SLIDER

Drama sakit gigi berlanjut ke rumah sakit

Kamis, 21 Desember 2023

 


Setelah drama sakit gigi di klinik berakhir di season pertama (karena saya yakin akan ada season berikutnya), petualangan saya berlanjut ke Rumah Sakit yang jarak tempuhnya butuh sekitar 45 menit dari rumah. Saya tahu kalau 45 menit itu nggak lama buat sebagian orang di kota-kota besar, tapi buat saya yang tinggal di Bandar Lampung, waktu tempuh 45 menit itu jauh banget.

Jadi ceritanya saya dirujuk ke Rumah Sakit Airan Raya, sebuah rumah sakit baru di Bandar Lampung. Awalnya sih katanya mau dirujuk ke Advent, tapi ternyata ketika mau didaftarkan tidak berhasil. Akhirnya dengan pasrah saya mengiyakan saja untuk dirujuk ke rumah sakit di ujung Bandar Lampung itu. Sesuai keterngan mbak resepsionis klinik, saya cukup datang ke rumah sakit dan menunjukkan aplikasi JKN ke petugas rumah sakit. 

Sambil menanti kepastian jadwal kosong suami, saya pun mulai mencari-cari info tentang rumah sakit itu. Karena jaraknya yang jauh, saya nggak mau dong kena zonk. Dari Google sampai instagram, tidak banyak informasi yang saya dapat. DM nggak terbalas, website juga nggak update. Jadi yasudah, bermodal bismillah saya berangkat.

Sampai di rumah sakit, karena baru pertama kali ke sana kami butuh muter-muter dulu untuk menemukan area lobi rumah sakitnya. Dengan ragu-ragu saya langsung menemui seorang petugas di loket-loket yang berbaris. Ternyata saya salah. Sebelum ke loket harus registrasi dulu untuk mendapatkan nomor antrean. OK, pindah ke petugas registrasi ternyata saya tidak bisa dilayani. 😂

Untungnya mamas petugasnya dengan sabar dan ramah menjelaskan dengan sangat detil. Waktu saya bilang mau periksa gigi, dia kayaknya langsung tahu kalau saya baru pertama kali ke sana dan seketika saya dipersilakan duduk. Dari mamas inilah saya tahu kalau semua rujukan untuk pemeriksaan gigi di Lampung sekarang hanya ada di rumah sakit Airan Raya. Waktu saya dengar itu, sebenarnya saya pengen nanya, "lho, kok bisa? Aneh banget? Jadi apa gunanya rumah sakit umum sebesar itu ada dua njogrok di sana?" tapi saya tahan karena pasti buang-buang waktu. Saya dikasih tahu kalau saya harus mendaftar dulu di aplikasi, dan dia menyarankan untuk mendaftar sejak pagi sekali karena di rumah sakit hanya ada 2 dokter gigi setiap harinya dan masing-masing mereka hanya bisa menangani 20 pasien. Bayangkan 2 orang dokter harus melayani pasien BPJS se-provinsi dong, itu gimana antrenya? Sejak tengah malam, saudara-saudara. Nggak bisa pagi-pagi.

Sesuai instruksi mamas registrasi, besoknya saya coba daftar lewat aplikasi. Dan ternyata sang dokter sudah full booked sampai 3 hari ke depan. Besoknya saya coba lagi daftar lewat aplikasi setelah shalat subuh, sudah full booked lagi. Begitu terus sampai akhir pekan dan akhirnya jadwal tindakan untuk gigi saya tertunda karena saya tiba-tiba jalan-jalan ke Jawa selama 10 hari. Selama perjalanan inilah saya secara nggak sengaja berhasil mendaftar. Gara-gara nggak bisa tidur di bus, saya coba buka aplikasi dan mendaftar pas jam 12 malam. Akhirnya saya tahu waktu yang tepat untuk mendaftar.

Pulang dari Jawa, jadilah saya ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang pertama. Kali ini saya nggak berharap gimana-gimana sama dokternya. Sudah pasrah saja lah. Dan jujur, saya cukup kagum dengan pelayanan di rumah sakit ini. Mungkin karena proses pendaftarannya yang harus lewat aplikasi jadi yang datang ke rumah sakit memang orang-orang yang benar-benar akan ditangani jadi rumah sakitnya tidak terlihat sumpek. Dari proses registrasi sampai saya masuk ke ruang poli, semua petugas melayani dengan cekatan dan cepat serta ramah. Begitu masuk ke ruangan juga saya nggak berharap akan diajak ngobrol sama dokternya. Rasanya udah kasihan aja sih kalau teringat bu dokter harus menangani 20 orang pasien BPJS setiap hari tanpa tahu akan dapat bayaran atau nggak. #eh

Tindakan pertama saya nggak sengaja menelan obat yang disemprotkan ke gigi gara-gara nahan napas karena terlalu tegang. Sepanjang perjalanan pulang mulut saya rasanya kayak ngemut Byclean dan mual luar biasa. Tindakan kedua, karena gagal bangun tengah malam saya terpaksa mendaftar dengan dokter yang lain. Tapi alhamdulillah dokter yang baru ini pun nggak ribet. 

Di tindakan terakhir yang bikin saya agak gimanaaaa gitu ya, karena saya pikir akan butuh waktu lama. Ternyata tambalan gigi saya cuma seperti tambalan aspal jalanan yang bolong itu lho, gaes 😆. Nggak ada seninya sama sekali. Saya juga nggak berharap bakal kayak yang di video-video Youtube para dokter gigi itu sih, tapi saya juga nggak nyangka bakal sesederhana itu. Untungnya suami saya menenangkan, sudah disyukuri saja bisa berobat gratis yang aslinya butuh biaya jutaan. Dan kalau dipikir-pikir memang iuran BPJS saya kalau ditotalkan seluruhnya pun nggak akan bisa menutupi pelayanan kesehatan yang saya dapat. Walaupun saya nggak pernah pakai BPJS kalau berobat biasa, tapi biaya melahirkan 2 anak saya saja sudah bisa buat DP rumah kalau nggak dicover BPJS.

Saya yakin drama gigi ini akan berlanjut karena nasib gigi bungsu saya belum juga ada kejelasan. Sayang sekali dari 5 dokter gigi yang memeriksa saya, hanya 1 orang yang mau dengan rela memeriksa mulut saya secara menyeluruh yang sebenarnya nggak butuh waktu lama. Akhirnya nggak ada satupun dari 4 dokter yang menyarankan saya untuk cabut gigi. Bayangkan kalau saya nggak ketemu sama dokter pertama waktu itu, saya nggak akan tahu kalau saya punya gigi bungsu dan mungkin baru akan ke dokter gigi lagi ketika sakit gigi, dan saya pernah dengar kalau tindakan gigi bungsu juga butuh effort bagi dokter gigi sendiri. Saya cuma berharap lain kali kalau saya periksa lagi, dokternya mau meluangkan sedikit waktu untuk melihat lebih dalam dan bilang, "lho, ada gigi bungsunya ini, Bu. Harus dicabut ya, bahaya kalau dibiarin."

Yang penting anak bahagia

Selasa, 05 Desember 2023

Saya akan memulai tulisan ini dari ingatan saya tentang obrolan tentang anak dengan salah seorang teman. Suatu hari dalam obrolan kami, dia mengatakan, "yang penting kalau bisa anak kita itu nggak ngerasain susah kayak orang tuanya. Dia mau apa, selama kita bisa kasih pasti kita usahakan."

Tentu tidak ada yang salah dengan perkataan itu. Siapa sih yang pengen anaknya hidupnya susah?! Jelas nggak ada. Tapi karena ucapan itu muncul setelah percakapan yang panjang, saya tahu bahwa ada yang salah dengan kesimpulan yang dimiliki oleh teman saya itu. Dan kemudian saya mulai berpikir, jangan-jangan memang kebanyakan orang tua sekarang memiliki pemikiran yang sama seperti itu.

Photo by Tuva Mathilde Løland on Unsplash

Satu cerita lagi tentang sepupu saya yang usianya sekitar 6-7 tahun lebih tua dari saya. Dia anak perempuan satu-satunya dari pakde saya. Saya ingat dulu orang tua saya pernah membahasnya. Saat itu kalau tidak salah kami sedang membahas bisnis orang tua saya. Mamak berkata kalau sepupu saya itu nanti pasti akan kesulitan menjalani kehidupannya, karena tidak pernah ditolak oleh orang tuanya. Dalam artian, apapun yang diminta pasti dituruti oleh orang tuanya. Dan sepertinya saya sudah pernah membuktikan perkataan orang tua saya itu.

