SLIDER

Dasar-dasar Pengasuhan Anak

Minggu, 10 Maret 2024

Sebelum membahas elemen-elemen inti dari penanaman iman pada anak, ada baiknya kita membahas beberapa dasar-dasar pengasuhan anak sebagai fondasi. Bagian berikut ini akan membahas pentingnya relasi pernikahan dan hubungannya dengan pengasuhan anak, peran gender, serta peran sebagai ibu dan ayah. Bagian ini juga membahas perlunya orang tua untuk memupuk iman mereka sendiri, dan menyadari hak-hak dasar anak (kewajiban orang tua), hak-hak dasar orang tua (kewajiban anak), dan pentingnya pemberian ASI, ikatan batin, dan keterikatan awal. Buku ini diakhiri dengan nasihat berharga tentang berdoa untuk anak yang saleh.

Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash

Pentingnya hubungan pernikahan

وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ ٢١

"Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (QS Ar-Rum: 21)

Keluarga mungkin merupakan institusi paling penting dalam masyarakat karena merupakan blok bangunan dari keseluruhan struktur. Karena alasan ini, banyak aturan yang ada dalam hukum Islam yang menjamin kelestarian unit penting ini. Di dalam keluarga, hubungan pernikahan adalah pusat di mana semua elemen lainnya berputar. Jika pusat ini berjalan dengan lancar dan harmonis, maka kemungkinan besar seluruh sistem juga akan seimbang. Ketika ada gangguan atau perselisihan, maka seluruh sistem akan mengalami kerusakan. Pernikahan yang kuat akan menghasilkan keluarga yang berfungsi dengan baik dan, pada gilirannya, menjadi fondasi yang kokoh bagi masyarakat.

Pernikahan sangat penting dalam Islam, sampai-sampai Nabi ﷺ bersabda: "Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah..." Beliau juga bersabda: "Barangsiapa yang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh dari imannya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya." Dengan demikian, pernikahan adalah bentuk ibadah dan kesempatan untuk meningkatkan ketundukan seseorang kepada Allah. Dalam kehidupan ini, Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan dari satu jiwa dan menyucikan ikatan pernikahan agar mereka dapat hidup bersama untuk mencapai ketenangan hati, saling mendukung, dan saling membantu dalam beribadah kepada Allah. Ketika kita tunduk kepada Allah di dalam dan melalui pernikahan kita, kita akan menemukan ketenangan dan kedamaian yang disebutkan dalam hadits di atas.

Sebagai sebuah ibadah, baik suami maupun istri harus berniat untuk menyenangkan Allah selama proses ini dan bertindak sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Pasangan suami istri harus fokus untuk bertumbuh bersama dalam ketaatan dan kecintaan kepada Allah, dan harus mencari pengetahuan Islam dengan tujuan mengembangkan iman dan rasa takut kepada Allah di dalam hati mereka. Kehidupan dan keputusan hidup mereka harus didasarkan pada ajaran Al-Qur'an yang mulia dan Sunnah Nabi ﷺ, dan anak-anak mereka harus dibina dalam lingkungan yang kental dengan ajaran tersebut.

Pertimbangan dalam pernikahan

Sebelum menikah, seseorang akan memilih pasangan dengan sangat hati-hati, dengan mengutamakan iman atau keimanan orang tersebut dan bukan status sosial, kekayaan, kebangsaan, kecantikan, dan sebagainya. Rasulullah ﷺ bersabda: "Seorang wanita dinikahi karena empat hal: hartanya, status keluarganya, kecantikannya, dan agamanya. Maka menikahlah dengan orang yang lebih baik agamanya, jika tidak, engkau akan menjadi orang yang merugi." Tak satu pun dari elemen-elemen lain yang akan berguna dalam membangun keluarga Islam yang kuat, selain pengetahuan dan iman yang tak ternilai harganya. Seseorang juga harus memasuki pernikahan dengan komitmen terhadap hubungan tersebut dan mengikuti petunjuk Allah dalam segala hal dan keputusan.

Sepanjang pernikahan, perlakuan yang baik dan penuh perhatian terhadap pasangan dan pemenuhan kewajiban adalah persyaratan minimum.

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًۭا كَثِيرًۭا ١٩

"...Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya." (QS An-Nisa: 19)

Nabi ﷺ bersabda: "Muslim yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik perilakunya, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perilakunya terhadap istrinya." Pernikahan adalah sebuah hubungan yang di dalamnya harus ada rasa saling mencintai, kasih sayang, dan saling menyayangi di antara pasangan, dan di dalamnya suami bersikap melindungi, peduli, dan murah hati kepada istrinya, dan istri taat dan hormat kepada suaminya.

Hubungan tersebut haruslah hubungan yang saling menguntungkan, saling ketergantungan, kerja sama dan kompromi karena Allah, sambil merayakan perbedaan yang telah Allah ciptakan. Intinya, kedua belah pihak dari pasangan harus fokus untuk merawat dan memenuhi kebutuhan pasangannya. Kebahagiaan pasangan harus selalu ditempatkan di atas kehendak atau keinginan diri sendiri. Melalui upaya ini, pasangan akan menemukan ketenangan dan keharmonisan dalam kebersamaan satu sama lain.

Pernikahan adalah sebuah berkah, namun juga bisa menjadi ujian dari Allah ﷻ. Pernikahan membutuhkan empati, komitmen, pengertian, saling memaafkan, dan kerendahan hati. Terkadang, perlu ada pengorbanan yang dilakukan dan tingkat fleksibilitas dan kompromi. Pasangan harus bersabar satu sama lain dan menerima kesalahan dan kelemahan satu sama lain. Jika salah satu pasangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Islam, adalah kewajiban pasangannya untuk memberikan nasihat yang baik dan membimbingnya kembali kepada kebenaran. Ketika masalah muncul, pasangan harus mendiskusikan solusi yang memungkinkan dengan cara yang tepat. Masing-masing harus bertawakal kepada Allah, berusaha mencapai yang terbaik di jalan-Nya, dan bergantung pada bimbingan dan keputusan Allah dalam segala urusan.

Pernikahan dan pengasuhan anak

Dalam kaitannya dengan pengasuhan anak, pasangan harus berupaya memperkuat pernikahan mereka demi anak-anak mereka. Jika pernikahan adalah pusat dari keluarga, maka masuk akal jika ada upaya untuk memperkuat dan memperkaya hubungan ini. Pasangan harus memahami tanggung jawab dan hak-hak pernikahan mereka dari sudut pandang Islam dan berusaha untuk memenuhinya sebaik mungkin. Mereka harus memperoleh pengetahuan tentang pengasuhan anak dari perspektif Islam serta informasi yang berkaitan dengan hal-hal praktis (misalnya, disiplin, perkembangan, dan kesehatan). Sangat disarankan untuk melakukan diskusi terkait dengan berbagai teknik disiplin dan kesepakatan tentang prosedur yang akan diterapkan. Hal ini akan menghasilkan pengasuhan yang lebih efektif, dapat diprediksi dan bebas konflik.

Penting untuk dipahami bahwa suami dan istri memberikan contoh kehidupan pernikahan kepada anak-anak mereka, begitu juga dengan model pengasuhan anak. Model ini memiliki pengaruh besar pada keyakinan, sikap, dan perilaku anak yang sedang berkembang. Anak-anak, pada kenyataannya, belajar lebih banyak dengan mengamati orang lain daripada dengan apa yang diberitahukan kepada mereka. Untuk itu, orang tua harus sangat berhati-hati dalam berinteraksi di hadapan anak-anak mereka. Penelitian menunjukkan, misalnya, bahwa konflik antara suami dan istri memiliki banyak dampak negatif pada anak-anak. Konflik suami-istri harus dihindari di depan anak-anak, dan sebagai gantinya, model dialog, kompromi, dan kesabaran harus diberikan. Konsultasi, keadilan, sikap wajar, dan ketenangan hati adalah unsur penting untuk unit keluarga yang harmonis.

Peran gender

Dalam perspektif Islam, pria dan wanita memiliki sifat spiritual yang sama dan keduanya diberi tanggung jawab sebagai pengemban amanah Islam di muka bumi. Dengan demikian, mereka memiliki tugas dan tanggung jawab keagamaan yang sama. Mereka berdua akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat atas keyakinan dan tindakan mereka di dunia ini. Tidak ada superioritas satu jenis kelamin di atas jenis kelamin lainnya. Superioritas sebagai sebuah konstruksi sebenarnya diukur dalam hal kesalehan dan ketakwaan. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur'an,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَـٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ

"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa..." (QS Al-Hujurat: 13)

Ayat ini menjelaskan bahwa variabel seperti gender, latar belakang etnis, dan bahasa tidak menjadi dasar superioritas atau inferioritas.

Dalam kerangka umum ini, Allah telah menetapkan peran spesifik untuk laki-laki dan perempuan dalam fungsi sehari-hari. Kedua peran tersebut adalah peran yang terhormat dan saling melengkapi. Setiap jenis kelamin telah diberikan kualitas dan sifat-sifat khusus untuk memenuhi peran masing-masing. Allah menyebutkan,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌۭ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ

"Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka)..." (QS An-Nisa: 34)

Laki-laki adalah pemelihara dan pemimpin rumah tangga serta pendidik keluarga. Wanita bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anak dan menanamkan moral dan perilaku yang baik kepada mereka, serta mengurus rumah. Mereka juga harus taat kepada suami mereka selama mereka tidak diminta untuk bertindak melawan perintah Allah. Pembedaan peran ini diperlukan agar unit keluarga dapat berfungsi secara efektif, karena Allah menciptakan sistem dengan keseimbangan dan keteraturan. Keluarga adalah sebuah sistem dan berfungsi paling efisien ketika hukum alam dan hukum Allah diterapkan. Ketika keseimbangan terganggu, manusia akan menanggung akibatnya.

Meskipun konsep peran gender tradisional ini juga ditemukan dalam kelompok agama dan budaya dunia lainnya, tren (atau bahkan norma) di banyak daerah di dunia mengarah pada penghapusan pembedaan tersebut. Di Barat, khususnya, ada upaya untuk menggantikan peran tradisional ini dengan konsep 'kesetaraan' atau kesamaan. Perempuan telah didorong untuk berpartisipasi secara 'setara' dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan, dan peran sebagai ibu dipandang kurang berharga dibandingkan dengan karier di luar rumah. Fenomena ini terjadi bahkan di negara-negara Muslim. Umat Islam harus menyadari hal ini dan waspada terhadap upaya-upaya yang dilakukan untuk mengganggu peran gender tradisional yang telah ditetapkan oleh Allah.

Peran terhormat sebagai seorang ibu

Peran sebagai ibu sangat dihormati dalam Islam dan merupakan sarana bagi seorang wanita untuk memperoleh pahala spiritual yang sangat besar. Dalam sebuah hadits Nabi ﷺ yang terkenal, hal ini diriwayatkan: "Suatu ketika seorang laki-laki mendatangi Nabi ﷺ dan bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan pergaulan yang baik dari saya? Nabi menjawab: Ibumu. Kemudian orang itu bertanya lagi: Siapa yang berikutnya? dan Nabi menjawab: Ibumu. Orang itu kembali bertanya: Siapa yang berikutnya? dan lagi-lagi Nabi menjawab: Ibumu. Orang itu bertanya sekali lagi: Siapa yang berikutnya? dan Nabi menjawab: Ayahmu." Hadits ini menyoroti signifikansi khusus yang diberikan kepada peran ibu. Menjadi seorang ibu adalah pekerjaan yang paling berharga dalam kehidupan duniawi, karena ia akan membesarkan generasi berikutnya dan membangun fondasi yang kokoh bagi masyarakat. Waktunya akan dihabiskan untuk mengasuh, mengajar, dan membimbing - tugas utamanya sebagai seorang ibu. Untuk alasan ini, ia diberi kehormatan dan penghormatan yang layak diterimanya.

Allah telah menciptakan peran ini secara khusus untuk perempuan sebagai bagian dari kasih sayang-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda: "Allah menciptakan, pada hari yang sama ketika Dia menciptakan langit dan bumi, seratus bagian rahmat. Setiap bagian dari rahmat itu sama dengan jarak antara langit dan bumi, dan Dia, dari rahmat itu, menganugerahkan satu bagian kepada bumi, dan karena itulah seorang ibu menunjukkan kasih sayang kepada anaknya." Untuk tujuan ini, Allah telah menganugerahkan kepada wanita kualitas dan karakteristik unik yang diperlukan untuk memenuhi peran ini secara efektif. Wanita cenderung lebih mengayomi, penyayang, sensitif, dan sabar: semua kualitas yang dibutuhkan untuk menciptakan suasana yang hangat, penuh kasih, dan damai di dalam rumah.

