SLIDER

Reading Radio Silence as an adult (Book Review)

Selasa, 15 Juni 2021

 


Judul : Radio Silence
Penulis : Alice Oseman
Bahasa : Inggris
Format : EPub, 358 halaman
Penerbit : HarperCollins Publisher (2016)
Harga : Rp. 55.169

!!!!
Trigger Warning:
Anxiety
Emotionally abusive parent
LGBTQ+ characters
!!!!!

Blurb:
What if everything you set yourself up to be was wrong?  
Frances has been a study machine with one goal. Nothing will stand in her way; not friends, not a guilty secret – not even the person she is on the inside. Then Frances meets Aled, and for the first time she's unafraid to be herself.  
So when the fragile trust between them is broken, Frances is caught between who she was and who she longs to be. Now Frances knows that she has to confront her past. To confess why Carys disappeared…

Frances is going to need every bit of courage she has.

Engaging with themes of identity, diversity and the freedom to choose, Radio Silence is a tour de force by the most exciting writer of her generation.

Saya perlu berpikir agak lama untuk membuat review novel ini. Sebagai orang dewasa (ceileh), jarang membaca fiksi, tidak kenal dunia remaja, apa saya cukup capable untuk mereview sebuah novel Young Adult?! Tapi novel ini membuat saya nggak berhenti berpikir. Berpikir tentang kemampuan penulisnya yang luar biasa, tentang isu yang termuat di dalamnya, dan tentang diri saya sendiri yang juga pernah menjalani masa remaja. 

...

Oke, sudah cukup kontemplasinya. Langsung saja kita bahas novelnya.

Radio Silence bercerita tentang Frances, seorang anak SMA yang gila belajar. Dia pintar, head girl di sekolah, dan mau masuk Cambridge. "I was going to get a good job and earn lots of money, and I was going to be happy." Dari deskripsi ini kita bisa lihat kalau Frances adalah anak muda yang punya cita-cita dan tahu apa yang harus dia lakukan untuk masa depannya. Tapi ternyata tidak, saudara-saudara. Frances tidak tahu, atau lebih tepatnya tidak mengerti mengapa dunia harus (terlihat) berjalan seperti itu. Dia menjalani hidupnya dengan semangat belajar yang tinggi hanya karena dia melihat bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan cara itu; belajar dan bekerja keras, kuliah di kampus ternama, pekerjaan tetap, karir cemerlang, penghasilan yang banyak. Itulah kebahagiaan yang dia lihat.

Tapi jauh di lubuk hatinya, sebenarnya dia sama sekali tidak peduli dengan itu semua. Dia menjadi study machine hanya karena ingin mencapai kebahagiaan yang sama dengan kebanyakan orang. Walaupun kebahagiaan versi dirinya sendiri adalah menyimak video podcast favoritnya di YouTube, Universe City lalu membuat fan art dan mempostingnya di Tumblr dengan memakai nama akun samaran. Dia tidak mau memakai nama aslinya karena tidak ingin terlihat orang sudah melakukan hal sia-sia, walaupun membuatnya bahagia. Tidak ada yang tahu bahwa School Frances hanyalah apa yang dia tampilkan di hadapan orang lain. Real Frances dia sembunyikan di dalam kamarnya, jauh dari jangkauan orang lain bahkan ibunya sendiri.

Kita akan menyimak cerita Frances menjalani tahun terakhir di sekolahnya sepanjang novel ini, dari sudut pandangnya. Semuanya bermula dari pertemuannya dengan Aled Last, cowok aneh yang sebenarnya adalah tetangga depan rumahnya tapi tidak pernah bertegur sapa. Mereka seumuran, tapi Aled setahun lebih tinggi level sekolahnya sehingga ketika Frances baru naik jadi senior Aled sudah masuk Universitas. 

Tidak ada yang aneh. Semua berjalan sesuai rencana. Hingga suatu hari, Frances mendapat DM di Twitter dari kreator Universe City yang meminta dia menjadi animator untuk acara podcast tersebut. Tentu saja Frances kegirangan dan menerima tawaran itu. Surprisingly, tak lama setelahnya Frances tidak sengaja mengetahui bahwa Aled adalah kreator Universe City. Dari situlah, persahabatan dua anak muda ini dimulai.

Semakin sering ngobrol, Frances menyadari bahwa ternyata dia memiliki banyak kesamaan dengan Aled. Dia merasa mereka punya selera yang sama dalam banyak hal, sehingga Frances merasa bisa menjadi dirinya sendiri ketika bersama Aled. Aled menjadi satu-satunya sahabatnya. 