***

Menjadi guru selama kurang lebih 10 tahun, saya sudah bertemu dengan berbagai macam jenis orang tua. Tentu tidak sebanyak guru lain yang lebih berpengalaman dan berdedikasi, tapi tipe-tipe manusia itu juga tidak terlalu banyak untuk dicermati. Dan yang saya lihat, kebanyakan orang tua yang saya temui selama 10 tahun belakangan ini adalah jenis orang tua yang terlalu fokus pada kebahagiaan anak. Sehingga mereka cenderung menuruti apapun keinginan si anak. Padahal kebahagiaan muncul dari ketahanan yang membantu anak-anak mengatur emosi yang sulit dan situasi yang penuh tekanan. Dan ketahanan itu bukan sifat naluriah, butuh keterampilan yang harus dilatih dan itu butuh bantuan dari orang tua untuk menumbuhkannya pada diri anak-anaknya.

Dalam bukunya, Dr. Becky Kennedy bercerita tentang para orang tua jenis ini -yang terlalu berharap anaknya bahagia-, dan mengatakan bahwa sepertinya inti dari harapan para orang tua itu bukan pada kebahagiaan. Karena tentu saja semua orang tua pasti ingin anaknya bahagia. Tapi memangnya apa yang bisa membuat kita bahagia? Apakah dengan menghilangkan rasa khawatir dan kesepian pada anak-anak kita, memastikan mereka merasa nyaman setiap saat lalu mereka akan mampu menumbuhkan kebahagiaan dengan sendirinya? Sebenarnya, ketika  kita mengatakan, "saya hanya ingin anak-anak saya bahagia" apa yang sedang kita maksud dengan bahagia di kalimat itu?

Para orang tua murid di sekolah saya dulu pernah menawarkan untuk membelikan AC di asrama dengan alasan agar anak-anaknya bisa tidur nyenyak dan merasa nyaman di asrama. Mereka mengatakan bahwa dengan suasana yang nyaman, anak-anak akan merasa betah di asrama dan semangat belajar. Sejujurnya, saya tidak pernah bisa menemukan korelasi antara kenyamanan dengan semangat belajar. Dan silakan cari sampai ke ujung dunia, orang-orang cerdas yang suka belajar itu tidak pernah menuntut tempat yang nyaman untuk bisa belajar. Mereka belajar karena mereka memiliki motivasi dari dalam dirinya sendiri untuk belajar, tempat yang nyaman hanyalah pendukung. Kalaupun tempatnya tidak nyaman, tidak akan mengubah motivasi dalam dirinya dan tidak akan membuat mereka jadi malas belajar.

Ketika kita hanya fokus pada kebahagiaan, kita mengabaikan semua emosi lain yang pasti akan muncul di sepanjang hidup anak-anak kita, yang berarti kita tidak mengajarkan mereka cara mengatasi emosi tersebut. Dan Dr. Becky menjelaskan, cara kita menghadapi rasa sakit atau kesulitan akan berdampak pada cara mereka berpikir tentang diri mereka sendiri dan masalah mereka selama beberapa dekade ke depan.

"Orang tua kan hanya ingin yang terbaik untuk anaknya." Terdengar -atau terbaca- familiar?! Coba tanyakan lagi kepada diri sendiri, apakah "yang terbaik" untuk anak kita adalah "bahagia"?! Saya pribadi saat ini sudah tidak terlalu tertarik dengan kebahagiaan dan saya bersyukur dididik oleh orang tua saya untuk menjadi tangguh sejak kecil. Melihat betapa manjanya anak-anak sekarang, saya pernah tersulut emosi dan dengan sombong bilang ke mereka, " orang tua saya dulu punya pembantu 7 tapi nggak semanja kalian." And that's true. Karena pada akhirnya ketika takdir tidak memberikan saya banyak pilihan hidup yang mudah, sekarang saya bisa bertahan dengan baik. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana sulitnya suami saya kalau punya istri yang nggak bisa mencuci piring karena biasa dilayani oleh banyak pembantu.

Bagaimanapun juga, menumbuhkan kebahagiaan bergantung pada kemampuan kita untuk mengatasi rasa tertekan. Kita harus merasa aman sebelum bisa merasa bahagia. Mengapa kita harus belajar mengatur hal-hal yang sulit? Mengapa sulit sekali untuk bahagia dan mengalahkan semua emosi yang lain? Karena pada kenyataannya, dalam hidup ini hal-hal yang paling penting membutuhkan kerja keras dan waktu. Dan itu masalah kebanyakan orang tua saat ini. Mereka tidak punya waktu.

Photo by Keszthelyi Timi on Unsplash

Analogi ini menurut saya sangat baik. Kita ibaratkan tubuh kita seperti sebuah toples yang dikelilingi oleh banyak emosi. Katakanlah ada dua emosi utama; emosi yang terasa menjengkelkan dan emosi yang terasa "lebih bahagia". Di dalam toples emosi kita itu -yang bisa berkembang seiring kemampuan kita mengelola emosi-, ada emosi-emosi lainnya yang ukurannya juga terus berubah. Secara natural, tubuh kita memiliki sistem alarm bawaan dan secara konstan lebih sensitif terhadap bahaya daripada ancaman lainnya. Ketika kita tidak bisa mengatasi emosi seperti kekecewaan, frustrasi, iri, kesedihan dan ukuran emosi-emosi itu mulai memenuhi toples emosi, tubuh kita akan memulai respon stress.

Dan bukan hanya perasaan sulit itu sendiri yang mendorong tubuh kita untuk merasa tidak aman. Kita juga merasa tertekan akan mengalami kesusahan (feel distress over having distress), atau mengalami rasa takut akan ketakutan (fear of fear). Dengan kata lain, ketika kita mulai berpikir, "saya harus menghilangkan perasaan ini." rasa tertekan itu tumbuh dan berkembang bukan sebagai reaksi dari pengalaman nyata yang asli, tapi karena kita percaya bahwa emosi negatif ini salah, buruk, menakutkan, atau berlebihan. Itulah mengapa kita sering mendapati anak-anak sekarang begitu pengecut, karena mereka tidak terbiasa menghadapi tantangan atau mengalami kekalahan. Baru diberi tugas, sudah bilang stress padahal belum dikerjakan. Kesulitan mengerjakan tugas, rasanya ingin mati. Dan saya tidak melebih-lebihkan, anak-anak sekarang benar-benar mudah untuk menyerah karena di dalam tubuh mereka mengatakan bahwa bukan perasaan itu yang seharusnya mereka rasakan. Bukan kesulitan yang seharusnya mereka hadapi. Seharusnya saya bahagia, bukan menghadapi kesulitan seperti ini

Pada akhirnya, seperti inilah bagaimana kecemasan menguasai diri seseorang. Dan sepertinya bukan hanya anak-anak, kita orang dewasa pun sudah mulai terjebak dengan sugesti ini. Jargon-jargon jangan lupa bahagia sudah berhasil menyetir pikiran kita bahwa hanya bahagialah satu-satunya emosi yang boleh kita rasakan. Sehingga ketika mengalami kesulitan, serta merta kita mempertanyakan takdir dan merasakan kecemasan. Maka istilah anxiety sekarang menjadi sangat lumrah kita dengar. Kecemasan adalah ketidaktoleranan terhadap ketidaknyamanan. Tubuh kita tidak akan membiarkan kita untuk rileks jika kita percaya bahwa perasaan dalam diri kita terlalu kuat dan menakutkan. Dan pada akhirnya, kita tidak akan pernah bahagia karena toples emosi kita dikuasai oleh rasa cemas. Padahal seharusnya tidak perlu seperti itu. Kalau saja kita biasa mengelola rasa frustrasi, kekecewaan, iri, dan kesedihan-kesedihan yang lain maka semakin banyak ruang yang kita miliki untuk memupuk kebahagiaan. Mengatur emosi pada dasarnya mengembangkan bantalan di sekitar perasaan-perasaan itu, melembutkannya dan mencegahnya menghabiskan seluruh toples. Regulatin first, happines second.

Jika diterjemahkan ke dalam pengasuhan anak; semakin luas rentang perasaan yang dapat kita beri nama dan toleransi pada anak-anak kita, semakin luas juga rentang perasaan yang dapat mereka kelola dengan aman, sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk merasa nyaman dengan diri mereka sendiri. Itulah pentingnya kita ajarkan ketangguhan kepada mereka. Ketangguhan, dalam banyak hal, adalah kemampuan kita untuk mengalami berbagai macam emosi dan tetap merasa seperti diri kita sendiri. Ketangguhan membantu kita bangkit kembali dari stress, kegagalan, kesalahan dan kesulitan dalam hidup kita. Ketangguhan, memungkinkan munculnya kebahagiaan.

***

Satu hal lagi yang menarik tentang hal ini, adalah bahwa analogi toples emosi itu sesungguhnya sudah kita kenal dalam budaya Islam dan Indonesia; lapang dada. Kalau kita cari, tidak ada padanan kata lapang dada dalam bahasa Inggris. Dan lapang dada adalah idiom yang juga dekat dengan nilai-nilai Islam. Setiap kali ada tema tentang kesulitan disebut dalam Al-Quran maka akan disebut tentang hati yang sempit. Dan Rasulullah adalah manusia yang telah dilapangkan dadanya oleh Allah. Sehingga beliau bisa mengatur emosi-emosi negatif dalam hidupnya dan tidak hilang arah. 