Menjadi seorang ibu adalah karier penuh waktu, yang meliputi kehamilan, melahirkan, menyusui, dan pengasuhan anak selama bertahun-tahun. Ini adalah tanggung jawab yang sudah cukup bagi seorang individu tanpa menambah beban tambahan karena harus menafkahi keluarga. Merupakan bagian dari rahmat Allah bahwa wanita tidak diharuskan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah bagi anak-anak mereka. Beban tersebut, dalam banyak kasus, akan lebih dari yang dapat ditanggungnya. Situasi yang ideal memungkinkannya untuk memenuhi tanggung jawab utamanya dengan sebaik-baiknya.

Perempuan dan pekerjaan

Meskipun demikian, menjadi seorang ibu tidak selalu menghalangi wanita untuk bekerja di luar rumah. Bagi seorang wanita yang memiliki anak kecil dan tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk bekerja, akan lebih ideal baginya untuk tetap berada di dalam rumah untuk menjalankan perannya sebagai ibu dengan sebaik-baiknya. Perempuan harus memahami bahwa pahala terbesar akan datang kepadanya melalui peran keibuannya. Membangun keluarga harus didahulukan, karena ini adalah kewajiban utama bagi perempuan. Gagasan ini harus selalu ada dalam pikirannya.

Namun, ada beberapa situasi di mana seorang ibu mungkin perlu bekerja, seperti untuk membantu memenuhi kebutuhan keuangan keluarga atau untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (misalnya, dokter, bidan, dan guru). Yang terakhir ini dianggap sebagai kewajiban komunal yang harus dipenuhi oleh beberapa anggota masyarakat agar kewajiban tersebut dapat dihilangkan. Dalam hal ini, manfaatnya harus ditimbang dengan cermat terhadap kerugian yang mungkin timbul. Penting untuk diingat bahwa tanggung jawab pribadi lebih diutamakan daripada tanggung jawab komunal.

Dari perspektif Islam, perempuan tidak sepenuhnya dilarang untuk bekerja, tetapi masalah ini adalah salah satu hal yang harus dipertimbangkan dan didiskusikan secara serius sebelum mengambil keputusan. Ada beberapa pedoman utama yang harus diikuti ketika membuat keputusan ini:

  1. seorang perempuan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari suaminya, terutama karena ia mungkin memiliki perspektif yang lebih luas tentang bagaimana pekerjaannya dapat memengaruhi keluarga dan fungsinya;
  2. seorang perempuan harus memastikan bahwa rumah dan anak-anaknya diurus dengan baik dan tidak ada pengabaian dalam aspek ini; ketidakhadirannya tidak boleh menyebabkan kerugian bagi keluarganya;
  3. harus berhati-hati dalam memilih pekerjaan yang sesuai dan cocok dengan sifat khusus perempuan sesuai dengan norma-norma hukum Islam;
  4. harus berhati-hati untuk menghindari pekerjaan yang dapat menyebabkan pelanggaran batas-batas Islam (seperti percampuran gender yang berlebihan);
  5. dia harus mematuhi prinsip-prinsip Islam sehubungan dengan pakaian dan sikapnya.

Peran sebagai ayah

Seperti yang telah disebutkan, suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan nafkah dan kebutuhan istri dan anak-anaknya. Hal ini termasuk penyediaan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya sesuai dengan pendapatan finansial dan norma-norma sosial. Secara umum, ia bertanggung jawab atas kesejahteraan fisik dan kesehatan mereka, yang juga mencakup keselamatan dan keamanan. Pentingnya hal ini tidak dapat diabaikan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: "Cukuplah dosa bagi seseorang jika ia mengabaikan orang-orang yang wajib ia nafkahi."

Karena tanggung jawab ini, ayah adalah otoritas dalam keluarga dan pemimpin unit keluarga. Tidak ada organisasi yang dapat berfungsi secara efektif tanpa seorang manajer, dan dalam keluarga, ayah mengambil peran penting ini. Pada intinya, ini berarti bahwa dia layak mendapatkan kepatuhan dari semua anggota keluarga dan dia memiliki keputusan akhir dalam semua masalah. Hal ini tidak mengesampingkan diskusi dan kompromi dalam hal-hal yang penting, tetapi ayah harus dihormati dan ditaati.

Bekerja sama dengan ibu, ayah juga memperhatikan aspek spiritual, psikologis, dan intelektualitas anak-anak mereka. Dia harus memastikan bahwa mereka menerima pendidikan Islam yang tepat, dan dia harus membantu mereka dalam mengembangkan sifat-sifat terpuji dan sopan santun. Hal ini, tentu saja, berarti bahwa ia harus terlibat dalam pendidikan dan pengasuhan anak-anaknya. Banyak ayah yang melalaikan tugas ini karena terlalu bersemangat untuk memenuhi kewajiban nafkah lahir. Agar keluarga dapat berfungsi secara efektif, harus ada keseimbangan antara berbagai hak dan tanggung jawab ini.

Anak-anak membutuhkan interaksi dan waktu dengan ayah mereka seperti halnya dengan ibu mereka. Hal ini terutama berlaku untuk anak laki-laki, yang membutuhkan panutan laki-laki yang sesuai. Menjadi ayah yang aktif merupakan hal yang penting bagi peran seorang pria dalam kehidupan dan perkembangan anak-anaknya. Anak-anak perlu tahu bahwa ayah mereka mencintai dan peduli pada mereka, dan bahwa ayah mereka memikirkan kepentingan terbaik mereka. Ayah Muslim adalah panutan yang menginspirasi, guru, teman, dan sumber nasihat nyata.

Ada banyak penelitian tentang pengaruh keterlibatan ayah terhadap anak. Sebuah tinjauan tentang dampak peran ayah oleh Institut Nasional Kesehatan Anak dan Perkembangan Manusia AS menunjukkan bahwa anak yang ayahnya terlibat memiliki keterampilan sosial yang lebih baik pada saat ia mencapai usia taman kanak-kanak, berprestasi lebih baik secara akademis, dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami masalah perilaku di masa depan. Sekali lagi, penelitian ilmiah membuktikan hikmah ajaran Islam.

Memelihara iman diri sendiri

Sangatlah penting untuk menyebutkan bahwa agar para orang tua dapat berhasil secara maksimal dalam misi mereka, mereka harus memfokuskan waktu untuk meningkatkan keimanan mereka sendiri. Pelajaran yang diperoleh selama membaca buku ini tidak hanya berlaku bagi anak-anak, tetapi juga bagi mereka yang memegang buku ini. Inilah, pada kenyataannya, salah satu tujuan dari usaha ini. Sebuah prinsip yang sudah lama berlaku di bidang pendidikan adalah bahwa kita cenderung belajar paling banyak melalui mengajar orang lain. Mengasuh anak memberikan kesempatan yang tak ternilai harganya. Selain materi ini, orang tua perlu mengeksplorasi cara-cara lain untuk meningkatkan keimanan mereka, apakah itu melalui mencari pengetahuan ( esensial ), meningkatkan ibadah, atau berkontribusi pada komunitas Muslim. Dengan melakukan hal ini, tugas untuk memupuk iman pada anak-anak akan menjadi lebih mudah.

Hak-hak dasar anak (Kewajiban orang tua)

Berikut ini adalah beberapa hak dasar anak yang tercermin dalam tugas dan tanggung jawab orang tua:

  • Hak untuk mendapatkan nafkah dan perlindungan sampai dewasa

Ini termasuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal sebagai bekal. Hal ini juga mencakup perlindungan terhadap bahaya fisik, emosional, intelektual dan moral. Aspek ini dimulai sejak pembuahan dan berlanjut selama masa kehamilan, masa kanak-kanak, dan hingga dewasa.

  • Hak atas cinta dan kasih sayang

Anak-anak memiliki kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi. Ini termasuk cinta, kasih sayang, belas kasihan, dan persahabatan. Ini adalah peran dasar pengasuhan anak untuk memenuhi kebutuhan ini melalui ciuman, pelukan, kata-kata yang baik, dan waktu yang dihabiskan bersama. Hal ini sangat penting untuk pengasuhan dan disiplin yang efektif.

  • Hak untuk mendapatkan hak asuh dan warisan

Setiap anak memiliki hak untuk mengetahui garis keturunan dan orang tuanya. Karena alasan inilah kesucian ikatan perkawinan sangat dilindungi dan penggunaan materi reproduksi asing dilarang. Karena alasan ini pula, adopsi dilarang dalam Islam*, dan untuk alasan yang sama seorang anak membawa nama ayahnya. Hak untuk mendapatkan warisan dijamin oleh hukum Islam.

  • Hak atas pendidikan yang layak

Dasar dari pendidikan adalah pelatihan moral dan agama karena ini adalah jenis pendidikan yang paling penting (seperti yang akan dibahas di bab berikutnya). Hal ini memerlukan pendidikan Islam yang tepat untuk membangun aqidah, tauhid, dan iman. Ilmu pengetahuan dan informasi keduniaan juga harus diberikan dalam proporsi yang tepat. Pertumbuhan kepribadian dan potensi seorang anak bergantung pada pendidikan yang tepat.

Hak-hak dasar orang tua (Kewajiban anak)

Anak juga memiliki kewajiban yang menjadi hak orang tua:

  • Hak untuk dihormati dan dipatuhi

Orang tua umumnya memberikan perintah dan instruksi yang sesuai dengan kebutuhan anak. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban anak untuk menghormati dan mematuhi orang tua dalam segala hal. Mereka tidak boleh mempertanyakan otoritas ini atau mengikuti keinginan mereka sendiri yang bertentangan dengan orang tua mereka. Hal ini tentu saja tidak berlaku jika orang tua mereka meminta anak untuk melakukan tindakan maksiat kepada Allah.

  • Hak untuk menegur dan mengingatkan

Merupakan kewajiban orang tua untuk melindungi anak-anak mereka dari bahaya. Jika anak tergoda untuk melakukan perbuatan yang membahayakan, maka orang tua berkewajiban untuk mencegahnya dari perbuatan tersebut. Jika perlu, mereka dapat menggunakan cara menasihati, menegur, atau memperingatkan. Anak tidak boleh membalas dengan kasar atau berdebat dengan orang tua. Nasihat orang tua harus didengarkan dan diikuti, meskipun bertentangan dengan keinginan anak.

  • Hak atas kata-kata yang baik dan perilaku yang baik
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ إِحْسَـٰنًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ كُرْهًۭا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًۭا ۖ وَحَمْلُهُۥ وَفِصَـٰلُهُۥ ثَلَـٰثُونَ شَهْرًا ۚ

"Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan..." (QS Al-Ahqaf: 15)

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَـٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّۢ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًۭا كَرِيمًۭا ٢٣

"Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (QS Al-Isra': 23)

Ayat-ayat Al-Qur'an ini mendorong anak-anak untuk bertutur kata lembut kepada orang tua dan menunjukkan rasa hormat dan kebaikan kepada mereka. Mereka tidak boleh melupakan jasa dan pengorbanan orang tua mereka, tetapi harus membalasnya dengan kata-kata yang lembut dan kebaikan. Hal ini memerlukan kesabaran, kasih sayang, rasa syukur, dan kerendahan hati.

  • Hak untuk dibantu

Anak-anak diwajibkan untuk membantu orang tua mereka dalam pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab lainnya sesuai kemampuan mereka. Misalnya, mereka dapat membantu mengasuh adik-adik mereka. Seiring bertambahnya usia orang tua, bantuan juga dapat diberikan di bidang lain.

  • Hak untuk dirawat

Anak-anak yang sudah dewasa harus membalas budi orang tua mereka dengan merawat mereka di hari tua. Hal ini termasuk menjaga kebutuhan fisik dan keuangan, serta kebutuhan psikologis dan persahabatan. Sebagaimana orang tua mereka merawat mereka selama orang tua mereka lemah di usia tua. Hal ini harus diwujudkan dengan keadilan, kedermawanan, dan ihsan.

