SLIDER

Suatu hari, ku tak peduli pada lingkaran itu lagi

Suatu hari, beberapa kenalan di Instagram membagikan postingan Amar Ar-risalah di story mereka. Sebuah postingan reflektif tentang liqo', sebutan untuk halaqah jama'ah tarbiyah yang kini entah sudah berganti jadi apa namanya. Atas dasar kepo yang berlebihan, saya baca juga tulisan itu. Saya akui, dia memang jagoan bikin kata-kata indah yang menyentuh hati.

Intinya, tulisan itu merupakan ajakan kepada orang-orang yang sudah tidak melingkar lagi untuk kembali. Kembali melingkar lagi, mengaji bersama murabbi dan mungkin berjama'ah lagi. Seketika membaca tulisan itu saya bertanya-tanya dalam hati. Dan pertanyaan-pertanyaan itu mau saya tulis di sini sekalian saya mau mengeluh dan mengungkapkan isi hati 😌.

Photo by Hasan Almasi on Unsplash

Sejak dulu, -dulunya tuh dulu banget, sekitar tahun 2007an waktu awal-awal saya mulai liqo'- ketika mendengar cerita tentang orang-orang yang meninggalkan jama'ah setelah menikah atau lulus kuliah saya tidak pernah terlalu judgemental. Kata salah seorang teman, kemungkinan karena saya dari latar belakang Nahdhiyin yang sudah terbiasa mengaji sejak kecil maka kebutuhan berjama'ah tidak terlalu penting buat saya. Meskipun begitu, saya juga bukan termasuk orang yang meremehkan tarbiyah. Butuh waktu sekitar 2 tahun untuk saya mempelajari Ikhwanul Muslimin sebelum akhirnya memutuskan untuk meminta dicarikan murabbi.

Saya bukan kader rekrutan yang ditemukan para senior kampus lalu terjebak dalam pembinaan wajib mata kuliah agama. Saya membaca Risalah Pergerakan sampai tuntas Syarah Ushul 'Isyrin sebelum dijadikan kader. Setelah menjadi kader pun, saya bukanlah tipe kader yang taat membeo kepada senior. Lagi-lagi, kata seorang teman memang seperti itu tipikal kader yang sudah berwarna ketika bergabung dengan jama'ah tarbiyah.

Ketika memutuskan untuk bergabung, saya tidak melihat jama'ah ini sebagai sebuah bangunan tanpa cela. FYI, saya bergabung ketika masa-masa kader-kader ini masih seperti orang-orang salafi hari ini. Urusan bid'ah dan tidak nyunnah, beberapa kali saya ributkan dengan kakak sendiri. Berkali-kali saya ingatkan para senior-senior dakwah itu untuk belajar Bahasa Arab supaya tidak mempermalukan diri sendiri dan jama'ah. Belakangan saya baru sadar, kalau karakter ndablegnya para senior itu sesungguhnya sudah terlihat dari dulu, sayanya saja yang terlalu naif. Buktinya hampir tiap hari saya beri tahu kalau kaburo maqtan itu tidak ada hubungannya dengan kemunafikan, masiiiih saja dipakai sebagai ungkapan harian.

Ketika sudah masuk kuliah pun, saya seringkali dicurigai sebagai kader yang mbalelo. Ngobrol santai dengan teman laki-laki, salaman dengan dosen laki-laki sampai cium tangan, pasang foto profil di facebook, nggak pakai kaos kaki di rumah meskipun ada tamu, pokoknya hal-hal yang dulu dianggap tabu bagi jama'ah sudah saya lakukan tanpa rasa bersalah. Saya masih ingat ketika ada cerita menyebar tentang seorang akhwat senior yang hampir pingsan di tempat KKN karena bersikeras tidak mau dibonceng teman lelakinya padahal harus menempuh jalan berkilometer, semua kader menjadikannya sebagai bahan tausiyah di lingkaran-lingkaran pekanan itu. Sekian tahun kemudian, ketika Gojek merajalela beberapa kali saya berpapasan dengan beliau menggunakan jasa Goride di jalan 😐.