Bagaimana Allah menumbuhkan ketangguhan dalam diri Rasulullah dan orang-orangg beriman? Jika kita lihat sejarah, Rasulullah tidaklah kebal terhadap stress atau perjuangan -dan memang itulah kenyataan hidup yang tidak bisa kita hindari- tapi ketangguhan beliau memperlihatkan kepada kita bagaimana beliau menghadapi saat-saat sulit  dan mengalaminya. Orang yang tangguh lebih mampu mengatasi saat-saat yang penuh tekanan. Dan ketangguhan bukanlah sifat bawaan. Ketangguhan adalah sebuah keterampilan yang dapat dikembangkan. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang mampu membantu menanamkannya kepada anak-anak kita sejak dini. Karena kita tidak bisa selalu mengubah penyebab stress di sekitar kita, tapi kita selalu bisa mengupayakan kemampuan kita untuk menambah daya tahan.

Mencatat dengan pena, antara dalil dan sains

Selasa, 21 November 2023

Dengan kemajuan teknologi saat ini, menulis dengan tangan mungkin sudah bukan cara yang menarik lagi dalam belajar. Saya sendiri mulai menyadari bahwa tradisi menulis mulai luntur sejak semakin canggihnya kamera yang tertanam di smartphone. Di setiap kajian yang saya hadiri, makin jarang orang yang mencatat dengan buku dan pena. Kebanyakan hanya memotret apa yang ditampilkan di layar proyektor. Jika ada yang cukup rajin mencatat di aplikasi note di HPnya. Tidak berbeda jauh ketika kajian online, pertanyaan "nanti slidenya akan dishare, kan?" seperti sudah jadi tradisi.

Lebih jauh lagi, sekarang bahkan ada fitur baru -yang sebenarnya tidak terlalu baru juga- yang bisa mengubah suara menjadi tulisan. Pertama kali saya melihat hal seperti itu di film Body of Lies yang dibintangi DiCaprio tahun 2008. Nggak pernah menyangka kalau itu beneran bakal jadi kenyataan. Akhirnya sekarang, alih-alih mengetik dengan jari kita bisa memilih untuk langsung bicara dan gawai akan langsung mengubah suara kita menjadi tulisan.

Tapi seiring dengan perkembangan teknologi catat-mencatat itu, ternyata ada orang-orang yang merasa bahwa tradisi menulis dengan tangan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Lalu dilakukanlah berbagai penelitian untuk mencari tahu apa manfaat menulis dengan tangan dan bagaimana hubungannya dengan latihan kognitif.

Photo by eleni koureas on Unsplash

Dari sebuah artikel saya merangkum 20 manfaat yang akan kita dapatkan ketika menulis atau mencatat ilmu dengan tangan;

1. Menstimulasi area otak yang bertanggungjawab untuk belajar

Menulis catatan dengan tangan melibatkan bagian otak yang disebut Reticular Activating System (Sistem Pengaktifan Retikuler). Ini adalah semacam filter untuk segala sesuatu yang diproses oleh otak kita. Sistem ini menetapkan prioritas yang lebih tinggi untuk materi yang sedang kita fokuskan saat ini, sehingga menghasilkan retensi informasi yang lebih baik. 

2. Mencegah distraksi

Ada alasan mengapa sekarang muncul begitu banyak aplikasi untuk membantu kita fokus. Karena ada terlalu banyak gangguan ketika kita bekerja di depan komputer atau menggunakan smartphone. Dengan menggunakan pena dan kertas, kita meniadakan semua gangguan yang mungkin terjadi sehingga bisa fokus pada pikiran dan materi pelajaran.

Beberapa orang yang rutin mengupload video study vlog di instagram ada yang mengatakan bahwa mereka merekam proses belajar dengan menggunakan HP agar ketika belajar tidak diganggu dengan notifikasi HP sehingga bisa fokus belajar.

3. Peningkatan fungsi kognitif

Ketika masih kecil, kita pasti sering mendengar peribahasa tentang pentingnya belajar yang disamakan seperti pisau yang tidak pernah diasah. Makin lama tidak diasah, otak akan menjadi tumpul seperti pisau yang berkarat. Ya, otak kita tidak akan bertambah tajam seiring bertambahnya usia. Namun seperti halnya kulit yang mengalami penuaan, otak juga mengalaminya. Salah satu cara untuk mencegah atau menunda proses penuaan otak adalah dengan menulis. Berlatih menulis dengan tangan melibatkan keterampilan motorik, meningkatkan proses berpikir, dan meningkatkan daya ingat, yang semuanya memiliki pengaruh positif pada otak secara keseluruhan.

4. Mendapat manfaat meditasi

Penelitian membuktikan bahwa menulis dengan tangan memiliki pengaruh yang mirip dengan meditasi pada otak. Alasannya adalah karena proses menulis meningkatkan tingkat aktivitas saraf di bagian otak tertentu. Maka tidak heran kalau sekarang banyak sekali kelas-kelas atau workshop menulis dengan tujuan healing atau meditasi. Saya sendiri banyak sekali melihat iklan-iklan kelas seperti itu di beranda instagram.

If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. - Steve Jobs-

5. Memperlambat proses berpikir secara positif

Tidak seperti mengetik yang cepat, menulis dengan tangan dapat meningkatkan kesadaran (mindfulness) dan mencegah kita dari sikap terburu-buru dalam berpikir. Hal ini tentu berdampak positif karena memungkinkan otak untuk beristirahat lebih banyak, yang kemudian dapat meningkatkan kreativitas.

6. Integrasi dan kombinasi beberapa fungsi tubuh dan otak

Menulis dengan tangan meningkatkan efisiensi otak. Proses menulis dengan tangan membantu otak mengembangkan spesialisasi fungsional. Proses ini mengintegrasikan pemikiran, kontrol gerakan dan sensasi. Dengan kata lain, beberapa bagian otak terlibat dalam tugas pada saat yang bersamaan.

7. Peningkatan keterampilan motorik

Tulisan tangan yang baik membutuhkan koordinasi mata dan tangan yang khusus. Tidak hanya itu, kebutuhannya pun berbeda-beda untuk setiap huruf dalam alfabet. Oleh karena itu, menulis dengan tangan juga berfungsi sebagai latihan untuk keterampilan motorik yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan yang tepat.

8. Meningkatkan daya ingat

Menulis catatan dengan tangan membantu kita mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang informasi dan mengingatnya kembali. Menggunakan tulisan tangan tidak hanya membantu kita mengingat informasi dengan lebih baik, tetapi juga memungkinkan kita menafsirkannya dengan lebih leluasa, mengungkapkan pemahaman yang lebih dalam tentang materi.

Oleh karena itu, mencatat atau menulis ulang kitab menjadi salah satu tradisi belajar yang masih dijaga di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia sampai hari ini. Karena kekuatan ilmu seorang muslim datang dari kuatnya hafalan, maka menulis dengan tangan menjadi salah satu alat paling utama untuk menjaga ilmu.

I like the process of pencil and paper as opposed to a machine. I think the writing is better when it's done in handwriting. -Nelson DeMille-

9. Meningkatkan rasa percaya diri

At some point, tulisan tangan adalah sebuah tantangan yang menarik. Pada awalnya hanya merupakan tantangan untuk belajar menulis, tapi kemudian kita dapat melatih diri kita untuk menulis lebih cepat atau lebih kaligrafis. Mengatasi tantangan yang berhubungan dengan tulisan tangan akan membuat kita lebih percaya diri, bersama dengan peningkatan memori, daya ingat dan ketangkasan.

10. Meningkatkan kemungkinan mencapai tujuan belajar

Studi menunjukkan bahwa orang yang menuliskan tujuan mereka cenderung memiliki peluang lebih tinggi untuk mencapainya. Salah satu alasannya adalah karena mereka dapat berbagi tujuan yang telah mereka tulis dengan orang lain. Oleh karena itu, mereka memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar untuk benar-benar mencapainya.

11. Membantu proses belajar bahasa

Ada hubungan yang kuat antara bahasa lisan dan tulisan; perkembangan bahasa yang satu mengarah pada peningkatan bahasa yang lain. Menulis dengan tangan berdampak pada proses neurologis yang mendukung kemampuan literasi (termasuk bahasa lisan, menulis, dan membaca) dan membantu penulis untuk mendapatkan keotomatisan dan kefasihan. Oleh karena itu, orang yang belajar bahasa selalu memiliki buku catatan. Dan kalau kita ingin belajar bahasa baru tapi tidak punya buku catatan, kesempatan untuk berhasil dalam belajar sudah turun dengan sendirinya. Jika ingin belajar bahasa baru, siapkan buku catatan!