Pentingnya menyusui, ikatan batin, dan keterikatan awal

Menyusui

 وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَـٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ

"Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan..." (QS Al-Baqarah: 233)

Menyusui adalah perpanjangan alami dari kehamilan dan penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa menyusui adalah cara terbaik untuk memberi makan bayi. Selain manfaat fisik yang bervariasi dan tak terbantahkan, menyusui juga menawarkan manfaat psikologis dan emosional bagi ibu dan bayi. Hal ini terutama terjadi melalui proses yang dikenal sebagai ikatan atau kelekatan, sebuah faktor penting dalam dasar pengasuhan anak. Karena alasan inilah menyusui sangat dianjurkan dalam Islam. Faktanya, menyusui merupakan hak penting bagi bayi.

Ikatan dan keterikatan

Hari-hari dan minggu-minggu setelah kelahiran adalah periode sensitif di mana ibu dan bayi secara unik siap untuk ingin dekat satu sama lain. Keterikatan yang erat setelah kelahiran dan seterusnya memungkinkan perilaku alamiah yang mendorong keterikatan dari bayi dan kualitas intuitif dan pemberian perhatian dari ibu untuk bersatu. Kedua anggota pasangan biologis ini memulai dengan awal yang tepat pada saat bayi paling membutuhkan dan ibu paling siap untuk mengasuh. Menyusui dan kedekatan yang menyertainya memainkan peran penting dalam proses ini.

Manfaat utama dari kelekatan adalah bahwa bayi mengembangkan kepercayaan pada pengasuh dan orang dewasa lainnya dalam dunianya. Ia percaya bahwa kebutuhannya akan terpenuhi dan bahwa dunia adalah tempat yang aman. Ia juga percaya bahwa bahasanya (tangisannya) didengarkan dan dengan demikian percaya pada kemampuannya sendiri untuk memberikan isyarat. Hubungan antara ibu dan bayi menjadi sinkron dan harmonis karena bayi memberikan isyarat dan ibu merespons dengan tepat.

Pekerjaan mengasuh anak menjadi lebih mudah karena sinkronisasi ini dan kepercayaan pada bayi. Dengan hubungan yang kuat melalui ikatan dan keterikatan, hubungan orang tua dan anak menjadi lebih alami dan menyenangkan. Pola asuh kelekatan juga membantu anak dalam mengembangkan kemandirian, karena mendorong keseimbangan yang tepat antara ketergantungan dan kemandirian. Karena anak yang memiliki kelekatan mempercayai orangtuanya untuk membantunya merasa aman, maka ia akan merasa lebih aman untuk menjelajahi lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa balita yang memiliki kelekatan yang aman dengan ibunya cenderung lebih mudah beradaptasi dengan situasi bermain yang baru dan bermain lebih mandiri daripada balita yang kurang memiliki kelekatan. Ikatan dan kelekatan dini memiliki implikasi positif bagi perkembangan hubungan orangtua-anak seiring dengan tumbuh kembang anak. Manfaat ini terbawa hingga masa kanak-kanak awal dan menengah, yang mengarah pada disiplin dan pengasuhan yang lebih mudah. Penelitian telah menunjukkan pentingnya peran hubungan orang tua-anak dalam disiplin yang efektif.

Berdoa untuk anak yang saleh

Orang tua Muslim harus senantiasa mendoakan anak-anak mereka. Allah ﷻ menyebutkan,

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّـٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍۢ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

"Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan: 74)

Orang tua harus mendoakan anak-anak mereka agar menjadi anak yang saleh dan salehah serta menyejukkan mata. Mereka kemudian akan menjadi sumber kebahagiaan karena kesalehan mereka. Pahala akan diberikan kepada orang tua atas doa mereka dan upaya yang dilakukan untuk membesarkan anak-anak mereka dalam Islam.

Para nabi sendiri mendoakan anak-anak mereka. Nabi Zakariya ؑ berdoa,

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُۥ ۖ قَالَ رَبِّ هَبْ لِى مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةًۭ طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ ٣٨

"Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS Ali Imran: 38)

Nabi Ibrahim ؑ berdoa kepada Allah ﷻ

رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ ١٠٠ فَبَشَّرْنَـٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِيمٍۢ ١٠١

(Ibrahim berdoa,) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh." Maka, Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak (Ismail) yang sangat santun." (QS Ash-Shaffat: 100-101)

Pada saat melakukan hubungan seksual, suami dan istri dianjurkan untuk berdoa kepada Allah untuk mendapatkan perlindungan-Nya atas anak yang mungkin dikandung. Rasulullah bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, maka hendaklah ia berdoa: Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, lindungilah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Kau anugerahkan kepada kami." Dengan demikian pengasuhan anak sebenarnya dimulai dengan niat pada saat pembuahan dengan doa ini untuk melindungi anak dari gangguan setan, Doa ini harus dilanjutkan sepanjang hidup anak. Pada saat-saat tertentu, orang tua mungkin menyadari, pada kenyataannya, hanya doa dan kehendak Allah yang akan mengubah situasi. Alhamdulillah, sebagai Muslim kita selalu memiliki harapan ini.

Ramadhan yang tak terlihat

Sabtu, 09 Maret 2024

Ramadhan sebentar lagi tiba. (sambil nyanyi-nyanyi marhaban tiba, marhaban tiba, marhaban tiba) 🎤

Pagi ini saya buka email dan  beberapa subscription mengirim notifikasi blogpost dengan tema yang sama; menyiapkan anak menyambut Ramadan. Keduanya memberi saran dan perspektif yang bagus, seperti biasanya. Tapi kemudian saya mengenang masa-masa kecil dan pengalaman pribadi saya selama Ramadhan, lalu bertanya-tanya dalam hati "hubungan apa yang saya miliki dengan Ramadhan ketika masih kecil? Apa yang membuat bulan ini istimewa bagi saya yang masih anak-anak? Apakah itu mempengaruhi diri saya setelah dewasa?"

Photo by Rachael Gorjestani on Unsplash

Pertanyaan-pertanyaan itu makin menguat karena memang belakangan perbincangan parenting makin simpang siur, terutama di kalangan orang tua muslim. Saya sebagai orang tua apa adanya, selalu jadi penonton setiap ada dialog-dialog mengenai pendidikan agama diangkat disetiap obrolan grup atau komunitas. Bahkan kalau ada postingan Instagram tentang parenting, saya selalu rajin menyimak kolom komentar hanya demi memantau respon para orang tua dan cerita-cerita mereka. Tidak jarang perdebatan mana yang benar dan salah membuat keributan makin menarik disimak.

Tentang Ramadhan, sejak kecil saya tidak pernah merasakan ada penyambutan yang luar biasa di rumah. Justru perayaan menyambut Ramadhan itu saya rasakan sebagai komunitas masyarakat. Tradisi saling mengirim makanan dan menabuh bedug seharian menjelang malam Ramadhan menjadi momen paling saya tunggu setiap tahun. Tidak ada aktivitas membersihkan rumah apalagi dekorasi ulang, justru perhatian kami terpusat pada masjid. Anak-anak akan berkumpul di masjid dan mencuci lantai masjid (literally mencuci pakai deterjen dan main plesetan di dalam masjid) serta membersihkan apapun yang bisa dibersihkan pagi hari menjelang Ramadhan.

Pengalaman puasa pun tidak saya anggap istimewa. Satu hal yang mungkin agak berbeda bagi saya adalah bahwa saya tidak diwajibkan berpuasa oleh orang tua sampai saya mau sendiri berpuasa. Seingat saya, yang agak galak nyuruh saya puasa itu kakak. Saya pernah dimarahi ketika ketahuan makan siang waktu bulan puasa, padahal Mamak dan Bapak saja nggak pernah marah walaupun mereka tahu saya nggak puasa.

Orang tua saya tidak pernah menyuruh saya berpuasa. Mungkin memang agak aneh, berbeda dengan orang tua kebanyakan. Saya tidak pernah diajari berpuasa setengah hari dulu buat latihan dan seterusnya. Tapi saya tetap merasakan pengalaman bangun sahur, berangkat tarawih dan tadarus Al-Qur'an bersama teman-teman di masjid. Setelah dewasa pernah saya bertanya kepada Mamak, kenapa tidak menyuruh saya berpuasa waktu saya masih kecil. Beliau bilang, 'Kan sudah ngaji, kalau sudah paham pasti nanti puasa sendiri. Lagian masih anak-anak kan memang belum wajib.' Sampai hari ini pun saya masih bingung dengan jawaban itu, tapi memang begitulah adanya.

Mamak tidak pernah menyuruh berpuasa, tapi selalu membangunkan saya sahur dan memaksa saya ikut makan sahur. Saya masih ingat diejek oleh teman-teman karena tidak berpuasa dan makan cemilan ketika sedang bermain. Tapi saya yang memang dasarnya cuek tidak menggubris ejekan mereka dan melanjutkan makan sambil pamer. Baru sekitar kelas 4 SD kalau tidak salah ingat, saya mulai puasa karena buku laporan puasa saya yang sebelumnya selalu jadi masalah ketika diserahkan kembali ke wali kelas. 😂

Apakah didikan orang tua saya itu benar? Saya tidak tahu. Faktanya sejak saya memutuskan untuk puasa memang saya tidak pernah batal. Tapi teman-teman saya sepertinya juga mendapatkan pengalaman yang tidak terlalu jauh berbeda dengan saya(?!) 

Photo by Arham on Unsplash

Setelah jadi orang tua, sebenarnya saya ingin mempraktikkan pengalaman saya itu kepada anak-anak tapi tentu saja suami tidak setuju. Suami memutuskan membesarkan anak seperti orang-orang kebanyakan dan saya memilih untuk mematuhinya karena pasti akan sangat berat untuk dia menjadi anomali diantara teman-temannya. Dia nggak akan sanggup. 😆 Tapi sekarang yang menyebalkan adalah kami harus membuat dekorasi menyambut Ramadhan setiap tahun sebagai tugas sekolah. Hal yang nggak pernah kami lakukan ketika kami masih kecil.

Dan yang makin memalaskan adalah alasan dibalik tugas itu; katanya supaya anak-anak menganggap Ramadhan lebih menyenangkan dibanding ulang tahun. Masalahnya, kami nggak pernah merayakan apapun. Kami bukan tipe keluarga yang suka perayaan. Kami adalah keluarga yang santai, dan merayakan keberhasilan atau kebahagiaan dengan berkumpul bersama di kamar dan menceritakan pengalamannya sambil menertawakan kesalahan-kesalahan kecil. Dekorasi-dekorasi yang nantinya akan dihapus lagi kami anggap mubazir, dan bukannya mubazir itu salah satu kebiasaan setan?!

Tapi tentu saja kami tidak bisa mempertahankan prinsip itu karena ada tuntutan dari sekolah. Mau bagaimana lagi. Dan kalau tugas itu tidak kami laksanakan, kemeriahan Ramadhan mungkin benar-benar tidak akan anak-anak rasakan sama sekali karena sekarang di tempat mereka tinggal tidak ada tradisi penyambutan Ramadhan yang bersifat komunal seperti yang saya rasakan ketika masih kecil. Satu-satunya cara untuk membuat mereka merasakan dan melihat Ramadhan adalah dengan mengenalkan Ramadhan di dalam rumah.


Tanggung jawab pengasuhan anak

Rabu, 06 Maret 2024

Sebagai umat Muslim, penting untuk memahami betapa pentingnya peran dan tanggung jawab sebagai orang tua, pentingnya mempersiapkan anak-anak untuk kehidupan akhirat, dan kewajiban melindungi mereka dari api neraka. Allah ﷻ berfirman,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَـٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌۭ شِدَادٌۭ

"Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras..." (QS At-Tahrim: 6)

Apa makna dan implikasi dari ayat ini? Secara umum ayat ini merupakan pengingat yang jelas bagi orang-orang beriman untuk melindungi diri mereka sendiri, anak-anak mereka, dan keluarga mereka dari api neraka; api yang sudah menyala dan bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Ini adalah peringatan yang mengerikan dan harus ditanggapi dengan serius. Hal ini harus menjadi fokus utama dalam pengasuhan anak dari sudut pandang Islam.

