SLIDER

about parenting
Tampilkan postingan dengan label about parenting. Tampilkan semua postingan

Yang penting anak bahagia

Selasa, 05 Desember 2023

Saya akan memulai tulisan ini dari ingatan saya tentang obrolan tentang anak dengan salah seorang teman. Suatu hari dalam obrolan kami, dia mengatakan, "yang penting kalau bisa anak kita itu nggak ngerasain susah kayak orang tuanya. Dia mau apa, selama kita bisa kasih pasti kita usahakan."

Tentu tidak ada yang salah dengan perkataan itu. Siapa sih yang pengen anaknya hidupnya susah?! Jelas nggak ada. Tapi karena ucapan itu muncul setelah percakapan yang panjang, saya tahu bahwa ada yang salah dengan kesimpulan yang dimiliki oleh teman saya itu. Dan kemudian saya mulai berpikir, jangan-jangan memang kebanyakan orang tua sekarang memiliki pemikiran yang sama seperti itu.

Photo by Tuva Mathilde Løland on Unsplash

Satu cerita lagi tentang sepupu saya yang usianya sekitar 6-7 tahun lebih tua dari saya. Dia anak perempuan satu-satunya dari pakde saya. Saya ingat dulu orang tua saya pernah membahasnya. Saat itu kalau tidak salah kami sedang membahas bisnis orang tua saya. Mamak berkata kalau sepupu saya itu nanti pasti akan kesulitan menjalani kehidupannya, karena tidak pernah ditolak oleh orang tuanya. Dalam artian, apapun yang diminta pasti dituruti oleh orang tuanya. Dan sepertinya saya sudah pernah membuktikan perkataan orang tua saya itu.

***

Menjadi guru selama kurang lebih 10 tahun, saya sudah bertemu dengan berbagai macam jenis orang tua. Tentu tidak sebanyak guru lain yang lebih berpengalaman dan berdedikasi, tapi tipe-tipe manusia itu juga tidak terlalu banyak untuk dicermati. Dan yang saya lihat, kebanyakan orang tua yang saya temui selama 10 tahun belakangan ini adalah jenis orang tua yang terlalu fokus pada kebahagiaan anak. Sehingga mereka cenderung menuruti apapun keinginan si anak. Padahal kebahagiaan muncul dari ketahanan yang membantu anak-anak mengatur emosi yang sulit dan situasi yang penuh tekanan. Dan ketahanan itu bukan sifat naluriah, butuh keterampilan yang harus dilatih dan itu butuh bantuan dari orang tua untuk menumbuhkannya pada diri anak-anaknya.

Dalam bukunya, Dr. Becky Kennedy bercerita tentang para orang tua jenis ini -yang terlalu berharap anaknya bahagia-, dan mengatakan bahwa sepertinya inti dari harapan para orang tua itu bukan pada kebahagiaan. Karena tentu saja semua orang tua pasti ingin anaknya bahagia. Tapi memangnya apa yang bisa membuat kita bahagia? Apakah dengan menghilangkan rasa khawatir dan kesepian pada anak-anak kita, memastikan mereka merasa nyaman setiap saat lalu mereka akan mampu menumbuhkan kebahagiaan dengan sendirinya? Sebenarnya, ketika  kita mengatakan, "saya hanya ingin anak-anak saya bahagia" apa yang sedang kita maksud dengan bahagia di kalimat itu?

Para orang tua murid di sekolah saya dulu pernah menawarkan untuk membelikan AC di asrama dengan alasan agar anak-anaknya bisa tidur nyenyak dan merasa nyaman di asrama. Mereka mengatakan bahwa dengan suasana yang nyaman, anak-anak akan merasa betah di asrama dan semangat belajar. Sejujurnya, saya tidak pernah bisa menemukan korelasi antara kenyamanan dengan semangat belajar. Dan silakan cari sampai ke ujung dunia, orang-orang cerdas yang suka belajar itu tidak pernah menuntut tempat yang nyaman untuk bisa belajar. Mereka belajar karena mereka memiliki motivasi dari dalam dirinya sendiri untuk belajar, tempat yang nyaman hanyalah pendukung. Kalaupun tempatnya tidak nyaman, tidak akan mengubah motivasi dalam dirinya dan tidak akan membuat mereka jadi malas belajar.

