SLIDER

What I'm watching
Tampilkan postingan dengan label What I'm watching. Tampilkan semua postingan

Avatar The Last Airbender Live Action yang mengecewakan (lagi)

Rabu, 15 Mei 2024

Sejak pertama kali tahu kalau Avatar mau dibuat versi live action, saya jadi salah satu yang paling deg-degan ingin lihat seperti apa hasilnya. Beda dengan One Piece, saya punya kenangan cukup dalam dengan Avatar anime. Saya nggak terlalu yakin apakah dari episode pertama nontonnya, tapi yang jelas saya paham betul alur cerita dan karakter tokoh-tokohnya. Avatar adalah salah satu acara TV yang menemani saya melalui masa-masa kekosongan ketika saya masih pengangguran dan tanpa harapan. Waktu adaptasi filmnya pertama kali muncul saya juga langsung cari akses untuk bisa nonton bajakan dengan kualitas terbaik ๐Ÿ˜‚ (mohon maaf dari dulu saya nggak suka ke bioskop). Dan sama juga kayak fans yang lain, saya kecewa berat sama film itu.

Saya nggak pernah nonton ulang Avatar dan bahkan sempat melupakannya sampai pada suatu hari seorang Youtuber favorit menyebutnya sebagai salah satu cerita terbaik sepanjang masa. Sepanjang menyimak penjelasannya, saya lalu mulai mengingat-ingat lagi setiap episode dan scene-scene yang disebutkannya itu dan akhirnya setuju. Memang sebagus itu jalan cerita Avatar, dan kalau dipikir-pikir saya dulu sampai tertegun sendiri ketika melihat adegan Azula yang marah membabi-buta putus asa  waktu bertarung dengan Zuko. Mungkin yang membuat saya nggak terlalu ingin mengulang nonton Avatar adalah karena saking nggak enaknya kondisi saya disekitaran tahun 2006-2008 itu. ๐Ÿ˜

Di radar saya, kabar pembuatan serial Avatar Netflix muncul berbarengan dengan tayangnya One Piece live action. Hal itu membuat saya berharap agak banyak karena melihat One Piece live action yang digarap cukup baik sama Netflix. Nonton trailernya pun saya sempat terkagum-kagum. Tapi kemudian kabar bahwa authornya lepas tangan di tengah proyek pembuatan serial, saya mulai ragu deh. Sampai akhirnya hari itu pun tiba, dan ternyata benar, saya kembali kecewa. Butuh waktu sampai selama ini untuk saya meyakinkan diri bahwa memang Avatar Netflix gagal total, meskipun sudah dibungkus budget mahal dan aktor-aktor berwajah oriental.

Bahas Avatar, saya nggak bisa nggak membandingkannya dengan One Piece dalam hal penggarapannya. Di awal, Avatar dan One Piece sama-sama dijanjikan akan dibuat bersama dengan penulisnya. Untuk One Piece, Eiichiro Oda sendiri bahkan yang memilih langsung aktor-aktornya dan ikut menentukan jalan cerita untuk versi live actionnya. Tim pembuat serialnya pun diketahui adalah fans berat One Piece. Avatar, di sisi lain meskipun di awal penggarapannya didampingi oleh 2 orang author aslinya, ternyata beredar kabar bahwa mereka memutuskan untuk meninggalkan proyek itu ditengah jalan. Kepergian mereka pun akhirnya menimbulkan banyak spekulasi dikalangan fans. Banyak yang khawatir Avatar akan jadi kegagalan lain dari Netflix.

Saya yang hanya fans kasual sebenarnya nggak mau terlalu ikut mikirin itu, tapi ternyata kepikiran dong setelah nonton. Jadi, di sinilah saya akan tuliskan perasaan saya ketika menonton Avatar live action, biar lega hati ini.

Baca review saya tentang One Piece Live Action

Menurut saya, secara umum ada tiga hal yang paling menarik dari Avatar. Pertama, worldbuilding dan magic system yang ada di dunianya. Konsep tentang keseimbangan 4 elemen di dunia mungkin memang bukan hal baru, tapi ketika nonton anime Avatar saya sangat terkesan dengan konsep pengendalian elemen dan bagaimana kemampuan itu bisa ditingkatkan sampai tahap yang sangat sakti. Dari pengendali air jadi pengendali darah? Itu keren banget, woy! Toph yang berhasil mengendalikan besi? Cheff's kiss. Kedua, character development. Avatar menceritakan karakter-karakter yang masih terbilang anak-anak. Bagi saya yang waktu nonton animenya masih seusia Zuko, karakter-karakter di Avatar anime terasa sangat relatable. Saya bisa merasakan para tokoh itu tumbuh dari yang tadinya sering mengambil keputusan-keputusan konyol dan tidak bertanggung jawab di episode-episode awal, sampai akhirnya bisa dengan penuh kesadaran menentukan pilihan di episode-episode akhir. Dan itu semua didukung dengan hal ketiga; kemampuan penulisnya mengangkat tema-tema yang berat dan gelap jadi lebih mudah dicerna oleh anak-anak. Kalau butuh contoh cerita yang "Show, don't tell" dalam karya fiksi, Avatar adalah juaranya. Genosida, penjajahan, misogini/patriarki, trauma, dan beberapa tema berat lainnya nggak jadi menyeramkan ketika menonton Avatar tapi bukan dalam bentuk romantisasi. Justru di situ kita ditunjukkan betapa buruknya hal-hal itu hingga tanpa sadar kita menaruh simpati pada karakter-karakter yang menghadapi luka dan trauma dari peristiwa-peristiwa menyedihkan dalam hidupnya.

Kegagalan Avatar live action adalah terlalu fokus pada hal pertama dan tidak memedulikan hal kedua dan ketiga. Padahal justru pada dua hal itulah Avatar jadi punya makna yang mendalam bagi fans. Netflix menghabiskan banyak dana untuk kostum dan CGI tanpa mikirin script yang bisa menopang pembangunan karakter yang kuat. Selama nonton dari episode 1 sampai 8, saya sering banget merasa cringe dengan dialog-dialog para karakter. Beberapa kali saya nangis pun, yang terjadi adalah saya mengingat scene tersebut di anime. Bukan karena aktornya yang bisa bikin dialog jadi hidup.

Humor-humor yang ditampilkan pun rasanya kering. Jauh dari kesan konyol yang biasa kita tangkap ketika nonton anime. Aang dibuat jadi terlalu serius, padahal dia masih 12 tahun. Di beberapa interview, mereka memang menjelaskan kalau ingin mengurangi jokes receh supaya lebih menyesuaikan dengan penonton dewasa. Tapi saya nggak nyangka kalau akan jadi sekering itu. Kalau dibandingkan dengan One Piece, saya masih bisa lho sedikit-sedikit ketawa di beberapa scene. Nontor Avatar, seingat saya nggak ada yang bikin saya ketawa karena vibenya nggak cocok buat diketawain. Sering banget malah saya sampai mempertanyakan keputusan si pembuat serial ini, 'yakin ini buat penonton yang lebih dewasa?' karena saya merasa seperti dianggap anak-anak pada beberapa scene. Di tiap episode kita sebagai penonton rasanya berulang kali diingatkan tentang betapa menderitanya Aang, Katara dan Zuko sampai bosen lihatnya. So much of this show felt it was written by AI, there was no heart and soul in it.

And this is the ultimate problem: the writing. Plot, pacing, dialogue, storyline, nggak ada yang bener. 

Opening Scene

Everything wrong with the opening scenes. Mari kembali kita bandingkan dengan One Piece. One Piece anime dan Avatar anime sama-sama punya opening yang iconic. Beberapa kalimat pembuka itu jadi semacam rangkuman dan latar belakang dari cerita yang akan kita tonton. Kita jadi tahu bahwa One Piece sangat menarik perhatian para bajak laut karena itu adalah 'warisan' Raja Bajak Laut. Di Avatar, kita jadi tahu apa yang sedang terjadi di 'dunia' dan mengapa kita butuh Avatar. Nggak cuma itu, Katara yang menarasikan kisah itu jadi penegas bahwa cerita ini akan berfokus pada perjuangan anak-anak yang berusaha menjadikan dunia kembali seimbang. The centre of the story is about the kids fighting back against the oppressive regime. Tapi apa yang kita dapat di live action?! INI??? ๐Ÿ‘‡

Ok, memang ada bagian opening lines itu tapi diubah kalimatnya dan naratornya bukan Katara. WHY? Kenapa bukan Katara? Padahal Katara adalah salah satu karakter paling penting di cerita. Dan kenapa harus diganti? Biar apa? Padahal tinggal dibaca ulang, kan?! Itu grand-grand tahu ceritanya! Word by word. Tapi kayak nggak ada nyawanya saya dengernya. We don't need that intro. We want Katara!!! Dengan menghapus Katara sebagai narator intro, mereka menghapus peran penting Katara dalam cerita. Dan memang itu yang terjadi sampai akhir. Katara hampir seperti karakter yang nggak berguna. Padahal dia adalah ibu bagi tim Avatar dan guru pengendalian air Aang.

Mengapa opening scene ini penting? Karena dari sini akan terbentuk konsep dalam pikiran penonton dimana pusat ceritanya. Di anime, the center of the story adalah Aang dan kawan-kawannya. Tapi di live action, secara nggak langsung opening scene ini menunjukkan bahwa pusat cerita ada di Negara Api dan sepanjang cerita memang begitu yang saya lihat. Avatar live action lebih fokus ke villain daripada karakter protagonisnya. 