Allah melanjutkan dalam ayat-ayat berikutnya,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لَا تَعْتَذِرُوا۟ ٱلْيَوْمَ ۖ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ٧

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةًۭ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ يَوْمَ لَا يُخْزِى ٱللَّهُ ٱلنَّبِىَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ ۖ

"Wahai orang-orang yang kufur, janganlah kamu mencari-cari alasan pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan (sesuai dengan) apa yang selama ini kamu kerjakan. Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya..." (QS At-Tahrim: 7-8)

Orang-orang kafir tidak akan memiliki alasan pada hari itu atas kekafiran mereka. Orang-orang beriman diminta untuk bertobat kepada Allah dengan tulus agar mereka dapat dimasukkan ke dalam surga yang telah disiapkan-Nya. Tempat tinggal kekal seseorang akan ditentukan oleh keyakinan dan tindakannya dalam kehidupan ini. Hasil perbuatan orang tua dan anak-anak mereka yang kekal akan bergantung pada faktor-faktor ini. Hasil mana yang lebih disukai, dan yang mana yang sedang dipersiapkan?

Photo by Nik on Unsplash

Tanggung jawab dan pertanggungjawaban

Rasulullah ﷺ bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka... Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR Bukhari & Muslim)

Hadits Nabi ﷺ ini menekankan fakta bahwa mengasuh anak adalah tanggung jawab penting yang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tulus. Orang tua mengasuh, membesarkan, dan melindungi anak-anak mereka dalam kehidupan ini, dan fokus untuk mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang akan datang. Tanggung jawab memerlukan pertanggungjawaban, seperti yang diuraikan dalam ayat Al-Qur'an di atas. Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua atas bagaimana mereka menjalankan tanggung jawab ini dan ini akan menjadi timbangan amal mereka di akhirat. Karena itulah, mengasuh anak bisa menjadi pintu masuk surga bagi seseorang atau bisa juga menjadi pintu masuk neraka.

Mengasuh anak bukan hanya sebuah tanggung jawab, tetapi juga merupakan tugas yang paling penting di dunia. Orang tua membesarkan generasi penerus yang akan berhasil atau gagal dalam menegakkan kembali Islam di muka bumi ini. Tugas ini memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap masa depan umat Islam, dan hasilnya akan bergantung pada kemampuan orang tua untuk sukses. Orang tua memiliki kemampuan untuk mempengaruhi seorang anak lebih dari orang lain. Pengaruh ini, pada gilirannya, mempengaruhi komunitas tempat mereka tinggal. Keluarga adalah fondasi masyarakat, dan masyarakat hanya sekuat fondasinya. Karena alasan ini, sangat penting bagi orang tua untuk menghargai pentingnya peran ini dan menerima tanggung jawab yang menyertainya.

Anak sebagai ujian dari Allah

Salah satu konsep yang paling mendasar yang harus dipahami oleh orang tua adalah bahwa anak adalah ujian dan melalui ujian ini mereka akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat. Begitu hal ini disadari, seharusnya ada perubahan besar dalam cara mereka berhubungan dan menangani anak-anak mereka. Allah  berfirman,

وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَـٰدُكُمْ فِتْنَةٌۭ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌۭ ٢٨

"Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar." (QS Al-Anfal: 28)

Dia  juga menunjukkan,

إِنَّمَآ أَمْوَٰلُكُمْ وَأَوْلَـٰدُكُمْ فِتْنَةٌۭ ۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌۭ ١٥

"Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah (ada) pahala yang besar." (QS At-Taghabun: 15)

Kata Arab yang digunakan dalam ayat-ayat ini adalah fitnah, yang diterjemahkan sebagai 'cobaan' atau 'ujian'. Dunia ini penuh dengan cobaan karena bagian dari rencana Allah adalah untuk menguji hamba-hamba-Nya dengan berbagai cobaan dan nikmat. Anak-anak dan keluarga adalah bagian dari ujian ini. Allah melakukan hal ini agar orang yang beriman dapat dibedakan dari orang kafir, dan orang yang jujur dan ikhlas dari para pembohong dan munafik.

Allah  menyebutkan,

أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ٢

وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَـٰذِبِينَ ٣

"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? Sungguh, Kami benar-benar telah menguji orang-orang sebelum mereka. Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui para pendusta." (QS Al-'Ankabut: 2-3)

Allah menguji manusia dengan musibah dan nikmat untuk menentukan siapa yang akan bersabar dan bersyukur dan siapa yang tidak sabar dan tidak bersyukur. Dia juga ingin menentukan siapa yang akan menjadi hamba-Nya yang taat dan siapa yang tidak taat dan membangkang. Dia kemudian akan memberi pahala atau hukuman yang sesuai pada Hari Kiamat.

Musibah yang digunakan Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya sangatlah banyak. Dia menguji mereka dengan rasa takut, kelaparan, dan kehilangan harta, nyawa, dan tempat tinggal. Dia menguji mereka dengan ketidakmampuan untuk memiliki anak, di antaranya. Allah  menyatakan,

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍۢ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍۢ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۭ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦ أُو۟لَـٰٓئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَٰتٌۭ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌۭ ۖ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُهْتَدُونَ ١٥٧

"Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad,) kabar gembira kepada orang-orang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS Al-Baqarah: 155-157)

Sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, Dia mengirimkan cobaan dan ujian agar mereka kembali dan bertaubat kepada-Nya, meninggalkan apa yang diharamkan-Nya, dan agar Allah mengampuni mereka. Merupakan bagian dari rahmat Allah bahwa ujian terjadi dalam kehidupan ini agar jiwa kita dapat disucikan dan kembali kepada Allah sebelum kita mati. Allah  berfirman,

وَلَنُذِيقَنَّهُم مِّنَ ٱلْعَذَابِ ٱلْأَدْنَىٰ دُونَ ٱلْعَذَابِ ٱلْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ٢١

"Kami pasti akan menimpakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat) agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS As-Sajdah: 21)

Allah juga dapat menguji hamba-hamba-Nya untuk mengangkat derajat mereka dan memungkinkan mereka untuk menghapuskan dosa-dosa mereka, seperti yang dikatakan oleh Nabi ﷺ: "Tidaklah seorang Muslim ditimpa musibah atau penyakit, tidak pula ditimpa kekhawatiran, kesedihan, bahaya, dan kesusahan, bahkan tidak pula ditimpa duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dosa-dosanya." Nabi ﷺ juga bersabda: "Seorang Muslim laki-laki atau perempuan diuji atas dirinya, anak-anaknya, dan hartanya hingga ia menghadap Allah (pada hari kiamat) dalam keadaan diampuni semua dosa-dosanya."

Yang sering dilupakan oleh kebanyakan orang adalah bahwa berkah bisa juga merupakan ujian atau cobaan dari Allah. Kekayaan dan anak-anak, misalnya, adalah ujian dan amanah yang dengannya Allah menguji hamba-hamba-Nya untuk mengetahui siapa yang akan bersyukur dan siapa yang akan lalai dari Allah karenanya. Mudahnya manusia terlena dengan kekayaan, harta benda, dan anak-anak mereka menunjukkan betapa besar ujian ini. Semua itu merupakan aspek kehidupan yang dapat melalaikan manusia dari ibadah dan mengingat Allah.

Ujian ini tidak hanya untuk menunjukkan siapa yang akan bersyukur dan siapa yang tidak bersyukur, tetapi juga untuk menentukan bagaimana orang tua akan membesarkan anak-anak mereka. Apakah mereka akan memperlakukan anak-anak mereka dengan kebaikan, cinta dan penghargaan? Apakah mereka akan membesarkan anak-anak mereka dalam Islam dengan segala ilmu dan keberkahan yang dikandungnya? Apakah mereka akan mempersiapkan generasi penerus mereka untuk kehidupan akhirat dan surga? Atau akankah mereka membesarkan anak-anak mereka dengan sistem kepercayaan dan praktik-praktik lain (seperti agama-agama lain atau sekularisme) yang bertentangan dengan Islam? Apakah mereka akan mengirim anak-anak mereka ke neraka, bersama dengan diri mereka sendiri? Inilah hakikat ujian yang sebenarnya, sebagaimana halnya dengan semua ujian yang Allah berikan kepada kita.

Sayangnya, di zaman sekarang ini, terlalu banyak orang yang gagal dalam ujian yang Allah berikan kepada mereka, atau mereka berusaha sebisa mungkin untuk menghindari ujian tersebut. Mereka mungkin menitipkan anak-anak mereka di tempat penitipan anak selama 40 jam atau lebih dalam seminggu atau mempekerjakan pembantu untuk mengurus kebutuhan fisik dan emosional anak-anak mereka. Aspek-aspek lain mungkin lebih diutamakan daripada anak-anak, seperti karier, uang, hobi, atau pertemanan. Mereka mungkin menghabiskan waktu dan tenaga untuk proyek-proyek lain, tetapi anak-anak sering tidak diperhatikan. Di dunia saat ini, banyak anak yang tidak mendapatkan waktu dan perhatian yang semestinya dari orang tua mereka dan masyarakat dirugikan akibat hal ini.

Apa yang tidak disadari oleh para orang tua adalah bahwa dengan mengabaikan anak-anak mereka dan gagal dalam ujian dari Allah ini, mereka mungkin telah melewatkan kesempatan emas untuk mendapatkan pahala yang kekal dan bernilai. Kesempatan itu ada di depan mata mereka, tetapi mereka gagal memanfaatkannya. Pekerjaan ini memang membutuhkan banyak usaha dan kerja keras, tetapi juga merupakan salah satu ujian paling berharga yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Mengasuh anak, di atas segalanya, adalah ujian kesabaran, ketulusan, dan pengorbanan. Allah  berfirman,

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ جَـٰهَدُوا۟ مِنكُمْ وَيَعْلَمَ ٱلصَّـٰبِرِينَ ١٤٢

"Apakah kamu mengira akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu dan belum nyata pula orang-orang yang sabar." (QS Ali Imran: 142)

Ketika seseorang unggul dalam ujian, kualitas-kualitas ini menjadi kokoh dan tertanam. Ini adalah kualitas iman yang ingin dipupuk oleh para orang tua, bukan hanya pada anak-anak mereka, tetapi juga pada diri mereka sendiri. Sungguh menakjubkan bahwa dalam proses mendidik anak-anak yang beriman, orang tua juga 'mendidik' diri mereka sendiri. Peningkatan iman yang dialami melalui pengasuhan anak akan membawa seseorang lebih dekat kepada Allah dan lebih dekat kepada pemahaman akan kebijaksanaan dan kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Kesempatan apa lagi yang lebih baik untuk merasakan nikmatnya surga di dunia ini?

Penghargaan dan kegembiraan mengasuh anak

Seperti halnya tanggung jawab apa pun, ada imbalan dan kegembiraan dalam menjadi orang tua. Imbalan ini jauh lebih besar daripada tantangan, tanggung jawab, dan upaya pengasuhan anak. Faktanya, mengasuh anak memiliki beberapa pahala terbesar dari Allah  di dunia ini: cinta tanpa syarat, ikatan dan kedekatan emosional, momen-momen bersama, wajah yang tersenyum dengan mata yang penuh kasih, serta pelukan yang penuh cinta dan perhatian. Tataplah mata anak Anda, rasakan kulitnya, dan dengarkan suaranya, dan Anda akan memahami keindahan sejati dari anugerah ini. Seolah-olah Allah memberi kita sedikit contoh surga di sini, di kehidupan dunia ini.

Di atas segalanya, orang tua yang taat akan merasakan kepuasan tersendiri ketika melihat anaknya tumbuh menjadi hamba Allah yang taat; seorang mukmin yang akan mencintai dan menaati Allah, serta berkontribusi kepada masyarakat di sekitarnya. Hamba Allah ini juga dapat memberikan amal saleh yang kekal bagi orang tua melalui doa. Rasulullah ﷺ bersabda: "Apabila seseorang meninggal dunia, maka tidak akan ada tambahan amal yang akan ditambahkan pada catatan amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah yang terus menerus, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang selalu mendoakannya." Anak saleh yang mendoakan adalah salah satu dari tiga cara yang dapat digunakan seseorang untuk mendapatkan amal saleh yang terus menerus untuk dibawa pada Hari Kiamat. Semua usaha pasti akan terbayar pada akhirnya.