Ketika kita hanya fokus pada kebahagiaan, kita mengabaikan semua emosi lain yang pasti akan muncul di sepanjang hidup anak-anak kita, yang berarti kita tidak mengajarkan mereka cara mengatasi emosi tersebut. Dan Dr. Becky menjelaskan, cara kita menghadapi rasa sakit atau kesulitan akan berdampak pada cara mereka berpikir tentang diri mereka sendiri dan masalah mereka selama beberapa dekade ke depan.

"Orang tua kan hanya ingin yang terbaik untuk anaknya." Terdengar -atau terbaca- familiar?! Coba tanyakan lagi kepada diri sendiri, apakah "yang terbaik" untuk anak kita adalah "bahagia"?! Saya pribadi saat ini sudah tidak terlalu tertarik dengan kebahagiaan dan saya bersyukur dididik oleh orang tua saya untuk menjadi tangguh sejak kecil. Melihat betapa manjanya anak-anak sekarang, saya pernah tersulut emosi dan dengan sombong bilang ke mereka, " orang tua saya dulu punya pembantu 7 tapi nggak semanja kalian." And that's true. Karena pada akhirnya ketika takdir tidak memberikan saya banyak pilihan hidup yang mudah, sekarang saya bisa bertahan dengan baik. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya suami saya kalau punya istri yang nggak bisa mencuci piring karena biasa dilayani oleh banyak pembantu.

Bagaimanapun juga, menumbuhkan kebahagiaan bergantung pada kemampuan kita untuk mengatasi rasa tertekan. Kita harus merasa aman sebelum bisa merasa bahagia. Mengapa kita harus belajar mengatur hal-hal yang sulit? Mengapa sulit sekali untuk bahagia dan mengalahkan semua emosi yang lain? Karena pada kenyataannya, dalam hidup ini hal-hal yang paling penting membutuhkan kerja keras dan waktu. Dan itu masalah kebanyakan orang tua saat ini. Mereka tidak punya waktu.

Photo by Keszthelyi Timi on Unsplash

Analogi ini menurut saya sangat baik. Kita ibaratkan tubuh kita seperti sebuah toples yang dikelilingi oleh banyak emosi. Katakanlah ada dua emosi utama; emosi yang terasa menjengkelkan dan emosi yang terasa "lebih bahagia". Di dalam toples emosi kita itu -yang bisa berkembang seiring kemampuan kita mengelola emosi-, ada emosi-emosi lainnya yang ukurannya juga terus berubah. Secara natural, tubuh kita memiliki sistem alarm bawaan dan secara konstan lebih sensitif terhadap bahaya daripada ancaman lainnya. Ketika kita tidak bisa mengatasi emosi seperti kekecewaan, frustrasi, iri, kesedihan dan ukuran emosi-emosi itu mulai memenuhi toples emosi, tubuh kita akan memulai respon stress.

Dan bukan hanya perasaan sulit itu sendiri yang mendorong tubuh kita untuk merasa tidak aman. Kita juga merasa tertekan akan mengalami kesusahan (feel distress over having distress), atau mengalami rasa takut akan ketakutan (fear of fear). Dengan kata lain, ketika kita mulai berpikir, "saya harus menghilangkan perasaan ini." rasa tertekan itu tumbuh dan berkembang bukan sebagai reaksi dari pengalaman nyata yang asli, tapi karena kita percaya bahwa emosi negatif ini salah, buruk, menakutkan, atau berlebihan. Itulah mengapa kita sering mendapati anak-anak sekarang begitu pengecut, karena mereka tidak terbiasa menghadapi tantangan atau mengalami kekalahan. Baru diberi tugas, sudah bilang stress padahal belum dikerjakan. Kesulitan mengerjakan tugas, rasanya ingin mati. Dan saya tidak melebih-lebihkan, anak-anak sekarang benar-benar mudah untuk menyerah karena di dalam tubuh mereka mengatakan bahwa bukan perasaan itu yang seharusnya mereka rasakan. Bukan kesulitan yang seharusnya mereka hadapi. Seharusnya saya bahagia, bukan menghadapi kesulitan seperti ini