Useless addition, deleting important parts

Penambahan yang sangat jelas tentu saja opening scenes yang menunjukkan pusat cerita pada Negara Api, berlanjut dengan scene The Air Nomads Genocide yang lagi-lagi membuat kita fokus kepada kekuatan Negara Api. Penambahan ini jelas sekali menghapus esensi Avatar yang komedik menjadi gelap dan berat. Tapi bukan cuma itu, nilai dan moral yang diangkat dalam kisah original Avatar juga tereduksi habis.

Pertama, Aang diberi tahu tentang takdirnya hanya beberapa saat sebelum dia pergi bersama Appa. Hal ini menjadi tidak masuk akal ketika disambungkan dengan fakta bahwa dia merasa bersalah ketika bangkit dari es. Karena di sini dia pergi hanya untuk cari angin. Bukan kabur dari takdir sebagai Avatar. Di anime, Aang sudah tahu lama bahwa dirinya Avatar. Makanya dia merasakan perbedaan perlakuan orang-orang di sekitarnya dan merasa tidak nyaman dengan itu. Aang benar-benar kabur. Dia pergi, dia tidak mengambil tanggungjawab sebagai Avatar ketika dia dibutuhkan, dan itu membawa penyesalan berat dalam dirinya ketika bangun dan wajar semua orang menyalahkannya.

Di live action, there's no reason to hate Him! Di mata teman-temannya Aang hanyalah anak istimewa yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata sehingga lebih disayang daripada mereka. Ketika diberi tahu tentang takdirnya, Aang hanya pergi menenangkan diri. Bukan mau kabur dari tanggungjawabnya. Jadi sangat tidak masuk akal ketika Bhumi begitu membencinya, karena memang Aang nggak salah. Mengubah cerita ini, menghilangkan nilai yang diajarkan oleh anime Avatar, bahwa perbuatan tidak bertanggungjawab bisa membawa konsekuensi yang besar. Sementara di live action, mereka seolah-olah menunjukkan bahwa ini semua hanya salah paham. Dan sepanjang serial, Aang berkali-kali ngomong di depan kamera betapa menyesalnya dia karena sudah kabur, padahal nggak, dan berkali-kali juga diberi tahu orang-orang disekitarnya bahwa dia tidak bersalah. Which is sickening! Saya merasa dianggap bodoh sama yang buat serial ini.

Satu-satunya yang bener di live action adalah dia

Kedua, Aang belajar dari buku catatannya Zuko?! Again, live action Avatar seolah ingin menonjolkan Negara Api dibanding Avatar sendiri. Karena Aang nggak punya informasi apa-apa tentang Avatar, dia butuh bantuan untuk memahami perannya. Dan yang membantunya adalah orang dari negara api. Great! ๐Ÿ˜ˆ Kenapa harus begitu? Karena sejak awal memang sudah disettingnya begitu. Aang nggak dikasih kesempatan untuk tahu tugas dan informasi apapun tentang Avatar. Ini nggak ada di anime, karena di anime Aang sudah tahu dia harus ngapain, tapi kabur. Jadi ketika dia bangun, dia hanya butuh untuk melaksanakan tanggungjawabnya dan menebus kesalahan.

Eliminating the role of female characters

Di anime, es yang membungkus Aang pecah gara-gara Katara yang lagi ngamuk ke kakaknya, Sokka. Dari situ saja, kita bisa tahu betapa hebatnya kekuatan Katara dan seperti apa karakter Katara dan Sokka. Sementara di live action, es itu pecah gitu aja. Ujug-ujug, kayak cuma udah bosen aja gitu. Katara dan Sokka cuma mancing berdua, ribut biasa kayak saudara pada umumnya. Katara cuma berusaha narik perahu mereka yang hanyut dan tiba-tiba es di belakangnya pecah(?!) Nggak ada yang istimewa. Nggak ada dialog Sokka yang meremehkan Katara yang bikin dia marah, yang alasannya katanya supaya mengurangi sexismnya Sokka, yang padahal itu penting banget untuk pengembangan karakternya Sokka sendiri dan perempuan-perempuan di sekitarnya.

Lihat bedanya? Masa tangan ke depan yang pecah belakang???

Kedua, ketika es yang membungkus Aang pecah Katara adalah wajah yang pertama kali dilihat oleh Aang. Dari situ romance Aang-Katara mulai tumbuh, that scene is important! Pada kisah selanjutnya selalu Katara yang membantu Aang ketika dia terjebak pada Avatar State. Dan karena scene ini dihapus, maka seeeemua hal-hal penting yang terjadi dengan bantuan Katara di episode-episode berikutnya juga hilang, termasuk ketika mereka mengunjungi Kuil Pengendali Udara, teriakan Katara nggak ngefek apa-apa karena memang dia bukan siapa-siapa. Sementara di anime, Katara yang menenangkan Aang, bukan Gyatso.

Katara yang seharusnya menjadi gurunya Aang, nggak punya peran apa-apa di live action. Justru yang terjadi sebaliknya, Aang yang berkali-kali ngajarin Katara teknik pengendalian. Di Omashu, Jet yang ngasih dia visi untuk menyempurnakan jurus. Now, that's sexism. Avatar live action seolah-olah menunjukkan kalau Katara nggak akan bisa menguasai elemennya dengan baik kalau tanpa bantuan Aang dan Jet. Dan ketika Jet mengingatkan tentang hal itu, dia nggak ngaku(?!) How arrogant she is?? Kok malah jadi kayak mereka mau bikin Katara jadi cewek nyebelin? 

Girl, He literally gave you an advice!

Pada akhirnya, karakter Katara jadi meaningless karena dia memang nggak ada gunanya. Bener-bener cuma pelengkap yang kalau nggak ada juga nggak pa-pa. Katara yang temperamental dan kompetitif di anime jadi seperti emotionless, padahal seharusnya dari sifatnya itulah dia akan terus tumbuh menjadi pengendali air yang hebat. Sementara di live action, proses itu nggak terlihat sama sekali. Di awal dia tiba-tiba bisa nangkis serangan apinya Zuko, besoknya bikin ombak aja nggak bisa(?!) Katara yang seharusnya jadi inti tim Avatar seolah-olah cuma numpang di perjalanan Aang menuju Kutub Utara.

Next, Suki ๐Ÿ˜’. Aktor pemeran Suki, memang cantik. Beneran cocok banget jadi Suki. Tapi ya Allah kenapa ceritanya harus begitu??? Makin terlihat betapa sexist pembuat live action Avatar di episode ini. Peran Suki yang sangat penting bagi Sokka justru diputarbalik, seolah Sokka yang jadi gurunya Suki. Well, bukan guru dalam artian harfiah. Tapi sedikit konflik yang terjadi antara Suki dan emaknya (yang nggak ada di anime) menunjukkan kalau Suki seperti terperangkap di Pulau Kyoshi. Kebanggaannya sebagai Kyoshi Warrior seolah hanya kamuflase. Sehingga dia merasa perlu berterimakasih ke Sokka yang sudah datang dan memberi sedikit warna dalam hidupnya. Pret, lah!!

Dia yang ngajarin, dia yang bilang makasih?

Padahal di anime, Suki yang ngajarin Sokka untuk menghormati perempuan. Suki yang membuat Sokka mau berlutut mohon-mohon buat diajari cara bertarung yang benar. Sokka yang biasanya meremehkan Katara, dibully parah di Pulau Kyoshi sampai dia benar-benar sadar akan kesalahannya. Di situ pelajarannya, gaeees!!! Sokka akhirnya minta maaf sama Suki dan dia belajar bahwa perempuan juga bisa menjadi warrior. That's why, Sokka's sexism is necessary, to give him a lesson. Saya benar-benar heran kok bisa mereka nggak bisa nangkep pesan seterangbenderang itu, atau mereka memang sexist sejak awal? They just hate women so bad that they deliberately distort the story. Belum lagi Avatar Kyoshi yang ditampilkan sooo grumpy? Biar apa gitu?

Azula, ya Rabbi I have a lot to say about this. Tapi udah panjang tulisannya. Intinya, Azula yang gila nggak saya lihat di live action. Seperti Ozai, Azula yang seharusnya tampil kejam tanpa emosi justru terlihat tertekan di sini. Ozai nggak berkaca-kaca waktu bakar Zuko, woy! Dia memang sekejam itu, please!!! Kita seolah diminta untuk berempati sama dia. Azula yang seharusnya tampil segila Joker justru terlihat cuma kayak anak biasa yang minta perhatian bapaknya. Padahal Azula itu mengerikan banget, She is craaazy!!! Dia nggak peduli sama Zuko, dia nggak butuh pengakuan bapaknya, She's just obsessed with perfection! Saya nggak peduli Azula mau diperanin cewek tembem atau kurus, poinnya adalah karakter Azula sebagai antagonis yang kejam nggak saya dapatkan di live action. Dan itu membuktikan tulisan saya di atas. Avatar live action ingin penonton menaruh perhatian besar kepada Negara Api, bersimpati kepada karakter-karakter antagonisnya.

Just watch the original, please...

Kalau dilanjut tulisan ini mungkin bisa jadi makalah panjang. Intinya, Avatar live action nggak ngambil apapun dari anime kecuali konsep worldbuilding dan magic systemnya. Nyawa dari kisah Avatar benar-benar hilang. Mereka menghapus hal-hal penting dan justru menambahkan hal-hal yang nggak ada hubungannya sama cerita. Beberapa fans bahkan ada yang menghitung waktu tayang live action yang ternyata nggak beda jauh sama anime, dan mempertanyakan pilihan yang diambil oleh Netflix. 