Tujuan pengasuhan anak

Bagaimana orang tua menyelamatkan diri mereka sendiri dan anak-anak mereka dari api neraka? Bagaimana mereka memenuhi tanggung jawab mereka di hadapan Allah? Bagaimana mereka mencapai keberkahan dan kebahagiaan yang dijamin bagi hamba-hamba Allah yang taat? Apa saja tujuan yang harus mereka miliki untuk anak-anak mereka? Poin-poin ini akan diuraikan dalam buku ini. Hal ini tentu saja dimulai dengan menetapkan tujuan untuk diri kita sendiri dan anak-anak kita.

Kisah Luqman

Dalam surat Luqman, kita dapat menemukan hikmah yang diberikan Luqman kepada anaknya:

وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا لُقْمَـٰنَ ٱلْحِكْمَةَ أَنِ ٱشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِۦ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌۭ ١٢

وَإِذْ قَالَ لُقْمَـٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَـٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌۭ ١٣

وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍۢ وَفِصَـٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ ١٤

وَإِن جَـٰهَدَاكَ عَلَىٰٓ أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌۭ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِى ٱلدُّنْيَا مَعْرُوفًۭا ۖ وَٱتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ۚ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ١٥

يَـٰبُنَىَّ إِنَّهَآ إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍۢ مِّنْ خَرْدَلٍۢ فَتَكُن فِى صَخْرَةٍ أَوْ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ أَوْ فِى ٱلْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌۭ ١٦

يَـٰبُنَىَّ أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱنْهَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَٱصْبِرْ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ ١٧

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى ٱلْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍۢ فَخُورٍۢ ١٨

وَٱقْصِدْ فِى مَشْيِكَ وَٱغْضُضْ مِن صَوْتِكَ ۚ إِنَّ أَنكَرَ ٱلْأَصْوَٰتِ لَصَوْتُ ٱلْحَمِيرِ ١٩

"Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Siapa yang kufur (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.” Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak punya ilmu tentang itu, janganlah patuhi keduanya, (tetapi) pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beri tahukan kepadamu apa yang biasa kamu kerjakan. (Luqman berkata,) “Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan menghadirkannya (untuk diberi balasan). Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Teliti. Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan. Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri. Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS Luqman: 12-19)

Luqman adalah seorang yang bijaksana yang dianugerahi oleh Allah dengan hikmah. Dia mengajarkan kebijaksanaan ini kepada anaknya demi kebaikannya di dunia dan akhirat. Dapat dimengerti bahwa prioritas utama yang diberikan adalah mengajarkan tauhid dan memperingatkan dari kemusyrikan, karena hal ini merupakan fondasi dari akidah Islam. Setelah kewajiban seseorang kepada Allah, beliau memerintahkan kebaikan dan ketaatan kepada orang tua. Materi ini sangat penting dalam hal pengasuhan anak, karena akan memudahkan tugas ketika anak-anak mengasimilasi prinsip ini ke dalam kepribadian mereka.

Setelah memberitahukan kewajiban kepada Allah dan orang tua melalui ungkapan syukur, Luqman mengingatkan anaknya akan kehadiran Allah dalam segala hal, baik yang bersifat publik maupun pribadi:

يَـٰبُنَىَّ إِنَّهَآ إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍۢ مِّنْ خَرْدَلٍۢ فَتَكُن فِى صَخْرَةٍ أَوْ فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ أَوْ فِى ٱلْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌۭ ١٦

"(Luqman berkata,) “Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan menghadirkannya (untuk diberi balasan). Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Teliti." (QS Luqman: 16)

Allah mengetahui semua yang kita lakukan dan karena itu kita harus takut kepada Allah. Kita juga harus berhati-hati dalam menganggap enteng dosa. Kemudian disebutkan kewajiban untuk melaksanakan shalat dan menunaikannya dengan sempurna. Beliau mendorong putranya untuk menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, bersabar terhadap apa yang terjadi, dan menghindari kesombongan dan membanggakan diri.

Beberapa ayat ini mengandung banyak sekali hikmah bagi para orang tua. Dari sini, orang tua dapat menggambarkan tujuan-tujuan penting bagi anak-anak mereka:

  • Keyakinan (iman) kepada Allah dengan tauhid yang murni dan menghindari menyekutukan Allah
  • Kebaikan, penghormatan dan ketaatan kepada orang tua
  • Takut kepada Allah dan kesadaran akan kehadiran-Nya yang meliputi segalanya
  • Mendirikan shalat, tepat waktu dan dengan cara yang benar
  • Amar ma'ruf nahi mungkar 
  • Menjalani hidup dengan penuh kesabaran
  • Kerendahan hati dan kelemahlembutan
  • Moderat dan menghindari hal-hal yang ekstrem

Selain itu, berikut ini dapat ditambahkan:

  • Kekuatan dalam keyakinan dan iman
  • Keterikatan pada Al-Qur'an dan hadits-hadits shahih
  • Kecintaan dan ketulusan kepada Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya
  • Kepatuhan kepada Sunnah Nabi
  • Pemahaman tentang segala sesuatu dari sudut pandang Islam
  • Kepribadian, nilai-nilai, dan identitas Islam
  • Kesetaraan dan keadilan dalam berhubungan dengan orang lain
  • Kebaikan, kasih sayang, dan karakter yang baik terhadap semua orang
  • Kepedulian terhadap urusan semua Muslim (membantu mereka, memenuhi hak-hak mereka)
  • Mengajak orang lain kepada Allah dan Islam
  • Kebanggaan menjadi seorang Muslim

Karakteristik kepribadian lain yang diharapkan adalah sebagai berikut:

  • Percaya diri dan berpendirian positif
  • Memiliki motivasi
  • Bertanggung jawab
  • Gigih, pekerja keras
  • Cakap dan terampil
  • Merasa cukup dan bahagia
  • Jujur dan dapat dipercaya
  • Berani
  • Pemimpin

Landasan dari tujuan-tujuan ini adalah pengembangan 'aqidah, iman dan rasa takut kepada Allah. Pada intinya, tiap individu mengembangkan kepribadian Islam dan identitas Islam. Hal ini menjadi pusat hati dan jiwa. Semua upaya akan dikedepankan untuk menjalani kehidupan yang Islami, iman, dan ihsan. Kesuksesan sejati kemudian akan diraih di dunia dan akhirat. Pada akhirnya, tujuan tertinggi bagi orang tua dan anak adalah surga.






Dasar-dasar Penanaman Iman pada Anak

Sabtu, 02 Maret 2024

Dasar-dasar dari Menumbuhkan Iman pada Anak berpusat pada pengetahuan tentang prinsip-prinsip Islam, pengasuhan anak, sifat dasar manusia, dan pengetahuan itu sendiri. Bagian ini mencakup hal-hal berikut: 'aqidah, iman, dan ihsan; tanggung jawab dan dasar-dasar pengasuhan anak; pengetahuan dan pendidikan dalam Islam; dan fitrah: sifat bawaan manusia yang belum rusak pada anak-anak. Dengan pemahaman akan konsep-konsep ini, para orang tua akan membangun fondasi yang kuat untuk mengasuh dan mengembangkan anak-anak mereka.

Photo by Markus Spiske on Unsplash

BAB 1

AQIDAH, IMAN, DAN IHSAN

Prinsip-prinsip aqidah dan akhlak merupakan fondasi agama kita. Keduanya juga penting dalam tugas pengasuhan anak. Makna dari istilah-istilah ini dan hubungannya dengan pengasuhan anak akan dibahas pada bagian berikut.

Makna 'Aqidah

'Aqa'id (bentuk jamak dari 'aqidah) adalah hal-hal yang diyakinkan dan diyakini oleh hati seseorang; hal-hal yang diterima sebagai sesuatu yang benar. Ini adalah keyakinan yang pasti dan teguh, tanpa keraguan. Akidah adalah pengetahuan yang diyakini di dalam hati. Dalam Islam, ini adalah hal-hal yang telah disampaikan dalam nash dari Allah dan Rasulullah . Allah ﷻ menyebutkan,

ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍۢ مِّن رُّسُلِهِۦ ۚ وَقَالُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ ٱلْمَصِيرُ ٢٨٥

"Rasul (Muhammad) beriman pada apa (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang mukmin. Masing-masing beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata,) “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Mereka juga berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, wahai Tuhan kami. Hanya kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (QS Al-Baqarah: 285)

Orang-orang di seluruh dunia memiliki sistem kepercayaan yang berbeda-beda, namun aqidah yang benar hanya ada di dalam agama Islam, karena Islam adalah agama yang paling lengkap, sempurna, dan terjaga. Allah  berfirman,

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَـٰمَ دِينًۭا ۚ

"...Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu..." (QS Al-Maidah:3)

Dan:

 وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ تِبْيَـٰنًۭا لِّكُلِّ شَىْءٍۢ

"...Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu..." (QS An-Nahl: 89)

Nabi  berkata: "Tidaklah aku tinggalkan sesuatu yang diperintahkan Allah kepada kalian kecuali aku perintahkan kalian untuk melakukannya. Dan aku tidak meninggalkan sesuatu yang diharamkan Allah untuk kalian kecuali aku telah mengharamkannya untuk kalian". (HR Al-Baihaqi & Ath-Thabarani)

Allah ﷻ telah menjamin untuk melindungi Al-Qur'an dan Islam hingga akhir zaman. Allah ﷻ menegaskan,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَـٰفِظُونَ ٩

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya." (QS Al-Hijr: 9)

Aqidah ini, seperti yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadits, meyakinkan pikiran dengan bukti-bukti dan memenuhi hati dengan iman, keyakinan dan cahaya. Agama-agama lain didasarkan pada kebohongan atau telah menyimpang, meskipun mungkin mengandung beberapa butir kebenaran di sana-sini.

Pentingnya aqidah Islam

Aqidah Islam yang benar sama pentingnya bagi manusia seperti air dan udara. Tanpanya, manusia akan tersesat dan bingung. Ini adalah satu-satunya aqidah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah membingungkan umat manusia selama berabad-abad: Dari manakah saya berasal? Dari mana alam semesta ini berasal? Siapakah Sang Pencipta? Mengapa Dia menciptakan kita dan alam semesta? Apa peran kita di alam semesta ini? Apa hubungan kita dengan Sang Pencipta? Adakah dunia lain yang tak terlihat di luar dunia yang dapat kita lihat? Apakah ada kehidupan lain setelah kehidupan ini? Pertanyaan-pertanyaan yang tak henti-hentinya muncul sejak awal waktu dan hanya dapat dijawab oleh Islam.

Hubungan antara 'aqidah dan iman

'Aqidah (keyakinan) membentuk fondasi dan dasar dari iman (keimanan atau keyakinan yang teguh). Iman didasarkan pada 'aqidah yang tertanam kuat di dalam hati. Iman diucapkan dengan lisan dan dikukuhkan dengan perbuatan yang sesuai dengan perintah-perintah aqidah. Aqidah yang benar adalah penting agar iman seseorang dapat diterima dan kuat. Semakin banyak pengetahuan tentang aqidah yang dimiliki seseorang, maka semakin bertambah dan kuat imannya.

Makna iman dan mukmin

Iman adalah keyakinan yang tulus yang berkembang dari sistem kepercayaan seseorang. Iman ini berdampak pada pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan seseorang. Sistem kepercayaan Islam bersifat komprehensif, tetapi dibangun di atas enam pilar dasar: kepercayaan kepada Allah, para malaikat, para nabi, kitab-kitab, Hari Kebangkitan dan akhirat, dan takdir (ketetapan Ilahi). Untuk memahami arti sebenarnya dari iman dan mukmin, ada baiknya kita melihat sebuah hadits yang terkenal tentang topik ini. Dalam hadits tersebut, Malaikat Jibril meminta Nabi Muhammad  untuk menjelaskan makna Islam, iman, dan ihsan. Nabi  menjawab dengan bijak.

Dari hadits Umar (رضي الله عنه) berkata: "Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah . Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi , lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi , kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah  menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi  menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” 

Judul Menumbuhkan Iman pada Anak telah dipilih untuk tujuan tertentu. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits ini, ada perbedaan antara Islam dan Iman, dan antara Muslim dan Mukmin. Secara umum, seorang Muslim adalah orang yang menyatakan bahwa dia percaya pada pesan Islam (dia percaya bahwa tidak ada yang layak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad  adalah utusan Allah). Seorang mukmin, atau orang yang beriman, di sisi lain, adalah seseorang yang benar-benar dan dengan teguh percaya pada Islam dan mencoba menerapkannya dalam hidupnya. Dapat juga dikatakan bahwa seorang Muslim adalah seseorang yang menyatakan bahwa ia menyerahkan dirinya kepada Allah, sementara seorang mukmin adalah seseorang yang memenuhi persyaratan penyerahan diri dalam perkataan dan perbuatan. Seorang mukmin adalah orang yang imannya sempurna dan tak tergoyahkan; orang yang tidak memiliki keraguan dan siap untuk berjuang keras, mengorbankan harta dan nyawanya demi Allah.

