SLIDER

Mengapa generasi muda kita begitu lemah?

Selasa, 31 Oktober 2023


Photo by tabitha turner on Unsplash

Di media sosial, terutama instagram banyak sekali saya menemukan konten tentang perbedaan antar generasi. Paling banyak saya temui adalah yang temanya tentang parenting dan dunia kerja. Rata-rata intinya menunjukkan bahwa generasi Z adalah generasi yang lemah, mudah mengeluh dan sangat rapuh. Sebagai guru selama kurang lebih 10 tahun, saya pun setuju bahwa makin ke sini anak-anak yang lahir setelah tahun 1995 lebih sulit untuk dihadapi. Dan ternyata ada kajian menarik mengenai fenomena ini.

Setiap generasi suka mengeluh tentang generasi yang akan datang. Hal itu bukan sesuatu yang mengejutkan. Kita yang muslim pasti pernah mendengar tentang percakapan Ali bin Abi Thalib ketika ditanya salah seorang warganya ketika menjadi khalifah,

'Abidatu as-Salmaini berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Wahai Amirul Mukminin! Apakah gerangan Abu Bakar dan Umar, mengapa semua rakyat tunduk dan patuh kepada keduanya? Wilayah kekuasaan yangg semula lebih sempit dari satu jengkal lalu meluas dalam kekuasaan mereka? Lalu saat engkau dan Utsman menggantikan posisi keduanya, rakyat tidak lagi tunduk dan patuh terhadap kalian berdua, sehingga kekuasaan yang luas ini menjadi sempit buat kalian?"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Karena rakyat mereka berdua adalah orang-orang yang seperti aku dan Utsman, sementara rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang yang sepertimu."

Dalam hadits Rasulullah saw juga sudah mengisyaratkan bahwa generasi yang datang setelah generasi sahabat akan makin menurun kualitasnya, "Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian setelahnyna, kemudian setelahnya." (HR Bukhari & Muslim)

Photo by Yuri Shirota on Unsplash

Dalam sebuah video Youtube yang menghadirkan seorang Social psychologist -Jonathan Haidt, disebutkan bahwa salah satu penyebab anak-anak di Amerika menjadi rapuh adalah karena mereka dibesarkan dengan prinsip "moral dependency". Mereka jarang bermain ke luar rumah dengan teman-temannya. Lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan gawainya dan berinteraksi dengan cara itu. Generasi Z adalah anak-anak yang mengenal media sosial sejak usia 13 tahun atau bahkan kurang dari itu. Mereka mendapatkan materi dan konten anti-bullying bahkan di sekolah, dan mendapatkan lebih banyak pengawasan dari manusia dewasa. Secara umum, generasi Z tidak mendapatkan kebebasan yang didapat oleh generasi sebelumnya. Karena selalu ada orang dewasa yang bisa mereka datangi setiap menghadapi masalah akhirnya mereka menjadi lebih kesulitan untuk menyelesaikan masalah sendiri.

When we protect children from unpleasantness, from conflicts, from insults, from teasing, from exclusion, we are setting them up to be weak, to be more easily damaged, to be more easily discouraged.

Lalu mengapa generasi Z begitu dilindungi?

Pada tahun 1980an, ada beberapa kasus penculikan terkenal dan diberitakan di televisi. Lalu muncul iklan layanan masyarakat tentang bahayanya anak yang dibiarkan sendirian di luar rumah atau berbicara dengan orang asing. Hingga akhirnya para orangtua merasa panik dan berpikir bahwa jika anak-anak berada diluar jangkauan perhatian mereka maka anak-anak akan diculik. Hal ini terus berlanjut hingga masuk di tahun 1990an, ada semacam konsensus para orang tua bahwa anak-anak tidak bisa bermain sendiri ke luar rumah sebelum berusia 14 atau 15 tahun.

Saya sendiri masih ingat dulu ada beberapa kali masanya kasus penculikan anak begitu marak diberitakan di televisi maupun dari mulut ke mulut. Ada beberapa saatnya ketika bapak dan mamak berinisiatif menjemput sendiri setiap saya pulang sekolah. Namun itu tidak berlangsung lama, mungkin karena kondisi masyarakat Indonesia yang secara ekonomi jauh di bawah Amerika sehingga propaganda dengan cara seperti itu tidak terlalu berhasil.

Di Amerika, Lenore Skenazy, yang menulis buku "Free Range Kids" menjadi terkenal sebagai "ibu terburuk di Amerika" karena pada tahun 2009, ia membiarkan putranya yang berusia 9 tahun menaiki kereta bawah tanah New York City. Padahal anaknya baik-baik saja, bahkan merasa senang karena dia merasa telah belajar sesuatu yang baru. Dia merasa bisa keluar melihat dunia. Sama persis seperti waktu pertama kali saya naik angkot sendirian dari sekolah ke pasar. Ketika saya muncul sendirian ke toko orang tua saya di pasar, mereka sangat kaget dan khawatir. Tapi melihat saya baik-baik saja akhirnya mereka malah mengatakan, "oh kamu sudah besar sekarang."

Jonathan Haidt menjelaskan dalam video tersebut, dalam sepanjang sejarah manusia, normalnya usia 8-12 tahun adalah masa dimana anak-anak melatih kemandirian, berpetualang, membuat rakit dan mengarungi sungai. Namun kita merampas periode itu dan mengatakan kepada mereka, "kamu belum boleh melakukan ini/itu" hingga semuanya sudah terlambat dan tiba-tiba ketika anak kita berusia 17-18 tahun kita berkata, "sekarang pergilah kuliah." Mereka tidak siap, karena mereka tidak terbiasa mandiri. Ketika mereka masuk kuliah, mereka butuh lebih banyak bantuan.

They are asking adults for more help. 'Protect me from this. Punish him for saying that. Protect me from that book.' Students are thinking in terms of safety and danger. Students say, by their own admission, they are more fragile. They use a language of fragility, weakness, trauma, triggering. They see triggers all over the world.

Waktu menyimak video itu, saya merasa sangat relate dengan pemaparannya. Kita pun di sini sering sekali mendapati anak-anak yang mudah ketrigger, kan? Kena kritik sedikit langsung stress, dikasih beban tugas agak banyakan langsung depresi, capek sedikit langsung merasa butuh healing. Mengapa? Karena mereka menganggap dunia ini penuh dengan trigger. Memangnya trigger itu apa sih?

Salah satu definisi dari trigger adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang merasa kesal, takut atau cemas. Haidt menjelaskan, kita seharusnya tidak mengajarkan kepada anak bahwa dunia ini tempat yang berbahaya. We should teach them to live in a world that is physically quite safe, but full of offensive statements and ideas, especially on the internet.

Lalu di salah satu video lain yang saya temukan, ada satu asumsi lain tentang alasan dibalik lemahnya generasi Z. Yaitu mereka tidak pernah merasakan 'delay of gratification". Generasi Z adalah anak-anak yang lahir dengan berbagai kemudahan. Mereka tidak perlu menunggu satu minggu untuk menikmati acara TV favorit ditayangkan. Mereka lahir ketika bimbingan belajar privat sedang tumbuh menjamur. Dan ditambah dengan kehadiran internet, apa saja yang mereka butuhkan -bahkan yang tidak dibutuhkan- bisa dengan mudah mereka akses lewat gawai dalam genggaman. Menariknya, sebenarnya konsep ini adalah sebuah prinsip hidup yang sangat melekat dengan ajaran Islam. 