Mari bandingkan lagi dengan One Piece yang menghapus banyak karakter dan adegan, itu karena memang Season 1 One Piece live action mengcover banyak sekali episode dan mereka menghormatinya dengan tetap menyebutkannya di beberapa adegan. Mereka ngasih tahu penonton. Mereka tahu adegan itu ada dan mereka menyebutnya supaya penonton baru penasaran dan mencarinya di manga atau anime. Meskipun Garp dikenalkan terlalu awal, penonton paham kenapa dia harus ada di live action sejak season 1, karena keberadaan Garp membantu mengisi kekosongan dari episode/chapter yang dihapus dari anime.

Avatar di sisi lain, hanya mengcover 20 episode dan total tayangnya hanya beda 30 menitan dibanding live action. Kenapa nggak pindahin aja semua jadi live action? Kenapa harus nampilin Azula di season 1? Padahal Book 1 Avatar anime harusnya fokus sama proses belajarnya Aang mengendalikan air. Tapi nggak ada itu di live action. Aang sama sekali nggak belajar apapun. Avatar live action nggak ngasih kita apapun selain kostum bagus. Actionnya juga nggak istimewa, standar aja. Nggak ada nilai dan moral yang kita ambil dari serial ini. Wajar kalau penulisnya kabur di tengah jalan.

Dah, gitu aja. Saya butuh minum Pocari Sweat kayaknya.

Anime-anime yang sudah pernah saya tonton #2

Selasa, 23 Januari 2024

Melanjutkan obrolan kita seputar anime yang saya tonton tahun 2023 kemarin, di postingan kali ini masih ada 5 anime lagi yang perlu dibahas;

1. Hunter x Hunter

Saya nonton anime ini karena salah satu Youtuber favorit saya yang membahas manganya beberapa kali, dan ketika mendengar sinopsisnya akhirnya saya memutuskan untuk mencoba menonton. Hal yang paling menarik dari cerita tentang Hunter x Hunter adalah konsep tentang keluarga.

Tokoh utama kita, Gon adalah anak 12 tahun yang diasuh oleh bibinya di sebuah pulau kecil. Selama ini dia tahunya orang tuanya sudah meninggal. Tapi ternyata suatu saat dia baru menyadari bahwa ayahnya pergi meninggalkan dirinya yang masih kecil untuk mengejar ambisi menjadi seorang Hunter. Normalnya ketika anak mengetahui bahwa orang tua pergi meninggalkannya, pasti akan marah karena merasa tidak dicintai. Tapi Gon merespon kenyataan itu dengan mengatakan, "Bukankah itu hebat? Meninggalkan anaknya dan memilih menjadi Hunter. Aku ingin mencari tahu. Ayah mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan ini. Aku ingin mencobanya juga."

Cara berpikir seperti itu mungkin tidak banyak ditemukan pada orang-orang Indonesia, kan? Atau orang lain pada umumnya. Tapi saya pernah mendengar perkataan serupa ketika menonton Masterchef Australia, seorang kontestan yang meninggalkan anaknya demi mengikuti lomba itu, mengatakan, "Aku tidak ingin anakku nanti menjadikanku sebagai alasannya tidak mengejar mimpinya." Untuk kita ketahui, Masterchef Australia punya reputasi yang sangat baik di dunia, yang saking bagusnya bahkan 50 besarnya bisa diterima kerja di restoran beneran setelah dieliminasi. Jadi bukan reality show ala-ala macam yang di Amerika atau negara kita. 

Dari pembukaan itu saja, saya langsung tertarik pada karakter Gon dan cerita anime ini seluruhnya. Konsep fantasinya memang absurd, tapi saya memutuskan untuk tidak mempedulikannya. Belajar dari pengalaman nonton AoT ๐Ÿ˜…. 

Gon bertemu dengan Leorio, Kurapika dan Killua dalam perjalanannya mengikuti ujian Hunter. Pada akhirnya, Killua-lah yang selalu mendampinginya sampai di episode terakhir. Leorio dan Kurapika menjalani kehidupannya masing-masing setelah ujian berakhir, dan nanti di akhir-akhir episode mereka muncul lagi sebentar untuk membantu Gon. 

Saya nggak terlalu ingat pada alur cerita Hunter x Hunter, tapi saya sangat tertarik pada Killua dan Kurapika. Sayang sekali karakter Kurapika nggak mendapat exposure lebih banyak, padahal justru kepribadiannya sangat saya sukai. Dan Killua, saya sempat mengasosiasikan diri seperti dia apalagi ketika dia mulai meragukan sifatnya yang sangat hati-hati dan penuh perhitungan sebagai sebuah tindakan pengecut. Penggambaran karakter yang baik, tidak berlebihan, dan alur cerita yang runut membuat anime ini menjadi salah satu yang saya sukai. Kalau suatu saat akan dilanjutkan, saya pasti akan menontonnya.

2. Black Clover

Ini adalah anime yang temanya klise, konsep fantasinya klise, karakter-karakternya klise, tapi tetap saya tonton sampai akhir karena saya hanya ingin bersenang-senang ๐Ÿ˜‚. Kata suami sih ini ceritanya persis seperti Naruto, tapi karena saya belum pernah nonton Naruto, jadi saya nggak bisa berkomentar sama.

Ceritanya tentang Asta dan Yuno, anak yatim piatu yang diasuh di sebuah gereja pinggiran kota terpencil di Kerajaan Semanggi. Di dunia anime ini, setiap orang secara natural memiliki kekuatan sihir dengan berbagai level. Ada yang cukup untuk mempermudah pekerjaan sehari-hari, sampai yang sangat hebat. Yuno sejak kecil sudah menunjukkan kemampuan sihirnya yang hebat, sementara diluar dugaan, Asta yang pendek sama sekali tidak memiliki kekuatan sihir. Dia sering diejek karena hal itu, tapi tidak pernah menyerah untuk berlatih bahkan bercita-cita menjadi Raja Sihir.

Karena sejak awal nggak berminat untuk terlalu serius menonton, saya juga nggak terlalu fokus untuk mengkritisi. Saya cuma menikmati tiap pertarungan dengan santai, menertawakan kebodohan Asta dan interaksinya dengan teman-temannya. Walaupun begitu, sebenarnya karakter-karakter pendukungnya punya backstory yang menarik untuk diulas. Kalau saya tulis review ini langsung setelah nonton, sepertinya saya bisa cerita banyak. Sayangnya sudah cukup lama sejak itu, jadi yang saya ingat cuma cerita Noelle, Yami dan Vanessa yang menarik perhatian. Kalau anime ini ada lanjutannya, saya juga pasti akan menonton, untuk bersenang-senang.

3. Dr. Stone

Anime ini bertema sains, yang merupakan genre paling tidak saya sukai simply karena otak saya yang lola. Saya tonton karena waktu itu bingung memilih setelah nonton Black Clover, dan asal klik saja di Netflix.

Ceritanya, pada suatu hari yang tenang di Jepang tiba-tiba sebuah cahaya hijau menyinari bumi dan semua orang menjadi batu. Tokoh utama kita, Senku berusaha tetap sadar selama diselimuti lapisan batu itu dan 3000 tahun kemudian lapisan batu itu akhirnya pecah. Dia langsung berinisiatif untuk mencari cara menghidupkan orang lainnya dan diawali dari teman terdekatnya, Taiju. Awalnya mereka akan menghidupkan perempuan gebetannya Taiju, Yuzuriha, tapi kehadiran singa-singa kelaparan menyadarkan mereka bahwa kebutuhan bertahan hidup lebih utama dibanding berkembang biak pada saat itu. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membangkitkan salah satu orang terkuat yang mereka kenal dengan harapan menjadi pelindung mereka nantinya; Shishio. Tapi tidak disangka, Shishio punya pikiran yang nyeleneh. Bukannya berniat menghidupkan lagi semua orang, dia malah ingin menghancurkan orang-orang yang dianggapnya tidak layak dan hanya menghidupkan lagi orang-orang kuat. Ini bertentangan dengan niat Senku yang berpikir bahwa semua orang berhak dihidupkan lagi, apapun alasannya. Kayak ilmuwan-ilmuwan normal pada umumnya, lah.

Yang menarik dari anime ini tentu saja adalah latar belakang sains pada setiap tindakan Senku. Meskipun konsep pretifikasi --yang baru saya tahu ketika nonton-- sangat nggak masuk akal buat otak jongkok saya, dan frasa 'satu milyar persen'nya Senku sangat mengganggu, saya tetap suka dengan alur dan karakter Senku yang cerdas. Saya suka Senku yang selalu tampak egois tapi sebenarnya peduli. Dan Taiju yang bodoh dan sadar akan kebodohannya, mendukung apapun yang menjadi tindakan Senku.

Pas nulis ini saya cek di Netflix ternyata season 3 sudah tayang, jadi saya akan nonton lanjutannya segera setelah menyelesaikan tulisan ini. Mungkin nanti akan saya tulis juga reviewnya di postingan lain.

4. My Happy Marriage

Saya nggak pernah menyangka, cerita retelling macam Cinderella bisa bikin saya nangis sesenggukan. Benar-benar bikin malu ๐Ÿ˜†, tapi saya nggak peduli untuk yang satu ini. Saya bahkan niat nabung untuk bisa beli manganya.

Saya nonton anime ini karena beberapa kali muncul di FYP Tiktok. Saya pikir bolehlah jadi selingan nonton supaya perasaan saya hidup lagi. Eh nggak tahunya baru episode pertama saya sudah sesak nafas. Karakter Miyo, tokoh utama cerita ini adalah anak pertama dari keluarga Saimori yang cukup terpandang. Ketika masih kecil, ibu kandungnya meninggal dan ayahnya menikah lagi, lalu memiliki satu anak lagi. Sayang sekali, Miyo nggak punya kekuatan supranatural seperti adiknya sehingga dia diperlakukan dengan jahat oleh keluarganya. Miyo menjadi pembantu di rumahnya sendiri.