Seseorang bisa saja mengaku sebagai Muslim dan menjalankan rukun Islam, namun hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki iman di dalam hatinya. Ia mungkin saja seorang munafik yang berpura-pura menjadi seorang Muslim. Di zaman sekarang ini, ada lebih dari satu miliar orang yang mengaku sebagai Muslim. Berapa banyak dari kita yang benar-benar Muslim sejati yang tunduk kepada Allah dan melaksanakan rukun Islam? Berapa banyak dari kita yang benar-benar mukminin: penganut agama yang tulus dan berniat murni karena Allah yang tercermin dalam semua perilaku kita? Sayangnya, jawabannya mungkin "sangat sedikit". Untuk alasan ini, sangat penting untuk mengajarkan kepada orang tua apa arti iman dan bagaimana memupuknya dalam diri mereka dan anak-anak mereka.

Iman adalah istilah yang lebih komprehensif daripada Islam, dan pada kenyataannya, rukun Islam dianggap sebagai bagian dari iman. Inti dari iman adalah hati, karena inilah pusat dari iman. Iman juga mencakup perkataan lisan dan tindakan anggota tubuh dan memiliki banyak bagian. Rasulullah   bersabda: "Iman memiliki lebih dari tujuh puluh bagian; yang paling tinggi adalah pengakuan bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan benda yang membahayakan dari jalan." Shalat, zakat, puasa, dan haji adalah komponen-komponen dari iman, begitu juga dengan akhlak seperti kesederhanaan, kejujuran, dan ketulusan.

Islam (ketundukan), dengan demikian, hanyalah salah satu bagian dari iman. Ibnul Qayyim menulis bahwa iman terdiri dari beberapa komponen berikut:

  1. memiliki pengetahuan tentang apa yang diajarkan oleh Nabi ,
  2. memiliki keyakinan yang utuh dan teguh terhadap apa yang dibawa oleh Nabi ,
  3. secara lisan menyatakan keyakinan seseorang terhadap apa yang dibawanya,
  4. tunduk pada apa yang dibawanya dengan penuh cinta dan kerendahan hati, dan
  5. bertindak sesuai dengan apa yang dibawa oleh Nabi , baik secara lahir maupun batin, menerapkannya dan mengajak orang lain ke jalannya.

Tiga komponen penting dari iman, seperti yang dinyatakan oleh banyak ulama, adalah:

  1. keyakinan di dalam hati,
  2. pengakuan dengan lisan (pernyataan seseorang), dan
  3. pelaksanaan amal perbuatan oleh tubuh (tindakan seseorang).

Photo by Zach Callahan on Unsplash

Keyakinan dalam hati

Hati adalah inti dan fondasi iman. Hati harus sehat dan benar agar semua yang lain juga demikian. Rasulullah  bersabda: "Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Sesungguhnya (bagian itu) adalah hati." Salah satu aspek dari hal ini adalah apa yang disebut oleh para ulama sebagai 'pernyataan hati'. Hal ini mencakup pengakuan, pengetahuan, dan penegasan. Aspek kedua adalah apa yang disebut sebagai 'perbuatan hati'. Ini mencakup komitmen, penyerahan diri secara sukarela, dan penerimaan. Unsur-unsur penting lainnya termasuk cinta kepada Allah, kekaguman kepada Allah, takut kepada Allah, tawakkal kepada Allah, dan harapan kepada Allah. Tanpa syarat-syarat iman yang diperlukan ini, seseorang tidak dapat dengan jujur mengaku sebagai mukmin. Menyatakan pengakuan iman dan percaya kepada Allah dan Rasul , tidak cukup untuk menjadi iman yang sempurna.

Keyakinan dalam hati adalah komponen yang paling penting dalam iman, karena merupakan fondasi yang berpengaruh pada elemen-elemen lainnya. Untuk mengembangkan iman yang benar dan melindunginya, komponen-komponen ini harus diberikan perhatian yang diperlukan. Seorang mukmin sejati harus mengenali, menginginkan, dan mencintai kebenaran serta membenci kebatilan dan kekufuran. Ia harus mencintai Allah dan menaruh kepercayaan, harapan, dan rasa takut hanya kepada-Nya.

Pernyataan iman dengan lisan

Komponen kedua dari iman adalah pengakuan iman 'dengan lisan', sebuah pernyataan yang memberikan kesaksian akan kebenaran keyakinannya. Ini adalah kesaksian "Saya bersaksi bahwa tidak ada yang layak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah," yang diucapkan oleh seseorang untuk menjadi seorang Muslim dan diulangi setiap hari dalam shalat lima waktu. Pernyataan ini bukan hanya sekedar ucapan, tetapi sebuah komitmen terhadap agama Islam dengan niat untuk mengikuti persyaratan dan kewajibannya.

Jika seseorang percaya di dalam hatinya tetapi tidak menyatakan kepercayaan ini secara lisan (meskipun ia memiliki kemampuan untuk melakukannya), maka ia tidak dapat dianggap sebagai orang yang percaya. Ia tidak akan diperlakukan seperti itu di dunia maupun di akhirat. Pengakuan iman secara lisan merupakan aspek penting untuk alasan ini. Seseorang yang memiliki kemampuan untuk membuat pernyataan ini tetapi tidak melakukannya dianggap kafir. Mereka yang takut akan nyawanya atau dipaksa untuk tetap diam tidak termasuk dalam kategori ini.

Agar pernyataan tersebut menjadi benar, pernyataan tersebut harus disertai dengan ketulusan, keyakinan yang benar kepada Allah, meninggalkan segala bentuk mempersekutukan Allah dan menerapkan hukum-hukum Islam. Pada intinya, keyakinan di dalam hati harus ada agar pengakuan iman menjadi lengkap dan jujur. Orang-orang munafik adalah mereka yang membuat pengakuan dan berpura-pura menjadi Muslim, tetapi amalan hatinya tidak ada.

Pelaksanaan ibadah

Sebagai perluasan yang alami, tingkat keimanan di dalam hati akan tercermin dalam perilaku seseorang. Hati yang dipenuhi dengan iman (kepercayaan, harapan, dan rasa takut kepada Allah) akan menuntun tubuh untuk melakukan tindakan ketaatan dan menghindari perbuatan yang dilarang atau bahkan syubhat. Tidak dapat dibayangkan bahwa akan ada iman yang kuat di dalam hati yang tidak ditunjukkan dalam perbuatan lahiriah. Oleh karena itu, amal perbuatan merupakan komponen fundamental lain dari iman. Ada juga hubungan timbal balik, di mana amal ketaatan kepada Allah akan meningkatkan iman batin seseorang, sedangkan amal kemaksiatan akan menurunkan iman.

Makna ihsan

Dalam hadits tentang Islam, iman, dan ihsan, Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi :"Beritahukanlah kepadaku tentang ihsan (kebaikan, kesempurnaan, dan keunggulan). Dia (Nabi ) menjawab: "Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan meskipun kamu tidak melihat-Nya, (kamu tahu) bahwa Dia melihatmu."

Ihsan adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang manusia. Ini berarti melakukan sesuatu dengan cara terbaik untuk mencapai kesempurnaan dan keunggulan dalam sesuatu. Dalam konteks hukum Islam, hal ini berarti melakukan ibadah dengan baik dan dengan cara yang diperintahkan oleh Allah. Tujuan akhir dari ihsan adalah untuk memenuhi kewajiban seseorang kepada Allah dan melakukannya dengan cara yang terbaik. Esensi dari ihsan adalah cinta kepada Allah, yang memotivasi manusia untuk berusaha mencapai keridhaan Allah.

Dalam pengertian umum, ihsan juga berarti berhubungan dengan orang lain dengan cara yang baik dan melakukan tindakan kebaikan dan kasih sayang. Dalam konteks agama Islam, ihsan mencakup semua tindakan kebaikan terhadap orang lain. Seseorang yang memiliki ihsan akan berusaha untuk memberikan manfaat dan bukannya merugikan orang lain. Harta, kedudukan, pengetahuan dan kemampuan fisiknya digunakan untuk membantu dan memberi manfaat bagi manusia lainnya.

Menurut hadits yang terkenal, faktor pendorong di balik ihsan adalah kenyataan bahwa orang tersebut sadar bahwa Allah mengawasi semua tindakannya. Seseorang yang selalu menyadari fakta ini akan berusaha untuk menyenangkan Allah dan menghindari perbuatan yang tidak menyenangkan-Nya. Hal ini akan menuntun seseorang untuk mencintai Allah dan memuliakan serta menghormati-Nya. Untuk semua tindakan, niatnya akan diarahkan demi Allah, yang mengarah pada kemurnian dan ketulusan hati. Karena niatnya semata-mata untuk Allah, orang tersebut juga akan berusaha melakukan segala sesuatu dengan cara yang paling baik. Hasilnya adalah orang tersebut akan unggul dalam ketundukan dan ketaatannya kepada Allah dan juga dalam hubungannya dengan manusia lain.

Photo by Suzi Kim on Unsplash

Hubungannya dengan pengasuhan anak

Maksud dari semua ini adalah bahwa tujuan orang tua tidak hanya mendidik anak-anak mereka sebagai seorang Muslim, tetapi juga untuk menumbuhkan aqidah dan iman yang kuat di dalam hati mereka. Jika sebuah keluarga menghabiskan banyak waktu untuk mengajarkan anak-anak mereka aspek-aspek praktis dari agama daripada berfokus pada 'aqidah, kemungkinan besar perilaku mereka tidak akan bertahan lama. Hal ini mirip dengan membangun rumah dengan fondasi yang sangat lemah; rumah tersebut kemungkinan besar akan runtuh. Anak-anak mungkin tahu bagaimana cara salat, berpuasa, dan sebagainya, tetapi mungkin tidak ada keinginan dalam hati mereka untuk melakukannya. Mereka mungkin melakukan semua itu untuk menyenangkan keluarga mereka atau untuk pamer kepada teman-teman Muslim, tetapi itu tidak akan bertahan lama. Yang dibutuhkan adalah pemahaman tentang makna sebenarnya dari menjadi seorang Muslim, menjadi seorang mukmin, dan bahkan mencapai tingkat ihsan.

Orang tua harus menanamkan iman ini di dalam hati anak-anak mereka, dimulai sejak lahir. Mereka harus mengajarkan anak-anak mereka untuk tunduk secara tulus kepada Allah dengan hati mereka, dengan lisan mereka, dan dengan perbuatan mereka. Anak-anak harus belajar untuk memiliki rasa takut kepada Allah, cinta kepada Allah, dan tawakal kepada Allah. Kecintaan mereka kepada Allah harus melebihi kecintaan mereka kepada orang atau benda lain di dunia ini. Allah ﷻ  berfirman,

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّۭا لِّلَّهِ ۗ

"...Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cinta mereka kepada Allah..." (QS Al-Baqarah: 165)

"Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi  tentang hari kiamat, ia berkata, 'Kapan terjadinya kiamat? Nabi bertanya: "Apa yang telah kamu persiapkan untuk menghadapinya? Orang itu menjawab, "Tidak ada, kecuali aku mencintai Allah dan Rasul-Nya. Nabi bersabda, "Engkau akan bersama orang-orang yang engkau cintai." Anak-anak harus mencintai kebenaran Islam dan membenci kekufuran dan kemunafikan. Nabi  bersabda: "Barangsiapa yang memiliki tiga sifat berikut ini, maka ia akan merasakan manisnya iman: Seseorang yang Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada yang lainnya, seseorang yang mencintai saudaranya semata-mata karena Allah, dan seseorang yang benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api." Mereka harus memiliki harapan akan pertolongan dan pahala dari Allah dan takut akan kemarahan dan hukuman-Nya. Ketika orang tua telah menyelesaikan tugas ini, mereka akan membina orang-orang yang beriman dan pembawa pesan para Nabi. Bayangkan sebuah dunia dengan satu miliar orang beriman (mukminin).