Photo by Rizal Hamzah on Unsplash

Jadi mengapa saya dulu memutuskan untuk bergabung? Karena saya melihat harapan. Orang-orang yang tidak terlalu paham agama -ini yang di sekitar saya, ya...- tapi semangat sekali mengamalkannya. Mereka masih belajar, tapi ruh dakwahnya membara sampai-sampai saya yang sudah ngaji sejak kecil kadang merasa malu melihat semangat mereka. Apalagi setelah membaca buku-bukunya, saya kemudian berpikir kalau sepertinya memang jama'ah yang ini lebih sesuai untuk saya.

Begitu bergabung, saya lompat kelas. Langsung bergabung membina ROHIS SMA di Bandar Lampung bahkan mengisi beberapa kajiannya. Ya mau bagaimana lagi, ada label jebolan pesantren nancep di jidat jadi harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, kan?! Kelompok lingkaran otomatis bukan dengan anak-anak baru. Meskipun teman-teman saya seumuran, tapi mereka adalah anak-anak yang terbina sejak masuk SMP dan jadi pengurus inti di lembaga dakwah sekolah masing-masing. Bicara soal strategi dakwah dan jama'ah sudah jadi bahasan wajib setiap pekan. Bahkan bahasan tentang partai pun sudah biasa buat kami, padahal ada yang masih dibawah 17 tahun usianya.

Menjalani hari-hari bersama dalam lingkaran dakwah tarbiyah sangat tidak mudah. Setidaknya itu yang saya pahami dari orang-orang yang memilih keluar. Bukan hanya karena amanah dan tuntutan komitmen yang berat, tapi juga karena orang-orangnya yang ternyata tidak mudah untuk diajak berjama'ah. Ironi sekali, kan?! Dulu saya pikir, kondisi dakwah kampus saja yang bermasalah. Tapi ternyata sedikit demi sedikit saya amati, memang ada yang aneh dengan jama'ah ini.

Photo by Edho Pratama on Unsplash

Mari mulai dari konflik. Seingat saya, keributan internal itu mulai saya rasakan di tahun 2010. Saat itu saya baru pulang dari Jogja, dan mendapati bahwa ternyata teman-teman yang dikirim ke Jogja bersama saya adalah kader-kader 'bermasalah'. Mereka dikenal sebagai kader pemberontak yang disinyalir sedang melakukan 'gerakan' bawah tanah yang dicurigai akan merusak tatanan dakwah di kampus. Memang kalau dipikir-pikir, keikutsertaan saya ke Jogja waktu itu cukup aneh. Dari 7 orang mahasiswa dari Lampung yang lulus sertifikasi kader, cuma saya sendiri yang dari IAIN. Dan karena 6 orang lainnya adalah kader calon blacklist, tentu saja saya jadi pantas juga dicurigai.

Usut punya usut, ternyata 6 orang kader itu hanya ingin melakukan pembaruan di kampus. Menurut mereka cara kader dakwah menjalankan pemerintahan kampus sudah sama saja dengan orang lain. Tidak demokratis. Dan karena saya berteman dengan kedua pihak, maka saya konfirmasi ke pihak lain. Dari sisi lain, mereka dianggap tidak paham dengan metode dakwah. Namun yang membuat saya akhirnya memihak mereka adalah cara para senior itu memperlakukan mereka. Tiba-tiba mereka diblacklist dari daftar kader, tidak diizinkan liqo' dan diboikot. Gila!