Pekan lalu ketika meeting pekanan bersama Rahmah Study Club, kami membahas surat Adh-Dhuha. Dan ketika menyimak kajian Ustadz Budi Ashari mengenai ayat 5 beliau mengatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang bagaimana Allah menanamkan konsep pendidikan pada diri Rasulullah saw. yaitu dengan kesabaran. Bahwa Allah berjanji akan memberi kepada Rasulullah saw, tapi nanti. Dan janji Allah pasti ditepati. Menjadi miris jika ternyata prinsip pendidikan ini ternyata tidak kita terapkan juga kepada anak-anak kita karena pola pikir 'yang penting anak saya bahagia.'

Photo by Hannah Busing on Unsplash

Pada intinya, jika kita ingin membesarkan generasi yang dapat menghadapi segala jenis tantangan, kita perlu menyelaraskan praktik pendidikan kita dengan beberapa prinsip psikologis yang sangat mendasar dan penting. Lagi-lagi Jonathan Haidt mengingatkan;

We are all prone to motivated reasoning and the confirmation bias, and we're all prone to tribalism, and black-and-white thinking. We need to be educating kids so that they do less of this stuff.

Kita semua rentan terhadap motivated reasoning dan bias konfirmasi, dan kita semua rentan terhadap kesukuan, dan pemikiran hitam-putih. Kita perlu mendidik anak-anak agar mereka mengurangi hal-hal ini.

Motivated reasoning(?)

Always trust your feelings. Dengarkan kata hatimu. Terdengar bijaksana dan romantis, ya? Ternyata pemikiran seperti ini tidak sepenuhnya benar. Orang-orang bijak di seluruh dunia telah memperhatikan bahwa kita tidak bereaksi terhadap dunia sebagaimana adanya, melainkan melalui konstruksi dan persepsi.

Epictetus berkata, "Bukan hal-hal itu yang mengganggu kita, melainkan interpretasi kita terhadap hal-hal tersebut yang mengganggu kita." Jonathan Haidt mengutip perkataan Homer Simpson -karakter di The Simpson- yang menurut saya cukup menarik. "Shut up, brain! Or I'll stab you with a Q-tp!" Self-talk!!! Otak kita tidak pernah berhenti, dia terus bekerja dan dalam aktifitasnya otak bekerja untuk melindungi diri kita. Jika kita tidak mengendalikannya, maka kita akan dikalahkan oleh persepsi kita terhadap dunia luar yang terkadang dipengaruhi oleh emosi. Maka, tradisi self-talk yang mengarah pada self-control yang sudah diwariskan para ulama kita sejak generasi salaf, mestinya kita lestarikan lagi. Bukan self-talk yang justru melemahkan diri karena kita tunduk pada emosi.

Mari kita simak bagaimana Fudhail bin Iyadh melakukan self-talk untuk mengendalikan dirinya;

Wahai orang yang malang, engkau berbuat buruk sementara engkau memandang dirimu sebagai orang yang berbuat kebaikan

Engkau adalah orang yang bodoh sementara enggkau justru menilai dirimu sebagai orang berilmu

Engkau kikir sementara engkau mengira dirimu orang yang pemurah

Engkau dungu sementara engkau melihat dirimu cerdas

Ajalmu sangatlah pendek, sedangkan angan-anganmu sangatlah panjang.

Haidt mengatakan bahwa di kampus-kampus saat ini para mahasiswa didorong untuk mengikuti perasaan mereka. Jika mereka merasa tersinggung oleh sesuatu, maka mereka merasa telah diserang. Mereka seharusnya tidak mengikuti perasaan itu. Tetapi orang yang bijaksana akan berkata, "sebentar, apakah ada cara lain untuk menghadapi ini?" 

These are crucial skills for critical thinking. These are crucial skills for mental health. And we need to be teaching young people at all stages to question their first interpretations, look for evidence, and improve the way they interpret the world.

Cognitive Behavioral Therapy/CBT (Terapi Perilaku Kognitif)

CBT merupakan cara untuk mengajarkan orang melakukan persis seperti apa yang disebutkan di atas. Mempertanyakan perasaan mereka dan mencari bukti. Dalam CBT, kita akan mempelajari sekitar 15 distorsi/kesalahan logika dalam berpikir; memburuk-burukkan, berpikir hitam-putih, memberi label, atau menebak pikiran. Aaron Beck, seorang psikiater pada tahun 1960an memperhatikan bahwa orang yang depresi dan cemas memiliki cara berpikir bahwa, "Saya buruk. Masa depan itu buruk. Masa depan saya - dan dunia adalah tempat yang buruk." Cara berpikir seperti ini, bertemu dengan lingkungan yang tidak mendukung akan semakin menguatkan perasaan depresi.

Jika kita bisa memperbaiki pemikiran dan mematahkan keyakinan-keyakinan yang melemahkan maka kita akan terbebas dari depresi. Haidt menjelaskan bahwa ada cara-cara lain untuk mengatasi pola pikir keliru namun CBT adalah praktik yang paling mudah dan sudah terbukti memiliki dampak yang besar terhadap berbagai penyakit mental, terutama yang berhubungan dengan depresi dan kecemasan. Dan jika kita melihat kembali ke Islam, sesungguhnya CBT ini juga bukan hal yang asing bagi kita.

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ

"...Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan bisa jadi kamu mencintai sesuatu padahal itu buruk bagimu..." (Al-Baqarah 216)

Ayat di atas berbicara tentang kewajiban perang yang tidak mungkin disukai oleh manusia. Namun Allah mengajarkan kepada kita pada hal ini, bahwa sesungguhnya hal yang tidak kita sukai tidak selalu buruk bagi kita. Dan selama kita percaya kepada Allah, tidak ada yang buruk bagi orang yang beriman. Bahkan musibah dan kesulitan hidup adalah berkah dan kasih sayang dari Allah jika kita memiliki persepsi yang benar terhadap takdir Allah.

Pertanyaannya adalah, bisakah kita mengajarkan kepada anak-anak kita tentang konsep ini? Karena tentu saja kita tidak bisa meminta sekolah untuk mengambil alih semua tugas pendidikan ini. Jika kita bisa mengajarkan bagaimana cara berpikir yang benar tentang hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka, maka insyaallah anak-anak kita akan menjadi lebih tahan terhadap gangguan-gangguan yang mungkin lebih besar di masa yang akan datang.

Photo by Nik on Unsplash

Kesukuan/Rasisme

Jika kita pikirkan lagi, manusia selalu ingin bersaing dengan manusia lainnya. Haidt mengatakan bahwa sifat manusia sangat cocok untuk konflik antarkelompok atau antar suku. Dan ini terbukti dari sejarah nenek moyang kita, bahkan hingga saat ini.

Secara umum, kita berusaha untuk mengubah sejarah kelam itu tanpa menghilangkan naluri bersaing kita. Kini kita memiliki olimpiade, lomba persaudaraan dan bermacam-macam kompetisi. Hal ini tentu menyenangkan dan baik untuk kita, namun di sisi lain kadang bisa menjadi bumerang jika diiringi dengan kefanatikan. Di sekolah atau kampus, kita melihat bentuk-bentuk pendidikan yang mengajarkan siswa untuk membuat semakin banyak perbedaan dan membuat mereka -lagi-lagi- membuat persepsi bahwa orang-orang yang kaya biasanya buruk dan yang lebih rendah biasanya baik. Atau persepsi-persepsi lain.