Konflik mulai muncul ketika Frances dan Aled ribut karena suatu hal. Aled yang sudah mulai masuk kuliah dan tinggal di asrama kampus, akhirnya menarik diri dan tidak bisa dihubungi lagi. Frances yang merasa sangat bersalah berusaha memperbaiki hubungan persahabatan mereka disela-sela kesibukannya sendiri mendaftar ke Cambridge.

***

Kalau cuma membaca sinopsis di atas, mungkin yang terbayang di benak kita adalah "yaaa..... tipikal cerita anak remaja jaman sekarang laaah....". Tapi saya berani bilang, "No, no, ini beda." Memang novel ini menceritakan permasalahan anak remaja yang kesannya biasa saja. Tapi karena kita membacanya dari sudut pandang Frances, kita bisa benar-benar merasakan apa yang dia rasakan, precisely

Kalau selama ini kita sering kebingungan menghadapi anak remaja dan tidak mengerti apa maunya mereka, bacalah novel ini. Karena di sini kita akan tahu apa yang sebenarnya dipikirkan mereka ketika berhadapan dengan orang dewasa. Saya sendiri sering tersenyum-senyum sendiri ketika bertemu dialog-dialog Frances dengan orang-orang di sekitarnya. Di mulut dia bilang begini, padahal dalam hatinya dia sendiri tidak setuju dengan dirinya sendiri.

She asked me, "Remind me why you wanted to be head girl?"
And I said, "Because I'm great at it," but I was thinking, because universities love it.

Atau ketika Frances merasa putus asa untuk menjelaskan sesuatu kepada kepala sekolahnya,

I stopped speaking. There was no point trying to argue. There was no way she was going to even attempt to listen to me.
They never do, do they? They never even try to listen to you.

Dua kutipan itu hanya sebagian kecil dari sempurnanya Alice Oseman meng-capture karakter Frances sebagai representasi jiwa remaja yang kebingungan. Dan di sepanjang novel ini, kita akan melihat bagaimana Frances mencoba memahami kejadian-kejadian penting dalam hidupnya yang sulit untuk dia hadapi. Kita akan menyaksikan Frances menertawakan keputusan-keputusannya sendiri, menangisi kebodohannya sendiri, merasa tidak berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong orang yang dia sayangi, dan masih banyak lagi gejolak perasaan yang tergambar cantik dengan narasi-narasi yang pas.

Begitu tepat sampai pada titik tertentu saya ikut menangis melihat Frances yang putus asa karena benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Saya bahkan sampai menahan nafas ketika menyaksikan scene tentang abusive parent dari kacamata Frances yang memiliki ibu terbaik di dunia. Frances yang ketakutan, ingin menolong tapi juga tidak berdaya. Kita benar-benar diajak untuk berempati dengan anak-anak muda ini menghadapi kegagalan dalam hidup dan berdamai dengan kondisi-kondisi yang tidak mereka harapkan.

***

Di 2 bab pertama sejujurnya saya agak bosan membaca novel ini, karena tidak terlalu banyak yang terjadi dan menurut saya karena hal itu Alice justru jadi terlalu terburu-buru di bagian akhir. Hal ini yang membuat saya -awalnya- jadi malas melanjutkan ketika pertama kali membacanya. Novel ini sempat saya tinggalkan selama 2 bulan. Untungnya saya memutuskan untuk melanjutkan karena memang sejak awal sudah suka dengan penggambaran karakternya. Dan karena memang saya adalah character-focused reader, di bagian tengah cerita saya mulai merasakan emosi dari cerita ini.

Karena ini pertama kalinya saya baca novel luar negeri bergenre Young Adult, terus terang saya sangat kagum dengan gaya penulisannya. Apalagi jika dibandingkan dengan novel-novel Teenlit/Chicklit milik murid-murid yang sering saya temukan di asrama. Kualitas narasi novel ini jelas jauuuuuh melampaui itu semua. Kita bukan hanya diceritakan tentang kisah anak remaja yang remeh-temeh, tapi juga diajak mendalami perasaan mereka, memahami permasalahan yang mereka hadapi, dan peduli dengan pilihan-pilihan hidupnya.