12. Melibatkan kedua belahan otak (kanan dan kiri)

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tulisan tangan memerlukan kombinasi fungsi kognitif dan keterampilan motorik. Tidak heran jika tulisan tangan melibatkan kedua belahan otak. Sementara mengetik hanya menuntut sedikit sekali fungsi otak, menulis dengan tangan lebih menantang karena menuntut otak kita untuk lebih banyak bekerja.

My handwriting was nothing to write home about, and I had this idea that calligraphy was like taking latin in high school: that it was one of the bricks, the building bricks, that you had to understand about the forms of writing. -Katherine Dunn-

13. Meningkatkan motivasi

Yang satu ini sebagian besar bisa diterapkan pada anak-anak yang belum bisa menulis dengan baik. Ini adalah keterampilan yang perlu dikuasai setiap anak, dan mengetahui bahwa menulis dengan baik adalah hal yang mungkin dilakukan akan membantu mereka tetap termotivasi. Setelah itu, perasaan berhasil akan membantu mereka bertahan dalam tantangan-tantangan selanjutnya.

Sejujurnya saya sedikit kecewa melihat kenyataan saat ini pelajaran menulis tidak mendapat porsi yang cukup banyak di tingkat pendidikan dasar. Qia, yang sekarang sudah kelas 3 tidak pernah tuntas mendapat pelajaran menulis di sekolah. Ketika saya perhatikan Aqsha yang sekarang duduk di kelas 1, pun terulang kembali. Di awal tahun ajaran saya sudah senang ketika guru kelasnya mengatakan akan fokus pada belajar menulis dan membaca. Tapi ternyata setelah masuk bulan September Aqsha sudah mulai belajar mata pelajaran lain dan menulis mulai disingkirkan dari kegiatan belajar sekolah. Sangat berbeda dengan saya dulu yang masih belajar menulis tegak bersambung sampai kelas 4 SD.

14. Meningkatkan disiplin diri

Mempelajari tulisan kursif juga membantu mengembangkan disiplin diri. Setelah berhasil beberapa kali, akan muncul keinginan untuk beralih ke penguasaan keterampilan yang lebih menyeluruh. Pengetahuan untuk memperoleh keterampilan akan menjadi tujuan akhir, dan untuk mencapainya hanya mungkin dilakukan dengan disiplin yang cukup.

15. Lebih banyak kreativitas

Menulis kata-kata di atas kertas memberi kita perasaan yang lebih kuat untuk benar-benar menciptakan sesuatu. Kombinasi dari sifat meditatif, gerakan tanga yang lambat dan stabil membantu tulisan tangan kita meningkatkan kreatifitas.

Handwriting is a spiritual designing, even though it appears by means of a material instrument. -Euclid-

16. Keterampilan komposisi yang lebih baik

Studi yang dilakukan pada siswa sekolah menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan pena dan kertas dapat menulis esai yang lebih panjang dengan kalimat yang lebih lengkap. Tidak mengherankan jika banyak penulis yang memuji tulisan tangan dan lebih memilihnya daripada mengetik naskah mereka.

17. Peningkatan kinerja akademik

Ada hubungan antara prestasi akademik yang baik dan tulisan tangan yang baik. Ketika tulisan siswa terbaca dan terlihat meyakinkan, prestasi akademik mereka biasanya dapat mengarah pada peningkatan bidang lain dalam bentuk pencapaian yang konsisten.

Saya sendiri menemukan anak-anak yang kecerdasannya di atas rata-rata memang biasanya memiliki tulisan tangan yang rapi, meskipun tidak selalu indah. Dan anak-anak dengan tulisan rapi atau indah dengan kemampuan kognitif yang standar bahkan rendah, biasanya adalah anak-anak yang tekun belajar.

18. Mengurangi 'mindless information processing'

Ketika kita mengetik kata-kata di keyboard, kita hanya mengandalkan jari-jari untuk memilih huruf yang diperlukan tanpa proses berpikir yang sebenarnya. Di sisi lain, menulis dengan tangan membuat otak kita terus aktif, mencegah kita melamun dan menyalin informasi tanpa berpikir.

19. Latihan motorik sensorik

Gerakan yang terjadi saat menulis dengan tangan bertindak sebagai latihan motorik sensorik yang luar biasa. Otak menerima umpan balik dari tindakan tubuh, yang membantu membangun hubungan yang lebih kuat antara apa yang sedang ditulis sekarang dan apa yang akan dibaca nanti.

20. Keterampilan problem solving yang lebih baik

Tulisan tangan dianggap sebagai variasi dalam menerjemahkan ide ke dalam gambar (atau sketsa kasar) untuk meningkatkan proses pemecahan masalah. Representasi visual dari pemikiran kita yang dibuat dengan tangan dapat membantu dalam memahami materi.

Photo by Jay-Pee Peña 🇵🇭 on Unsplash

Ketika menyimak kajian tafsir dan tadabbur Surat Al-'Alaq, salah satu yang membuat saya merenung adalah tentang pena. Urgensi mencatat ilmu, bagi saya bukan sesuatu yang perlu dimuraja'ah karena sudah diajarkan sejak kecil dan merupakan kewajiban tidak tertulis ketika masih belajar di pesantren. Tapi saya sempat termenung sebentar ketika ustadz menjelaskan bahwa pena ini tidak bisa digantikan dengan yang lainnya.

Cobalah menulis dengan pena sungguhan, bukan diganti dengan aplikasi catatan di HP, apalagi sekadar screenshot. Jujur, saya dulu sempat berpikir bahwa tidak apa-apa menulis dengan catatan digital. Toh sama-sama mencatat. Ternyata, bahkan menulis tangan dengan tablet masih tidak lebih baik dibanding menulis tangan dengan pena dan kertas.

Jadi tidak heran kalau para ulama tidak meremehkan perintah Rasulullah saw untuk mencatat ilmu. Karena ilmu yang hanya didengar, hati akan sulit untuk mengingatnya. Jika hati sudah lupa, maka ilmu akan hilang perlahan-lahan. Oleh karena itu, penting sekali untuk mencatat ilmu. Bahkan di beberapa pesantren, mencatat ilmu memiliki beberapa persyaratan. Harus dengan tinta tertentu, ditulis dengan cara tertentu hingga jenis penanya pun ditentukan. Tujuannya tidak lain adalah untuk memaksimalkan hasil belajar. Agar ilmu yang dipelajari semakin tertanam di hati.

Maka saya tidak habis pikir ketika mendapati murid-murid yang tidak punya buku catatan dan merasa cukup dengan hanya buku pegangan yang diberikan sekolah. Saking mentoknya, saya pernah tanyakan kepada mereka apakah tidak ada keinginan untuk punya catatan dari tulisan tangan sendiri. Ternyata mereka bilang tidak pernah mencatat selama sekolah. Sejak kelas 1 SD sampai SMP tidak pernah ada tugas untuk mencatat.

Dulu, mungkin kita menganggap tugas merangkum atau menulis kembali isi buku adalah tugas aneh yang tidak ada manfaatnya. Tapi sekarang lihatlah, anak-anak kita bahkan tidak bisa mengambil intisari dari sebuah kalimat. Tidak bisa menilai mana yang penting dan mana yang hanya merupakan tambahan dalam sebuah buku teks. Lebih jauh lagi, anak-anak seumuran anak saya bahkan tidak diajarkan menulis dengan tuntas, tidak diajarkan membaca sampai tuntas, tapi ujug-ujug punya buku pegangan dengan teks dan narasi-narasi yang panjang. Kurikulum kita benar-benar sudah gila.

Makin jauh memikirkan nasib pendidikan anak-anak kita, makain khawatir saya dengan masa depan generasi yang akan datang. Dulu, orang tua kita akan menyerahkan urusan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah dan mengawal pembentukan karakter dan perangai kita dari rumah. Sekarang, sejujurnya saya sudah sangat kasihan dengan guru sekolah. Betapa besar tanggung jawab yang harus mereka pikul, mendidik anak-anak yang kehilangan orang tua di rumah dan masih harus dituntut tugas-tugas negara yang tidak ada habisnya.

Kalau dibandingkan dengan saya sendiri, rasanya Qia kelas 3 SD saat ini masih belum mengerti apa-apa dibanding saya kelas 3 dulu. Bukan hanya dalam pelajaran, tapi yang paling mendasar itu; menulis dan membaca. Masih banyak yang harus dia kejar. Dan ini sejujurnya membuat saya kadang merasa hopeless dengan sekolah dan biayanya yang selangit itu.

Tiba-tiba jalan-jalan

Minggu, 05 November 2023

 


Perjalanan kali ini sebenarnya sudah saya perkirakan walaupun nggak terlalu diinginkan. Sejak awal tahun ajaran baru suami saya sudah menyampaikan kalau dia akan jadi pendamping field trip lagi, dan dia bilang akan pergi selama 10 hari. Awalnya dia bilang kalau saya harus nyiapin ini-itu selama dia pergi. Tapi aslinya saya tahu kalau dia nggak akan bisa ninggalin saya di rumah sendiri sama anak-anak. Jadi ketika dia akhirnya bilang kalau saya dan anak-anak harus ikut, saya udah tahu.