Saya setuju bahwa ego kesukuan ini adalah pedang bermata dua. Jika terlalu fanatik maka bisa jatuh pada rasisme, namun jika dinegasikan seluruhnya akan menghilangkan identitas diri seorang manusia. Lalu apa hubungannya dengan kelemahan mental generasi kita?

Generasi Z hidup di masa tembok-tembok perbatasan nasional sudah tidak terlihat. Qia, anak saya misalnya (generasi Alpha) sudah memiliki teman dari berbagai negara melalui game Roblox. Dia perlu untuk menyiapkan dirinya dalam berinteraksi dengan teman-temannya yang merupakan masyarakat dunia, maka ego kesukuannya harus ditekan. Namun di sisi lain, identitasnya sebagai muslim dan orang Indonesia seharusnya tidak hilang agar kebanggaan terhadap identitas dirinya tidak hilang.

Masalah yang sering dihadapi generasi Z berkaitan dengan hal ini adalah diantara 2 hal; mereka yang terlalu membanggakan diri dan kelompoknya sehingga fenomena bullying semakin marak terjadi di mana-mana, atau justru yang kehilangan jati diri karena merasa dirinya tidak bisa fit in dengan lingkungan dimana dirinya berada. Anak-anak kita butuh self-awareness yang kuat agar tidak mudah terjebak pada salah satunya.

Photo by Susan Wilkinson on Unsplash

Jika kita menengok pada tujuan manusia diciptakan bersuku-suku, dalam Al-Qur'an Allah mengatakan bahwa tujuannya adalah supaya kita saling mengenal. Lebih awal sebelum ayat tersebut, kita diperintahkan agar tidak mudah berprasangka. Perasaan menganggap golongan atau orang lain berbeda dalam keutamaan membuat kita mudah merasa kecil atau justru jumawa. Maka pemahaman yang tepat tentang QS Al-Hujurat ayat 12-13 sangat diperlukan agar anak-anak kita bisa membawa dirinya dengan persepsi yang benar tentang manusia lain, tentang kesetaraan dan pergaulan. Dengan begitu, semoga mereka menjadi anak yang lebih percaya diri namun juga penuh toleransi.

Drama sakit gigi di Klinik Imam Bonjol Bandar Lampung

Sabtu, 21 Oktober 2023

Hari ini saya memeriksakan gigi untuk ketiga kalinya setelah 2 kali sebelumnya saya lakukan sejak setahun lalu. 3 kali periksa, 3 kali juga ganti dokter. Sungguh sebuah petualangan buat saya karena rasanya aneh saja ketika satu gigi ini harus ditangani 3 orang dokter yang punya pendapat beda-beda.

Jadi ceritanya setahun yang lalu saya memutuskan untuk memeriksakan gigi karena mulai merasakan ngilu luar biasa setiap kali makan. Saya memutuskan untuk pindah faskes dulu sebelum periksa karena tahu biaya ke dokter gigi itu tidaklah murah. Tapi karena satu dan lain hal, prosesnya butuh waktu agak lama jadi akhirnya saya ikhlaskan diri untuk periksa tanpa tanggungan BPJS.

Sore hari, sekitar jam 5 saya ke klinik Imam Bonjol dekat pasar gintung. Di sana saya harus menunggu dulu sekian lama sampai dokternya datang. Alhamdulillah antrean saat itu tidak banyak, saya masuk ruangan setelah sebelumnya seorang anak cabut gigi. Begitu masuk, saya sempat kaget karena dokter giginya seorang perempuan muda. Bukan apa-apa, selama ini saya selalu diberi tahu bahwa dokter gigi di klinik ini adalah seorang "ummahat tertarbiyah". Tapi karena sudah terlanjur masuk, yasudah saya tetap konsultasi saja.

Pemeriksaan pertama ini paling berkesan buat saya. Saya cukup yakin bu dokter ini masih baru karena dia terlihat tidak terlalu familiar dengan alat-alat yang ada di klinik tersebut. Tapi yang menyenangkan, cara dia memeriksa dan menjelaskan membuat saya ingin melanjutkan tindakan sama dia. Waktu lihat kondisi gigi saya, dia langsung tahu kalau saya tidak pernah ke dokter gigi. Dan menjelaskan, "jangan dikira gigi yang terlihat bersih itu nggak bisa berlubang lho, Bu." 

Meskipun saya bilang yang sakit di gigi kiri, dia sampai periksa semua area mulut saya. Dan dari situlah terkonfirmasi kalau saya punya 2 gigi bungsu atas yang harus segera dicabut. Bahkan yang di kanan sudah mulai membusuk. Saya nggak tahu karena memang posisinya sangat tersembunyi di belakang dan nggak akan terlihat kalau cuma dengan bercermin sambil mangap. Dan melihat gigi lainnya yang bersih, makanya bu dokter menyimpulkan kalau saya terlalu PD dengan kondisi kesehatan mulut saya.

Gigi saya cenderung bersih. Entah kenapa, nggak terlihat ada lubang apapun. Makanya pas saya merasa sakit gigi, saya agak curiga. Kok bisa sakit padahal nggak ada lubang. Ternyata pemirsa, bakterinya cuma buat lubang kecil dan menggerogoti dari dalam. Jadi gigi saya bolong di dalam tapi terlihat sehat dari luar. Dan bu dokter bilang kalau dia curiga bukan cuma gigi yang sakit saja yang seperti itu kondisinya. Sambil mukul-mukul gigi yang lain, dia menyarankan untuk cabut gigi bungsunya dulu karena nanti bisa berakibat fatal. "Tapi nggak bisa di sini cabut giginya ya, Bu."

Singkat cerita, pemeriksaan periksa menghabiskan biaya Rp. 175.000 dan saya harus kembali sepekan kemudian. Saya puas karena pemeriksaannya sangat edukatif walaupun tindakannya agak bikin horor. 😅 

Sepekan kemudian, saya kembali ke klinik dengan bekal BPJS. Ternyata salah dong. Rupanya dokter yang saya temui pertama kali itu hanya dokter pengganti dan jadwal sebenarnya untuk dokter gigi itu adalah pagi hari. Kecewa, batin saya waktu itu, "kok ya nggak bilang dari awal toh, mbak? Padahal kan waktu ambil obat waktu itu saya udah bilang disuruh balik lagi sama dokternya."

Akhirnya saya pulang lagi, dan menyusun jadwal baru lagi sambil berpikir kapan bisa izin periksa kalau harus menyesuaikan jadwal sama dokter yang cuma menerima pasien pagi hari? Singkat cerita, saya baru kembali ke klinik beberapa pekan kemudian. Tepatnya bulan Februari tahun ini. Dan akhirnya ketemu sama dokter asli yang bertugas. 

Terus terang, pengalaman kedua ini agak kurang menyenangkan buat saya. Di awal ketika tahu bahwa tidak ada dokter gigi di klinik pada sore hari, saya diberi tahu bahwa harus buat janji dulu untuk periksa gigi. Tapi admin chat klinik agak kurang menyenangkan. Dan begitu juga admin resepsionis di klinik ketika saya datang pun, tidak terlalu ramah. Saya juga bukan tipe orang yang minta disenyumin dan dihormati, lho. Tapi entah kenapa pokoknya saya merasa pelayanan waktu itu kurang nyaman buat saya.

