

Saya dan suami tidak meributkan masalah penting sebenarnya. Hanya sebuah gambar dengan ungkapan J*nc*k dan sebuah kalimat "Jika ucapan j*nc*k bisa menyatukan umat, kenapa memakai ucapan Tauhid untuk memecah belah umat". Kurang lebih seperti itu kalimatnya. Tampaknya benar, tapi menyesatkan. Dan suami saya, seperti biasa tentu saja tidak setuju dengan saya. 

Saya heran bagaimana mungkin orang-orang sekarang begitu mudah mengucapkan ungkapan-ungkapan asing yang sebenarnya bisa saja merusak perangai mereka. Di zaman seperti sekarang, banyak sekali istilah-istilah asing yang terdengar keren tapi sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan kita, lebih jauh lagi bahkan bisa saja bertentangan dengan nilai keIslaman kita.

Kalau memang manusia akan memusuhi hal-hal yang tidak mereka ketahui, bukankah seharusnya mereka akan berhati-hati dengan istilah-istilah asing itu?! Harusnya mereka menaruh curiga dengan segala hal baru yang tiba-tiba lewat di beranda sosial medianya?! Harusnya mereka waspada dengan narasi-narasi -yang katanya- modern dari yutuber-yutuber terkenal yang muncul di deretan trending. Tapi kenapa yang terjadi justru malah sebaliknya?! Banyak muslim yang begitu bangga merasa open-minded dengan mengampanyekan istilah-istilah yang mereka tidak paham maknanya. Feminisme misalnya. Bukankah seharusnya mereka mencari tahu dulu makna istilah itu sebelum ikut-ikutan menjadi pejuangnya? Memangnya mereka tidak tahu bagaimana sejarah gerakan itu muncul dan perjalanannya sampai sekarang merembet ke mana-mana?!


Makin saya pikirkan, ternyata kesimpulannya justru sebaliknya. Mereka memang tidak tahu, tapi masalahnya adalah mereka tidak tahu kalau mereka tidak tahu. Mereka merasa tahu, mereka menganggap bahwa mereka sudah paham. Karena merasa sudah paham, jadi mereka bersikap sesuai dengan persepsi mereka. Demikian juga ketika berhadapan dengan ajaran Islam. Karena merasa sudah paham, mereka pun menilai ajaran Islam sesuai dengan persepsi dan pemahaman mereka.

Maka ketika kedua hal yang bertentangan ini ada di hadapan, mereka menilai dengan persepsi dan pemahaman yang samar-samar. Yang satu hadir dengan sedikit dukungan, sementara yang satunya lagi muncul dengan hingar bingar keindahan. Tentu saja mereka akan memilih yang lebih menarik di mata. Kenyataan ini membuat saya kembali teringat kepada satu fakta lagi tentang tanda-tanda hari akhir, yaitu ketika Dajjal sudah muncul di hadapan manusia. Pada saat itu bahkan manusia akan mengira bahwa dia telah berada di jalan yang benar karena saking meyakinkannya tipu daya Dajjal terhadap mereka.

Lha menghadapi tipu daya pendukung Dajjal saat ini saja kita sudah seperti sapi dicolok hidungnya, bagaimana nanti kalau benar-benar bertemu Dajjal?!
© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.