SLIDER

Tegang dari awal sampai akhir, tapi 2 episode mubazir || Review The Last of Us

Sabtu, 22 April 2023

 


After a global pandemic destroys civilization, a hardened survivor takes charge of a 14-year-old girl who may be humanity’s last hope.

Pedro Pascal (The Mandalorian, Wonder Woman 1984) and Bella Ramsey (HBO’s His Dark Materials and Game of Thrones) star as Joel and Ellie. Gabriel Luna (True Detectiveas Joel’s younger brother and former soldier, Tommy; Merle Dandridge (The Last of Us video games, The Flight Attendant) as resistance leader Marlene; and Anna Torv (Fringe) as Tess, a smuggler and fellow hardened survivor.

The series guest stars Nico Parker (The Third Day) as Sarah, Joel’s 14-year old daughter; Murray Bartlett (The White Lotus) and Nick Offerman (Parks and Recreation) as Frank and Bill, two post-pandemic survivalists living alone in their own isolated town; Storm Reid (Euphoria) as Riley, an orphan in Boston; and Jeffrey Pierce (The Last of Us video games) as Perry, a rebel in a quarantine zone. Lamar Johnson guest stars as Henry and Keivonn Woodard as Sam, brothers in Kansas City hiding from a revolutionary movement seeking vengeance. Graham Greene guest stars as Marlon and Elaine Miles as Florence, a married couple surviving alone in the wilderness of post-apocalyptic Wyoming. 

Written and executive produced by Craig Mazin (HBO’s Chernobyl) and Neil Druckmann, of The Last of Us and Uncharted video game franchises.

Carolyn Strauss (HBO’s Chernobyl and Game of Thrones) serves as executive producer, along with Evan Wells from the original game’s developer, Naughty Dog, and PlayStation Productions’ Asad Qizilbash and Carter Swan.


Liburan kali ini sepertinya saya akan banyak mengulas film atau serial-serial dari HBO, gara-gara suami pingin nonton Batman pekan lalu. Sayang kan, sudah langganan kalau tidak dioptimalkan?! Dan untuk ulasan pertama saya memilih menonton serial The Last of Us. Mengapa? Tentu saja karena saya melihat kehebohannya di sosial media.

WARNING: Review ini mengandung spoiler!

The Last of Us mengisahkan tentang seorang pria bernama Joel dan seorang gadis remaja 14 tahun bernama Ellie dalam upayanya untuk bertahan hidup di dunia pasca pandemi yang penuh dengan zombie dan kelompok-kelompok manusia berbahaya.

Cerita dimulai pada tahun 2013, ketika sebuah wabah yang disebut "Cordyceps Brain Infection" menyebar ke seluruh dunia dan mengubah manusia menjadi zombie yang agresif dan mematikan. Joel kehilangan putrinya dalam kekacauan itu dan menjadi seorang penyelundup yang melakukan berbagai tindakan ilegal untuk bertahan hidup di kota karantina yang dijaga ketat.

Pada suatu hari, Joel bertemu dengan Marlene, seorang pemimpin kelompok gerilyawan yang meminta Joel untuk membawa Ellie keluar dari kota. Ellie diketahui memiliki kekebalan terhadap virus tersebut sehingga dia adalah kunci untuk menemukan obat yang dapat menyelamatkan umat manusia dari kepunahan. Joel awalnya enggan menerima tawaran tersebut, tetapi kemudian setuju untuk membawa Ellie keluar dari kota.

Joel dan Ellie kemudian melakukan perjalanan melintasi Amerika Serikat yang penuh dengan bahaya dan tantangan. Mereka bertemu dengan berbagai kelompok manusia yang berjuang untuk bertahan hidup, termasuk kelompok penjarah yang sangat kejam dan kelompok militer yang otoriter.

Selama perjalanan, Joel dan Ellie semakin dekat dan membentuk ikatan batin yang kuat. Mereka juga mengalami banyak pengalaman pahit, termasuk ketika Joel terluka parah dan Ellie harus menjaga dan merawatnya.

My thoughts after watching it? Mixed, of course.
Pertama-tama, film tentang zombie-zombiean begini sama sekali bukan favorit saya. Biasanya saya nggak akan pernah tertarik untuk menonton film bergenre semacam ini. Satu-satunya alasan saya nonton The Last of Us hanyalah scene Christine Hakim yang katanya keren banget. Dan sejujurnya setelah saya nonton, menurut saya biasa aja kok. I mean, she is amazing and what she does in the film is what she usually does. Jadi kayak aneh aja kalau orang Indonesia kelihatan heboh ketika nonton akting Christine Hakim yang hebat. Tapi dengar-dengar katanya aktingnya dipuji sama kritikus film luar negeri? Itu saya nggak tahu. Yang saya tahu adalah dia memang hebat, dan ini bukan kali pertama dia bergabung dalam proyek pembuatan film luar negeri kan?