Dan yang bikin tambah males adalah ketika sudah masuk ruangan pemeriksaan, dokternya nggak banyak ngomong. Harapan saya untuk melanjutkan konsultasi pun kandas. Bu dokter kali ini cuma nanya tindakan apa yang saya dapat di pertemuan pertama lalu langsung minta saya rebahan di kursi panasnya dokter gigi yang serem itu. Tanpa ba bi bu, gigi saya di odol-odol sambil saya disuruh kumur-kumur beberapa kali. Setelah selesai saya dikasih resep dan diminta kembali 2 pekan kemudian. Nggak ada cerita ngecek kondisi kesehatan mulut secara keseluruhan, nggak ada penjelasan apa-apa.



Pertemuan yang kurang menyenangkan ini yang jadi salah satu alasan saya nggak melanjutkan pemeriksaan sampai hari ini. Beberapa pekan sebelumnya saya coba untuk buat jadwal lewat chat WA seperti seharusnya. Cuma dijawab salam doang. 😐 Tapi karena 3 hari belakangan gigi saya sudah mulai kumat lagi, akhirnya saya terpaksa coba buat jadwal lagi. Surprisingly, jawabannya enak dibaca. Dan di chat adminnya bilang kalau bisa periksa gigi di hari sabtu, padahal sebelumnya jadwal dokter gigi cuma hari Senin-Jumat. Jadilah tadi pagi saya dianter suami ke klinik untuk periksa.

Begitu sampai klinik, kami disambut salah satu admin yang ternyata kenal sama kami. Tapi kami nggak kenal dia. (Maaf ya, mbak admin). Saya sih curiga dia salah satu wali murid kami tapi kaminya aja yang nggak tahu. Suasana klinik juga jauh berbeda dengan waktu pertama dan kedua saya ke sana. Petugas kali ini beda dengan sebelumnya, dan mereka nggak terlihat judes walaupun nggak ramah juga. I mean, mereka ramah tanpa dibuat-buat. They just being themselves gitu, lho. Nggak maksain senyam-senyum dan nggak juga berusaha nutupin capeknya. Pokoknya santai aja. Saya juga diajarin cara buat pendaftaran pakai aplikasi BPJS.

Saya sudah menyiapkan diri untuk ketemu sama bu dokter irit. Tapi ternyata dokternya beda lagi, cuy. 😆 Kali ini dokter muda lagi dan bu dokter langsung tanya kenapa baru kembali setelah sekian bulan. Dengan ingah-ingih saya jelaskan sambil sedikit improvisasi alasan. Bahwa susah minta izin dari tempat kerja sampai akhirnya saya lupa. Nggak bohong kok, cuma nggak bilang aja alasan sebenarnya. 🤪

Setelah diperiksa dan dipukul-pukul giginya, bu dokter bilang kalau gigi saya harus mendapat tindakan perawatan akar. Agak bingung saya jawab kalau tindakan sebelumnya juga disebut perawatan akar sama dokternya. Lalu bu dokter bilang yang saya artikan bahwa tindakan perawatan akar yang sekarang beda sama yang dulu karena kondisi gigi saya udah bahaya. Jadi harus dirujuk ke Rumah Sakit yang ternyata bukan RSU. Agak lega dengarnya karena sejujurnya saya belum pernah punya pengalaman bagus sama Rumah Sakit Umum di Bandar Lampung. Dan saya dikasih antibiotik sama paracetamol, untuk kembali lagi beberapa hari kemudian untuk minta surat rujukan.

Bu dokter yang ketiga ini nggak terlalu ceria seperti dokter pertama dan nggak terlalu irit seperti dokter 'asli'. Tapi bikin saya lega akhirnya dapet kejelasan bahwa saya harus dapet tindakan yang pasti di Rumah Sakit. Nanti pengalaman di Rumah Sakit akan saya update lagi.

Tentang Palestina saat ini

Kamis, 19 Oktober 2023

Photo by Latrach Med Jamil on Unsplash

Terakhir kali tragedi yang cukup besar di Palestina yang saya ingat adalah peristiwa Sheikh Jarrah. Saya sampai beli beberapa buku tentang Palestina untuk mengedukasi diri tentang Palestina. Karena walaupun selama ini aware dengan isu Palestina, saya belum pernah mendapat pengetahuan melalui buku dan sumber yang bervariasi. Rata-rata hanyalah artikel atau kajian-kajian yang disampaikan oleh ustadz-ustadz atau para relawan yang banyak di Indonesia.


Lalu sekarang, setelah kejadian 7 oktober lalu dan penyerangan ke Gaza bertubi-tubi sampai jutaan warga terpaksa mengungsi dan dibombardir akhirnya banyak mata mulai melihat Palestina. Sampai-sampai beberapa influencer yang saya ikuti, yang biasanya tidak pernah berkomentar tentang Palestina, menautkan link donasi untuk Gaza. Penulis-penulis, artis pun mulai bersuara. Dan ini yang saya pikirkan; "Harus sebegitu besar pengorbanan rakyat Palestina supaya dunia mau melihat mereka."

Jadi begini isi pikiran saya. Palestina, baik itu di Tepi Barat maupun Gaza, selama ini sudah terjajah. Setiap kali ada tragedi penjarahan, pembunuhan, dan lain-lain kita selalu bersuara. Salah satu contohnya yang paling saya ingat ya Shaikh Jarrah itu. Tapi, pembicaraan mengenai Sheikh Jarrah tidak pernah sampai mendapat atensi sebesar ini. Dan kita semua tahu apa yang melatarbelakangi pembicaraan tentang Palestina saat ini. Ya, penyerangan Hamas di tanah Israel.

Kita tidak pernah benar-benar tahu seberapa parah akibat yang ditimbulkan serangan itu, tapi yang jelas itu sangat membuat marah sampai-sampai Israel lalu meratakan Gaza dengan kejam. Banyak spekulasi muncul, salah satunya yang paling ekstrim adalah ini semua hanyalah rencana Hamas dan Israel untuk membersihkan Gaza. Bahwa Hamas adalah buatan Israel atau Amerika, dan lain-lain, dan sebagainya.

Jika Palestina yang diserang, media dan orang-orang tidak akan meliput dan membicarakan. Jika Palestina yang diusir, media dan orang-orang tidak akan peduli. Tapi ketika Israel yang diserang, media dan Amerika akan bicara dan orang-orang akan melihat. Orang yang dungu akan menonton berita dan membuat kesimpulan, tapi orang-orang yang bisa berpikir menonton berita dan mempertanyakan. Saya pikir dari situlah akhirnya kenapa sekarang banyak orang bersuara dan memilih kubunya masing-masing.

Dari situlah pikiran saya mengganggu tidur-tidur saya selama kurang lebih 10 hari ini. Betapa besar pengorbanan rakyat Gaza untuk mendapat perhatian dan pembelaan dari masyarakat dunia. Apakah memang itu rencana Hamas yang sesungguhnya? Terlepas dari kenyataan kita sebagai muslim yang harus membela dan justru lebih mengenaskan dibanding para syahid di sana, saya pikir tragedi ini diperlukan untuk kita bisa melihat dan memisahkan antara kebenaran dan kebathilan. Terlebih di dunia yang sudah makin tidak jelas warnanya sekarang ini.