Rating : 4/5 ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ

Monte Cristo (Book Review)

Kamis, 10 Juni 2021

 


Judul : Monte Cristo
Penulis : Alexandre Dumas
Bahasa : Indonesia
Penerjemah : Ermas
Format : Paperback, 754 halaman
Penerbit : KPG (Agustus 2016)
Harga : Rp. 35.000

Pertama kali memegang buku ini, saya sangat terintimidasi karena jumlah halamannya. Memang ini bukan pertama kalinya saya membeli buku yang sangat tebal, tapi buku-buku tebal yang biasanya saya miliki bukanlah buku fiksi melainkan buku-buku referensi yang tidak akan membuat saya merasa wajib untuk menamatkan. Sementara saya baru saja memulai petualangan untuk mengenal buku fiksi, tapi malah memilih buku setebal ini. Rasanya seperti bunuh diri. Dua alasan yang membuat saya membeli buku ini waktu itu adalah; 1. Bookstagramer favorit saya memberinya bintang 5, dan 2. Harganya yang sangat murah, hanya Rp. 35.000 di marketplace. Saya menduga buku ini tidak terlalu laku di pasaran sehingga dijual dengan sangat murah.

Marseille masa kini, salah satu latar cerita Monte Cristo. Kampung halaman Dantes.

Bersetting di Perancis pada masa perebutan kekuasaan antara Napoleon Bonaparte dan Raja Louis XVIII tahun 1815, Monte Cristo berkisah tentang seorang pemuda lugu 19 tahun yang memiliki kehidupan biasa saja. Edmond Dantes, adalah seorang awak kapal yang jujur dan tulus. Dia sangat mencintai ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan, dan juga seorang kekasih cantik yang selalu setia menanti kepulangannya, Mercedes. Begitu besar harapannya untuk membahagiakan kedua orang yang dicintainya itu, Edmond pun bekerja keras hingga pemilik kapal tempatnya bekerja, Tuan Morrel berniat menjadikannya kapten kapal untuk menggantikan kapten sebelumnya yang meninggal dunia selama perjalanan. Kehidupan Edmond Dantes terasa sempurna. Karir yang cerah, impian menikah, semua tampak begitu indah.

Namun menjadi orang yang terlalu baik kadangkala membuka pintu kebencian bagi orang lain yang berpenyakit hatinya. Dua orang yang merasa dirugikan dengan kesuksesan Edmond, diam-diam membuat rencana jahat untuknya dengan dibantu oleh tetangganya sendiri. Edmond pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara terpencil dengan tuduhan sebagai pengkhianat negara, tepat di hari pertunangannya. Hidup Edmond Dantes pun hancur seketika. 

Puri If (Chateau d’If), tempat Edmond Dantes dipenjara.

Di dalam penjara itulah, titik balik perjalanan hidup Edmond Dantes dimulai. Kita akan menyaksikan bagaimana Edmond belajar untuk lebih peka dalam menjalani kehidupannya, bahwa ternyata tidak semua orang sebaik dan setulus dirinya. Dia pun menemukan seorang guru di sana dan akhirnya setelah 14 tahun menyusun rencana dia berhasil kabur dari penjara. Selanjutnya, kita akan diajak mengikuti pembalasan dendam yang epik darinya untuk semua orang yang telah menghancurkan hidupnya di masa lalu. Tapi dia pun tidak lupa untuk membalas jasa orang-orang yang membelanya ketika dia masuk ke dalam penjara.


Sebelumnya, saya tidak tahu sama sekali siapa itu Alexandre Dumas. Sebegitu kosongnya pengetahuan saya tentang dunia sastra, sehingga tiap kali mau membeli novel saya selalu searching dulu di Google demi mendapat referensi yang meyakinkan bahwa buku yang saya pilih itu memang layak dibaca. Dan setelah mengetahui bahwa Dumas adalah penulis kisah legendaris Three Musketeers (yang saya juga belum tahu sama sekali kisahnya ๐Ÿ˜‚) saya pun mantap untuk mencoba membaca buku ini. Tidak disangka, 4 hari saja saya sudah menamatkan cerita ini.

Membaca kisah sepanjang ini, kita dituntut untuk bersabar dengan detil cerita yang kompleks dan plot yang bertumpuk. Tapi bagi saya justru disitulah menariknya. Dengan rentang waktu sepanjang itu tentu banyak hal yang terjadi dan tidak mungkin diceritakan dengan singkat saja. Dumas mengajak kita berkenalan dengan tokoh-tokoh dalam kisahnya dengan rinci hingga karakter mereka terasa hidup. Tidak ada satupun tokoh yang tidak penting di sini, jadi jangan lupakan satupun dari mereka. Tapi kalaupun terpaksa lupa, jangan khawatir, karena Dumas sudah mengantisipasinya dengan sesekali mengulas kembali cerita yang sudah lalu dengan porsi yang pas sehingga kita bisa mengingat kisah yang terlewat tanpa merasa plotnya menjadi terlalu repetitif. Saya pun mencoba mencari lokasi-lokasi yang pernah dikunjungi Edmond Dantes di internet, beberapa diantaranya bisa dilihat di postingan ini.