Di usia 19 tahun, ayahnya menjodohkannya dengan seorang pemuda dari keluarga Kudo. Ternyata perjodohan itu direncanakan hanya dengan niat untuk membuangnya dari rumah, karena Kudo Kiyoka, laki-laki yang dijodohkan kepadanya itu memiliki reputasi yang buruk karena sudah berkali-kali gagal menikah. Meskipun memiliki kekuatan supranatural terkuat, Kudo tampaknya tidak bisa bersikap baik kepada perempuan. Tapi ternyata Miyo berbeda dengan perempuan lain.

Miyo yang lugu langsung naksir Kudo sejak pertama kali melihat, dan Kudo langsung kaget waktu mendengar jawaban "Iya" dari Miyo untuk semua syaratnya yang agak aneh. Miyo yang terbiasa menjadi pembantu, langsung disayang oleh pengasuh Kudo, dan penampilannya yang seperti pembantu membuat Kudo penasaran dengan latar belakang Miyo yang seharusnya berasal dari keluarga terpandang. Dari situlah satu per satu rahasia Miyo terungkap dan pelan-pelan mereka berdua makin dekat.

Setelah menonton animenya, saya langsung nonton Live Action adaptasinya dan menurut saya casting untuk karakter Miyo dan Kudo sangat cocok. Walaupun unsur fantasi di Live Action nggak terlalu enak dilihat mata saya, tapi karena kedua tokoh utama berhasil memerankan peran mereka dengan sangat baik, saya nggak peduli. Tetep nangis tiap lihat wajah lugu dan polosnya Miyo.


5. One Piece

Sekarang saya sampai di episode 416, ketika Luffy berada di Amzon Lily bertemu dengan Boa Hancock. Dan sampai hari ini saya masih terus takjub sama Eiichiro Oda dengan kemampuannya mengambil inspirasi dari cerita-cerita yang sudah populer di dunia dan mengembangkannya menjadi ceritanya sendiri. Kemampuan Hancock yang bisa mengubah manusia menjadi batu misalnya, kan jelas-jelas itu terinspirasi dari Medusa. Lalu Dr. Hogback langsung mengingatkan saya pada Victor Frankenstein. Beberapa episode sebelumnya ada karakter yang mulai dikenalkan sebentar bernama Don Quixote, membuat saya pengen baca novelnya yang sudah bertahun-tahun nangkring di rak dan masih belum terbuka segelnya.

Ada banyak sekali yang bisa dibahas dari anime ini. Dari plot cerita, inspirasi, sampai kerumitan karakter-karakternya. Dan setelah menontonnya sendiri, saya jadi menyadari kenapa para fans nggak merasa bosan dengan One Piece. Karena One Piece bukanlah cerita tentang Luffy. One Piece menceritakan orang-orang yang bertemu dengan Luffy, sehingga ceritanya selalu baru. Karakter Luffy yang bodoh membuat keunggulan teman-temannya jadi terlihat, sehingga kata-kata Luffy "Aku tidak akan bisa menjadi Raja Bajak Laut tanpa kalian" menjadi sangat bermakna karena memang benar. Luffy hanyalah anak bodoh berhati tulus dan bersemangat baja yang kebetulan berhasil menarik orang-orang terbaik menjadi krunya. Dan tanpa mereka, Luffy tidak bisa apa-apa. Menurut saya, satu bagian ini dari One Piece yang membuat One Piece selalu menarik untuk ditonton.

Anime-anime yang sudah pernah saya tonton

Selasa, 16 Januari 2024

Tahun 2023 kemarin saya banyak menonton anime, dan ternyata setelah dipikir-pikir banyak karakter-karakternya yang saya sukai. Jadi daripada nanti kelupaan, mending saya tuliskan saja di sini. Siapa tahu ada yang jadi ingin nonton juga setelah baca ulasan ini.

1. Inuyasha

Inuyasha bukanlah anime yang saya tonton di tahun 2023, tapi bisa dibilang adalah anime yang pertama saya tonton sampai selesai. Awalnya dulu karena suami yang ngajakin nonton waktu liburan sekolah, karena backsound dan soundtracknya yang bagus dan saya juga nggak ada tontonan, jadilah Inuyasha yang ditonton.

Bercerita tentang Kagome, gadis kelas 3 SMP yang secara tidak sengaja tersedot ke dalam sumur tua di kuil terlarang milik keluarganya lalu berpindah ke masa feodal Jepang. Di zaman dimana masih banyak siluman berkeliaran, Kagome nggak sengaja ketemu manusia setengah siluman yang tersegel di sebuah pohon keramat, Inuyasha. Karena pada saat itu kondisinya yang sedang dikejar-kejar silluman, Kagome berinisiatif membebaskan Inuyasha dan meminta tolong kepadanya.

Misteri perpindahan Kagome dari zaman modern ke zaman feodal terpecahkan setelah keluarnya Shikon no Tama dari dalam perutnya. Kaede, miko yang membantu Kagome mencurigai Kagome sebagai reinkarnasi dari kakaknya, Kikyo yang meninggal 50 tahun yang lalu setelah menyegel Inuyasha. Dan karena Shikon no Tama sudah pecah, Kagome mau tidak mau harus berusaha mengumpulkannya kembali agar pecahan itu tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Jadilah Inuyasha dan Kagome bersama memulai petualangan mencari pecahan-pecahan Shikon no Tama.

Seiring bertambahnya episode, Inuyasha dan Kagome yang awalnya saling membenci --menurut saya sebenarnya mereka hanya canggung-- mulai menunjukkan perhatian kepada masing-masingnya. Lalu muncul karakter-karakter lain yang melengkapi cerita ini menjadi lebih menarik. Bagi saya, Sesshomaru, Kikyo dan Kagome adalah tokoh yang sangat istimewa karakternya.

Kagome, adalah gadis biasa yang ceria. Sejak awal bertemu Inuyasha, dia tidak punya pikiran atau perasaan apa-apa. Tapi karena Inuyasha yang begitu kasar dan menyebalkan, dia jadi sering kesal dengan perlakuan Inuyasha kepadanya. Tapi begitu bertemu dengan jelmaan Kikyo, dia langsung sadar bahwa Inuyasha memendam banyak kenangan dan masa lalu menyakitkan yang membuatnya menjadi seperti itu. Bahkan dia mulai merasa ingin bersama dengan Inuyasha dan menemaninya. Di episode 19-20, saya menangis menyaksikan ketulusan Kagome yang memohon kepada Inuyasha untuk berada di sampingnya. Meskipun dia tahu bahwa Inuyasha tidak akan pernah berhenti mencintai Kikyo, dia tidak peduli. Dia pun tidak berharap Inuyasha balik mencintainya. Dia hanya ingin bersama Inuyasha, tidak lebih. And it's sooo sweeeet yet heartbreaking. Sepanjang cerita, sangat terlihat kedewasaan sikap Kagome menghadapi Inuyasha hingga akhirnya Inuyasha menyadari bahwa dirinya juga mencintai Kagome.

Kikyo, adalah salah satu karakter paling rumit yang pernah saya temui sepanjang sejarah saya menonton/membaca kisah fiksi. Dia begitu mudah untuk dibenci karena tidak pernah mau menyampaikan isi hatinya kepada siapapun. Kita nggak akan pernah tahu apa maksud dari tindakannya sampai akhirnya dia mati lagi dan semua baru menyadari bahwa selama ini yang dia lakukan adalah mengorbankan dirinya untuk semua orang. Saya senang gambarnya untuk anime dibuat berbeda dengan di manga karena bisa menunjukkan kedewasaan dan perbedaan kepribadiannya dengan Kagome.

Sesshomaru, adalah kakak tirinya Inuyasha sekaligus bintang sesungguhnya dari cerita ini ๐Ÿ˜‚. Yang nggak mengikuti anime ini sampai selesai pasti mengira bahwa Sesshomaru adalah villain, tapi ternyata dia adalah anti-villain. Mungkin seperti Loki bagi Avengers. Hasratnya untuk merebut pedang warisan ayahnya dari Inuyasha membuat dia selalu bertarung dengan Inuyasha setiap mereka bertemu, tapi itu juga jadi sarana Inuyasha untuk memperkuat dirinya. Sampai pada akhirnya Sesshomaru sadar bahwa dia tidak butuh pedang itu untuk menjadi siluman terkuat di dunia, karena dia sudah mewarisi darah ayahnya. Dan memang Inuyasha yang lebih membutuhkan pedang itu. Karakternya yang dingin dan tanpa ekspresi membuat hubungannya dengan Rin jadi sangat menarik. Untunglah ada Jaken yang selalu menerjemahkan perasaan Sesshomaru untuk kita, sehingga kita bisa tahu apa yang dirasakan Sesshomaru sesungguhnya.

Membaca beberapa review tentang Inuyasha, saya pernah menemukan salah satu komentar yang mengatakan bahwa Inuyasha adalah tipe cowok red flag dan Sesshomaru bukanlah karakter yang layak dicintai. Apalagi posisi Kagome dan Rin yang seolah-olah paling banyak berkorban dalam hubungan mereka, pasti bikin pejuang kesetaraan perempuan nggak suka sama karakter-karakter laki-laki di anime ini. Tapi saya nggak setuju. Mereka adalah tipe laki-laki yang menunjukkan cinta dengan tindakan karena memang tidak terampil mengatakannya. Beda sama cowok red flag yang memang sudah bejat sejak awal. Dan meskipun Kagome dan Rin seperti tampak mengejar-ngejar Inuyasha dan Sesshomaru, tapi sebenarnya mereka juga nggak yang kegatelan kayak cewek murahan. Apalagi Rin yang memang masih kecil, yang dia tahu hanyalah bersama Sesshomaru dia bisa aman dari gangguan. Sementara Kagome yang memang sudah menyadari cintanya, pun nggak berharap apa-apa ke Inuyasha. Dia cuma nggak tahan aja jauh-jauhan sama Inuyasha, dan menyadari kalau Inuyasha membutuhkan dia yasudah paket lengkap, kan?