Pada akhirnya, seperti inilah bagaimana kecemasan menguasai diri seseorang. Dan sepertinya bukan hanya anak-anak, kita orang dewasa pun sudah mulai terjebak dengan sugesti ini. Jargon-jargon jangan lupa bahagia sudah berhasil menyetir pikiran kita bahwa hanya bahagialah satu-satunya emosi yang boleh kita rasakan. Sehingga ketika mengalami kesulitan, serta merta kita mempertanyakan takdir dan merasakan kecemasan. Maka istilah anxiety sekarang menjadi sangat lumrah kita dengar. Kecemasan adalah ketidaktoleranan terhadap ketidaknyamanan. Tubuh kita tidak akan membiarkan kita untuk rileks jika kita percaya bahwa perasaan dalam diri kita terlalu kuat dan menakutkan. Dan pada akhirnya, kita tidak akan pernah bahagia karena toples emosi kita dikuasai oleh rasa cemas. Padahal seharusnya tidak perlu seperti itu. Kalau saja kita biasa mengelola rasa frustrasi, kekecewaan, iri, dan kesedihan-kesedihan yang lain maka semakin banyak ruang yang kita miliki untuk memupuk kebahagiaan. Mengatur emosi pada dasarnya mengembangkan bantalan di sekitar perasaan-perasaan itu, melembutkannya dan mencegahnya menghabiskan seluruh toples. Regulatin first, happines second.

Jika diterjemahkan ke dalam pengasuhan anak; semakin luas rentang perasaan yang dapat kita beri nama dan toleransi pada anak-anak kita, semakin luas juga rentang perasaan yang dapat mereka kelola dengan aman, sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Itulah pentingnya kita ajarkan ketangguhan kepada mereka. Ketangguhan, dalam banyak hal, adalah kemampuan kita untuk mengalami berbagai macam emosi dan tetap merasa seperti diri kita sendiri. Ketangguhan membantu kita bangkit kembali dari stress, kegagalan, kesalahan dan kesulitan dalam hidup kita. Ketangguhan, memungkinkan munculnya kebahagiaan.

***

Satu hal lagi yang menarik tentang hal ini, adalah bahwa analogi toples emosi itu sesungguhnya sudah kita kenal dalam budaya Islam dan Indonesia; lapang dada. Kalau kita cari, tidak ada padanan kata lapang dada dalam bahasa Inggris. Dan lapang dada adalah idiom yang juga dekat dengan nilai-nilai Islam. Setiap kali ada tema tentang kesulitan disebut dalam Al-Quran maka akan disebut tentang hati yang sempit. Dan Rasulullah adalah manusia yang telah dilapangkan dadanya oleh Allah. Sehingga beliau bisa mengatur emosi-emosi negatif dalam hidupnya dan tidak hilang arah. 

Bagaimana Allah menumbuhkan ketangguhan dalam diri Rasulullah dan orang-orangg beriman? Jika kita lihat sejarah, Rasulullah tidaklah kebal terhadap stress atau perjuangan -dan memang itulah kenyataan hidup yang tidak bisa kita hindari- tapi ketangguhan beliau memperlihatkan kepada kita bagaimana beliau menghadapi saat-saat sulit  dan mengalaminya. Orang yang tangguh lebih mampu mengatasi saat-saat yang penuh tekanan. Dan ketangguhan bukanlah sifat bawaan. Ketangguhan adalah sebuah keterampilan yang dapat dikembangkan. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang mampu membantu menanamkannya kepada anak-anak kita sejak dini. Karena kita tidak bisa selalu mengubah penyebab stress di sekitar kita, tapi kita selalu bisa mengupayakan kemampuan kita untuk menambah daya tahan.

Mengapa generasi muda kita begitu lemah?

Selasa, 31 Oktober 2023


Photo by tabitha turner on Unsplash

Di media sosial, terutama instagram banyak sekali saya menemukan konten tentang perbedaan antar generasi. Paling banyak saya temui adalah yang temanya tentang parenting dan dunia kerja. Rata-rata intinya menunjukkan bahwa generasi Z adalah generasi yang lemah, mudah mengeluh dan sangat rapuh. Sebagai guru selama kurang lebih 10 tahun, saya pun setuju bahwa makin ke sini anak-anak yang lahir setelah tahun 1995 lebih sulit untuk dihadapi. Dan ternyata ada kajian menarik mengenai fenomena ini.