Adegannya sendiri ternyata hanyalah tambahan di episode 2. Awalnya saya pikir, Christine Hakim benar-benar punya peran di serial ini. By the way, saya juga nggak punya latar belakang pengetahuan tentang game The Last of Us. Jadi pendapat saya pure hanya tentang serialnya. OK? Ketika adegan Jakarta selesai, saya pikir "apakah adegan ini benar-benar diperlukan?" and guess what? Ternyata pertanyaan itu berlanjut ke episode 3.

is it necessary to include lgbtq+ representation in every film?

Saya gemes banget setelah nonton episode 3, karena menurut saya tokoh Frank dan Bill nggak perlu sampai punya episode khusus seperti itu. Yes kehadiran mereka memang penting, tapi apakah latar belakang karakter mereka sampai harus diexplore sejauh itu? Menurut saya tidak. Saya nggak peduli mereka mau gay, atau kesepian seumur hidup, yang saya mau tahu adalah peran mereka membantu perjalanan Joel dan Ellie. Cukup sampai di situ, saya nggak perlu membuang-buang waktu 50an menit menonton kisah cinta aneh 2 laki-laki ini.

Dan ternyata tidak cukup sampai di situ saudara-saudara. Ellie pun ternyata harus jadi anak lesbian. Di episode 7 muncullah tokoh Riley yang merupakan sahabat terdekat Ellie sekaligus orang pertama yang dibunuhnya gara-gara mereka diserang zombie.


Karena sudah berpengalaman dengan episode 3, saya banyak skip episode ini sampai bagian akhir dimana mereka diserang zombie. Biar nggak mubazir waktu saya. 😂 However, keberadaan dua kisah cinta aneh ini banyak dipuji media luar negeri. Jadi mungkin wajar saja kalau sekarang setiap film selalu memasukkan unsur cerita model begituan. 

Saya banyak membaca komentar-komentar para warga konservatif Amerika yang juga sudah mulai terganggu dengan hal-hal ini. Bahkan kata seorang teman, di drama korea pun sekarang sudah mulai memasukkan unsur-unsur queer di dalamnya walaupun lebih soft dan 'santai'. Saya sendiri juga sekarang jadi lebih hati-hati memilih film untuk anak-anak karena khawatir dengan hal itu. Dan untuk The Last of Us, menurut saya tambahan kisah cinta ini benar-benar tidak perlu sampai sejauh itu. Banyak karakter-karakter penting lain yang cukup saya pahami latar belakangnya hanya dengan beberapa menit flash back. Nggak perlu sampai 1 episode penuh.

Smart characters, but stupid decisions

Hal lain yang agak mengganggu saya adalah endingnya. Joel yang grumpy dan dingin kan ceritanya berakhir sayang sama Ellie. Saking sayangnya sampai-sampai sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Wajar karena mereka sudah menghabiskan waktu bersama berbulan-bulan, bahkan mungkin setahun. Ketika akhirnya mereka berhasil bertemu dengan Marlene, disitulah kebingungan saya dimulai. Bagaimana mungkin, karakter-karakter hebat ini malah membuat keputusan bodoh hanya karena asumsi. Like,... how?

Jadi, ketika Joel dan Ellie sampai di markas Firefly mereka dilumpuhkan oleh penjaga karena para penjaga nggak mengenali mereka. Joel dan Ellie pingsan lalu dirawat di ruang berbeda. Joel, ketika sadar dan bertemu dengan Marlene tentu saja langsung bertanya tentang keberadaan Ellie. Dan Marlene, dengan tenang berusaha menjelaskan bahwa Ellie harus dioperasi demi mencari di mana mereka bisa menemukan obat untuk virus jamur ini. Masalahnya adalah, jamur ini tumbuh di otak dan kalau Ellie dioperasi maka kemungkinan dia bertahan hidup tentu sangat kecil atau bahkan mungkin dia harus mati. 

Tentu saja Joel nggak mau kehilangan anak lagi, kan?! Dia pun marah dan ingin menghentikan operasi itu. Tapi dilarang Marlene, dengan alasan bahwa dia sangat mengerti bagaimana perasaan Joel. FYI Marlene adalah orang yang dipercaya ibu Ellie untuk merawatnya. So basically, Marlene adalah ibunya Ellie. Tapi tampaknya keputusan logis tetap harus dilakukan, dan menurut saya Marlene sama sekali tidak mengambil keputusan logis. Karena ternyata dia memutuskan untuk mengoperasi Ellie tanpa memberitahukan Ellie bahwa bagian yang akan dioperasi adalah otaknya. Dia menduga Ellie pasti akan setuju karena Ellie pasti ingin membuat keputusan yang benar, -menyelamatkan dunia-. 

Dan dengan pengetahuannya tentang kehebatan Joel, dia malah dengan entengnya nyuruh hanya 2 orang prajurit untuk mengusir Joel keluar dan memerintahkan untuk membunuhnya kalau dia melawan. Joel bisa bertahan hidup di luar sana berbulan-bulan, menghadapi segala macam jenis manusia dan zombie jagain orang lain dan Marlene tahu itu, dan dia cuma ngasih 2 prajurit untuk jagain Joel mode marah?! That is STUPID. Tentu saja Joel dengan mudah mengalahkan semua orang di gedung itu, termasuk Marlene. Semua mati. Ellie terselamatkan, tapi keputusan bodoh lain terjadi. Joel nggak jawab jujur ketika Ellie nanya tentang proses operasinya.