Sampai saat ini, menurut saya Inuyasha adalah salah satu anime terbaik berdasarkan karakter-karakter tokohnya yang unik itu. Secara ide dan alur cerita mungkin memang bukan yang terbaik karena cerita-cerita semacam ini bukan baru di Jepang, tapi karakter seperti Kikyo sepertinya akan sulit ditemukan atau dibuat lagi.

2. Yashahime

Sebagai sekuel Inuyasha, Yashahime punya reputasi yang buruk sama seperti sekuel lain pada umumnya. Saya yang hanya penggemar biasa nggak terlalu mempermasalahkan itu, sih. Apalagi sejak awal kan memang sudah dikasih tahu kalau Yashahime ini bercerita tentang anak-anak Inuyasha dan Sesshomaru. Jadi, apa perlunya para bapak ikut tampil, ya kan?!

Di anime 2 season ini, ceritanya tentang anak kembarnya Sesshomaru; Towa dan Setsuna dan anak semata wayangnya Inuyasha; Moroha. Mereka bertiga sudah berpisah dengan orang tuanya sejak kecil karena sebuah peristiwa dan hidup masing-masing sampai akhirnya tidak sengaja bertemu saat berusia 14 tahun. Petualangan mereka diawali dengan usaha Towa menyembuhkan Setsuna dari penyakit tidak bisa tidur, lalu dari situ mulailah terungkap latar belakang mereka. Kehadiran Inuyasha dan Sesshomaru yang nggak terlalu banyak memang sedikit mengecewakan, tapi saya lega akhirnya terbukti reputasi Sesshomaru sebagai siluman terkuat di serial ini ๐Ÿ˜.

Saya nggak punya kesan yang gimana-gimana banget sama anime ini. Palingan di apisode terakhir season 1 aja yang bikin agak nangis dikit gara-gara sikap dinginnya Sesshomaru. Tapi selebihnya biasa aja. Lumayan mengobati kerinduan dan rasa penasaran dengan masa depan para karakter di serial Inuyasha sebelumnya. 


3. Attack on Titan

Anime paling fenomenal kayaknya ini. Tapi saya belum selesai nontonnya ๐Ÿ˜…. Saya kehilangan minat meneruskan nonton pas di episode dimana Levi kena bom. Kata suami saya terlalu mencintai Levi sampai nggak rela dia kena bom. Padahal bukan hanya itu alasannya.

Seperti biasa, saya nonton anime ini karena dukungan dari suami. Di awal saya coba memastikan dulu dengan menanyakan apakah ada karakter yang unik seperti Kikyo di anime ini, dan dia bilang saya akan suka dengan Mikasa. Dan setelah nonton, saya bisa simpulkan kalau suami saya benar-benar nggak paham sama perbedaan karakter manusia ๐Ÿ˜Œ. Dia kira Mikasa sama Kikyo itu mirip, dari manaaa??? Jelas-jelas Mikasa cuma cewek bucin yang ngintilin Eren ke mana-mana ๐Ÿ˜ฉ.

Saya nggak perlu jelaskan sinopsis anime ini kayaknya saking populernya. Yang jelas, Attack on Titan sudah berhasil bikin saya tertarik langsung di episode pertama. Tanpa ba-bi-bu, saya nggak sadar udah nangis pas ibunya Eren dimakan Titan. Dan cerita berlanjut dengan penjelasan-penjelasan logis yang membuat saya menganggap bahwa segala sesuatu di anime ini sudah dipikirkan dan dirancang dengan baik oleh pembuatnya.

Sampai di episode itu, ketika Levi kena bom. Saya langsung kecewa luar biasa. Memang Levi adalah karakter favorit saya, tapi bukan kena bomnya yang bikin saya kecewa, tapi alasannya. Karena sejak awal cerita Attack on Titan dibangun dengan logika maka saya juga berharap ada penjelasan logis di setiap kejadian. Dan perisitiwa Levi kena bom itu menurut saya adalah scene paling aneh yang ada di anime ini. 

Ceritanya, Zeke yang sudah kritis dibawa sebagai tahanan dan dikawal sama Levi. Bom itu nempel di badan Zeke, dan tubuh Zeke seharusnya fokus untuk memperbarui diri. Sementara Levi yang sehat punya refleks yang hebat. How come, situasi yang udah nggak ideal buat Zeke dan Levi yang sehat wal afiat kok malah berakhir Zeke baik-baik aja, Levi sekarat?! Logikanya di mana? Saya nggak peduli kalau Levi mau dimatiin pun, tapi mbok ya dibuat yang masuk akal dulu, kan dari awal semuanya dibuat ada penjelasannya, tuh. Gimana sih dedek Hajime?! Mungkin suatu saat saya akan tuntaskan nonton anime ini, tapi untuk saat ini saya masih merasa belum butuh.

4. Demon Slayer

Bercerita tentang Tanjiro, yang melakukan perjalanan setelah keluarganya dibunuh oleh iblis terkuat; Muzan dan adiknya, Nezuko berubah menjadi iblis. Misinya adalah untuk membunuh Muzan dan mencari cara supaya Nezuko kembali menjadi manusia. Untuk memenuhi misinya itu Tanjiro berlatih untuk menjadi Demon Slayer dan dalam perjalanannya bertemu dengan orang-orang yang membantunya dan beberapa sahabat baru.

Mungkin Demon Slayer adalah salah satu anime paling overrated yang pernah saya tonton ✌. Bukan berarti saya nggak suka, atau ceritanya jelek, tapi memang berlebihan aja. Secara cerita dan karakter, nggak ada yang istimewa dari anime ini. Yang istimewa cuma gambar dan soundtracknya. Bahkan kalau fokus sama cerita, season terbarunya kemarin malah bikin saya bosan karena laaaaaambatnya luar biasa. Satu-satunya momen menyenangkan dari Demon Slayer adalah ketika nonton filmnya; Mugen Train. Dan belajar dari pengalaman ini, saya memutuskan untuk nggak terlalu mikirin ketika nonton anime-anime berikutnya kecuali memang karakternya berhasil menarik hati atau ceritanya benar-benar menarik.

5. Spy x Family

I loooove Anya!!! Spy x Family bercerita tentang negara-negara di dunia yang terlibat perang informasi. Tokoh utama kita, Twilight adalah seorang mata-mata yang diutus negara Westalis untuk bertugas di negara Ostania Timur dan harus bisa mengambil informasi sebanyak-banyaknya tentang seorang tokoh penting; Donovan Desmond. Untuk tugasnya itu, dia perlu memiliki sebuah keluarga. Tapi karena kekurangan agen akhirnya Twilight 'merekrut' 'orang biasa' untuk membantunya.

Secara tidak sengaja, rekrutannya yang dia kira orang biasa itu adalah seorang wanita pembunuh bayaran dan anak hasil uji coba genetika. Yor yang butuh seorang kekasih supaya meredakan kekhawatiran adiknya akan status lajangnya, setuju menjadi istri palsu Loid --nama samaran Twilight-- supaya bisa mendaftarkan Anya ke sekolah bergengsi. Anya yang ternyata bisa membaca pikiran, sadar bahwa orang tua barunya adalah orang-orang keren merasa sangat bangga dan berusaha sebaik mungkin untuk membantu mereka.


Sepanjang cerita kita akan disuguhkan cerita slice of life yang heartwarming dan tingkah lucu Anya yang membuat gemas. Meskipun anime ini bercerita tentang mata-mata dan pembunuh bayaran, tapi saya menontonnya hanya untuk melihat interaksi antar tokohnya yang canggung dan cute. Tidak ada momen atau scene yang menyentuh atau dramatis, tapi karena karakter-karakternya lovable semua jadi saya meniatkan untuk meneruskan menontonnya di season berikutnya.

***

Masih ada 5 anime lagi yang perlu saya ulas, tapi karena sudah nggak ada waktu hari ini, jadi lanjutannya akan saya bahas di postingan berikutnya. ๐Ÿ’—

Tentang Manga, Anime, dan Live Action One Piece; sebuah review

Jumat, 01 September 2023

cover manga yang pakai warna

So.... where to start?!

Semua akan One Piece pada waktunya, kan?! Seperti suami saya yang awalnya ragu untuk menonton One Piece, saya pun demikian. Seingat saya, suami mulai nonton One Piece pas bulan puasa tahun 2021. Dia selalu nonton sambil makan sahur atau buat selingan pas tilawah ba'da isya. Satu hal yang membuat saya penasaran dengan One Piece adalah karena melihat suami saya menangis di salah satu episode yang dia tonton. Dia bukan orang yang mudah menangis. Dia nggak nangis waktu melihat pengorbanan Kagome untuk Inuyasha, dia nggak nangis waktu Rengoku mati, tapi dia nangis nonton anime konyol tentang manusia karet. That's interesting.

Seperti orang-orang kebanyakan, saya juga merasa sudah terlambat untuk mengikuti serial ini. Apakah layak untuk dikejar? Satu pertanyaan itu yang saya ajukan kepada suami sebelum memulai. Dan dia memastikan saya akan tertarik karena unsur politik di dalam ceritanya. Lalu, awal tahun ini saya mencoba membaca manganya. Satu-satunya medium bacaan yang saya paling tidak mengerti konsepnya. Saya menantang diri membaca manga karena saya pikir akan terlalu banyak waktu terbuang kalau menonton anime, biasanya kan satu episode anime hanya memuat beberapa scene dari manga. Dan tentunya saya akan bisa memahami cerita dengan lebih utuh lewat manga. Kalau memang One Piece sebagus itu, dia layak untuk diusahakan. Dan ternyata benar.