Setiap generasi suka mengeluh tentang generasi yang akan datang. Hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan. Kita yang muslim pasti pernah mendengar tentang percakapan Ali bin Abi Thalib ketika ditanya salah seorang warganya ketika menjadi khalifah,

'Abidatu as-Salmaini berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Wahai Amirul Mukminin! Apakah gerangan Abu Bakar dan Umar, mengapa semua rakyat tunduk dan patuh kepada keduanya? Wilayah kekuasaan yangg semula lebih sempit dari satu jengkal lalu meluas dalam kekuasaan mereka? Lalu saat engkau dan Utsman menggantikan posisi keduanya, rakyat tidak lagi tunduk dan patuh terhadap kalian berdua, sehingga kekuasaan yang luas ini menjadi sempit buat kalian?"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Karena rakyat mereka berdua adalah orang-orang yang seperti aku dan Utsman, sementara rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang yang sepertimu."

Dalam hadits Rasulullah saw juga sudah mengisyaratkan bahwa generasi yang datang setelah generasi sahabat akan makin menurun kualitasnya, "Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian setelahnyna, kemudian setelahnya." (HR Bukhari & Muslim)

Photo by Yuri Shirota on Unsplash

Dalam sebuah video Youtube yang menghadirkan seorang Social psychologist -Jonathan Haidt, disebutkan bahwa salah satu penyebab anak-anak di Amerika menjadi rapuh adalah karena mereka dibesarkan dengan prinsip "moral dependency". Mereka jarang bermain ke luar rumah dengan teman-temannya. Lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan gawainya dan berinteraksi dengan cara itu. Generasi Z adalah anak-anak yang mengenal media sosial sejak usia 13 tahun atau bahkan kurang dari itu. Mereka mendapatkan materi dan konten anti-bullying bahkan di sekolah, dan mendapatkan lebih banyak pengawasan dari manusia dewasa. Secara umum, generasi Z tidak mendapatkan kebebasan yang didapat oleh generasi sebelumnya. Karena selalu ada orang dewasa yang bisa mereka datangi setiap menghadapi masalah akhirnya mereka menjadi lebih kesulitan untuk menyelesaikan masalah sendiri.

When we protect children from unpleasantness, from conflicts, from insults, from teasing, from exclusion, we are setting them up to be weak, to be more easily damaged, to be more easily discouraged.

Lalu mengapa generasi Z begitu dilindungi?

Pada tahun 1980an, ada beberapa kasus penculikan terkenal dan diberitakan di televisi. Lalu muncul iklan layanan masyarakat tentang bahayanya anak yang dibiarkan sendirian di luar rumah atau berbicara dengan orang asing. Hingga akhirnya para orangtua merasa panik dan berpikir bahwa jika anak-anak berada diluar jangkauan perhatian mereka maka anak-anak akan diculik. Hal ini terus berlanjut hingga masuk di tahun 1990an, ada semacam konsensus para orang tua bahwa anak-anak tidak bisa bermain sendiri ke luar rumah sebelum berusia 14 atau 15 tahun.

Saya sendiri masih ingat dulu ada beberapa kali masanya kasus penculikan anak begitu marak diberitakan di televisi maupun dari mulut ke mulut. Ada beberapa saatnya ketika bapak dan mamak berinisiatif menjemput sendiri setiap saya pulang sekolah. Namun itu tidak berlangsung lama, mungkin karena kondisi masyarakat Indonesia yang secara ekonomi jauh di bawah Amerika sehingga propaganda dengan cara seperti itu tidak terlalu berhasil.