Dengan pikiran seperti ini, perasaan saya jadi campur aduk. Senang karena akhirnya Palestina mendapat perhatian yang mereka layak dapatkan, tapi juga sedih dengan pengorbanan yang harus dilakukan untuk mendapatkannya. Senang karena mengetahui masih banyak orang-orang yang peduli dengan nasib Palestina, tapi juga miris dengan sesama muslim di Indonesia yang masih saja salah sasaran melakukan aksi boikot Israelnya. 😥


Pengalaman ruqyah mandiri setahun yang lalu

Jumat, 15 September 2023

Tepatnya 1 Agustus 2022 jam 5:01 PM, berdasarkan archive story instagram yang saya lihat hari ini. Karena saya pikir ini salah satu pengalaman yang penting untuk diingat, saya putuskan untuk tuliskan di sini.

Jadi ceritanya sejak hari pertama di lokasi sekolah yang baru, saya merasa kurang enak badan. Saya pikir karena saya kelelahan dan belum terbiasa dengan jadwal kerja yang baru. Jadi saya tidak terlalu ambil pusing, dan tetap bekerja seperti biasa. Hanya saja, kalau saya merasa ada potensi sakit bakal makin parah kalau saya paksakan ke sekolah saya pilih untuk istirahat di rumah. Saya sudah agak lupa bagaimana kronologi tepatnya, tapi yang saya ingat sejak 15 Juli sampai 1 Agustus itu saya tidak setiap hari masuk kerja. FYI, saya wali asrama jadi tidak ada hari libur.

Yang saya ingat pasti adalah, suatu hari ketika di asrama saya merasa tiba-tiba badan saya terasa sangat berat digerakkan. Karena kondisinya saat itu memang masih sakit, saya tidak berpikiran macam-macam. Hanya kemudian izin untuk istirahat di rumah secara total sampai saya merasa benar-benar membaik. Tapi ternyata bukannya membaik, kondisi saya malah makin memburuk. Dan itu adalah kondisi paling menakutkan yang pernah saya alami selama hidup sakit-sakitan selama ini.

Saya selalu kedinginan dan badan saya kaku luar biasa. Jalan saja sampai seperti robot dan tidak mampu sholat sambil berdiri. Suami saya akhirnya berhasil memaksa saya untuk memeriksakan diri ke klinik karena kurang lebih 3 hari saya sudah tidak ada nafsu makan. Bahkan tiap malam saya makin menggigil karena kedinginan. Saking parahnya rasa dingin yang saya rasakan, suatu malam saya bangun dan merebus air. Begitu mendidih saya pindahkan airnya ke gelas kaca dan ketika saya pegang gelasnya saya nggak merasakan panasnya.

Begitu di klinik, saya langsung diminta untuk periksa darah karena kondisinya sudah memprihatinkan. Tapi sepertinya dokter juga agak kaget karena ternyata nggak ada tanda-tanda sakit dari hasil tes. Lalu saya dibuatkan resep obat yang setelah saya cek hanya sekadar obat flu dan beberapa vitamin biasa. Saya tetap minum obatnya, tapi setelah 2 hari dan tidak ada perubahan saya mulai berpikir bahwa pasti ada yang tidak beres dengan tubuh saya.

Saya tidak sampai berpikir bahwa ada jin yang mengganggu. Yang saya pikirkan saat itu hanyalah 'kalau badan tidak sakit tapi terasa sakit, pasti ada yang salah'. Lalu, terjadilah tanggal 1 Agustus itu saya berpikir untuk mencari alternatif pengobatan lain yang saya yakini pasti berhasil. Setelah suami dan anak-anak berangkat sekolah saya duduk di kasur menyimak video ruqyah dari ustadz Muhammad Faizar di Youtube. Dan benar saja, setelah 20 menit menyimak saya mulai merasa mual. Ketika ustadz sudah mulai membaca dzikir ruqyah sambil menunjuk ke kamera, saya sudah tidak tahan dan akhirnya muntah. Karena nggak mengira akan muntah saya cuma menadahkan tangan lalu baru mencari tisu untuk membersihkan muntahan. Ada sedikit bercakan darah di situ. Lalu secara tiba-tiba saya merasakan ada yang bergerak keluar dari arah punggung naik sampai ubun-ubun, dan badan saya yang tadinya kedinginan langsung merasa panas luar biasa. Saya langsung lepaskan jaket karena tidak tahan dengan panasnya, lalu teringat karena masih menyimak dzikir ruqyah maka saya langsung mengambil selimut tipis untuk membungkus badan. Sambil menuntaskan menyimak bacaan saya merasakan badan yang tadinya terasa berat perlahan mulai ringan dan perut saya mulai lapar 😁.

Photo by Tanya Syf on Unsplash

Seketika saat merasakan sesuatu yang bergerak di punggung itu saya langsung sadar kalau selama 2 pekan ini saya tidak sakit. Saya langsung yakin bahwa memang ada jin yang usil kepada saya. Dan setelah video ustadz Faizar selesai, saya langsung lanjutkan dengan menyimak murottal surat Al-Baqarah. Saya pilih menyimak murattal karena saya sangat lelah, dan tidak sanggup menegakkan punggung. Dan benar saja, selama menyimak murattal itu badan saya terasa seperti melayang dan sangat panas tapi tidak berkeringat sama sekali. 3 jam saya tuntaskan menyimak surat Al-Baqarah sampai saya merasa mendingan dan meminta tetangga untuk memasakkan sesuatu untuk saya karena sama sekali nggak bisa bergerak.

Setelah segala proses 'ruqyah mandiri' itu selesai, saya sempat termenung agak lama. Antara percaya dan tidak bahwa yang barusan saya alami adalah proses ruqyah dan yang menjangkiti badan saya selama 2 pekan terakhir adalah gangguan jin. Saya chat suami untuk meyakinkan diri saya sendiri, bahwa saya orang beriman dan percaya bahwa gangguan jin memang ada dan yang saya alami sama sekali tidak wajar untuk penyakit normal. Saya bilang ke suami kalau saya kena gangguan jin, dan saya sudah sembuh setelah ruqyah mandiri. Saya tahu kalau dia tidak percaya, tapi ya nggak pa-pa. Untungnya saya sempat upload story di instagram, jadi ingat lagi tanggal tepatnya kejadian itu sehingga bisa saya arsipkan lebih baik di postingan ini.

Qia dan Aqsha Hate School

Rabu, 06 September 2023

Seperti biasa ketika Qia dan Aqsha pulang sekolah, saya sudah kehabisan energi. Sehingga saya hanya tiduran di kasur sementara mereka main atau nonton Youtube. Tapi sore itu obrolan mereka sedikit berbeda.

"I hate school." Kata Aqsha

"Kenapa?"

"I got bullied."

Saya yang mendengar langsung pasang telinga lebih tajam dari kamar.

Aqsha cerita kalau beberapa temannya ada yang suka mencubit dan memukulnya, lengkap dengan nama-nama mereka. Saya bisa rasakan hal itu meninggalkan memori cukup penting dalam ingatannya karena biasanya Aqsha tidak ingat nama-nama temannya.