Pada bagian akhir ini, saya merasa orang-orang dewasa di sekitar Ellie benar-benar tidak menghargai dia sebagai manusia. Karena meskipun Ellie masih 14 tahun, mentally dia bukan anak kecil! Kalau dari awal Marlene ngajak Joel dan Ellie duduk bareng dan membicarakan tindakan yang perlu dilakukan mungkin saya nggak akan kesel. Setidaknya Ellie dan Joel berhak tahu. Biarkan Ellie membuat keputusan sendiri. It's her life! Kalau pada akhirnya dia menolak, maka setidaknya kita bisa membenarkan tindakan Joel membunuh orang sebanyak itu. Dan kalau dia bersedia, maka Joel nggak perlu membunuh. Atau mungkin Joel bisa nggak setuju karena nggak mau kehilangan Ellie, biarkan keributan terjadi. Tapi setidaknya, ngobrol aja dulu! Selalu bisa dibuat chaos kok, keputusan apapun yang akan mereka ambil. Tapi caranya itu lho... please....

Is it worth to watch?

Yes, absolutely yes. Serial ini keren. Keluhan-keluhan saya di atas sama sekali nggak mengurangi ketegangan dan intensitas yang ada di film. Plot ceritanya benar-benar rapi, karakter-karakter pendukungnya bagus untuk character development Joel dan Ellie. Teori saintifiknya juga bisa diterima sama orang awam macam saya. Adegan-adegan brutalnya juga cukup, nggak terlalu berlebihan tapi juga nggak nanggung. Definitely worth to watch.

Rating: 4/5  ⭐⭐⭐⭐

Yang teringat dari Ramadhan tahun ini

Kamis, 20 April 2023

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 

Dengan nama Allah, yang Maha Pengasih, Maha Penyayang




Sesungguhnya nggak ada yang penting dari postingan kali ini. Hanya karena menurut saya unik dan mungkin suatu saat akan ada manfaatnya, jadi saya akan abadikan di sini.

Jadi ceritanya, pada sebuah acara buka bersama yang rutin diadakan tiap Ramadhan oleh sekolah kami terjadilah sebuah obrolan santai para ibu. Lalu sampailah kami pada pembahasan lailatul qadr. Masing-masing mengutarakan dugaan kapan terjadinya, karena kami memang sudah memasuki hari-hari terakhir Ramadhan. Hingga salah seorang ada yang nyeletuk, "nggak ada yang tahu kapan malam ganjil, kalau ternyata Ramadhannya cuma 29 hari berarti yang kita sangka malam ganjil kan berarti malam genap?" 

Seumur hidup, belum pernah saya dengar pernyataan semacam itu dari siapapun. Dan yang bikin makin lucu adalah si ibu sangat percaya diri dengan pernyataannya, bahkan ketika ibu lain berusaha sekuat tenaga untuk mengoreksinya. "ya lihat aja nanti nih misalnya ya bu, lebarannya hari Jumat tuh... Kan berarti 10 malam terakhirnya udah dari 3 hari yang lalu. Jadi sekarang hari ganjilnya."

Sejujurnya saya sudah ingin tertawa ketika menyimak obrolan aneh itu. Tapi saya tahan karena lagi puasa. Saya tahu ketawa saya nanti akan terdengar sangat menyakitkan. 😅 Jadi daripada cari masalah, saya memilih untuk melerai obrolan itu dengan makanan yang datang.

Masalah diantara si ibu udah selesai, tapi sekarang malah di saya. Sampai malam takbiran ini masih kepikiran. Kok bisa ada orang yang ngitung malam ganjil Ramadhan berdasarkan tanggal 1 Syawalnya?! Yaaaa.... sebenarnya saya punya dugaan, mungkin karena dia menganggap 10 hari terakhir itu dihitung dari Syawal (yang memang harus begitu) lalu dia berkesimpulan kalau hari ganjil/genapnya juga dihitung dari Syawal. 😌

Nah, kejadian kedua yang bikin saya semangat bikin tulisan hari ini. Yang terjadi baruuuu saja, tadi siang. Ketika saya dan suami ribut bahas 1 Syawal. FYI, saya adalah warga Nahdhiyin tulen yang bahkan sempat nyantri di pondok pesantren tradisional. Sementara suami saya adalah anak ulama Muhammadiyah. Jadi sudah bukan hal baru kalau kami berbeda hari puasa dan idul fitri selama ini. Tapi masalahnya sekarang adalah, anak kami mulai besar dan pasti akan menanyakan kalau orang tuanya lebaran beda hari. Maka kami memutuskan untuk kompromi, tapi ternyata susah juga karena masing-masing nggak mau ngalah. Hingga akhirnya suami saya bilang, "ya udah lho kamu lebaran Sabtu nggak pa-pa, yang penting Jumat ikut sholat." And I was like, "What????"