Yang saya nggak tahu adalah pengalaman nggak menyenangkan selama perjalanan. Well, setiap jalan-jalan memang nggak pernah menyenangkan sih, buat saya. Tapi khusus untuk kali ini ternyata lebih parah dari yang biasanya. Bukan cuma saya merasa nggak nyaman selama di jalan, ternyata saya malah sakit berat sejak hari ke-3 sampai pulang ke rumah. Padahal awalnya saya sudah berencana untuk bikin tulisan bagus untuk blogpost ini, tapi karena sibuk sakit akhirnya malah cuma rebahan dan nahan sakit aja di bus dan yang dipikirin cuma pengen cepet-cepet pulang.

Jadi, di postingan kali ini saya nggak bisa banyak cerita (kayak biasanya banyak cerita aja?! 😅) dan hanya akan share foto-foto yang sempat saya ambil selama perjalanan.

Langit Jakarta yang menakutkan


Sejak naik kapal, saya sudah curiga waktu melihat kabut tebal di luar. Karena biasanya kami bisa melihat pulau Jawa dengan cukup baik ketika masih di laut. Tapi selama perjalanan berangkat, yang terlihat hanya kabut (atau asap?). Saya sempat berpikir kalau itu adalah jejak bekas hujan. Tapi karena selama beberapa bulan ini tidak ada berita tentang hujan, akhirnya saya cukup yakin kalau itu adalah kabut asap. 

Awalnya saya pikir mendung, tapi cuaca sedang sangat panas.


Benar-benar nggak bisa lihat apa-apa.


Cuma kabut asap sepanjang mata memandang.


Setelah memasuki daerah Jakarta, dugaan saya tentang kabut asap yang kami lihat di kapal jadi makin kuat karena jelas-jelas langit Jakarta sangat kotor. Sayangnya saya nggak sempat ambil foto ketika bus kami melewati Jakarta, tapi sekarang saya jadi mengerti betapa berbahayanya kualitas udara di Jakarta.

Kediri yang panas


Tempat pertama yang dikunjungi adalah Kediri. Di sini anak-anak belajar bahasa Inggris selama 3 hari di sebuah lembaga bimbingan bahasa Inggris di Pare. Qia dan Aqsha lumayan merasa nyaman karena memang kami hanya tinggal di kos-kosan sementara anak-anak belajar. Qia dan Aqsha sempat membantu pembimbing ngajar anak-anak dan itu jadi kenangan cukup menyenangkan buat mereka.


Hal pertama yang saya ingat tentang Kediri adalah waktu shalat yang jauh lebih awal dari Lampung. Kami berangkat dari Lampung hari Kamis pagi dan diberi tahu bahwa akan tiba di Kediri besok paginya. Karena sudah berpengalaman dari perjalanan sebelumnya, di mana shalat subuh selalu jadi waktu shalat paling tricky selama di jalan maka saya mempersiapkan diri di bus untuk berjaga-jaga, kalau-kalau bus tidak akan tiba di tempat tujuan tepat waktu.

Dan benar saja, belum jam 4 pagi HP saya sudah azan. Seperti yang sudah saya duga, tempat singgah yang dituju masih jauh sehinga bus tidak akan berhenti di tempat random untuk shalat. Jadi saya wudhu dengan air mineral yang saya siapkan dan shalat di bus. Saya memutuskan untuk nggak peduli dengan anak-anak karena nggak mau bikin masalah dengan orang-orang yang berwenang. 😌

Selama di Kediri, saya selalu merasa salah setiap kali masuk waktu shalat. Seperti misalnya shalat dzuhur, saya selalu menunggu lewat jam 12 karena rasanya aneh kalau melaksanakan shalat dzuhur sebelum jam 12 😂. Shalat maghrib pun sebelum jam 6 sore. Bikin saya jadi berpikir lagi tentang hakikat waktu yang ternyata memang relatif sekali. Karena kalau dipikir-pikir, nggak ada bedanya shalat subuh jam 4 atau jam 4.30 karena pada dasarnya bukan Kediri yang shalat lebih awal tapi memang lokasinya yang lebih dekat dengan matahari terbit.




Hal lain yang saya notice selama di Kediri adalah cuacanya yang panas. Di Bandar Lampung, cuaca maksimal di tengah hari adalah 34° sementara di Kediri 37° dan tidak banyak angin berhembus. Mungkin ada kaitannya juga dengan lokasi saya yang tinggal di pegunungan sehingga Kediri terasa sangat panas.


Di Kediri kami sempat berkunjung ke salah satu tempat wisata yang menurut saya mirip Payungi di Metro, walaupun saya sendiri belum pernah juga ke Payungi 😅. Lalu main ke Simpang Lima dan foto-foto di sana. Walaupun saya sendiri cuma dapat 1 foto, tapi paling tidak ada bukti kalau pernah ke sana.







Bromo, lalu sudah


Minggu malam kami bertolak ke Bromo, dan sampai menjelang subuh. Kira-kira sekitar jam 3 pagi. Satu hal yang saya sesalkan tentang Bromo adalah karena saya tidak menyiapkan apapun untuk ke sana. Untungnya Qia dan Aqsha adalah anak-anak yang sangat mudah merasa kepanasan sehingga udara dingin di Bromo tidak terlalu mempengaruhi mereka. Dan tentu saja saya yang paling merasa menderita selama berada di sana. 

Saya adalah orang yang walaupun sekarang cuaca sedang sangat panas, tetap tidur pakai selimut setiap malam. Yang akan langsung masuk angin kalau sebentar saja kena kipas angin. Dan tiba-tiba ke Bromo tanpa membawa jaket dan persiapan yang lainnya. Di Bromo inilah saya mulai merasa tidak enak badan, diare, lanjut demam, sakit perut sampai tiba di rumah sepekan kemudian. Makanya foto-fotonya berakhir di sini karena setelah dari Bromo saya hanyalah ibu-ibu tidak berguna yang gegoleran di bus sambil sesekali mengganggu petugas kesehatan meminta obat.




Mengapa generasi muda kita begitu lemah?

Selasa, 31 Oktober 2023


Photo by tabitha turner on Unsplash

Di media sosial, terutama instagram banyak sekali saya menemukan konten tentang perbedaan antar generasi. Paling banyak saya temui adalah yang temanya tentang parenting dan dunia kerja. Rata-rata intinya menunjukkan bahwa generasi Z adalah generasi yang lemah, mudah mengeluh dan sangat rapuh. Sebagai guru selama kurang lebih 10 tahun, saya pun setuju bahwa makin ke sini anak-anak yang lahir setelah tahun 1995 lebih sulit untuk dihadapi. Dan ternyata ada kajian menarik mengenai fenomena ini.

Setiap generasi suka mengeluh tentang generasi yang akan datang. Hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan. Kita yang muslim pasti pernah mendengar tentang percakapan Ali bin Abi Thalib ketika ditanya salah seorang warganya ketika menjadi khalifah,

'Abidatu as-Salmaini berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Wahai Amirul Mukminin! Apakah gerangan Abu Bakar dan Umar, mengapa semua rakyat tunduk dan patuh kepada keduanya? Wilayah kekuasaan yangg semula lebih sempit dari satu jengkal lalu meluas dalam kekuasaan mereka? Lalu saat engkau dan Utsman menggantikan posisi keduanya, rakyat tidak lagi tunduk dan patuh terhadap kalian berdua, sehingga kekuasaan yang luas ini menjadi sempit buat kalian?"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Karena rakyat mereka berdua adalah orang-orang yang seperti aku dan Utsman, sementara rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang yang sepertimu."

Dalam hadits Rasulullah saw juga sudah mengisyaratkan bahwa generasi yang datang setelah generasi sahabat akan makin menurun kualitasnya, "Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian setelahnyna, kemudian setelahnya." (HR Bukhari & Muslim)

Photo by Yuri Shirota on Unsplash

Dalam sebuah video Youtube yang menghadirkan seorang Social psychologist -Jonathan Haidt, disebutkan bahwa salah satu penyebab anak-anak di Amerika menjadi rapuh adalah karena mereka dibesarkan dengan prinsip "moral dependency". Mereka jarang bermain ke luar rumah dengan teman-temannya. Lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan gawainya dan berinteraksi dengan cara itu. Generasi Z adalah anak-anak yang mengenal media sosial sejak usia 13 tahun atau bahkan kurang dari itu. Mereka mendapatkan materi dan konten anti-bullying bahkan di sekolah, dan mendapatkan lebih banyak pengawasan dari manusia dewasa. Secara umum, generasi Z tidak mendapatkan kebebasan yang didapat oleh generasi sebelumnya. Karena selalu ada orang dewasa yang bisa mereka datangi setiap menghadapi masalah akhirnya mereka menjadi lebih kesulitan untuk menyelesaikan masalah sendiri.

When we protect children from unpleasantness, from conflicts, from insults, from teasing, from exclusion, we are setting them up to be weak, to be more easily damaged, to be more easily discouraged.