Qia di sisi lain ternyata kemudian mengungkap cerita yang sama. Ada juga beberapa temannya yang suka berbuat demikian. Dan di akhir ceritanya dia mengatakan, "I kinda want to back to gindergarten."

***

Saya kemudian mencoba untuk memastikan cerita Aqsha. Dan menyampaikan hal tersebut ke wali kelasnya. Tapi dari sepotong obrolan Qia dan Aqsha, ada beberapa hal yang menarik untuk saya pikirkan.

Pertama, cara Aqsha menceritakan pengalamannya. Dia memilih untuk menceritakan pengalaman buruknya kepada Qia, bukan kepada saya. Sejujurnya hal itu membuat saya cukup sedih. Mungkin Aqsha tidak cukup percaya kepada saya untuk menjadi pendengar kisah sedihnya? Atau mungkin bisa juga karena dia tidak ingin saya ikut sedih karena mendengar kisahnya?!

Aqsha anak yang sangat halus perasaannya. Setiap kali dia mengalami hal yang menyenangkan, dia akan antusias menceritakannya kepada saya. Tapi dia tidak terlalu ekspresif. Maka, antusiasme yang dia tunjukkan kadang hanya bisa dibaca oleh orang-orang terdekatnya; saya dan Qia. Sebenarnya dia juga dekat dengan Abinya, tapi Abi nggak punya perasaan jadi kita lupakan saja.

Saya tidak bisa melihat bagaimana air muka Aqsha ketika sedang cerita kepada Qia. Tapi dari intonasinya, saya bisa merasakan ada kekecewaan di dalamnya. Dan yang unik saya malah tidak bisa merasakan kesedihan. Mungkin Aqsha hanya kecewa karena sekolah yang dia harap akan menyenangkan justru ada selipan bullying di dalamnya?

Photo by Michael Dziedzic on Unsplash

Kedua, ucapan Qia yang ingin kembali ke TK. Saya langsung teringat masa kecil ketika mendengarnya. Dan saya cukup bersyukur Qia mendapat pengalaman TK yang menyenangkan.

Saya justru merasakan pembullyan ketika masih TK. Dan karena saat itu masih sangat polos, saya tidak paham kalau apa yang saya alami adalah bullying. Sampai saat ini, memori saya tentang sekolah TK tidak banyak. Bahkan saya tidak punya banyak kenangan selama di SD.

Seingat saya, dulu saya selalu berharap ingin segera jadi dewasa agar bisa terbebas dari kekangan masa kecil. Maka mendengar Qia yang ingin kembali ke TK membuat saya tersenyum kecil tapi juga sedikit miris. Apakah Qia merasa berada di SD sudah sedemikian berat hingga dia ingin kembali ke TK? FYI, Qia selalu melihat saya sebagai sosok ibu yang kelelahan jadi sepertinya wajar kalau dia tidak ingin segera dewasa.

Dan sekarang Qia sudah mulai menyimpan rahasia dari saya. Rasanya seperti semuanya berlalu sangat cepat. Mungkin suatu saat saya akan merasa tidak lagi mengenal anak-anak saya sendiri. 😶

***

Apapun itu, saya berharap akan membaik seiring dengan berjalannya waktu. Karena yang Qia dan Aqsha alami menurut saya masih merupakan perundungan yang umum, saya hanya berharap mereka bisa mengatasinya sendiri. Karena suatu saat mereka harus menghadapi bentuk perundungan yang lebih parah dari sekadar mencubit. Dan ketika saat itu tiba, saya ingin mereka sudah menjadi orang yang resistensinya lebih baik dari saya.

is it OK curhat di media sosial?!

Senin, 04 September 2023

Salah satu alasan saya menutup blog pertama adalah ketika membaca postingan-postingannya, rasanya seperti membuka aib orang-orang yang saya bicarakan dalam postingan tersebut. Padahal saya jaraaaaaang sekali menyebut nama di setiap postingan blog -bahkan kayaknya nggak pernah- tapi tetap saja saya merasa mereka tidak berhak saya ghibahin meskipun hanya lewat blog.

Pun ketika beberapa teman dekat ada yang meminta saya menuliskan pengalaman hijrah dalam bentuk prosa, saya tidak melakukannya sampai saat ini karena menurut saya akan ada banyak hati yang terluka kalau mereka mengetahui tragedi itu diumbar ke mana-mana.

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

Beberapa tahun yang lalu saya menemukan Sophia Mega, salah seorang content creator yang suka berbagi konten tentang buku. Karena saya suka dengan cara reviewnya, saya follow akun instagramnya. Belakangan dia sering menceritakan pengalamannya ketika menjalani terapi, dan banyak memposting bagaimana interaksinya dengan keluarga. Sesekali saya membacanya, dan terpikir 'ini kalau orang tuanya baca curhatan dia, apa nggak sedih ya?'. Karena terus kepikiran seperti itu, setiap kali stories dari Sophia Mega muncul dan menceritakan tentang strugglenya menghadapi keluarga, saya skip saja supaya tidak berlanjut menjadi prasangka buruk.

Lalu ada salah satu blog yang masih aktif sampai hari ini, yang sering saya temukan di halaman pertama mesin pencari memiliki kebiasaan yang sama; suka curhat pengalaman hidupnya. Lama-lama karena penasaran, saya pun menanyakan di salah satu kolom komentarnya.


Jujur, saya benar-benar hanya penasaran. Sejauh ini tidak ada prasangka apalagi sampai seperti yang biasa di komen-komen sosmed itu dengan dalih 'sekedar mengingatkan' yang sebenarnya justru seperti menghakimi. Lalu membaca balasan ini, saya merefleksi diri 'hah, bukankah ini juga alasan saya menulis blog?' untuk mengungkapkan isi hati secara terbuka tanpa ada rasa khawatir? Bahkan ketika pertama kali membuat blog baru ini, saya sudah janji lho untuk menyampaikan uneg-uneg tanpa ragu dan curhat sepuas hati. 

Setelah Hari yang Panjang

Yang membedakan antara saya dengan Mega dan Rey sepertinya adalah mereka yakin bahwa orang-orang yang menyakiti mereka itu tidak peduli dengan mereka. Maka menceritakannya di sosial media pun tidak akan berpengaruh apa-apa. Sementara saya meyakini bahwa orang-orang itu peduli kepada saya, bahkan ketika mereka menyakiti sekalipun. Sehingga saya merasa tidak adil kalau menceritakan 'keburukan' mereka di tempat umum. Seseorang yang sengaja menyakiti tidak sama dengan yang tidak sengaja. Mungkin karena saya sendiri sangat berpengalaman sebagai orang yang selalu disalahpahami, maka saya selalu berhati-hati ketika akan menilai niat dibalik perbuatan orang lain.

Lalu saya berpikir, 'kalaupun mereka peduli, memangnya mereka akan baca tulisan di blog ini?' 😆 Lagi-lagi, bukankah karena itu juga saya menulis di blog? Karena tidak ada yang ke sini. Saya jadi agak kasihan kepada diri saya sendiri. Mungkin karena terlalu banyak menyakiti orang lain selama 10 tahun terakhir ini, saya jadi terlalu judgemental terhadap diri sendiri. Jangan-jangan saya juga butuh terapi?! 😂 Sepertinya saya terlalu mengkhawatirkan orang lain dan malah kurang peduli kepada diri sendiri. 