"Kalau saya ikut sholat hari Jumat artinya saya lebaran hari Jumat, Bapaaaak. Artinya saya nggak boleh puasa hari Jumat ituuuu, haraaaaaam."

Entahlah, orang-orang sekarang kok lucu-lucu ya? Mungkin mulai pada males mikir, yang penting ngomong.😝 Dan sampai malam ini suami saya masih belum paham sama omongannya sendiri. Duh,

Untungnya, pondok pesantren alumni saya tahun ini berbeda dengan pemerintah. Entah kenapa tadi sudah mengumumkan untuk lebaran besok. Jadi saya agak lega, nggak nurut pemerintah nurut guru saja.

10 tahun kemudian

Kamis, 06 April 2023

 


10 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 2 April 2013 saya membuat sebuah tulisan cukup panjang tentang gambaran kehidupan yang saya cita-citakan di usia saat ini. Ketika membaca ulang, saya merasa bersyukur bahwa blog lama itu tidak saya hapus. Saya jadi bisa refleksi sambil introspeksi dari kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan, sekaligus menertawakan kenaifan anak muda berusia 20-an itu. Sungguh, membaca tulisan itu membuat saya sadar bahwa mimpi-mimpi yang saya tuliskan itu benar-benar sebuah harapan kosong yang langsung terlupakan segera setelah dituliskan. Dan sekali lagi saya bersyukur tidak menghapusnya, karena pada tahun 2017 kalau tidak salah saya baru disadarkan kembali tentang cita-cita itu lalu mulai berusaha membangunnya sedikit demi sedikit.


Lalu, 10 tahun kemudian apa yang terjadi?


Nothing, 😂. Well, actually so much happened in the last 10 years in my life. So, saya akan coba mengurai semua kekacauan ini dalam sebuah tulisan yang mudah-mudahan cukup mudah untuk dicerna.


Pada dasarnya, cita-cita saya cukup --cukup buat saya-- sederhana. Saya hanya ingin jadi ibu rumah tangga. Tinggal di rumah yang sederhana, dan punya 4 anak di usia ini. Yang terakhir ini, saya menyerah 😑. Faktanya, Alhamdulillah kami sudah punya rumah walaupun belum ditinggali. Dan malah mengontrak rumah yang jauh lebih baik dari rumah milik kami sendiri. Saya gagal jadi ibu rumah tangga, tapi masih berusaha memperjuangkannya. Dan kami memutuskan untuk bertahan dengan 2 anak terlebih dahulu, karena ternyata memiliki anak membutuhkan energi yang sangat besar. Bukan hanya secara finansial, tanggung jawab menjadi orang tua ternyata tidak sesederhana yang kami pikirkan. Dengan banyaknya tantangan di zaman ini, kami belum yakin bisa membentengi anak-anak kami dengan sebaik-baik bekal. Jadi, Alhamdulillah Qia dan Aqsha sekarang tumbuh jadi anak baik dan pengertian kepada orang tuanya.


Selanjutnya, ternyata saya sama sekali tidak punya kemampuan untuk menjadi manager keluarga 😆. Bahkan kami berdua adalah sama-sama orang yang kacau hidupnya. Tapi tidak apa-apa, selama kami saling memahami InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Hahaha.... Setidaknya cita-cita memiliki perpustakaan pribadi sudah terwujud dan mudah-mudahan bulan Juli nanti saya bisa melancarkan program baca buku intensif untuk bisa mewujudkan program saya mandiri dari rumah 💪.


Dan dengan keadaan saya 10 tahun belakangan ini, sejujurnya saya agak sanksi apakah bisa menularkan hobi membaca buku kepada anak-anak. Karena ternyata curiosity tidak bisa diwariskan. Qia jelas anak yang cerdas, tapi saya belum bisa mengajak dia menyukai buku. Sejauh ini saya baru bisa menunjukkan kepadanya bahwa ibunya suka membaca. Memberi teladan bahwa belajar sangat menyenangkan. Dan mudah-mudahan suatu saat dia mau mengambil buku-buku yang sudah saya belikan dan membacanya, lalu adiknya akan menirunya.


Menulis, membaca dan menghafal Al-Quran akan jadi proyek utama setelah saya resign nanti. Bahkan bukan hanya menulis Al-Quran, saya harus mengajarkan hal lain kepada mereka karena ternyata semua ilmu itu tidak bisa saya limpahkan kepada sekolah. Kadang-kadang saya heran, bagaimana bisa biaya sekolah sekarang sangat mahal tapi tidak bisa mengajarkan hal-hal penting mendasar secara tuntas kepada anak-anak kita? 


Tentang bisnis dari rumah atau membuka toko buku, saya sudah tidak menginginkannya lagi. Saya ingin fokus saja pada komunitas yang sudah saya bangun sejak 2021 dan berharap akan ada benefit yang saya dapatkan nanti. Tentang melanjutkan kuliah, saya pun masih ragu. Keinginan tentu saja masih ada, tapi apakah saya masih membutuhkannya? Karena saya sudah tidak ingin lagi menjadi dosen. Hanya saja, sekarang minat saya malah ingin belajar bahasa. Sejauh ini saya sudah mendapat banyak resource untuk belajar bahasa Arab, Jepang dan Mandarin. Mungkin suatu saat saya bisa menguasai bahasa-bahasa tersebut dan mendapatkan manfaatnya.