Dari kejadian itu, rentetan kejadian lain mulai bermunculan. Prahara paling besar memang terjadi di kampus Unila dan saya yang waktu itu kuliah di IAIN tidak terlalu mau tahu. Lagipula karakter kader di IAIN memang tidak terlalu terpengaruh dengan kebijakan jama'ah. Lagi-lagi, alasannya karena kebanyakan kader-kader di kampus IAIN adalah orang-orang yang tidak buta agama sehingga untuk mengenalkan mereka dengan gerakan atau manhaj dakwah tertentu akan terlalu beresiko terhadap jalannya proses kaderisasi. Little did I know, saya adalah kader yang paling diwaspadai karena saya bersahabat sangat dekat dengan kader terbaik kampus. Para senior sangat khawatir saya akan mempengaruhi pemikiran si kader ini dan membuat rusak sistem dakwah kampus. Dari mana saya tahu? Beberapa hari sebelum sahabat saya ini pulang kampung karena ternyata lulus tes CPNS, dia ceritakan semua dugaan buruk sangka dari para senior yang pernah disampaikan ke dia. Ternyata, salah satu hal yang membuat dia mau bersahabat dengan saya adalah rasa penasaran pada gosip tentang saya yang dia dengar sejak saya masuk kampus 😐.

Tidak lama sejak kejadian itu, kelompok liqo' saya dirombak dan tebak.... ternyata yang dirombak cuma saya sendiri. Yes, saya berada dalam kelompok liqo' yang pembahasan pekanannya adalah tentang strategi dakwah kampus. Dan ternyata adanya saya di kelompok itu hanya karena sahabat saya ini yang meminta. Karena pemikiran saya dibutuhkan, maka permintaan itu dikabulkan. Tapi setelah sahabat saya ini pergi, mereka tidak mau lagi mengambil resiko berdebat dengan saya setiap kali rapat atau liqo' karena mungkin tidak akan ada lagi penengahnya. Dari mana saya tahu, teman liqo' saya yang menyampaikan. Setelah saya tidak lagi menjadi anggota kelompok liqo' itu tidak ada perubahan anggota liqo'. Tidak ada anggota baru yang masuk, padahal pekan sebelumnya murabbi kami bilang kalau ini adalah perombakan rutin dan kami bahkan sampai tukar kado. 😂

Photo by Tim Mossholder on Unsplash

Saya tidak pernah ambil pusing dengan hal-hal itu. Jujur, sejak awal bergabung dengan jama'ah tarbiyah saya tidak pernah menganggap mereka yang ada di dalamnya adalah orang-orang yang istimewa. Saya selalu memandang mereka seperti muslim lainnya, dan tentu saja masih banyak muslim yang lebih baik dari mereka. Mengapa saya harus sampaikan seperti ini? Karena ada tendensi ujub yang saya rasakan dari kader-kader yang berada dalam jama'ah ini. Perasaan menganggap orang yang tidak bersama mereka adalah orang yang tidak mendapat hidayah, atau orang yang memusuhi mereka adalah orang yang belum terbuka hatinya. Pernah dengar kalimat, "dia baik orangnya, tapi sayang jilbabnya masih kecil..." Dan kembali ke peristiwa pembuangan saya, sejujurnya tidak masalah bagi saya. Masalah baru muncul ketika ternyata saya menikah dengan salah satu pimpinan kader kampus 😆.

Saya tidak akan cerita tentang tragedi pernikahan, karena ini menyangkut suami saya jadi saya harus menjaga nama baiknya -tsaaaah-. Tapi yang jelas, pernikahan kami bukanlah pernikahan yang diharapkan oleh para petinggi dakwah kampus. Kebetulan kami akhirnya menjadi guru sekolah, maka ada alasan untuk menonaktifkan kami dari dakwah kampus. Saya dipindahkan kelompok liqo'nya ke kelompok yang tidak aktif 😝 dan suami diminta untuk fokus pada dakwah sekolah. Dan suami saya adalah kader paling loyal yang pernah saya lihat, dia jalankan amanah baru itu dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya sekarang saya tahu dia sudah masuk ke dalam barisan kader paling penting. Ada istilah untuk kelompok mereka tapi tidak akan saya sebutkan namanya karena -really- kader jama'ah tarbiyah ini penakut sekali.