Photo by Kaitlyn Baker on Unsplash

Karena terlalu overthinking, saya menunda menuntaskan curhatan ini padahal seharusnya bisa melegakan pikiran. Toh, itu merupakan autokritik yang baik kalau orang-orang yang bersangkutan dalam tulisan itu mau menanggapinya dengan lapang hati. Dan saya juga yakin 1000% keluarga saya tidak akan pernah sekepo itu dengan apa yang saya tulis di blog ini. Bahkan suami saya nggak pernah membaca tulisan-tulisan saya. Dengar cerita yang nggak butuh effort saja dia tidak sanggup apalagi harus membuka browser, mengetikkan nama saya dan membaca beberapa menit hanya untuk mengetahui isi hati saya?! Saya jadi tertawa sendiri menulis ini.

Saya masih yakin bahwa sosial media berbeda dengan blog. Maka saya masih merasa tidak perlu menceritakan hal-hal yang tidak mengenakkan di sana. Tapi, Mega dan Rey sudah mengingatkan saya pada tujuan utama saya membuat blog ini. Jadi, apakah tidak apa-apa curhat di sosial media?! Tidak, saya masih tidak setuju. Tapi kalau di sini, tidak apa-apa. Sepertinya saya perlu berkali-kali diingatkan bahwa di sinilah tempat paling aman untuk saya menceritakan semuanya dan menggali sampah-sampah di dalam hati saya lalu membuangnya.

Tentang Manga, Anime, dan Live Action One Piece; sebuah review

Jumat, 01 September 2023

cover manga yang pakai warna

So.... where to start?!

Semua akan One Piece pada waktunya, kan?! Seperti suami saya yang awalnya ragu untuk menonton One Piece, saya pun demikian. Seingat saya, suami mulai nonton One Piece pas bulan puasa tahun 2021. Dia selalu nonton sambil makan sahur atau buat selingan pas tilawah ba'da isya. Satu hal yang membuat saya penasaran dengan One Piece adalah karena melihat suami saya menangis di salah satu episode yang dia tonton. Dia bukan orang yang mudah menangis. Dia nggak nangis waktu melihat pengorbanan Kagome untuk Inuyasha, dia nggak nangis waktu Rengoku mati, tapi dia nangis nonton anime konyol tentang manusia karet. That's interesting.

Seperti orang-orang kebanyakan, saya juga merasa sudah terlambat untuk mengikuti serial ini. Apakah layak untuk dikejar? Satu pertanyaan itu yang saya ajukan kepada suami sebelum memulai. Dan dia memastikan saya akan tertarik karena unsur politik di dalam ceritanya. Lalu, awal tahun ini saya mencoba membaca manganya. Satu-satunya medium bacaan yang saya paling tidak mengerti konsepnya. Saya menantang diri membaca manga karena saya pikir akan terlalu banyak waktu terbuang kalau menonton anime, biasanya kan satu episode anime hanya memuat beberapa scene dari manga. Dan tentunya saya akan bisa memahami cerita dengan lebih utuh lewat manga. Kalau memang One Piece sebagus itu, dia layak untuk diusahakan. Dan ternyata benar.

Saya suka chapter 1 dan 2. Saya tidak merasa kesulitan sama sekali membacanya. Urutannya jelas, dan gambarnya menyenangkan. Entahlah, padahal saya tidak merasakan kesenangan yang sama ketika mencoba membaca manga yang lain. There's something special about those pictures that makes me happy to look at them. Lalu saya mencoba menonton animenya. Sampai saat ini baru di episode 20, dan masih asik-asik aja. Belum ada emosi yang gimana-gimana. Tapi itu sudah saya antisipasi karena seperti permulaan cerita yang panjang, bagian awal adalah yang paling krusial meskipun tampak membosankan. 

Dan kemarin sore saya menonton live action One Piece season pertama, sekali duduk. Tentu saja berdua dengan suami. Dan setelah menyelesaikan nonton live actionnya, saya benar-benar tertarik untuk membahas serial ini.

poster live action

Menurut para fans, live action One Piece merangkum East Blue Saga yang terdiri dari 12 volume manga (100 chapter) dan 61 episode anime. Tentu saja saya banyak tertinggal. Menonton live action sampai selesai rasanya jadi berbuat curang karena sudah mengintip isi cerita tanpa tahu apa yang terjadi sebenarnya. Untungnya, karena sudah punya cicilan anime dan manga, saya jadi tahu bahwa 3 medium ini benar-benar bisa dinikmati sendiri tanpa perlu dukungan satu dari yang lain.

Ketika menonton anime sambil membaca manga, saya jadi tahu bahwa ada beberapa plot yang diatur berbeda porsi dan urutannya. Ada bagian di manga yang tidak ditampilkan di anime, begitupun sebaliknya. Dan tentu saja, live action yang hanya 8 episode tidak akan bisa merangkum keseluruhan cerita dengan lengkap kalau kita mau sempurna. Itulah mengapa dinamakan adaptasi. Banyak hal yang diubah, banyak cerita yang  dipangkas. Tapi bagian-bagian yang penting dijaga dengan baik sehingga saya bisa menangkap inti cerita dan merasakan emosi para karakter dengan baik. 

poster anime

Dan di postingan kali ini saya akan membahas One Piece live action sebagai seseorang yang bukan fans. Meskipun sudah membaca sebagian kecil manga dan menonton animenya, saya belum layak dan merasa menjadi penggemar serial ini. Saya bisa melihat saat-saat itu akan datang, tapi saat ini saya masih ingin menilai serial ini sebagai orang baru.

Gold Roger

dari manga 👉anime👉live action

Dalam manga maupun anime, scene eksekusi Gold Roger adalah adegan utama. Maka wajar kalau di live action scene ini tetap dijaga. Karena memang dari dialah cerita One Piece bermula. Dari setting tempat sampai ke karakter/aktornya, udah pas banget. Hanya saja sayangnya, Gold Roger nggak nyebut istilah One Piece di momen eksekusi itu. Padahal setahu saya, istilah One Piece ya awalnya dari dia itulah. Tapi yaudah lah ya, lupakan saja.

Alur

Di manga, Luffy kecil muncul pertama kali sebelum karakter yang lain. Masuk akal karena memang dia tokoh utamanya. Kita akan disuguhi adegan Luffy yang merengek minta bergabung ke dalam kru bajak lautnya Shanks, dan seterusnya. Alur maju mundur memang cocok untuk merangkum jalan cerita yang panjang supaya kita nggak kebingungan dengan latar belakang dari tiap-tiap karakter.

Sementara di anime, scene pertama yang kita lihat hanyalah tong ikannya Luffy yang kalau nggak baca manga pasti nggak dapet clue apa-apa. Jadi, bisa dibilang orang pertama yang dilihat di anime adalah Nami.

Nami's first appearance

Di live action, scene pertama adalah Luffy yang lagi kerepotan buangin air dari perahunya yang bocor. Abis itu baru masuk tong ikan, dan akhirnya sampai ke kapalnya Alvida ketemu Koby. 