Yang terakhir, menjadi guru Al-Quran. Faktanya saya memang menjadi guru Al-Quran sejak lulus kuliah, tapi ternyata setelah 10 tahun menjalaninya saat ini saya sampai pada keputusan bahwa bekerja di sekolah bukanlah ide yang bagus untuk saya. Terlalu banyak kontradiksi yang saya rasakan dan akhirnya malah membuat saya banyak dosa kalau memaksakan diri untuk bertahan. Mungkin lain kali akan saya tuliskan juga tentang hal ini.


Jadi, 10 tahun kemudian... Seperti inilah hidup saya. Sedang berusaha membangun kehidupan yang lebih baik walaupun sulit. Saya punya deadline sampai bulan Juni untuk merencanakan masa depan, and I can't wait to pursuit my hapiness.

You; 3 Desember 2019

Selasa, 31 Agustus 2021

 


// i wrote this letter for myself but i'm sharing this with the hopes
that it might make anyone else feel a little less alone //

Dear you, 

Thank you for trying your best today. 
I know how hard it must be, trying to make sense of it all, especially when time is scurrying past you, and every day you get further and further away from where you actually want to be. But you pulled yourself out from hebetude, and you showed up. Even at 8 pm when it was much easier to throw in the towel and say "day's gone anyway", you got up, splashed some water on your face, and you got down to work. So yes, thank you for trying your best today. 

Thank you for being your own friend today.
You spend a lot of time on your own. Some nights it gets so quiet and unbearably lonely that you cry yourself to sleep. But within this gentle lull of silence, you realised that you now get to hear your own voice. A voice that has been so desperate to reach out, but have been drowned by the noises and clutter of this world. At first, you resisted and fought against it. But one by one, He sent everyone away so that you could be with the only company you need. And with His grace, you started giving yourself the chance to get to know the only person who will ever be with you in every painful, beautiful, nerve-wrecking, bewildering phases of your life. You also will soon realise how dandy you actually are, but you will also acknowledge the human-ness of your own being: that sometimes you mess up and have no idea what in the heavens you are actually doing with your life. But that's cool - because now you have you. You are your own advocate and you are your own cheerleader and when your roots are deep, there is no reason to fear the wind. So thank you for anchoring yourself, and for being your own friend today.  

Thank you for forgiving today. 
There was once you asked, "when will all this pain end?" The hurt swallowed you up like a reckless fire savouring a helpless piece of wood. Today you finally realised the answer; that you choose when the pain ends.  While it is easier said than done, you still know in your heart of hearts that you can never heal and move forward if you don't make the decision today to forgive and let go. So thank you for forgiving today - you forgive not because you condone the act or the behaviour, but you forgive so that you stop destroying your own heart. 

Thank you for choosing gratitude today.
It is so easy to play the victim and blame everyone and everything when nothing is going your way. It's even easier to compare and complain. But "grass will always be greener where you water it", and you've realised that where you focus your energy on, grows. Which is why you've been counting your blessings - big, tiny, small, epic - all of them, regardless the "size". And this powerful act has changed your world. So thank you for not waiting for "joy" to happen before you choose to be grateful. Thank you for choosing gratitude so that it makes you joyful instead. <3

Thank you for speaking to Him today. 
I will leave the conversations you have with Him private, as it should always be, but thank you, for spending a bit of time with the One who loves you most. If you only know how much He misses you when you drift away and get too busy to have these on-on-one conversations with Him. So please don't go too far and chase the mirage of this temporary world and forsake your forever, ok?

Thank you for doing the heartwork today.
The path back to Him is a wonderful one, but some days you can falter and lose your bearings and directions. Not every day will you feel a spiritual connection, let alone a high. Missed prayers, times wasted, bad company - it's a struggle. But heart work is hard work and for every good intention, humble attempt, and sincere seeking of Him, Allah will guide, send help, and reward. Just remember that there is always sweetness in the struggle, so keep striving just like you did today, will you?

Most of all, thank you for choosing you today.
Thank you for getting up today, and choosing to live. Thank you for seizing this temporary gift of life that Allah has bestowed onto you to do something good. Thank you for choosing growth over grief, hope over despair, and trust over contempt. You've been such a warrior because of all the fighting you've done against yourself, but you now know that it's time to finally be your own ally, and I can't wait to see how much your life will completely transform now that you've started choosing yourself. :) So thank you.

-

My dear, it is my own fault that I don't say this enough, but again, from the bottom of my heart, thank you, dear self. I promise to take better care of you and to work hard with you to be on His path, till the day we finally get to return to Him. Amin. 

I love you,
a.



Dari self-confidence sampai senyum tanpa pamrih

Sabtu, 28 Agustus 2021

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
In the name of Allah, the most Gracious, the most Merciful

Membaca salah satu Tuesday Love Letter hari ini, dari topik self-confidence sampai berujung pada urgensi amal tersenyum membuat saya merenung.