Berpindah liqo' dari kampus ke dunia kerja membuat saya melihat ketidakteraturan dalam pembinaan jama'ah tarbiyah terhadap kader-kadernya. Terhitung sejak tahun 2013 sampai 2023 ini, saya baru 4 kali berganti murabbi. Padahal normalnya, kelompok liqo' itu ganti tiap tahun. Selain itu, selama 10 tahun agenda pekanan tidak pernah berjalan normalnya kegiatan liqo' yang saya kenal. Entah untuk alasan apa, saya merasa kader-kader yang tidak masuk dalam lingkaran partai tidak mendapat perhatian layaknya kader yang bisa dimanfaatkan untuk partai. Darimana saya bisa dapat kesimpulan itu? Karena sekarang saya mulai masuk ke dalam pembinaan partai, tanpa izin saya. Mungkin suatu saat ketika saya mulai menolak tugas-tugas partai, saya akan dipindahkan lagi?! Who knows.

Bisa dibilang, berada dalam kelompok kader-kader yang aktif dengan kegiatan partai cukup mengobati kerinduan saya pada kegiatan liqo' yang dinamis. Materi yang disampaikan juga lebih terstruktur. Dan ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa di kelompok liqo' yang anggotanya bukan kader partai suasana ilmiahnya sama sekali tidak terasa? Bahkan murabbinya pun seperti tidak punya energi untuk membina? 10 tahun saya berganti-ganti teman liqo', tidak sekalipun saya merasa ada diskusi menarik tentang materi yang disampaikan atau encouragement dari murabbi untuk mengajak kader belajar Islam.

Lalu apakah di kelompok kader partai kondisinya lebih baik? Tidak juga sebenarnya. Sama saja, tidak ada encouragement dari murabbi untuk mengajak kader belajar Islam lebih jauh. Hal-hal yang fundamental biasanya hanya disampaikan lewat agenda-agenda besar seperti seminar online tapi tidak ada follow up di liqo'. Tapi mungkin itu bukan salah sistemnya. Mungkin hanya kondisi kadernya saja yang memang jumud, sampai-sampai di usia sudah hampir 30an banyak yang masih belum pernah mendengar tentang hadits-hadits yang cukup umum. Padahal dia sudah lama ngaji. Pun ketika ada diskusi di liqo' pandangan-pandangan mereka masih dilandasi sudut pandang yang sangat sempit. Karakter ujub dan menganggap diri lebih utama dibanding kelompok atau manhaj lain membuat jama'ah tarbiyah kekurangan sumber belajar karena mereka tidak punya ustadz rujukan. Tradisi ilmiah pun kurang berjalan karena imbas dari hal sebelumnya, referensi bacaan para murabbi pun terbatas dan kemampuan membaca konteks sebuah dalil jadi sangat terbatas juga. Seringkali saya merasa putus asa ketika dalam kajian sebuah ayat dicomot seenaknya untuk menguatkan tugas tertentu yang padahal tidak ada hubungannya. Saya melihat kader-kader di jama'ah ini seperti orang-orang kebingungan yang patuh saja pada penggembalanya.

Masih banyak yang bisa diceritakan untuk mengungkapkan kekecewaan saya pada lingkaran ini. Tapi sepertinya jadi kurang baik, karena seolah-olah saya malah membuka aib sendiri. Dan mengapa saya masih saja bertahan di sini? Sejujurnya karena suami saya. Mungkin kalau suami saya bukan suami saya yang sekarang, mungkin saya sudah meninggalkan lingkaran itu sejak lama. Alasan kedua adalah karena saya sudah tidak memandang lingkaran itu dengan kacamata yang lain. Kalau dulu saya hadir di lingkaran sebagai sebuah komitmen seorang muslim dan tentara Allah, sekarang saya hadir untuk menjalin silaturahim dengan sesama muslim. Saya butuh bersosialisasi dengan manusia yang bisa saya jabat tangannya. Selebihnya, saya tidak peduli lagi. Mungkin tulisan saya ini terasa sangat arogan, tapi sungguh saya merasakan arogansi yang luar biasa dari sistem jama'ah ini yang tidak bisa saya pahami. Mungkin, suatu saat jika ruh dakwah bisa kembali saya rasakan dari lingkaran itu saya akan hadir dengan semangat yang seperti dulu lagi. Untuk saat ini, saya hanya akan menjalaninya sedemikian adanya.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.