Lalu mengapa generasi Z begitu dilindungi?

Pada tahun 1980an, ada beberapa kasus penculikan terkenal dan diberitakan di televisi. Lalu muncul iklan layanan masyarakat tentang bahayanya anak yang dibiarkan sendirian di luar rumah atau berbicara dengan orang asing. Hingga akhirnya para orangtua merasa panik dan berpikir bahwa jika anak-anak berada diluar jangkauan perhatian mereka maka anak-anak akan diculik. Hal ini terus berlanjut hingga masuk di tahun 1990an, ada semacam konsensus para orang tua bahwa anak-anak tidak bisa bermain sendiri ke luar rumah sebelum berusia 14 atau 15 tahun.

Saya sendiri masih ingat dulu ada beberapa kali masanya kasus penculikan anak begitu marak diberitakan di televisi maupun dari mulut ke mulut. Ada beberapa saatnya ketika bapak dan mamak berinisiatif menjemput sendiri setiap saya pulang sekolah. Namun itu tidak berlangsung lama, mungkin karena kondisi masyarakat Indonesia yang secara ekonomi jauh di bawah Amerika sehingga propaganda dengan cara seperti itu tidak terlalu berhasil.

Di Amerika, Lenore Skenazy, yang menulis buku "Free Range Kids" menjadi terkenal sebagai "ibu terburuk di Amerika" karena pada tahun 2009, ia membiarkan putranya yang berusia 9 tahun menaiki kereta bawah tanah New York City. Padahal anaknya baik-baik saja, bahkan merasa senang karena dia merasa telah belajar sesuatu yang baru. Dia merasa bisa keluar melihat dunia. Sama persis seperti waktu pertama kali saya naik angkot sendirian dari sekolah ke pasar. Ketika saya muncul sendirian ke toko orang tua saya di pasar, mereka sangat kaget dan khawatir. Tapi melihat saya baik-baik saja akhirnya mereka malah mengatakan, "oh kamu sudah besar sekarang."

Jonathan Haidt menjelaskan dalam video tersebut, dalam sepanjang sejarah manusia, normalnya usia 8-12 tahun adalah masa dimana anak-anak melatih kemandirian, berpetualang, membuat rakit dan mengarungi sungai. Namun kita merampas periode itu dan mengatakan kepada mereka, "kamu belum boleh melakukan ini/itu" hingga semuanya sudah terlambat dan tiba-tiba ketika anak kita berusia 17-18 tahun kita berkata, "sekarang pergilah kuliah." Mereka tidak siap, karena mereka tidak terbiasa mandiri. Ketika mereka masuk kuliah, mereka butuh lebih banyak bantuan.

They are asking adults for more help. 'Protect me from this. Punish him for saying that. Protect me from that book.' Students are thinking in terms of safety and danger. Students say, by their own admission, they are more fragile. They use a language of fragility, weakness, trauma, triggering. They see triggers all over the world.

Waktu menyimak video itu, saya merasa sangat relate dengan pemaparannya. Kita pun di sini sering sekali mendapati anak-anak yang mudah ketrigger, kan? Kena kritik sedikit langsung stress, dikasih beban tugas agak banyakan langsung depresi, capek sedikit langsung merasa butuh healing. Mengapa? Karena mereka menganggap dunia ini penuh dengan trigger. Memangnya trigger itu apa sih?

Salah satu definisi dari trigger adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang merasa kesal, takut atau cemas. Haidt menjelaskan, kita seharusnya tidak mengajarkan kepada anak bahwa dunia ini tempat yang berbahaya. We should teach them to live in a world that is physically quite safe, but full of offensive statements and ideas, especially on the internet.

Lalu di salah satu video lain yang saya temukan, ada satu asumsi lain tentang alasan dibalik lemahnya generasi Z. Yaitu mereka tidak pernah merasakan 'delay of gratification". Generasi Z adalah anak-anak yang lahir dengan berbagai kemudahan. Mereka tidak perlu menunggu satu minggu untuk menikmati acara TV favorit ditayangkan. Mereka lahir ketika bimbingan belajar privat sedang tumbuh menjamur. Dan ditambah dengan kehadiran internet, apa saja yang mereka butuhkan -bahkan yang tidak dibutuhkan- bisa dengan mudah mereka akses lewat gawai dalam genggaman. Menariknya, sebenarnya konsep ini adalah sebuah prinsip hidup yang sangat melekat dengan ajaran Islam. 

Pekan lalu ketika meeting pekanan bersama Rahmah Study Club, kami membahas surat Adh-Dhuha. Dan ketika menyimak kajian Ustadz Budi Ashari mengenai ayat 5 beliau mengatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang bagaimana Allah menanamkan konsep pendidikan pada diri Rasulullah saw. yaitu dengan kesabaran. Bahwa Allah berjanji akan memberi kepada Rasulullah saw, tapi nanti. Dan janji Allah pasti ditepati. Menjadi miris jika ternyata prinsip pendidikan ini ternyata tidak kita terapkan juga kepada anak-anak kita karena pola pikir 'yang penting anak saya bahagia.'

Photo by Hannah Busing on Unsplash

Pada intinya, jika kita ingin membesarkan generasi yang dapat menghadapi segala jenis tantangan, kita perlu menyelaraskan praktik pendidikan kita dengan beberapa prinsip psikologis yang sangat mendasar dan penting. Lagi-lagi Jonathan Haidt mengingatkan;

We are all prone to motivated reasoning and the confirmation bias, and we're all prone to tribalism, and black-and-white thinking. We need to be educating kids so that they do less of this stuff.

Kita semua rentan terhadap motivated reasoning dan bias konfirmasi, dan kita semua rentan terhadap kesukuan, dan pemikiran hitam-putih. Kita perlu mendidik anak-anak agar mereka mengurangi hal-hal ini.

Motivated reasoning(?)

Always trust your feelings. Dengarkan kata hatimu. Terdengar bijaksana dan romantis, ya? Ternyata pemikiran seperti ini tidak sepenuhnya benar. Orang-orang bijak di seluruh dunia telah memperhatikan bahwa kita tidak bereaksi terhadap dunia sebagaimana adanya, melainkan melalui konstruksi dan persepsi.

Epictetus berkata, "Bukan hal-hal itu yang mengganggu kita, melainkan interpretasi kita terhadap hal-hal tersebut yang mengganggu kita." Jonathan Haidt mengutip perkataan Homer Simpson -karakter di The Simpson- yang menurut saya cukup menarik. "Shut up, brain! Or I'll stab you with a Q-tp!" Self-talk!!! Otak kita tidak pernah berhenti, dia terus bekerja dan dalam aktifitasnya otak bekerja untuk melindungi diri kita. Jika kita tidak mengendalikannya, maka kita akan dikalahkan oleh persepsi kita terhadap dunia luar yang terkadang dipengaruhi oleh emosi. Maka, tradisi self-talk yang mengarah pada self-control yang sudah diwariskan para ulama kita sejak generasi salaf, mestinya kita lestarikan lagi. Bukan self-talk yang justru melemahkan diri karena kita tunduk pada emosi.

Mari kita simak bagaimana Fudhail bin Iyadh melakukan self-talk untuk mengendalikan dirinya;

Wahai orang yang malang, engkau berbuat buruk sementara engkau memandang dirimu sebagai orang yang berbuat kebaikan

Engkau adalah orang yang bodoh sementara enggkau justru menilai dirimu sebagai orang berilmu

Engkau kikir sementara engkau mengira dirimu orang yang pemurah

Engkau dungu sementara engkau melihat dirimu cerdas

Ajalmu sangatlah pendek, sedangkan angan-anganmu sangatlah panjang.

Haidt mengatakan bahwa di kampus-kampus saat ini para mahasiswa didorong untuk mengikuti perasaan mereka. Jika mereka merasa tersinggung oleh sesuatu, maka mereka merasa telah diserang. Mereka seharusnya tidak mengikuti perasaan itu. Tetapi orang yang bijaksana akan berkata, "sebentar, apakah ada cara lain untuk menghadapi ini?" 

These are crucial skills for critical thinking. These are crucial skills for mental health. And we need to be teaching young people at all stages to question their first interpretations, look for evidence, and improve the way they interpret the world.

Cognitive Behavioral Therapy/CBT (Terapi Perilaku Kognitif)

CBT merupakan cara untuk mengajarkan orang melakukan persis seperti apa yang disebutkan di atas. Mempertanyakan perasaan mereka dan mencari bukti. Dalam CBT, kita akan mempelajari sekitar 15 distorsi/kesalahan logika dalam berpikir; memburuk-burukkan, berpikir hitam-putih, memberi label, atau menebak pikiran. Aaron Beck, seorang psikiater pada tahun 1960an memperhatikan bahwa orang yang depresi dan cemas memiliki cara berpikir bahwa, "Saya buruk. Masa depan itu buruk. Masa depan saya - dan dunia adalah tempat yang buruk." Cara berpikir seperti ini, bertemu dengan lingkungan yang tidak mendukung akan semakin menguatkan perasaan depresi.