Pertama, tentang kepercayaan diri. Bahwa ketika kita sedang berada di lingkungan asing dan keluar dari zona nyaman -mencoba hal-hal baru, misalnya- akan membantu dalam membangun kepercayaan diri. Perasaan merasa sendiri dan tidak mempunyai apapun/siapapun untuk diandalkan akan membuat diri kita terpaksa mengandalkan diri sendiri.

Saya sering sendiri sejak kecil. Pulang sekolah sendiri, sampai di rumah sendiri, yang itu membuat saya tidak ingin menjadi ibu bekerja. Saya iri melihat teman-teman saya pulang sekolah disambut ibunya di rumah. Tapi itu mungkin jadi penyebab paling awal saya terbiasa dengan kesendirian. I'm OK being alone, bahkan akhirnya saya merasa lebih baik ketika sendirian. Dan rasa nyaman terhadap kesendirian itu mungkin yang menyebabkan saya menjadi introvert.

Orang biasanya mengasosiasikan introvert sebagai pemalu. Padahal menurut saya, justru orang-orang introvert itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dulu saya sering sekali merasa aneh melihat teman-teman saya yang batal jalan ke kantin hanya karena tidak ada temannya. 'Kamu yang laper pengen jajan kenapa harus temenmu yang ikut jalan?' Atau merasa geram ketika ada orang terlambat karena menunggu temannya yang lambat, like... HOW??? Kenapa harus rela merendahkan integritas diri hanya karena teman? That doesn't make any sense. Dan orang-orang ini, yang biasanya rame dan so called ekstrovert bilang bahwa kami introvert ini pemalu. Pemalu dari mananya?!

---

Lalu berlanjut kepada pembahasan berikutnya, tentang tersenyum. Dalam suratnya, Aida menceritakan tentang pengalaman muslimah yang travelling ke negeri minoritas muslim. Bagaimana mereka harus menghadapi tatapan-tatapan aneh dari orang-orang di sekitar karena penampilan yang berbeda, itu membuat sangat tidak nyaman dan mau tidak mau berakibat pada munculnya rasa insecure dalam diri mereka.

Aida is such an intelligent woman. Responnya terhadap cerita-cerita tersebut adalah menanyakan, "have you ever tried, just smiling at them?" dan penjelasannya terhadap hal ini membuat saya merenungi lagi keberadaan 'kasta-kasta muslimah' di negeri kita sendiri. Seorang muslimah dengan hijab di negeri orang, tentu merasa terpojok jika mendapat tatapan aneh dari penduduk setempat. Tapi di Indonesia, dulu sekali, menjadi muslimah berjilbab panjang saja bisa mendapat tatapan sangat aneh dari sesama muslimah. Ironi sekali memang. Dan sumber tatapan aneh itu, bukan berasal dari kebencian melainkan dari ketidaktahuan. Mereka mungkin menatap aneh karena jilbab yang kita kenakan adalah konsep yang asing bagi mereka dan apapun yang mereka ketahui tentang jilbab ini hanya terbatas pada apa yang mereka lihat/baca di media. Let's be real, kalau sesama muslim saja banyak yang tidak tahu tentang Islam, bagaimana mungkin kita mengharap non-Muslim untuk mengetahuinya, kan?!

Dan untuk menghadapi tatapan-tatapan aneh itu, you could try smiling. Terdengar sederhana dan mudah, tapi percayalah, it's not. Terutama bagi para jilbaber di masa-masa awal dakwah Islam masih asing di sini. Terlebih lagi dengan sifat alamiah perempuan yang pemalu seperti saya gambarkan di awal tulisan ini.

Photo by Pixabay

Let me tell you a story. Dulu, waktu masih awal-awal kuliah saya sering dianggap sebagai akhwat gampangan di kalangan akhwat-akhwat kampus. Saya memang jarang tersenyum -jaaaaaaaraaaaang sekali- tapi saya selalu mencoba membuka obrolan kepada siapapun, termasuk laki-laki. Dan kalau sudah mengobrol, seringkali secara tidak sadar saya akhirnya tersenyum kepada lawan bicara. Hal yang sangat asing dilihat dari seorang akhwat, karena ketika akhwat lain 'terpaksa' mengobrol mereka selalu ingin segera mengakhiri. Siapa coba yang mau ngobrol sama orang yang nggak mau diajak ngobrol?!