Di Amerika, Lenore Skenazy, yang menulis buku "Free Range Kids" menjadi terkenal sebagai "ibu terburuk di Amerika" karena pada tahun 2009, ia membiarkan putranya yang berusia 9 tahun menaiki kereta bawah tanah New York City. Padahal anaknya baik-baik saja, bahkan merasa senang karena dia merasa telah belajar sesuatu yang baru. Dia merasa bisa keluar melihat dunia. Sama persis seperti waktu pertama kali saya naik angkot sendirian dari sekolah ke pasar. Ketika saya muncul sendirian ke toko orang tua saya di pasar, mereka sangat kaget dan khawatir. Tapi melihat saya baik-baik saja akhirnya mereka malah mengatakan, "oh kamu sudah besar sekarang."

Jonathan Haidt menjelaskan dalam video tersebut, dalam sepanjang sejarah manusia, normalnya usia 8-12 tahun adalah masa dimana anak-anak melatih kemandirian, berpetualang, membuat rakit dan mengarungi sungai. Namun kita merampas periode itu dan mengatakan kepada mereka, "kamu belum boleh melakukan ini/itu" hingga semuanya sudah terlambat dan tiba-tiba ketika anak kita berusia 17-18 tahun kita berkata, "sekarang pergilah kuliah." Mereka tidak siap, karena mereka tidak terbiasa mandiri. Ketika mereka masuk kuliah, mereka butuh lebih banyak bantuan.

They are asking adults for more help. 'Protect me from this. Punish him for saying that. Protect me from that book.' Students are thinking in terms of safety and danger. Students say, by their own admission, they are more fragile. They use a language of fragility, weakness, trauma, triggering. They see triggers all over the world.

Waktu menyimak video itu, saya merasa sangat relate dengan pemaparannya. Kita pun di sini sering sekali mendapati anak-anak yang mudah ketrigger, kan? Kena kritik sedikit langsung stress, dikasih beban tugas agak banyakan langsung depresi, capek sedikit langsung merasa butuh healing. Mengapa? Karena mereka menganggap dunia ini penuh dengan trigger. Memangnya trigger itu apa sih?

Salah satu definisi dari trigger adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang merasa kesal, takut atau cemas. Haidt menjelaskan, kita seharusnya tidak mengajarkan kepada anak bahwa dunia ini tempat yang berbahaya. We should teach them to live in a world that is physically quite safe, but full of offensive statements and ideas, especially on the internet.

Lalu di salah satu video lain yang saya temukan, ada satu asumsi lain tentang alasan dibalik lemahnya generasi Z. Yaitu mereka tidak pernah merasakan 'delay of gratification". Generasi Z adalah anak-anak yang lahir dengan berbagai kemudahan. Mereka tidak perlu menunggu satu minggu untuk menikmati acara TV favorit ditayangkan. Mereka lahir ketika bimbingan belajar privat sedang tumbuh menjamur. Dan ditambah dengan kehadiran internet, apa saja yang mereka butuhkan -bahkan yang tidak dibutuhkan- bisa dengan mudah mereka akses lewat gawai dalam genggaman. Menariknya, sebenarnya konsep ini adalah sebuah prinsip hidup yang sangat melekat dengan ajaran Islam. 

Pekan lalu ketika meeting pekanan bersama Rahmah Study Club, kami membahas surat Adh-Dhuha. Dan ketika menyimak kajian Ustadz Budi Ashari mengenai ayat 5 beliau mengatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang bagaimana Allah menanamkan konsep pendidikan pada diri Rasulullah saw. yaitu dengan kesabaran. Bahwa Allah berjanji akan memberi kepada Rasulullah saw, tapi nanti. Dan janji Allah pasti ditepati. Menjadi miris jika ternyata prinsip pendidikan ini ternyata tidak kita terapkan juga kepada anak-anak kita karena pola pikir 'yang penting anak saya bahagia.'

Photo by Hannah Busing on Unsplash

Pada intinya, jika kita ingin membesarkan generasi yang dapat menghadapi segala jenis tantangan, kita perlu menyelaraskan praktik pendidikan kita dengan beberapa prinsip psikologis yang sangat mendasar dan penting. Lagi-lagi Jonathan Haidt mengingatkan;

We are all prone to motivated reasoning and the confirmation bias, and we're all prone to tribalism, and black-and-white thinking. We need to be educating kids so that they do less of this stuff.

Kita semua rentan terhadap motivated reasoning dan bias konfirmasi, dan kita semua rentan terhadap kesukuan, dan pemikiran hitam-putih. Kita perlu mendidik anak-anak agar mereka mengurangi hal-hal ini.