Jika kita bisa memperbaiki pemikiran dan mematahkan keyakinan-keyakinan yang melemahkan maka kita akan terbebas dari depresi. Haidt menjelaskan bahwa ada cara-cara lain untuk mengatasi pola pikir keliru namun CBT adalah praktik yang paling mudah dan sudah terbukti memiliki dampak yang besar terhadap berbagai penyakit mental, terutama yang berhubungan dengan depresi dan kecemasan. Dan jika kita melihat kembali ke Islam, sesungguhnya CBT ini juga bukan hal yang asing bagi kita.

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ

"...Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan bisa jadi kamu mencintai sesuatu padahal itu buruk bagimu..." (Al-Baqarah 216)

Ayat di atas berbicara tentang kewajiban perang yang tidak mungkin disukai oleh manusia. Namun Allah mengajarkan kepada kita pada hal ini, bahwa sesungguhnya hal yang tidak kita sukai tidak selalu buruk bagi kita. Dan selama kita percaya kepada Allah, tidak ada yang buruk bagi orang yang beriman. Bahkan musibah dan kesulitan hidup adalah berkah dan kasih sayang dari Allah jika kita memiliki persepsi yang benar terhadap takdir Allah.

Pertanyaannya adalah, bisakah kita mengajarkan kepada anak-anak kita tentang konsep ini? Karena tentu saja kita tidak bisa meminta sekolah untuk mengambil alih semua tugas pendidikan ini. Jika kita bisa mengajarkan bagaimana cara berpikir yang benar tentang hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka, maka insyaallah anak-anak kita akan menjadi lebih tahan terhadap gangguan-gangguan yang mungkin lebih besar di masa yang akan datang.

Photo by Nik on Unsplash

Kesukuan/Rasisme

Jika kita pikirkan lagi, manusia selalu ingin bersaing dengan manusia lainnya. Haidt mengatakan bahwa sifat manusia sangat cocok untuk konflik antarkelompok atau antar suku. Dan ini terbukti dari sejarah nenek moyang kita, bahkan hingga saat ini.

Secara umum, kita berusaha untuk mengubah sejarah kelam itu tanpa menghilangkan naluri bersaing kita. Kini kita memiliki olimpiade, lomba persaudaraan dan bermacam-macam kompetisi. Hal ini tentu menyenangkan dan baik untuk kita, namun di sisi lain kadang bisa menjadi bumerang jika diiringi dengan kefanatikan. Di sekolah atau kampus, kita melihat bentuk-bentuk pendidikan yang mengajarkan siswa untuk membuat semakin banyak perbedaan dan membuat mereka -lagi-lagi- membuat persepsi bahwa orang-orang yang kaya biasanya buruk dan yang lebih rendah biasanya baik. Atau persepsi-persepsi lain.

Saya setuju bahwa ego kesukuan ini adalah pedang bermata dua. Jika terlalu fanatik maka bisa jatuh pada rasisme, namun jika dinegasikan seluruhnya akan menghilangkan identitas diri seorang manusia. Lalu apa hubungannya dengan kelemahan mental generasi kita?

Generasi Z hidup di masa tembok-tembok perbatasan nasional sudah tidak terlihat. Qia, anak saya misalnya (generasi Alpha) sudah memiliki teman dari berbagai negara melalui game Roblox. Dia perlu untuk menyiapkan dirinya dalam berinteraksi dengan teman-temannya yang merupakan masyarakat dunia, maka ego kesukuannya harus ditekan. Namun di sisi lain, identitasnya sebagai muslim dan orang Indonesia seharusnya tidak hilang agar kebanggaan terhadap identitas dirinya tidak hilang.

Masalah yang sering dihadapi generasi Z berkaitan dengan hal ini adalah diantara 2 hal; mereka yang terlalu membanggakan diri dan kelompoknya sehingga fenomena bullying semakin marak terjadi di mana-mana, atau justru yang kehilangan jati diri karena merasa dirinya tidak bisa fit in dengan lingkungan dimana dirinya berada. Anak-anak kita butuh self-awareness yang kuat agar tidak mudah terjebak pada salah satunya.

Photo by Susan Wilkinson on Unsplash

Jika kita menengok pada tujuan manusia diciptakan bersuku-suku, dalam Al-Qur'an Allah mengatakan bahwa tujuannya adalah supaya kita saling mengenal. Lebih awal sebelum ayat tersebut, kita diperintahkan agar tidak mudah berprasangka. Perasaan menganggap golongan atau orang lain berbeda dalam keutamaan membuat kita mudah merasa kecil atau justru jumawa. Maka pemahaman yang tepat tentang QS Al-Hujurat ayat 12-13 sangat diperlukan agar anak-anak kita bisa membawa dirinya dengan persepsi yang benar tentang manusia lain, tentang kesetaraan dan pergaulan. Dengan begitu, semoga mereka menjadi anak yang lebih percaya diri namun juga penuh toleransi.

Drama sakit gigi di Klinik Imam Bonjol Bandar Lampung

Sabtu, 21 Oktober 2023

Hari ini saya memeriksakan gigi untuk ketiga kalinya setelah 2 kali sebelumnya saya lakukan sejak setahun lalu. 3 kali periksa, 3 kali juga ganti dokter. Sungguh sebuah petualangan buat saya karena rasanya aneh saja ketika satu gigi ini harus ditangani 3 orang dokter yang punya pendapat beda-beda.

Jadi ceritanya setahun yang lalu saya memutuskan untuk memeriksakan gigi karena mulai merasakan ngilu luar biasa setiap kali makan. Saya memutuskan untuk pindah faskes dulu sebelum periksa karena tahu biaya ke dokter gigi itu tidaklah murah. Tapi karena satu dan lain hal, prosesnya butuh waktu agak lama jadi akhirnya saya ikhlaskan diri untuk periksa tanpa tanggungan BPJS.

Sore hari, sekitar jam 5 saya ke klinik Imam Bonjol dekat pasar gintung. Di sana saya harus menunggu dulu sekian lama sampai dokternya datang. Alhamdulillah antrean saat itu tidak banyak, saya masuk ruangan setelah sebelumnya seorang anak cabut gigi. Begitu masuk, saya sempat kaget karena dokter giginya seorang perempuan muda. Bukan apa-apa, selama ini saya selalu diberi tahu bahwa dokter gigi di klinik ini adalah seorang "ummahat tertarbiyah". Tapi karena sudah terlanjur masuk, yasudah saya tetap konsultasi saja.

Pemeriksaan pertama ini paling berkesan buat saya. Saya cukup yakin bu dokter ini masih baru karena dia terlihat tidak terlalu familiar dengan alat-alat yang ada di klinik tersebut. Tapi yang menyenangkan, cara dia memeriksa dan menjelaskan membuat saya ingin melanjutkan tindakan sama dia. Waktu lihat kondisi gigi saya, dia langsung tahu kalau saya tidak pernah ke dokter gigi. Dan menjelaskan, "jangan dikira gigi yang terlihat bersih itu nggak bisa berlubang lho, Bu." 

Meskipun saya bilang yang sakit di gigi kiri, dia sampai periksa semua area mulut saya. Dan dari situlah terkonfirmasi kalau saya punya 2 gigi bungsu atas yang harus segera dicabut. Bahkan yang di kanan sudah mulai membusuk. Saya nggak tahu karena memang posisinya sangat tersembunyi di belakang dan nggak akan terlihat kalau cuma dengan bercermin sambil mangap. Dan melihat gigi lainnya yang bersih, makanya bu dokter menyimpulkan kalau saya terlalu PD dengan kondisi kesehatan mulut saya.

Gigi saya cenderung bersih. Entah kenapa, nggak terlihat ada lubang apapun. Makanya pas saya merasa sakit gigi, saya agak curiga. Kok bisa sakit padahal nggak ada lubang. Ternyata pemirsa, bakterinya cuma buat lubang kecil dan menggerogoti dari dalam. Jadi gigi saya bolong di dalam tapi terlihat sehat dari luar. Dan bu dokter bilang kalau dia curiga bukan cuma gigi yang sakit saja yang seperti itu kondisinya. Sambil mukul-mukul gigi yang lain, dia menyarankan untuk cabut gigi bungsunya dulu karena nanti bisa berakibat fatal. "Tapi nggak bisa di sini cabut giginya ya, Bu."

Singkat cerita, pemeriksaan periksa menghabiskan biaya Rp. 175.000 dan saya harus kembali sepekan kemudian. Saya puas karena pemeriksaannya sangat edukatif walaupun tindakannya agak bikin horor. 😅 

Sepekan kemudian, saya kembali ke klinik dengan bekal BPJS. Ternyata salah dong. Rupanya dokter yang saya temui pertama kali itu hanya dokter pengganti dan jadwal sebenarnya untuk dokter gigi itu adalah pagi hari. Kecewa, batin saya waktu itu, "kok ya nggak bilang dari awal toh, mbak? Padahal kan waktu ambil obat waktu itu saya udah bilang disuruh balik lagi sama dokternya."