Kalian tidak akan percaya bahwa saya adalah introvert kalau melihat saya sedang mengobrol dengan teman-teman saya di kampus. Tapi kalian akan menganggap saya pembunuh berdarah dingin kalau sedang sendiri. Teman-teman sekelas saya sering mengatakan kalau saya punya 2 kepribadian yang berbeda. 😂

Alasan saya bermuka dua itu adalah karena saya mengamati bahwa ada yang kurang tepat dengan pembawaan para akhwat-akhwat di lingkungan mereka. Akhwat-akhwat berjilbab lebar selalu dianggap sombong dan eksklusif. Saya tidak tahu apakah ini masih berlaku sampai sekarang. Tapi saya melihat itu adalah sesuatu yang tidak benar. Maka saya mencoba to break the stereotypes meskipun itu sangat bertolak belakang dengan kepribadian saya sendiri. Karena kalau mau jujur, kita tidak bisa mengharap stereotype itu hilang jika kita tidak memulai langkah pertama. Kita tidak bisa memaksa orang lain memahami kita jika kita tidak menjelaskan terlebih dahulu kepada mereka. Nyatanya saya hanya butuh beberapa bulan untuk akhirnya bisa kembali kepada kepribadian saya yang asli setelah mengajak teman-teman sekelas saya memahami kepribadian asli saya yang aneh. Setelah mengenal saya, mereka tidak pernah segan lagi mengganggu saya meskipun saya datang ke kampus dengan wajah datar dan menatap sesuatu dengan pandangan sinis. 

Tapi, refleksi paling menarik dari topik ini menurut saya adalah tentang niat tersenyumnya itu sendiri. Ketika tersenyum kepada orang-orang di luar lingkaran pertemanan, saya bisa tulus dan tidak mengharap balasan apa-apa. Tapi seringkali, sadar atau tidak, saya seringkali mengharap balasan jika senyum itu say aarahkan kepada sesama muslimah terutama yang berjilbab lebar. Dan tentu saja saya sering kecewa, karena rata-rata mereka sudah menyetel diri mereka untuk menjaga jarak dengan orang lain. Tentu tidak semuanya, tapi setidaknya kebanyakan yang saya temui dulu begitu, don't know why. Padahal senyum adalah salah satu amalan paling ringan, dan harusnya saya melakukannya bukan sekadar ingin dinilai sebagai orang yang ramah atau demi menjaga image di hadapan manusia. 

Senyumlah engkau hanya kerana Allah
Itulah senyuman bersedekah

I don't know why lagu itu sudah saya dengar sejak lama sekali tapi baru sekarang saya merasa benar-benar memahami maknanya. Jika kamu tersenyum pada orang lain dan dia tidak membalas senyummu, so what?! Kalau kamu mengharapkan balasan senyuman dari orang itu, bisa jadi itu adalah pertanda bahwa kamu belum ikhlas dengan senyummu.

Saya benar-benar harus mulai lebih peduli dengan apa yang saya lakukan dan bagaimana saya merespon hal-hal yang ada diluar kendali daripada sibuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan atau lakukan terhadap saya. Dan lebih banyak tersenyum dengan niat yang benar; melaksanakan perintah Allah dan menebarkan keramahan Islam ke sesama manusia. That's all.

Semua Menang, Semua Senang

Jumat, 20 Agustus 2021

 



Jadi ceritanya beberapa hari yang lalu sekolah Aqsha mengadakan lomba dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam sekaligus Hari Kemerdekaan Indonesia. Lombanya ada 2, nyanyi lagu nasional sama mewarnai. Tentu saja Aqsha ikut lomba mewarnai karena dia nggak bisa nyanyi dan orang tuanya terlalu sibuk untuk nyanyi bareng dia. 

Hasil lomba diumumkan tadi siang, dan seperti yang sudah saya duga Aqsha juara. Juara apa gitu tadi saya lupa. Nah, persoalan juara ini yang mau saya bahas kali ini.

Saya sudah punya masalah dengan konsep perlombaan di lembaga tempat saya mengajar ini sejak dahulu kala. Awalnya dulu waktu saya pertama kali mengalami jadi panitia lomba sekolah dan harus membuat kriteria pemenang yang bejibun. Saya heran kan, "kalau pemenangnya banyak ya nanti menang semua dong?" Muncullah pertanyaan itu. Dan Anda tahu bagaimana jawabannya saudara-saudara?! 'Kita mau mengapresiasi usaha mereka, Bu. Lagipula semua anak itu juara.'

Sampai 2017, seingat saya tradisi lomba ala-ala itu masih ada. Tapi belakangan sepertinya sudah mulai hilang. Terbukti ketika lomba Muharram dan HUT RI kemarin pemenangnya sudah mulai lebih dikurasi. Tapi yang SD dan TK ini yang masih belum berubah. Saya perhatikan, sejak Qia sekolah sampai sekarang Aqsha mengalami lomba masih saja mereka dapat juara.

Yang membuat saya penasaran adalah, darimana orang-orang ini punya pemikiran aneh seperti itu. Saya paham tentang logika 'semua anak adalah juara'. Tapi mbok yo lihat konteksnya. Yang namanya lomba itu memang harus ada yang menang, Qia saja tahu tanpa perlu diajarin soal itu. Kalau bagi rapor tanpa peringkat itu juga saya paham, karena yang dinilai bukan satu atau dua kompetensi. Sementara yang namanya lomba, tentu saja spesifik. Lomba nyanyi, lomba ngaji, lomba nulis, dll. Pesertanya haruslah sudah merasa punya kompetensi untuk mengikutinya. Sehingga ketika ada yang lebih unggul dari dia hal itu akan memacunya untuk berjuang menjadi lebih baik lagi. Lha kalau usaha minimal saja sudah jadi juara terheboh, juara termanis, juara tersopan, kapan dia belajar gagalnya?!