Seharusnya sudah jelas bahwa blok bangunan yang paling penting dalam formula ini adalah sistem kepercayaan - fondasi iman. Iman dibangun di atas pengetahuan tentang Allah dan keesaan-Nya, tentang Nama-nama dan sifat-sifat-Nya, tentang keagungan dan kekuasaan-Nya, tentang rahmat dan pengampunan-Nya, tentang kehendak dan ketetapan-Nya, tentang para nabi dan rasul-Nya, dan seterusnya. Dari perspektif Islam, pentingnya aqidah yang benar dan teguh tidak dapat diabaikan, karena keyakinan akan mengarahkan praktik. Nabi  mengajarkan para sahabatnya tentang 'aqidah selama tiga belas tahun sebelum memperkenalkan aspek-aspek praktis Islam. Pendekatan ini dilakukan untuk memastikan iman yang teguh dan komitmen terhadap agama Allah. Jika orang tua hanya mengajarkan anak-anak mereka tentang aqidah yang benar dan tidak ada praktik, mereka akan memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk masuk surga daripada mereka yang salat, berpuasa, dan berzakat, tetapi juga menyembah kuburan, misalnya. Hal ini disebabkan oleh kesadaran bahwa keyakinan yang benar terhadap Allah dan agama-Nya adalah penting untuk membangun hubungan dengan-Nya dan untuk mengembangkan kemampuan membedakan yang akan menuntun kita untuk memilih yang halal dalam setiap keadaan. Pilihan ini akan dibuat terlepas dari tekanan untuk bertindak sebaliknya.

Karena itulah, seorang anak yang memiliki iman dan takwa yang kuat akan membuat pekerjaan mengasuh anak menjadi lebih mudah. Pilihan-pilihan yang diambil oleh seorang anak akan datang dari dalam dirinya sendiri, dengan rasa cinta dan takut kepada Allah, bukan karena paksaan dari luar. Prinsip-prinsip psikologi modern berfokus pada penerapan konsekuensi atas perilaku: hadiah untuk perilaku positif dan hukuman untuk perilaku negatif. Meskipun teknik-teknik ini mungkin berguna pada saat-saat tertentu, namun tidak seharusnya menjadi dasar pengasuhan anak. Jika orang tua membantu anak-anak mereka dalam mengembangkan kekuatan internal, teknik-teknik ini jarang diperlukan, jika tidak sama sekali. Fokus seorang anak yang beriman adalah mencari ridha dan pahala dari Allah dengan kesadaran yang mendalam bahwa hal tersebut lebih besar daripada imbalan materi atau sosial yang dapat diperoleh dalam kehidupan ini.

Pada akhirnya, orang tua memupuk iman dalam diri anak-anak mereka agar mereka sukses, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Ini harus menjadi tujuan utama bagi anak-anak mereka. Karena kesuksesan dalam Islam tidak diukur dari harta atau jabatan, tetapi diukur dari ketaatan yang tulus kepada Allah dan pencapaian surga di akhirat kelak. Allah ﷻ berfirman:

لَـٰكِنِ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوْا۟ رَبَّهُمْ لَهُمْ جَنَّـٰتٌۭ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَا نُزُلًۭا مِّنْ عِندِ ٱللَّهِ ۗ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌۭ لِّلْأَبْرَارِ ١٩٨

"Akan tetapi, orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, mereka akan mendapat surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya sebagai karunia dari Allah. Apa yang di sisi Allah itu lebih baik bagi orang-orang yang selalu berbuat baik." (QS Ali Imran: 198)

Allah ﷻ juga mengisyaratkan,

قَالَ ٱللَّهُ هَـٰذَا يَوْمُ يَنفَعُ ٱلصَّـٰدِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّـٰتٌۭ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًۭا ۚ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ ١١٩

"Allah berfirman, “Ini adalah hari yang kebenaran orang-orang yang benar bermanfaat bagi mereka. Bagi merekalah surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS Ali Imran: 119)

Sungguh, itulah pencapaian yang luar biasa.





Preface & Introduction

Jumat, 01 Maret 2024

Kata Pengantar

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon ampunan-Nya, dan memohon hidayah-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan kejahatan perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang dibiarkan-Nya tersesat, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk kepada mereka. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sesuai dengan hak-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, lalu Dia menciptakan daripadanya pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan selalu berkata benar. Dia akan mengarahkanmu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang benar dan akan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mencapai kemenangan yang besar.

Photo by Daiga Ellaby on Unsplash

Pendahuluan

Gambaran umum tentang kondisi anak-anak dan keluarga di dunia saat ini membuat orang bingung dan sedih. Struktur keluarga berantakan, dengan perceraian, perpisahan, orang tua tunggal, dan keluarga tanpa ayah menjadi hal yang lumrah, bukan keanehan. Teknologi telah menyebabkan keluarga menghabiskan lebih sedikit waktu bersama dibandingkan dengan titik mana pun dalam sejarah. Anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton program televisi dan bermain game komputer (lebih dari 20 jam per minggu) dibandingkan dengan percakapan yang bermakna dengan orang tua mereka (kurang dari 30 menit per minggu). Para ibu memasuki dunia kerja dalam jumlah yang terus meningkat, sering kali meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil dalam pengasuhan orang asing untuk waktu yang lama. Daftarnya tak ada habisnya.

Tren yang paling signifikan dalam keluarga saat ini adalah penurunan moral dan nilai-nilai dasar. Amoralitas menjadi cara hidup yang dapat diterima dan akrab bagi masyarakat. Perselingkuhan, perjudian, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, hubungan pranikah dan di luar nikah, dan lainnya telah menjadi norma di banyak negara di dunia. Dalam kaitannya dengan anak-anak dan keluarga, ketidaktaatan (disobedience), penipuan (deceit), dan ketidakhormatan (disrespect) adalah Three dangerous Ds di era ini. Anak-anak dan remaja tidak lagi menganggap penting atau perlu untuk mematuhi dan menghormati orang tua mereka. Mereka akan tidak taat atau menipu untuk menyenangkan teman-teman mereka atau untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Mereka melakukan hal ini tanpa berpikir panjang atau merasa bersalah. Ini adalah masalah yang berbahaya dan tidak menyenangkan yang harus ditanggapi dengan serius.

Sayangnya, keluarga Muslim tidak kebal terhadap kekhawatiran dan fenomena ini. Banyak Muslim di Barat bergumul dengan isu-isu ini setiap hari. Dan, ketika globalisasi menancapkan giginya di setiap bagian bumi, Muslim di seluruh dunia terkena dampak yang lebih besar. Meskipun globalisasi sebenarnya adalah istilah yang dimaksudkan untuk menggambarkan kekuatan ekonomi, namun globalisasi memiliki dampak yang luas pada struktur sosial dan moral masyarakat. Bangsa-bangsa tidak hanya mengimpor barang dan jasa, tetapi mereka juga membawa cita-cita, nilai, dan moral yang sering kali bertentangan dengan kepercayaan dan praktik tradisional masyarakat. Rute utama transmisinya adalah media, termasuk televisi, internet, dan majalah. Seorang anak di belahan dunia lain terpapar dengan materi yang mematikan pikiran, tidak bernilai, dan merusak moral yang sama dengan anak di Amerika. Ketika anak-anak dan remaja berebut untuk menjadi 'kebarat-baratan', generasi yang lebih tua berjuang untuk mempertahankan identitas etnis, budaya, dan agama mereka. Hal ini tak pelak lagi menimbulkan berbagai macam konflik antargenerasi dan, tentu saja, three dangerous Ds.

Kekhawatiran yang paling signifikan adalah dampak dari peristiwa-peristiwa ini terhadap nilai-nilai Islam dalam keluarga dan masyarakat; karena nilai-nilai inilah yang paling menderita. Kekhawatiran jangka panjangnya adalah bahwa setiap generasi, nilai-nilai ini akan menjadi semakin lemah. Bukan hal yang aneh di negara-negara Muslim, misalnya, untuk melihat remaja laki-laki dan perempuan nongkrong bersama di mal: gadis-gadis tanpa penutup kepala, berdandan lengkap dan memakai parfum. Anak laki-laki dan perempuan berkomunikasi bersama melalui ruang chatting Internet, email, dan smartphone. Merokok, penggunaan narkoba, dan kenakalan remaja meningkat di banyak negara. Tingkat penyakit yang lebih tersembunyi, seperti hubungan tidak sah, tidak diketahui.

Solusinya

Kita semua sudah tidak asing lagi dengan gambaran-gambaran tersebut; namun fokus buku ini bukan pada masalahnya, melainkan pada solusinya. Karena solusi untuk penyakit dan masalah sosial ini ada di tangan dan hati setiap Muslim. Solusi itu ada dalam jangkauan dan dapat dicapai dengan dedikasi yang tulus. Jawabannya, tentu saja, adalah Islam dan kembali kepada prinsip-prinsip yang mulia dan terhormat dari cara hidup ini. Ini adalah, pada kenyataannya, satu-satunya solusi yang nyata dan layak; karena telah ditetapkan oleh Tuhan dan Pencipta kita, yang mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri. Solusi lain yang telah dicoba telah gagal mencapai tujuannya.

Ini bukanlah gagasan atau usulan baru, karena orang-orang sejak awal umat manusia telah mengusulkan hal yang sama. Para nabi, orang-orang saleh, dan para cendekiawan sepanjang sejarah telah menyeru manusia kepada makna dan tujuan hidup yang sebenarnya dan memperingatkan mereka tentang penipuan yang ada di dalamnya. Buku ini dimaksudkan untuk mengulangi seruan untuk memperbaharui dan kembali kepada nilai-nilai Islam yang abadi dan cara hidup Islam yang kekal. Ini adalah satu-satunya obat sejati untuk semua penyakit sosial yang ada di dunia saat ini; satu-satunya perlindungan yang tegas terhadap Setan. Penyimpangan dari hukum-hukum Allah hanya akan membawa kehancuran dan kekacauan, sementara pemulihan cara hidup-Nya akan membawa keharmonisan dan stabilitas yang sangat dibutuhkan. Tantangannya adalah membujuk setiap orang untuk meminum obatnya, karena hal ini membutuhkan usaha dan komitmen yang sungguh-sungguh. Selain itu, ini adalah proses pengobatan seumur hidup yang tidak akan berakhir sampai saat kematian.

Fokus dari buku ini adalah untuk membina generasi penerus dan menanamkan nilai-nilai Islam dan Iman kepada mereka sejak usia dini. Mereka yang telah mengambil obat sejak lahir tidak akan merasa sulit atau aneh untuk melanjutkannya sepanjang hidup mereka. Hal ini akan secara alami mengalir dan berkembang seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan seseorang melalui setiap fase kehidupan. Pada kenyataannya, anak-anak memiliki benih yang sangat istimewa dalam diri mereka yang dikenal sebagai fitrah. Fitrah adalah kecenderungan bawaan untuk mengenal Allah, percaya pada keesaan Allah, dan mengembangkan iman. Benih-benih iman telah tertanam dan hanya perlu dipupuk dengan penuh kasih sayang agar tumbuh menjadi tanaman yang indah dan berbunga. Untuk itulah buku ini diberi judul Menumbuhkan Keimanan pada Anak.

Diharapkan juga bahwa selama proses ini, mereka yang mencoba untuk memberikan pengobatan akan belajar dan bertumbuh dalam Islam. Orang pada umumnya belajar paling banyak dengan mengajari orang lain, dan ini adalah salah satu hasil yang paling signifikan dari pengasuhan anak. Ketika kita melihat anak-anak kita dan berpikir ingin mereka menjadi apa dan bagaimana dikemudian hari, pertanyaan-pertanyaan ini juga akan muncul mengenai diri kita sendiri. Ketika kita melihat mereka meniru perilaku kita, kita harus bertanya apakah ini yang kita inginkan dari anak-anak kita. Apakah ini perilaku yang terbaik bagi kita sebagai orang dewasa? Apa yang benar-benar kita inginkan untuk anak-anak kita dan keluarga kita di dunia dan di akhirat?