Saya suka chapter 1 dan 2. Saya tidak merasa kesulitan sama sekali membacanya. Urutannya jelas, dan gambarnya menyenangkan. Entahlah, padahal saya tidak merasakan kesenangan yang sama ketika mencoba membaca manga yang lain. There's something special about those pictures that makes me happy to look at them. Lalu saya mencoba menonton animenya. Sampai saat ini baru di episode 20, dan masih asik-asik aja. Belum ada emosi yang gimana-gimana. Tapi itu sudah saya antisipasi karena seperti permulaan cerita yang panjang, bagian awal adalah yang paling krusial meskipun tampak membosankan. 

Dan kemarin sore saya menonton live action One Piece season pertama, sekali duduk. Tentu saja berdua dengan suami. Dan setelah menyelesaikan nonton live actionnya, saya benar-benar tertarik untuk membahas serial ini.

poster live action

Menurut para fans, live action One Piece merangkum East Blue Saga yang terdiri dari 12 volume manga (100 chapter) dan 61 episode anime. Tentu saja saya banyak tertinggal. Menonton live action sampai selesai rasanya jadi berbuat curang karena sudah mengintip isi cerita tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya. Untungnya, karena sudah punya cicilan anime dan manga, saya jadi tahu bahwa 3 medium ini benar-benar bisa dinikmati sendiri tanpa perlu dukungan satu dari yang lain.

Ketika menonton anime sambil membaca manga, saya jadi tahu bahwa ada beberapa plot yang diatur berbeda porsi dan urutannya. Ada bagian di manga yang tidak ditampilkan di anime, begitupun sebaliknya. Dan tentu saja, live action yang hanya 8 episode tidak akan bisa merangkum keseluruhan cerita dengan lengkap kalau kita mau sempurna. Itulah mengapa dinamakan adaptasi. Banyak hal yang diubah, banyak cerita yang  dipangkas. Tapi bagian-bagian yang penting dijaga dengan baik sehingga saya bisa menangkap inti cerita dan merasakan emosi para karakter dengan baik. 

poster anime

Dan di postingan kali ini saya akan membahas One Piece live action sebagai seseorang yang bukan fans. Meskipun sudah membaca sebagian kecil manga dan menonton animenya, saya belum layak dan merasa menjadi penggemar serial ini. Saya bisa melihat saat-saat itu akan datang, tapi saat ini saya masih ingin menilai serial ini sebagai orang baru.

Gold Roger

dari manga ๐Ÿ‘‰anime๐Ÿ‘‰live action

Dalam manga maupun anime, scene eksekusi Gold Roger adalah adegan utama. Maka wajar kalau di live action scene ini tetap dijaga. Karena memang dari dialah cerita One Piece bermula. Dari setting tempat sampai ke karakter/aktornya, udah pas banget. Hanya saja sayangnya, Gold Roger nggak nyebut istilah One Piece di momen eksekusi itu. Padahal setahu saya, istilah One Piece ya awalnya dari dia itulah. Tapi yaudah lah ya, lupakan saja.

Alur

Di manga, Luffy kecil muncul pertama kali sebelum karakter yang lain. Masuk akal karena memang dia tokoh utamanya. Kita akan disuguhi adegan Luffy yang merengek minta bergabung ke dalam kru bajak lautnya Shanks, dan seterusnya. Alur maju mundur memang cocok untuk merangkum jalan cerita yang panjang supaya kita nggak kebingungan dengan latar belakang dari tiap-tiap karakter.

Sementara di anime, scene pertama yang kita lihat hanyalah tong ikannya Luffy yang kalau nggak baca manga pasti nggak dapet clue apa-apa. Jadi, bisa dibilang orang pertama yang dilihat di anime adalah Nami.

Nami's first appearance

Di live action, scene pertama adalah Luffy yang lagi kerepotan buangin air dari perahunya yang bocor. Abis itu baru masuk tong ikan, dan akhirnya sampai ke kapalnya Alvida ketemu Koby. 

Nah, yang baru buat saya adalah kemunculan Sixis Island. Yaaa karena saya belum jauh baca manga dan animenya, jadi nggak paham tentang latar belakang pulau ini. Tapi, justru ini jadi salah satu pro dari episode ini. Penonton live action dikasih tahu di awal tentang kehebatan Zoro. Sehingga kebayang sama kita tentang karakter dan kekuatannya.

Baik di manga maupun anime, pertemuan antara Luffy, Zoro dan Nami terjadi berurutan. Luffy dan Zoro duluan ketemu, sementara Nami sibuk dengan keperluannya di sekitar mereka berdua. Sementara di live action, mereka bertiga ketemu hampir barengan. And that's OK. Saya nggak menemukan masalah sama sekali di perubahan ini.

Banyak yang berubah di versi live action. Tapi menurut saya malah perubahan ini masuk akal. Misalnya di anime maupun manga Zoro diikat di halaman pangkalan marinir udah 3 minggu ketika ketemu Luffy. Itu kan mustahil yak?! ๐Ÿ˜† Sementara di live action, Zoro baru mulai ditahan dan nggak sampai sehari setelah itu untuk ketemu Luffy. 

So far, perubahan-perubahan yang dilakukan di live action nggak bikin inti cerita jadi aneh atau feelingnya berkurang. Alur di Syrup Village misalnya, justru jadi masuk akal ketika mereka ketemu Usopp pertama kali di tempat pembuatan kapal sehingga kita dapet bayangan Kaya itu bisa kaya karena apa. Nggak ujug-ujug ngasih kapal seperti di anime. 

Aktor

Aktor-aktor utamanya pun keren-keren aktingnya. Yang paling menarik perhatian saya adalah Koby. Karena kata suami nanti Koby akan jadi karakter penting, saya perhatiin banget tuh dia dari awal. Dan aktornya keren banget meranin karakter Koby yang pengecut dan selalu canggung. Saya penasaran gimana tampilannya nanti waktu udah gagah dan bisa berdiri tegak. Pasti kece banget.

Buggy, seperti yang sudah heboh di internet memang dapet banget. Konyol dan intimidatif, pas seperti yang seharusnya. Shanks, yang di trailer tampak nggak menjanjikan malah ternyata cocok. Menurut saya, Shanks memang seharusnya terlihat nggak menjanjikan, makanya bandit gunung bisa menyepelekan dia. Pas dia melototin naga laut itulah baru kelihatan sangarnya. Nggak gampang lho menampilkan dua kepribadian kayak gitu.

Arlong yang kata orang-orang kekecilan, menurut saya baik-baik saja. Again, ini adalah penilaian dari yang belum baca manga maupun anime. Saya tahu kalau badan Arlong harusnya kayak raksasa, tapi kalau dengan badan segitu udah bikin saya kesel sama karakternya, menurut saya itu sudah cukup.

Yang kurang adalah pemeran-pemeran figuran. Makino, yang imut dan perhatian di manga saya lihat agak flat. Entah kenapa saya merasa pemeran Alvida kurang banget. Garangnya kurang, ekspresi kaget pas lihat badan karetnya Luffy juga kurang. Dan karena saya nggak tahu apakah aktor-aktor ini juga masih baru, nggak bisa sembarangan ngejudge juga. Nojiko, sorry to say benar-benar diluar perkiraan. Saya nggak tahu ya dia seharusnya berkebangsaan apa. Tapi aktingnya nggak bagus.

Aktor-aktor pemeran Straw Hat Crew masa kecil nggak ada yang istimewa. Tapi karena mereka semua anak-anak, saya nggak akan terlalu keras sama mereka. ๐Ÿ˜

nggak ada serem-seremnya, nggak keliatan jahatnya

The cons

Yang paling nggak saya suka adalah adegan actionnya Zoro. Geeeemeeeees banget lihatnya!! Pertama kali lihat Zoro gelut, respon saya adalah, "gelut macam apa itu, Mackenyu???" Samurai Jepang pasti malu lihatnyaaaa...... ๐Ÿ˜ญ Kalau kalian pernah nonton Rurouni Kenshin, pasti tahu bagaimana reputasi Mackenyu di franchise itu. Dan saya, sudah berharap bisa melihat aksi laga semacam itu lagi. Tapi sejak awal dia nongol di Sixis Island saya langsung tersadar kalau ini bukan aksi laga buatan orang Asia. Gerakannya kelihatan sama sekali nggak bertenaga, lambat dan boring.

Tapi karena katanya itu persis kayak di manga, jadi sepertinya saya yang salah sudah berharap terlalu tinggi. Soalnya dari awal suami saya bilang kalau Zoro itu keturunan samurai. Dengar kata samurai, otomatis bayangan saya langsung ke Rurouni Kenshin. Ternyata samurainya One Piece beda. ๐Ÿ˜…

Tapi lagi-lagi memang kita nggak bisa berharap banyak sama orang Barat kalo bikin adegan action. Masih inget kan bagaiman Yayan Ruhiyan yang harus ngurangin kecepatan gelutnya pas main di John Wick?! Jadi yaudah relakan saja.

Kebugilan Helmeppo juga adalah scene yang sama sekali nggak penting. Biar apa, gitu?! Hah?! ๐Ÿ˜  Kissingnya Kaya dan Usopp masih mending, tapi buat apa coba nampilin cowok bugil uget-uget begitu? 