Akhirnya saya pulang lagi, dan menyusun jadwal baru lagi sambil berpikir kapan bisa izin periksa kalau harus menyesuaikan jadwal sama dokter yang cuma menerima pasien pagi hari? Singkat cerita, saya baru kembali ke klinik beberapa pekan kemudian. Tepatnya bulan Februari tahun ini. Dan akhirnya ketemu sama dokter asli yang bertugas. 

Terus terang, pengalaman kedua ini agak kurang menyenangkan buat saya. Di awal ketika tahu bahwa tidak ada dokter gigi di klinik pada sore hari, saya diberi tahu bahwa harus buat janji dulu untuk periksa gigi. Tapi admin chat klinik agak kurang menyenangkan. Dan begitu juga admin resepsionis di klinik ketika saya datang pun, tidak terlalu ramah. Saya juga bukan tipe orang yang minta disenyumin dan dihormati, lho. Tapi entah kenapa pokoknya saya merasa pelayanan waktu itu kurang nyaman buat saya.

Dan yang bikin tambah males adalah ketika sudah masuk ruangan pemeriksaan, dokternya nggak banyak ngomong. Harapan saya untuk melanjutkan konsultasi pun kandas. Bu dokter kali ini cuma nanya tindakan apa yang saya dapat di pertemuan pertama lalu langsung minta saya rebahan di kursi panasnya dokter gigi yang serem itu. Tanpa ba bi bu, gigi saya di odol-odol sambil saya disuruh kumur-kumur beberapa kali. Setelah selesai saya dikasih resep dan diminta kembali 2 pekan kemudian. Nggak ada cerita ngecek kondisi kesehatan mulut secara keseluruhan, nggak ada penjelasan apa-apa.



Pertemuan yang kurang menyenangkan ini yang jadi salah satu alasan saya nggak melanjutkan pemeriksaan sampai hari ini. Beberapa pekan sebelumnya saya coba untuk buat jadwal lewat chat WA seperti seharusnya. Cuma dijawab salam doang. 😐 Tapi karena 3 hari belakangan gigi saya sudah mulai kumat lagi, akhirnya saya terpaksa coba buat jadwal lagi. Surprisingly, jawabannya enak dibaca. Dan di chat adminnya bilang kalau bisa periksa gigi di hari sabtu, padahal sebelumnya jadwal dokter gigi cuma hari Senin-Jumat. Jadilah tadi pagi saya dianter suami ke klinik untuk periksa.

Begitu sampai klinik, kami disambut salah satu admin yang ternyata kenal sama kami. Tapi kami nggak kenal dia. (Maaf ya, mbak admin). Saya sih curiga dia salah satu wali murid kami tapi kaminya aja yang nggak tahu. Suasana klinik juga jauh berbeda dengan waktu pertama dan kedua saya ke sana. Petugas kali ini beda dengan sebelumnya, dan mereka nggak terlihat judes walaupun nggak ramah juga. I mean, mereka ramah tanpa dibuat-buat. They just being themselves gitu, lho. Nggak maksain senyam-senyum dan nggak juga berusaha nutupin capeknya. Pokoknya santai aja. Saya juga diajarin cara buat pendaftaran pakai aplikasi BPJS.

Saya sudah menyiapkan diri untuk ketemu sama bu dokter irit. Tapi ternyata dokternya beda lagi, cuy. 😆 Kali ini dokter muda lagi dan bu dokter langsung tanya kenapa baru kembali setelah sekian bulan. Dengan ingah-ingih saya jelaskan sambil sedikit improvisasi alasan. Bahwa susah minta izin dari tempat kerja sampai akhirnya saya lupa. Nggak bohong kok, cuma nggak bilang aja alasan sebenarnya. 🤪

Setelah diperiksa dan dipukul-pukul giginya, bu dokter bilang kalau gigi saya harus mendapat tindakan perawatan akar. Agak bingung saya jawab kalau tindakan sebelumnya juga disebut perawatan akar sama dokternya. Lalu bu dokter bilang yang saya artikan bahwa tindakan perawatan akar yang sekarang beda sama yang dulu karena kondisi gigi saya udah bahaya. Jadi harus dirujuk ke Rumah Sakit yang ternyata bukan RSU. Agak lega dengarnya karena sejujurnya saya belum pernah punya pengalaman bagus sama Rumah Sakit Umum di Bandar Lampung. Dan saya dikasih antibiotik sama paracetamol, untuk kembali lagi beberapa hari kemudian untuk minta surat rujukan.

Bu dokter yang ketiga ini nggak terlalu ceria seperti dokter pertama dan nggak terlalu irit seperti dokter 'asli'. Tapi bikin saya lega akhirnya dapet kejelasan bahwa saya harus dapet tindakan yang pasti di Rumah Sakit. Nanti pengalaman di Rumah Sakit akan saya update lagi.

Tentang Palestina saat ini

Kamis, 19 Oktober 2023

Photo by Latrach Med Jamil on Unsplash

Terakhir kali tragedi yang cukup besar di Palestina yang saya ingat adalah peristiwa Sheikh Jarrah. Saya sampai beli beberapa buku tentang Palestina untuk mengedukasi diri tentang Palestina. Karena walaupun selama ini aware dengan isu Palestina, saya belum pernah mendapat pengetahuan melalui buku dan sumber yang bervariasi. Rata-rata hanyalah artikel atau kajian-kajian yang disampaikan oleh ustadz-ustadz atau para relawan yang banyak di Indonesia.


Lalu sekarang, setelah kejadian 7 oktober lalu dan penyerangan ke Gaza bertubi-tubi sampai jutaan warga terpaksa mengungsi dan dibombardir akhirnya banyak mata mulai melihat Palestina. Sampai-sampai beberapa influencer yang saya ikuti, yang biasanya tidak pernah berkomentar tentang Palestina, menautkan link donasi untuk Gaza. Penulis-penulis, artis pun mulai bersuara. Dan ini yang saya pikirkan; "Harus sebegitu besar pengorbanan rakyat Palestina supaya dunia mau melihat mereka."

Jadi begini isi pikiran saya. Palestina, baik itu di Tepi Barat maupun Gaza, selama ini sudah terjajah. Setiap kali ada tragedi penjarahan, pembunuhan, dan lain-lain kita selalu bersuara. Salah satu contohnya yang paling saya ingat ya Shaikh Jarrah itu. Tapi, pembicaraan mengenai Sheikh Jarrah tidak pernah sampai mendapat atensi sebesar ini. Dan kita semua tahu apa yang melatarbelakangi pembicaraan tentang Palestina saat ini. Ya, penyerangan Hamas di tanah Israel.

Kita tidak pernah benar-benar tahu seberapa parah akibat yang ditimbulkan serangan itu, tapi yang jelas itu sangat membuat marah sampai-sampai Israel lalu meratakan Gaza dengan kejam. Banyak spekulasi muncul, salah satunya yang paling ekstrim adalah ini semua hanyalah rencana Hamas dan Israel untuk membersihkan Gaza. Bahwa Hamas adalah buatan Israel atau Amerika, dan lain-lain, dan sebagainya.

Jika Palestina yang diserang, media dan orang-orang tidak akan meliput dan membicarakan. Jika Palestina yang diusir, media dan orang-orang tidak akan peduli. Tapi ketika Israel yang diserang, media dan Amerika akan bicara dan orang-orang akan melihat. Orang yang dungu akan menonton berita dan membuat kesimpulan, tapi orang-orang yang bisa berpikir menonton berita dan mempertanyakan. Saya pikir dari situlah akhirnya kenapa sekarang banyak orang bersuara dan memilih kubunya masing-masing.

Dari situlah pikiran saya mengganggu tidur-tidur saya selama kurang lebih 10 hari ini. Betapa besar pengorbanan rakyat Gaza untuk mendapat perhatian dan pembelaan dari masyarakat dunia. Apakah memang itu rencana Hamas yang sesungguhnya? Terlepas dari kenyataan kita sebagai muslim yang harus membela dan justru lebih mengenaskan dibanding para syahid di sana, saya pikir tragedi ini diperlukan untuk kita bisa melihat dan memisahkan antara kebenaran dan kebathilan. Terlebih di dunia yang sudah makin tidak jelas warnanya sekarang ini.

Dengan pikiran seperti ini, perasaan saya jadi campur aduk. Senang karena akhirnya Palestina mendapat perhatian yang mereka layak dapatkan, tapi juga sedih dengan pengorbanan yang harus dilakukan untuk mendapatkannya. Senang karena mengetahui masih banyak orang-orang yang peduli dengan nasib Palestina, tapi juga miris dengan sesama muslim di Indonesia yang masih saja salah sasaran melakukan aksi boikot Israelnya. 😥


© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.