Motivated reasoning(?)

Always trust your feelings. Dengarkan kata hatimu. Terdengar bijaksana dan romantis, ya? Ternyata pemikiran seperti ini tidak sepenuhnya benar. Orang-orang bijak di seluruh dunia telah memperhatikan bahwa kita tidak bereaksi terhadap dunia sebagaimana adanya, melainkan melalui konstruksi dan persepsi.

Epictetus berkata, "Bukan hal-hal itu yang mengganggu kita, melainkan interpretasi kita terhadap hal-hal tersebut yang mengganggu kita." Jonathan Haidt mengutip perkataan Homer Simpson -karakter di The Simpson- yang menurut saya cukup menarik. "Shut up, brain! Or I'll stab you with a Q-tp!" Self-talk!!! Otak kita tidak pernah berhenti, dia terus bekerja dan dalam aktifitasnya otak bekerja untuk melindungi diri kita. Jika kita tidak mengendalikannya, maka kita akan dikalahkan oleh persepsi kita terhadap dunia luar yang terkadang dipengaruhi oleh emosi. Maka, tradisi self-talk yang mengarah pada self-control yang sudah diwariskan para ulama kita sejak generasi salaf, mestinya kita lestarikan lagi. Bukan self-talk yang justru melemahkan diri karena kita tunduk pada emosi.

Mari kita simak bagaimana Fudhail bin Iyadh melakukan self-talk untuk mengendalikan dirinya;

Wahai orang yang malang, engkau berbuat buruk sementara engkau memandang dirimu sebagai orang yang berbuat kebaikan

Engkau adalah orang yang bodoh sementara enggkau justru menilai dirimu sebagai orang berilmu

Engkau kikir sementara engkau mengira dirimu orang yang pemurah

Engkau dungu sementara engkau melihat dirimu cerdas

Ajalmu sangatlah pendek, sedangkan angan-anganmu sangatlah panjang.

Haidt mengatakan bahwa di kampus-kampus saat ini para mahasiswa didorong untuk mengikuti perasaan mereka. Jika mereka merasa tersinggung oleh sesuatu, maka mereka merasa telah diserang. Mereka seharusnya tidak mengikuti perasaan itu. Tetapi orang yang bijaksana akan berkata, "sebentar, apakah ada cara lain untuk menghadapi ini?" 

These are crucial skills for critical thinking. These are crucial skills for mental health. And we need to be teaching young people at all stages to question their first interpretations, look for evidence, and improve the way they interpret the world.

Cognitive Behavioral Therapy/CBT (Terapi Perilaku Kognitif)

CBT merupakan cara untuk mengajarkan orang melakukan persis seperti apa yang disebutkan di atas. Mempertanyakan perasaan mereka dan mencari bukti. Dalam CBT, kita akan mempelajari sekitar 15 distorsi/kesalahan logika dalam berpikir; memburuk-burukkan, berpikir hitam-putih, memberi label, atau menebak pikiran. Aaron Beck, seorang psikiater pada tahun 1960an memperhatikan bahwa orang yang depresi dan cemas memiliki cara berpikir bahwa, "Saya buruk. Masa depan itu buruk. Masa depan saya - dan dunia adalah tempat yang buruk." Cara berpikir seperti ini, bertemu dengan lingkungan yang tidak mendukung akan semakin menguatkan perasaan depresi.

Jika kita bisa memperbaiki pemikiran dan mematahkan keyakinan-keyakinan yang melemahkan maka kita akan terbebas dari depresi. Haidt menjelaskan bahwa ada cara-cara lain untuk mengatasi pola pikir keliru namun CBT adalah praktik yang paling mudah dan sudah terbukti memiliki dampak yang besar terhadap berbagai penyakit mental, terutama yang berhubungan dengan depresi dan kecemasan. Dan jika kita melihat kembali ke Islam, sesungguhnya CBT ini juga bukan hal yang asing bagi kita.