Syrup Village di episode 3-4 bisa dibilang adalah hit and miss buat saya. Secara alur, proses perkenalan mereka dengan Usopp dan Kaya udah pas. Karakter Kuro yang serem pun udah pantes banget. Tapi sayangnya, lama banget. Rencana pembunuhan Kaya malah kayak cuma main-main. Udah gitu, adegan berantemnya aduuuuh. Masa iya Zoro yang sehebat itu bisa pingsan cuma gara-gara dipukul botol?! Udah gitu, dikira mati lagi. 

Favorites

Sebelum nonton serialnya, saya sudah dengar lagu soundtrack One Piece. Dan saya suka. Dari komentar-komentar para fans, lagu itu menunjukkan karakter Nami dan perjalanan hidupnya. Sepertinya dari situ saya mulai sangat penasaran dengan karakternya.

Bounty poster yang muncul di muka para bajak laut itu juga epic sih. Tiap kali muncul, seolah mengingatkan kita bahwa ini adalah serial fantasi yang cringe dan aneh. Ini bukan cerita seperti The Lord of The Rings atau a Game of Thrones. One Piece adalah cerita yang ada hanya untuk dinikmati dan membuat kita bahagia.

Hal lainnya adalah momen-momen kecil yang menunjukkan ikatan antar karakter yang bikin saya suka sama serial One Piece. Sepanjang serial, sampai di episode yang paling membosankan sekalipun selalu ada adegan-adegan yang bikin saya ketawa gemas sama Luffy, Zoro dan Nami, dan nantinya ditambah Usopp dan Sanji.

Episode 7 sukses bikin saya sesenggukan. Masuk di bagian ini saya mulai paham kenapa Emily Rudd seperti nggak total ketika menunjukkan ekspresi-ekspresi tertentu sebagai Nami. Karena ternyata memang Nami kayak gitu orangnya. Dia selalu memendam perasaannya, sehingga ketika sedih pun nggak kelihatan benar-benar sedih karena dia berusaha menahannya.

***

Jadi kesimpulannya, live action One Piece lumayan menghibur buat saya. Nggak yang bagus banget memang, tapi worth it buat ditonton menghabiskan waktu bareng suami. ๐Ÿ˜

Rating : 3/5  ⭐⭐⭐

What I learnt from the revenge story

Rabu, 28 Juni 2023

Akhirnya kesampaian juga nonton The Glory season 2 setelah menunggu sekian lama. Season 1 sudah tuntas saya tonton ketika liburan sekolah semester lalu, kalo gak salah. Pokoknya pas lagi heboh-hebohnya itu. Dan sejak episode pertama, saya sudah ada feeling kalau jalan cerita serial The Glory akan seperti novel The Count of Monte Cristo. Buku klasik yang jadi bacaan terbaik saya di tahun 2021.



Mengingat sekarang sudah lewat jauh sejak pertama kali serial ini rilis, tampaknya udah nggak masalah kalo saya menulis ulasan di sini dengan penuh spoiler, kan?!



Genre: Revenge tragedy
Jumlah Episode: 16
Penulis Naskah: Kim Eun-sook
Sutradara: Ahn Gil-ho
Bahasa: Korea
Platform: Netflix

Sepertinya saya nggak perlu nulis sinopsis deh, saking ramenya serial ini di mana-mana malah bisa dibilang saya yang terlambat nonton ๐Ÿ˜. Intinya serial ini bercerita tentang Moon Dong-eun yang mau balas dendam ke satu geng beranggotakan 5 orang yang dulu membully dia waktu masih SMA. Pembullyan itu sangat parah sampai-sampai Dong-eun sekujur badannya penuh luka bakar akibat dibakar pakai catokan rambut.

Cakep banget ya, posternya?!

Proses pembalasan dendam itu membutuhkan waktu sangat lama karena para pembully itu berasal dari keluarga kaya -3 orang aja sih sebenernya-, sehingga Dong-eun harus merencanakan balas dendamnya dengan sangat teliti dan hati-hati.

Di season 1 kita disuguhkan cerita pembullyan Moon Dong-eun sampai akhirnya dia berhenti sekolah dan merencanakan balas dendamnya. Alur cerita yang maju-mundur membuat kita harus sedikit mikir dan nggak boleh berpaling matanya. Menurut saya cara penyajian seperti ini sangat jenius karena membuat penonton mau nggak mau mantengin terus ceritanya karena kehilangan detail sedikit saja akan membuat kita kehilangan alurnya.

Kalau dibandingkan dengan Monte Cristo yang alurnya maju dan pace-nya lambat, The Glory benar-benar seperti orang berjalan cepat. Dan begitu kita sampai pada plot twist yang mencengangkan, akan langsung disambut dengan flash back yang menjelaskan plot tersebut. 


Apakah The Glory terinspirasi oleh Monte Cristo?!


Pertanyaan ini memenuhi pikiran saya sepanjang menonton season 1. Karakter Dong-eun muda yang lugu dan begitu polos melihat dunia, orang-orang baik di sekitarnya yang tidak berdaya menolong, dan perkembangan karakternya sepanjang cerita membuatnya sangat mirip dengan Edmond Dantes, karakter utama di novel Monte Cristo.

Sikap Dong-eun yang mengingat orang-orang yang sudah berjasa di masa lalunya, mirip seperti Dantes yang kembali menolong orang-orang yang dia ketahui baik dan telah berusaha menolongnya di masa lalu. Cara liciknya dalam mengadu domba musuh-musuhnya juga sama seperti Dantes, bahkan kekhawatirannya untuk menyakiti Ha Ye-sol sama seperti Dantes yang tak tega menyakiti Edouard de Villefort.


Sepertinya bukan tidak mungkin The Glory mengadaptasi novel Monte Cristo mengingat novel itu memang merupakan salah satu kisah balas dendam paling epik sepanjang sejarah, sampai-sampai diadaptasi ke dalam bentuk film berkali-kali. Dan itu tidak masalah, saya benar-benar puas melihat tokoh-tokoh yang awalnya tidak berdaya kemudian menjadi tangguh dan berhasil balas dendam. 


Beberapa hal yang saya notice ketika menonton The Glory salah satunya adalah HP Samsung yang dipakai semua karakter, kecuali Son Myeong-oh. Cuma dia sendiri yang pakai Apple dan nasibnya adalah disiram miras sama Park Yeon-jin. Nggak penting sih, tapi menurut saya itu lucu ๐Ÿ˜….

Selanjutnya, profesi Park Yeon-jin sebagai pembawa berita ramalan cuaca. Kalau dilihat dengan POV orang Indonesia, nggak make sense Yeon-jin bisa seterkenal itu hanya karena profesinya. Saya jadi tahu kalau ramalan cuaca jadi hal pertama yang selalu disimak orang Korea sebelum memulai aktifitas mereka di pagi hari, terutama kalau mau keluar rumah. Dengan persepsi itu, wajar saja kalau Yeon-jin menjadi terkenal.

Setting tempat yang bukan di Seoul. Lagi-lagi, kalau dibandingkan dengan sinetron di Indonesia maka ini menjadi menarik buat saya. Kita tahu sendiri bagaimana sinetron kita selalu menampilkan setting tempat di Jakarta dan sekitarnya. Kalaupun bikin cerita tentang orang kampung, nggak bener-bener di kampung bikinnya. Kangen nggak sih, sama sinetron kayak Camelia yang dulu dibintangin Maudi Koesnaedy sama Ari Sihasale yang syutingnya sampai Padang demi menyesuaikan setting ceritanya?! Saya bukan penikmat drakor. Jadi mohon maaf kalau apa yang menurut saya menarik ini ternyata adalah hal biasa di dunia per-drakor-an. 

Pelajaran dari kisah pembalasan dendam The Glory dan Monte Cristo


Jangan terlalu baik jadi orang. Pernah dengar kalimat itu? Saya meyakini, menjadi baik tentulah sebuah akhlak yang baik, jadi mungkin kalimat yang lebih tepat adalah jangan terlalu naif jadi orang. Edmond Dantes yang terlalu lugu dan polos membuatnya mudah ditipu dan akhirnya masuk penjara. Dong-eun di sisi lain memang tidak punya pilihan. Dia dibully oleh orang-orang yang berkuasa. Dia sudah melawan tapi tidak berdaya. Jika Edmond Dantes butuh waktu 15 tahun di penjara untuk membuka matanya dan butuh mentor untuk berubah menjadi Monte Cristo, Dong-eun butuh waktu 18 tahun untuk mengumpulkan strategi dan uang supaya balas dendamnya berjalan lancar.

Pada akhirnya setiap orang akan mendapat balasan atas perbuatannya. Tidak peduli bagaimana kita mendapat apa yang kita inginkan, karma dan pembalasan nyata adanya. Karakter-karakter baik di Monte Cristo maupun The Glory pada akhirnya kembali merasakan hidup yang tenang. Dan sebagai muslim, hal yang paling menentramkan ketika menghadapi ketidakadilan adalah mengetahui bahwa balasan Allah pasti datang. Jika tidak di dunia, maka pengadilan itu akan ditemui di akhirat. Atas tuntutan kesabaran inilah kenapa saya -dan sepertinya kita semua- suka sekali dengan cerita balas dendam. Kita merasa mendapat validasi dan visualisasi atas karma yang akan dialami para antagonis dalam hidup kita sebelum nanti melihatnya di akhirat ๐Ÿ˜†.