Buku ini bukan sekadar buku tentang pengasuhan anak dari sudut pandang Islam, karena sudah banyak buku semacam itu yang tersedia. Ini bukan buku tentang bagaimana menjadi seorang Muslim, karena sebagian besar dari kita sudah mengetahui hal ini. Kita semua tahu bagaimana cara berpuasa, shalat, zakat, dan sebagainya. Namun, buku ini adalah sebuah upaya untuk mendidik para orang tua tentang bagaimana membawa anak-anak mereka dan diri mereka sendiri ke tingkat berikutnya. Tingkat berikutnya adalah tingkat iman: keimanan, pengabdian yang tulus kepada Allah, dan rasa takut kepada Allah. Ini adalah upaya untuk mempengaruhi hati dan jiwa setiap Muslim, karena penguatan iman dan hati adalah satu-satunya perlindungan terhadap kejahatan masyarakat dan bisikan setan. Ini adalah panggilan untuk mengajar anak-anak kita bagaimana menjadi orang beriman yang sejati dan bukan hanya sekedar Muslim secara nama. Kita harus mendidik mereka tentang apa arti sebenarnya dari beriman kepada Allah, memahami makna tauhid, dan sadar akan Allah dalam setiap keputusan dan tindakan. Impian kami untuk mereka adalah menjadi penyeru Islam yang teladan, pencari ilmu yang tulus, tentara yang tak kenal takut, pembaharu masyarakat, istri yang salihah, dan ibu yang penuh perhatian.

Keimanan yang tulus inilah yang akan menuntun orang-orang yang beriman untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan: dalam diri mereka sendiri, dalam keluarga mereka, dan dalam masyarakat. Penerapan ini akan mengarah pada pemulihan nilai-nilai dalam masyarakat dan kembali kepada perdamaian sejati yang diwakili oleh Islam.

Catatan setelah Pemilu tahun ini

Jumat, 16 Februari 2024

 

Photo by Element5 Digital on Unsplash

Waktu saya masih kuliah, orang tua angkat saya pernah berseloroh kepada saya, "kuliah jurusan politik berarti nanti jadi politisi, dong?" 

Saya yang masih semester 3, tertawa mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya saya sempat berpikir untuk berkarir di dunia politik, hanya karena terpengaruh oleh buku-buku bacaan saat itu. Kayaknya kok hebat bisa membuat nasib banyak orang berubah hanya lewat beberapa kalimat atau sebuah tanda tangan. Begitu mulai kuliah, saya langsung tergabung ke organisasi mahasiwa untuk belajar dan memahami cara kerja organisasi dengan lebih baik. Dan di semester 3 itu, tahun 2009 memang kebetulan sedang masanya Pemilu.

"Daftar Pemilu di sini lho, nduk. Buat latihan." Mamak saya menyarankan, tentu saja hanya bercanda. Syarat menjadi anggota legislatif memang hanya lulusan SMA.

Saya santai saja menjawab, "nanti lah, Mak. Kalau sudah lulus, tinggal mainkan pasar-pasar di Lampung Tengah." Lalu Mamak menyahut, "nyalon lewat PDI-P, nanti Mamak kenalkan sama ketua DPCnya."

"Yah, kalo sama PDI-P ya sama aja, nanti aku jadi koruptor!" Dengan cepat saya menyahut perkataan Mamak sambil tetap berusaha santai. Mamak pun balas menjawab, "Ya kalau mau menang di sini harus lewat PDI-P. Kalau lewat partai lain ya susah, lama. Keburu bangkrut."

Saya tertawa lebih keras mendengar alasan Mamak. Mamak angkat saya adalah pedagang besar. Hampir seluruh pasar di Lampung dikuasai, Kakak angkat saya yang menjalankan bisnis, punya banyak sekali kenalan orang penting. Ketika tawaran seloroh dari Mamak itu terlontar, yang saya pikirkan saat itu adalah bahwa Mamak memang hanyalah seorang pedagang. Beliau sangat tahu bagaimana caranya memenangkan persaingan di pasar. Tapi mestinya politik tidak boleh disamakan dengan bisnis. Ada idealisme yang harus diperjuangkan.

***

Seiring berjalannya waktu, saya belajar makin banyak lewat kuliah dan organisasi. Lalu saya mulai mendengar teman-teman saya yang kuliah di jurusan keguruan sering membicarakan sebuah gerakan baru bernama Indonesia Mengajar. Beberapa diantaranya berhasil bergabung menjadi Pengajar Muda di sana. Dari situlah saya mulai mendengar nama Anies Baswedan.

Pada waktu yang sama, beberapa teman di fakultas tiba-tiba menghilang dan diberitakan mendapat beasiswa ke Paramadina. Nama Anies Baswedan kembali saya dengar. Dan seterusnya, saya mengenal namanya sebagai salah satu aktor pendidikan baru yang berpengaruh saat itu.

Tapi postingan blog ini bukan hanya tentang Anies Baswedan, kok. Namanya saya sebut karena memang punya peran penting bagi saya dalam menentukan pilihan di Pemilu kemarin.

***

Ternyata setelah menjalani kuliah dan menjadi pengurus organisasi mahasiswa minat saya terhadap dunia politik justru menurun. Saya suka belajar teori-teori politik. Saya suka membaca cerita pemimpin-pemimpin besar dengan ideologi-ideologi mereka. Tapi saya jijik setiap kali hadir di acara-acara yang menghadirkan pejabat atau praktisi politik. Saya makin yakin untuk tidak menjadikan dunia politik sebagai pilihan karier setelah menyaksikan sendiri seperti apa kursi kekuasaan selevel kampus pun bisa menelan korban dan diperebutkan dengan cara yang sangat licik. Belum lagi pengelolaan anggaran dana yang membuat saya hampir ribut dengan teman, membuat saya berpikir 'kalau masih di kampus saja mereka bisa berbuat seperti ini apalagi nanti ketika mengurus negara?'

Lalu berita tentang mobil Esemka mencuat. Saya dan teman-teman di kosan pernah membicarakan berita itu dan salah satu diskusi ringan kami yang masih saya ingat adalah komentar teman saya saat itu, "Dia (Jokowi) diberitakan di mana-mana, pasti mau naik ke istana."

Saya si topi hitam yang instingnya hampir selalu benar kalau melihat wajah orang cuma nyeletuk, "manipulatif banget ya orangnya." Dan perjalanan panjang dihantui wajah Jokowi pun dimulai hari itu.

***

Awalnya saya berpikir kalau pilihan ketika Pemilu itu harus logis dan adil. Tapi setelah melihat perilaku pemilih di Indonesia selama ini dan menimbang pengalaman saya sendiri, sepertinya memang benar kalau memilih itu selalu berdasarkan kecenderungan hati. Sejak menjadi pemilih tahun 2007, saya sering sekali golput terutama pada pemilihan daerah. Di Lampung, siapapun calonnya pemenangnya sudah ditentukan oleh sang ratu. Jadi buat apa saya memilih?

Satu-satunya pemilihan umum yang saya benar-benar perhatikan hanyalah pemilihan presiden. Tahun 2009 pilihannya cukup mudah. SBY tidak punya riwayat buruk seperti kedua lawannya sehingga saya dengan mudah menentukan pilihan.

Saya sama sekali nggak menyangka kalau Jokowi akan masuk istana sebagai presiden. Dan percaya nggak percaya, hal itu sudah kami prediksi sejak dia mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta. Kami -saya dan teman-teman kosan-- yang saat itu menonton beritanya bereaksi macam-macam, tapi yang paling epic adalah salah satu teman saya yang kuliah di jurusan Hukum mengatakan, "seenaknya aja dia belum selesai tugasnya maju ke Jakarta, bisa-bisa nanti belum beres di Jakarta maju ke Presiden!" And guess what?! We know how the story goes 😌

Jujur, sejak pencalonan dirinya menjadi gubernur Jakarta saya langsung menutup hati pada Jokowi. Dan ketika dia benar-benar mencalonkan diri menjadi presiden, ucapan teman saya itulah yang terngiang di kepala saya. Tapi ada satu hal yang sangat mengganggu pikiran saya saat itu, adalah kemunculan Anies Baswedan di tim pemenangan Jokowi.

***

Kembali ke masa kuliah, salah satu teman saya ada yang bergabung menjadi Pengajar Muda di Indonesia Mengajar lalu meninggal. Saya sudah lupa apakah dia meninggal ketika menjalankan tugas atau ketika sudah selesai, tapi yang saya ingat Anies Baswedan hadir di pemakamannya. Dia datang ke Lampung untuk memberikan penghormatan kepada teman saya itu, Adit namanya.

Lalu ketika sedang field trip fakultas, salah satu tujuan perjalanan kami adalah ke Universitas Paramadina. Di sana kami bertemu Anies Baswedan. Iya, saya pernah ketemu Anies Baswedan. 😆 Mendengar dia bicara secara langsung, membahas tentang filsafat, pendidikan dan politik dalam kapasitasnya sebagai seorang rektor, bukan politisi. 

Saya kurang ingat persis urutan 2 peristiwa itu, mana yangg lebih dulu, tapi sepertinya inilah yang membuat saya punya kesan positif kepada Anies. Mendengar ide-idenya tentang dunia pendidikan tinggi dan filsafat, rasanya memang seperti mendapat pencerahan. Membaca tulisan-tulisannya ketika masih menjadi rektor, saya benar-benar mengenalnya hanya sebagai seorang guru.

Dan melihatnya berkampanye di pemilihan presiden tahun 2014 membuat saya berpikir, 'kok bisa dia jadi timsesnya Jokowi? Aku yang bodoh aja tahu lho kalau itu orang nggak bener.' Tapi selorohan Mamak angkat saya tiba-tiba kembali teringat dan menyadarkan saya, kalau ternyata setelah sekian lama saya belajar di kampus saya tetaplah orang yang naif dan karenanya sudah tepat saya nggak memilih dunia politik untuk berkarier setelah lulus kuliah.

Anies Baswedan adalah orang baru di dunia politik. Dia tentunya sadar, menjadi terkenal hanya di kalangan akademisi tidak akan membuat dia naik daun dengan cepat. Dia butuh panggung, dan PDI-P adalah alat yang paling tepat. Persis seperti Mamak saya bilang, 'kalau mau menang harus lewat PDI-P.' Dan ketika melihat Anies Baswedan di kubu Jokowi saat itu, saya bilang ke suami, "pasti dia pengen jadi menteri pendidikan."

Kalau kamu merasa saya sok pintar dengan dugaan-dugaan yang kebetulan benar-benar terjadi, kamu salah. Bukan saya yang pintar, tapi karena sebenarnya permainan politik yang muncul di permukaan memang semudah itu dipahami kalau kita mau sedikit berpikir dan menonton berita dari berbagai macam saluran. Sehingga pikiran kita tidak diracuni oleh satu media yang dikendalikan orang tertentu. Lihat saja bagaimana Metro TV dan TV One menyajikan beritanya. Lihat bedanya antara 5 tahun yang lalu dengan sekarang.

***

Maka pemilihan umum tahun ini menjadi cukup istimewa bagi saya. Setelah dua kali memilih dengan alasan 'asal bukan Jokowi' akhirnya saya kali ini bisa memilih dengan tambahan alasan 'saya percaya Anies'. Meskipun di awal saya agak kecewa kenapa bukan Prof. Mahfud pasangannya, tapi kemudian saya segera sadar kalau mereka tidak mungkin bisa dipasangkan. Biarlah Prof. Mahfud menjadi penjaga dan penyambung mata kita di pemerintahan.

Anies Baswedan mungkin bukan orang yang baik-baik amat, karena saya hanya mengenalnya hanya lewat buku dan diskusi satu jam. Sama seperti saya mengenal Muhaimin Iskandar dan Prof. Mahfud MD. Sebagai gubernur pun, saya tidak menafikan beberapa kritikan terhadap kebijakan Anies memang valid. Tapi kalau dibanding dengan masa lalu Prabowo dan kebohongan Jokowi, ooooh tentu saja wajar kalau banyak yang memperlakukan Anies seperti penyelamat.

Mungkin Anies akan memenangkan pemilu seperti keajaiban di Jakarta. Mungkin juga akan kalah. Tapi yang jelas saya mulai optimis bahwa perbaikan negeri ini sedang berada di jalan yang benar. Kita memang melihat kurikulum pendidikan yang amburadul, tapi makin banyak lembaga pendidikan independen yang berdiri dan bebas dari kebrobrokan itu. Kalau memang Jokowi menang lagi tahun ini (karena memang majunya Gibran jadi cawapres intinya itu) berarti memang mayoritas masyarakat kita yang masih sama seperti dia. Penuh tipu daya, bermental feodal dan suka korupsi.

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.