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ

"...Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan bisa jadi kamu mencintai sesuatu padahal itu buruk bagimu..." (Al-Baqarah 216)

Ayat di atas berbicara tentang kewajiban perang yang tidak mungkin disukai oleh manusia. Namun Allah mengajarkan kepada kita pada hal ini, bahwa sesungguhnya hal yang tidak kita sukai tidak selalu buruk bagi kita. Dan selama kita percaya kepada Allah, tidak ada yang buruk bagi orang yang beriman. Bahkan musibah dan kesulitan hidup adalah berkah dan kasih sayang dari Allah jika kita memiliki persepsi yang benar terhadap takdir Allah.

Pertanyaannya adalah, bisakah kita mengajarkan kepada anak-anak kita tentang konsep ini? Karena tentu saja kita tidak bisa meminta sekolah untuk mengambil alih semua tugas pendidikan ini. Jika kita bisa mengajarkan bagaimana cara berpikir yang benar tentang hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka, maka insyaallah anak-anak kita akan menjadi lebih tahan terhadap gangguan-gangguan yang mungkin lebih besar di masa yang akan datang.

Photo by Nik on Unsplash

Kesukuan/Rasisme

Jika kita pikirkan lagi, manusia selalu ingin bersaing dengan manusia lainnya. Haidt mengatakan bahwa sifat manusia sangat cocok untuk konflik antarkelompok atau antar suku. Dan ini terbukti dari sejarah nenek moyang kita, bahkan hingga saat ini.

Secara umum, kita berusaha untuk mengubah sejarah kelam itu tanpa menghilangkan naluri bersaing kita. Kini kita memiliki olimpiade, lomba persaudaraan dan bermacam-macam kompetisi. Hal ini tentu menyenangkan dan baik untuk kita, namun di sisi lain kadang bisa menjadi bumerang jika diiringi dengan kefanatikan. Di sekolah atau kampus, kita melihat bentuk-bentuk pendidikan yang mengajarkan siswa untuk membuat semakin banyak perbedaan dan membuat mereka -lagi-lagi- membuat persepsi bahwa orang-orang yang kaya biasanya buruk dan yang lebih rendah biasanya baik. Atau persepsi-persepsi lain.

Saya setuju bahwa ego kesukuan ini adalah pedang bermata dua. Jika terlalu fanatik maka bisa jatuh pada rasisme, namun jika dinegasikan seluruhnya akan menghilangkan identitas diri seorang manusia. Lalu apa hubungannya dengan kelemahan mental generasi kita?

Generasi Z hidup di masa tembok-tembok perbatasan nasional sudah tidak terlihat. Qia, anak saya misalnya (generasi Alpha) sudah memiliki teman dari berbagai negara melalui game Roblox. Dia perlu untuk menyiapkan dirinya dalam berinteraksi dengan teman-temannya yang merupakan masyarakat dunia, maka ego kesukuannya harus ditekan. Namun di sisi lain, identitasnya sebagai muslim dan orang Indonesia seharusnya tidak hilang agar kebanggaan terhadap identitas dirinya tidak hilang.

Masalah yang sering dihadapi generasi Z berkaitan dengan hal ini adalah diantara 2 hal; mereka yang terlalu membanggakan diri dan kelompoknya sehingga fenomena bullying semakin marak terjadi di mana-mana, atau justru yang kehilangan jati diri karena merasa dirinya tidak bisa fit in dengan lingkungan dimana dirinya berada. Anak-anak kita butuh self-awareness yang kuat agar tidak mudah terjebak pada salah satunya.

Photo by Susan Wilkinson on Unsplash

Jika kita menengok pada tujuan manusia diciptakan bersuku-suku, dalam Al-Qur'an Allah mengatakan bahwa tujuannya adalah supaya kita saling mengenal. Lebih awal sebelum ayat tersebut, kita diperintahkan agar tidak mudah berprasangka. Perasaan menganggap golongan atau orang lain berbeda dalam keutamaan membuat kita mudah merasa kecil atau justru jumawa. Maka pemahaman yang tepat tentang QS Al-Hujurat ayat 12-13 sangat diperlukan agar anak-anak kita bisa membawa dirinya dengan persepsi yang benar tentang manusia lain, tentang kesetaraan dan pergaulan. Dengan begitu, semoga mereka menjadi anak yang lebih percaya diri namun juga penuh toleransi.

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.