A man's desire for revenge can sustain him for years. Sepertinya sangat  luar biasa, keinginan Dong-eun maupun Dantes untuk balas dendam membuat mereka bertahan hidup meski menjalaninya dengan penuh penderitaan. Dalam konteks lain, sebenarnya kita bisa melihat semangat yang sama pada kisah orang-orang tertindas. Saya jadi ingat buku Man's Search for Meaning yang bercerita tentang survivor camp penyiksaan Nazi. Saya belum baca bukunya, tapi berdasarkan review orang-orang saya pikir kisah itu memiliki spirit yang sama. Begitu juga tentang kisah orang-orang yang berjuang melawan kemiskinan seperti di film Pursuit of Happyness misalnya.

Memang ada orang-orang yang murni jahat. Entah mengapa karakter-karakter jahat di The Glory nggak ada satu pun yang punya validasi yang masuk akal atas kejahatan mereka. Jika melihatt karakter Joker dalam cerita Batman misalnya, sebagian dari kita pasti akan merasa bahwa kejahatannya menjadi bisa ditolerir karena perlakuan orang-orang di sekitarnya. Tapi saya suka dengan karakter-karakter antagonis di The Glory karena membuktikan bahwa memang ada orang-orang yang punya pemikiran sesakit itu, yang membuat mereka benar-benar tidak bisa dimaafkan. Sama seperti orang-orang berdosa yang nanti pada akhirnya tidak akan punya alasan untuk diampuni di akhirat. Jadi, jangan seenaknya sama hukum Allah. Mentang-mentang Allah Maha Penyayang terus semena-mena merasa Allah menerima kita apa adanya?! Ngimpi!!!

Ada banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari kisah The Glory maupun Monte Cristo. Saya bahkan menandai banyak sekali kutipan-kutipan bagus di Monte Cristo yang kalau di tulis di sini akan membuat postingan ini jauh lebih panjang. Tapi satu hal sepertinya yang membuat saya kurang sreg dengan The Glory adalah endingnya yang too good to be true. Saya mengerti itu tentu untuk kepuasan penonton, tapi kalau mau dibandingkan saya pikir Monte Cristo memiliki ending yang jauh lebih bagus. Villefort yang menjadi korban juga membuktikan bahwa pada akhirnya tidak ada yang menang atau kalah dalam sebuah pembalasan dendam. Edmond Dantes sadar telah mengambil alih peran Tuhan dan tersadar atas kesalahannya, sementara Dong-eun mendapatkan akhir yang bahagia.

Tapi lagi-lagi, karakter Dong-eun memang jauh lebih matang dibanding Dantes. Sejak awal Dong-eun tidak pernah memosisikan dirinya sebagai malaikat pencabut nyawa. Dia menyadari bahwa apa yang dia lakukan bukanlah perpanjangan tangan Tuhan, meskipun sekuat tenaga dia memperjuangkan keadilan untuk Yoon So-hee. Dong-eun juga tidak pernah jumawa dengan keberhasilan usaha-usahanya. Dia sadar bahwa dia ada di bawah musuh-musuhnya. Mungkin karena kematangan karakternya itu, dia layak mendapatkan hasil yang mulus.

Jadi gimana, udah tertarik untuk baca novel Monte Cristo setelah ini?! Kalau sudah baca, jangan lupa cerita di kolom komentar tentang pendapatmu ya...

Rating:⭐⭐⭐⭐ 4/5

Everything I want to say about The Idol

Rabu, 14 Juni 2023

 

Saya warning dulu, bahwa saya cuma akan misuh-misuh di postingan kali ini. Jadi mohon kalau yang mudah baper silakan minggir. Dan untuk memulainya, saya akan katakan bahwa The Idol adalah film p*rn*!!!


Baiklah, mari kita mulai dengan alasan saya menontonnya. Pertama-tama karena saya sudah terlanjur langganan HBO sebulan ini, -kemungkinan bulan depan kita akan pindah ke Netflix- maka sudah pasti The Idol selalu nongol di beranda sebagai serial paling direkomendasikan. Alasan kedua tentu saja kehadiran Jennie Blackpink yang menarik begitu banyak perhatian manusia di dunia sampai-sampai cuplikan-cuplikan dia joget-joget itu lewat terus di beranda Instagram saya. Jujur saja, ketika melihat cuplikan-cuplikan itu saya nggak terlalu kaget karena kalau dibanding dengan member Blackpink yang lain, memang kelihatannya Jennie yang paling berani tampil sexy. 


Dan sebagai tambahan lagi, saya sudah 33 tahun. Sejak menikah dan punya anak saya sudah berani ngintip film 21+, walaupun masih saya pilih-pilih juga tergantung bagaimana review orang-orang. Sejauh ini film 21+ yang saya tonton baru Red Sparrow. Game of Thrones saja baru pekan kemarin saya nonton episode satunya dan sempat bikin saya ngusir suami gara-gara terkaget-kaget sama scenes anehnya. Khusus The Idol, saya bilang itu bukan sekadar film 21+, it's literally p*rn yang harusnya cuma bisa diakses di website-website ilegal. Sepanjang nonton 2 episode serial itu nggak habis-habis saya mikir, "kok bego banget sih Jennie, mau-maunya main di film nggak mutu begitu?" se-nggak mutu itu sampai cuma dapet rating 26% di Rotten Tomatoes.


The Idol, menceritakan tentang seorang penyanyi pop Jocelyn (Lily-Rose Depp) yang lagi galau parah gara-gara ditinggal mati ibunya, setahun yang lalu. Mungkin karena sang Ibu adalah satu-satunya keluarga buat dia, bikin Jocelyn jadi kacau balau hidupnya. Selama setahun itu dia batalin konser dan nggak ada rilisan lagu.


Mau pakai pin juga nggak akan ngaruh, anak sekarang nonton beginian di Telegram ๐Ÿ˜’


Episode 1


Adegan pembuka, kita disuguhi mukanya Jocelyn yang lagi berpose buat pemotretan. Layar fokus penuh sama muka dia yang diminta ngasih bermacam-macam ekspresi. Karena saya nggak baca-baca sinopsis pas mau nonton serial ini, saya pikir dia tuh aktor gitu. Ternyata saya salah sangka. Ketika angle makin dijauhin mulailah keliatan si Jocelyn yang difoto itu hampir bugil. Hanya dalam beberapa detik, saya udah shock.


Cerita berlanjut dengan kehadiran orang-orang di sekitar Joceclyn. Mulai dari asisten, manajer, wartawan majalah, produser, pokoknya orang-orang yang paling berpengaruh dalam karirnya Jocelyn. Di situ ditunjukin mereka lagi ngeributin fotonya Jocelyn yang nggak senonoh yang nyebar di internet. Yang aneh adalah, mereka panik tapi nggak ada upaya buat nanganin masalah. Diusut kek siapa yang nyebar fotonya, bikin apa gitu. Jadi kepanikan yang mereka ributin di belakang Jocelyn kayak nggak ada artinya. Sepanjang episode, itu foto dibahas terus tapi gantung aja nggak ada juntrungannya.


Abis itu adegan nari yang nyebar ke mana-mana itu, tuh, yang ada Jennie-nya. Kayaknya sih di situ peran Jennie coba dimasukin ke plot cerita. Jocelyn keliatan cuma ngobrol sama Dyanne yang diperanin Jennie, nggak sama dancer yang lain. Dyanne digambarkan sebagai dancer yang paling berkompeten di kelompok itu. Lewat Dyanne juga nanti Jocelyn kenalan sama Tedros yang diperankan The Weeknd.


Setelah mikir agak lama, memang cuma itu inti dari episode 1. Sisanya cuma nunjukin Jocelyn bugil, sama adegan-adegan nggak jelas lainnya. Plotnya nggak jelas, penokohan karakter-karakternya juga nggak dipikirin, vibenya malah kayak film horor. Awalnya saya pikir akan ada eksplorasi tentang rahasia gelap dunia hiburan Hollywood yang sering dibicarakan orang-orang. Makanya saya lanjutin deh ke episode 2.


Episode 2


Akan tetapi saya kembali kecewa. Kalau di episode 1 isinya cewek-cewek hampir bugil, di episode 2 malah makin parah. Kalau ada orangtua yang membaca tulisan ini dan anak Anda adalah penggemar Blackpink, Anda harus khawatir. The Idol benar-benar cuma film p*rn*. Saking cabulnya sampai saya nggak nemu foto yang bisa ditempel di blog ini, amit-amit ya Allah.


Saya berharap di episode 2 bakal ada flashback atau cerita tentang peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Jocelyn yang bikin dia sekacau itu. Setidaknya kalau di episode 1 nggak ada apa-apa, bisa lah dibangun pelan-pelan, ya kan?! Nyatanya malah dikasih cerita yang makin nggak nyambung. Semua informasi tentang Jocelyn dikisahkan lewat karakter-karakter lain yang justru bikin Jocelyn kehilangan daya tariknya sebagai tokoh utama.


Dan yang paling bikin geregetan adalah scene pengambilan video musik. Maksa banget! Jocelyn pake baju yang cuma tempelan doang, kelihatan nggak siap tapi semua maksa dia untuk tetap tampil. Karena ngulang nari berkali-kali, kakinya sampai berdarah, giliran udah oke penampilannya -ini yang diluar nalar- malah kameranya yang error. Ingin berkata kasar rasanya.


Di mana Jennie di episode 2? Cuma ngucapin beberapa kalimat. Lucu banget, sebuah film yang bercerita tentang seorang Idol, menampilkan salah satu idol paling berpengaruh di dunia, tapi cuma dipakai buat pajangan. Saya curiga, Jennie cuma dipasang di serial ini supaya penggemar-penggemarnya nonton film p*rn* tanpa sengaja.


Saya nggak akan nerusin nonton, mending saya lanjutin Game of Thrones yang walaupun banyak begituannya tapi paling nggak yang saya lihat di episode 1 memang cocok sama novelnya. 

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.