Nah, yang baru buat saya adalah kemunculan Sixis Island. Yaaa karena saya belum jauh baca manga dan animenya, jadi nggak paham tentang latar belakang pulau ini. Tapi, justru ini jadi salah satu pro dari episode ini. Penonton live action dikasih tahu di awal tentang kehebatan Zoro. Sehingga kebayang sama kita tentang karakter dan kekuatannya.

Baik di manga maupun anime, pertemuan antara Luffy, Zoro dan Nami terjadi berurutan. Luffy dan Zoro duluan ketemu, sementara Nami sibuk dengan keperluannya di sekitar mereka berdua. Sementara di live action, mereka bertiga ketemu hampir barengan. And that's OK. Saya nggak menemukan masalah sama sekali di perubahan ini.

Banyak yang berubah di versi live action. Tapi menurut saya malah perubahan ini masuk akal. Misalnya di anime maupun manga Zoro diikat di halaman pangkalan marinir udah 3 minggu ketika ketemu Luffy. Itu kan mustahil yak?! 😆 Sementara di live action, Zoro baru mulai ditahan dan nggak sampai sehari setelah itu untuk ketemu Luffy. 

So far, perubahan-perubahan yang dilakukan di live action nggak bikin inti cerita jadi aneh atau feelingnya berkurang. Alur di Syrup Village misalnya, justru jadi masuk akal ketika mereka ketemu Usopp pertama kali di tempat pembuatan kapal sehingga kita dapet bayangan Kaya itu bisa kaya karena apa. Nggak ujug-ujug ngasih kapal seperti di anime. 

Aktor

Aktor-aktor utamanya pun keren-keren aktingnya. Yang paling menarik perhatian saya adalah Koby. Karena kata suami nanti Koby akan jadi karakter penting, saya perhatiin banget tuh dia dari awal. Dan aktornya keren banget meranin karakter Koby yang pengecut dan selalu canggung. Saya penasaran gimana tampilannya nanti waktu udah gagah dan bisa berdiri tegak. Pasti kece banget.

Buggy, seperti yang sudah heboh di internet memang dapet banget. Konyol dan intimidatif, pas seperti yang seharusnya. Shanks, yang di trailer tampak nggak menjanjikan malah ternyata cocok. Menurut saya, Shanks memang seharusnya terlihat nggak menjanjikan, makanya bandit gunung bisa menyepelekan dia. Pas dia melototin naga laut itulah baru kelihatan sangarnya. Nggak gampang lho menampilkan dua kepribadian kayak gitu.

Arlong yang kata orang-orang kekecilan, menurut saya baik-baik saja. Again, ini adalah penilaian dari yang belum baca manga maupun anime. Saya tahu kalau badan Arlong harusnya kayak raksasa, tapi kalau dengan badan segitu udah bikin saya kesel sama karakternya, menurut saya itu sudah cukup.

Yang kurang adalah pemeran-pemeran figuran. Makino, yang imut dan perhatian di manga saya lihat agak flat. Entah kenapa saya merasa pemeran Alvida kurang banget. Garangnya kurang, ekspresi kaget pas lihat badan karetnya Luffy juga kurang. Dan karena saya nggak tahu apakah aktor-aktor ini juga masih baru, nggak bisa sembarangan ngejudge juga. Nojiko, sorry to say benar-benar diluar perkiraan. Saya nggak tahu ya dia seharusnya berkebangsaan apa. Tapi aktingnya nggak bagus.

Aktor-aktor pemeran Straw Hat Crew masa kecil nggak ada yang istimewa. Tapi karena mereka semua anak-anak, saya nggak akan terlalu keras sama mereka. 😁

nggak ada serem-seremnya, nggak keliatan jahatnya

The cons

Yang paling nggak saya suka adalah adegan actionnya Zoro. Geeeemeeeees banget lihatnya!! Pertama kali lihat Zoro gelut, respon saya adalah, "gelut macam apa itu, Mackenyu???" Samurai Jepang pasti malu lihatnyaaaa...... 😭 Kalau kalian pernah nonton Rurouni Kenshin, pasti tahu bagaimana reputasi Mackenyu di franchise itu. Dan saya, sudah berharap bisa melihat aksi laga semacam itu lagi. Tapi sejak awal dia nongol di Sixis Island saya langsung tersadar kalau ini bukan aksi laga buatan orang Asia. Gerakannya kelihatan sama sekali nggak bertenaga, lambat dan boring.

Tapi karena katanya itu persis kayak di manga, jadi sepertinya saya yang salah sudah berharap terlalu tinggi. Soalnya dari awal suami saya bilang kalau Zoro itu keturunan samurai. Dengar kata samurai, otomatis bayangan saya langsung ke Rurouni Kenshin. Ternyata samurainya One Piece beda. 😅

Tapi lagi-lagi memang kita nggak bisa berharap banyak sama orang Barat kalo bikin adegan action. Masih inget kan bagaiman Yayan Ruhiyan yang harus ngurangin kecepatan gelutnya pas main di John Wick?! Jadi yaudah relakan saja.

Kebugilan Helmeppo juga adalah scene yang sama sekali nggak penting. Biar apa, gitu?! Hah?! 😠 Kissingnya Kaya dan Usopp masih mending, tapi buat apa coba nampilin cowok bugil uget-uget begitu? 

Syrup Village di episode 3-4 bisa dibilang adalah hit and miss buat saya. Secara alur, proses perkenalan mereka dengan Usopp dan Kaya udah pas. Karakter Kuro yang serem pun udah pantes banget. Tapi sayangnya, lama banget. Rencana pembunuhan Kaya malah kayak cuma main-main. Udah gitu, adegan berantemnya aduuuuh. Masa iya Zoro yang sehebat itu bisa pingsan cuma gara-gara dipukul botol?! Udah gitu, dikira mati lagi. 

Favorites

Sebelum nonton serialnya, saya sudah dengar lagu soundtrack One Piece. Dan saya suka. Dari komentar-komentar para fans, lagu itu menunjukkan karakter Nami dan perjalanan hidupnya. Sepertinya dari situ saya mulai sangat penasaran dengan karakternya.

Bounty poster yang muncul di muka para bajak laut itu juga epic sih. Tiap kali muncul, seolah mengingatkan kita bahwa ini adalah serial fantasi yang cringe dan aneh. Ini bukan cerita seperti The Lord of The Rings atau a Game of Thrones. One Piece adalah cerita yang ada hanya untuk dinikmati dan membuat kita bahagia.

Hal lainnya adalah momen-momen kecil yang menunjukkan ikatan antar karakter yang bikin saya suka sama serial One Piece. Sepanjang serial, sampai di episode yang paling membosankan sekalipun selalu ada adegan-adegan yang bikin saya ketawa gemas sama Luffy, Zoro dan Nami, dan nantinya ditambah Usopp dan Sanji.

Episode 7 sukses bikin saya sesenggukan. Masuk di bagian ini saya mulai paham kenapa Emily Rudd seperti nggak total ketika menunjukkan ekspresi-ekspresi tertentu sebagai Nami. Karena ternyata memang Nami kayak gitu orangnya. Dia selalu memendam perasaannya, sehingga ketika sedih pun nggak kelihatan benar-benar sedih karena dia berusaha menahannya.

***

Jadi kesimpulannya, live action One Piece lumayan menghibur buat saya. Nggak yang bagus banget memang, tapi worth it buat ditonton menghabiskan waktu bareng suami. 😁

Rating : 3/5  ⭐⭐⭐

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.