Satu alasan yang pernah saya dengar dari salah satu rekan guru yang sebenarnya juga tidak setuju dengan konsep aneh ini tapi tidak punya daya dan upaya untuk berbuat sesuatu adalah bahwa kasihan kalau anak-anak yang masih kecil harus mengalami hal yang menghancurkan hatinya. Dan alasan itu justru membuat saya semakin heran, sekaligus menyimpulkan sesuatu juga sih. Heran karena saya tidak mengerti bagaimana mungkin orang-orang dengan pengalaman bertahun-tahun menjadi pendidik kok bisa tidak tahu bahwa kalau anak sejak kecil tidak pernah mengalami kegagalan justru dia akan menjadi rentan ketika dewasa. Dan disaat yang bersamaan saya pun jadi maklum kenapa anak-anak Islam Terpadu itu rata-rata daya juangnya rendah sekali. Karena memang jarang mengalami kegagalan. Pokoknya juara. Selama lombanya di lingkungan sendiri pasti menang. Lihatlah anak-anak IT yang ikut lomba di luar lingkungannya, jarang yang menang kan?!

Jadi ya gitu. walaupun diminta untuk mengambil bingkisan juara saya pun tidak terlalu semangat untuk ke sekolah karena saya tahu kualitas Aqsha belum cocok untuk jadi juara. Saya hanya berharap tradisi aneh ini suatu saat akan disadari oleh mereka dan diperbaiki.

Tidak Ada Foto Hari Ini

Rabu, 18 Agustus 2021

 


Salah satu hal yang saya baru sadari setelah menjadi guru adalah bahwa kami juga harus punya keterampilan sebagai fotografer untuk murid-murid. Terutama para wali murid kelas 7, hampir setiap hari akan menanyakan kabar dan minta foto. Kalau sudah dikirimkan foto, akan tanya lagi ke mana anaknya kok tidak terlihat. Contohnya pas tanggal 17 Agustus kemarin. Karena di sekolah ada lomba-lomba, kami bagikan foto-foto dan video kegiatan di grup wali murid. Dan karena niatnya memang buat dokumentasi kegiatan, yang jadi objek ya kegiatannya. Kalaupun ada anak-anak yang ketangkap kamera itu berarti dia sedang beruntung.

Seperti yang sudah diduga, selain ucapan terima kasih dari orang tua yang beruntung menemukan wajah anaknya di foto dan video tersebut, tidak lupa beberapa orang tua lain yang menanyakan keberadaan anaknya. "Kok nggak ada ya, Ustadz?" "Itu lagi ngapain ya, Ustadz?" yang sebenarnya seringkali bikin saya geregetan bacanya.

Gini lho, saya jelasin... Mudah-mudahan bisa jadi bahan renungan untuk teman-teman yang ada rencana mau masukin anaknya ke pesantren atau sekolah berasrama lainnya.

Itu anak ratusan, gurunya 30an kurang. Masa mau difoto anaknya satu-satu buat dikirim ke orangtuanya biar apa sih?! Obat kangen?! Ya kalau nggak mau kangen jangan sekolah di pesantren! Eh, kok jadi kayak nyolot ya malahan?!

Sebenarnya orangtua yang rajin nanyain kabar anaknya itu nggak banyak. Biasanya dari 30 murid, 10 diantaranya punya orangtua yang sangat perhatian. 10 x 2 jadinya 20 karena biasanya orangtua itu terdiri dari Ayah dan Bunda. Anggap saja di sekolah kami ada 6 kelas, jadi sekitar 120 orangtua yang hampir setiap hari menanyakan kabar anaknya dan minta foto. Gimana? Mulai terbayang? 😁

Dan karena bukan mayoritas, maka sebenarnya saya juga tidak punya alasan untuk mengeluh begini. Hanya saja, teman-teman, sebagai penganut ideologi pendidikan konservatif, izinkan saya cerita. Bahwa zaman dulu, orang-orang hebat dari para ulama kita itu nggak ada yang digandoli sama orangtuanya ketika sedang menuntut ilmu. Ini bukan masalah teknologi. Apakah kalau Imam Syafi'i hidup di zaman sekarang ibunya akan ngechat gurunya tiap hari untuk menanyakan kabar anaknya?! For me, it's a part of lack of adab. Dan sebagai orangtua, seharusnya menjadi teladan bagi anaknya untuk menjaga adab terhadap gurunya.

Suami saya dulu kadang-kadang juga mengeluh ke saya kalau sudah mulai banyak menerima pertanyaan meminta foto dan menanyakan kabar. Dan biasanya saya jawab dengan santai, 'berarti nanti kita jangan repotin gurunya Qia dan Aqsha kalau ada foto-foto kegiatan di grup WA.' 

And here He is. Setiap kali gurunya Qia nge-share foto kegiatan, sebelum pandemi, dia selalu ngezoom fotonya satu per satu lalu komentar sendiri, 'segini banyak foto kok nggak ada Qia.' 😏


© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.