Salah satu sudut jalan lokasi rumah Monte Cristo di Paris, kawasan paling elit di negara itu.

Satu hal lagi yang membuat saya sangat menikmati novel ini adalah kisahnya yang menurut saya tidak terlalu berlebihan. Pembalasan dendam yang terlalu rapi, memang benar. Tapi Dumas mengemasnya dengan backstory yang masuk akal sehingga pada akhirnya semua menjadi bisa diterima. Dan seperti mengetahui apa yang akan pembaca pikirkan jika kisahnya terlalu sempurna, Dumas seolah sengaja membuat beberapa kegagalan yang lagi-lagi cocok dan cukup adil.

Sepanjang membaca Monte Cristo saya sering tersenyum setuju dengan ungkapan-ungkapan yang ada di dalamnya. Dumas menyisipkan sisi religius yang menurut saya cukup unik, terlebih saya sama sekali tidak mengerti konsep teologi Kristen. Tapi beberapa dialog dan narasi yang membawa nama Tuhan, sangat relate dengan kenyataan bagaimana kebanyakan manusia menjalani dan meletakkan agama dalam kehidupan. Saya juga bisa mengenal banyak tipe dan karakter manusia dari tokoh-tokoh di novel ini. Dari mereka saya belajar tentang kesetiaan, kejujuran, ketulusan, tekad yang kuat, dan tentu saja dendam dan keserakahan.


Dengan kerapian plot dan kekuatan karakter yang luar biasa, wajar kalau kemudian kisah ini menjadi abadi hingga akhirnya diangkat menjadi film dan TV Series. Selesai membaca novel ini, saya melanjutkan mencari review-review dan informasi lain dan ternyata versi asli novel ini pertama kali terbit tahun 1844 dalam bentuk serial bersambung. Dan buku terjemahan bahasa Inggris edisi lengkapnya setebal 1276 halaman. Jadi saya cukup yakin sepertinya yang saya miliki ini hasil terjemahan versi ringkasan. Meskipun ada satu baris yang menurut saya terpotong di halaman 288 tapi sama sekali tidak mengganggu kenikmatan mencerna keseluruhan cerita ini.

Saya tidak mengerti kalimat dengan post it merah itu. Ada yang bisa menjelaskan?!

Rating : 5/5 ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ 

Ikut-ikutan berkemajuan, ternyata malah mundur kejauhan

Sabtu, 05 Juni 2021

Manusia adalah musuh bagi apa yang tidak dia ketahui. Gara-gara ribut sama suami barusan, saya merenungkan lagi kalimat itu. 

Saya dan suami tidak meributkan masalah penting sebenarnya. Hanya sebuah gambar dengan ungkapan J*nc*k dan sebuah kalimat "Jika ucapan j*nc*k bisa menyatukan umat, kenapa memakai ucapan Tauhid untuk memecah belah umat". Kurang lebih seperti itu kalimatnya. Tampaknya benar, tapi menyesatkan. Dan suami saya, seperti biasa tentu saja tidak setuju dengan saya. 

Saya heran bagaimana mungkin orang-orang sekarang begitu mudah mengucapkan ungkapan-ungkapan asing yang sebenarnya bisa saja merusak perangai mereka. Di zaman seperti sekarang, banyak sekali istilah-istilah asing yang terdengar keren tapi sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan kita, lebih jauh lagi bahkan bisa saja bertentangan dengan nilai keIslaman kita.

Kalau memang manusia akan memusuhi hal-hal yang tidak mereka ketahui, bukankah seharusnya mereka akan berhati-hati dengan istilah-istilah asing itu?! Harusnya mereka menaruh curiga dengan segala hal baru yang tiba-tiba lewat di beranda sosial medianya?! Harusnya mereka waspada dengan narasi-narasi -yang katanya- modern dari yutuber-yutuber terkenal yang muncul di deretan trending. Tapi kenapa yang terjadi justru malah sebaliknya?! Banyak muslim yang begitu bangga merasa open-minded dengan mengampanyekan istilah-istilah yang mereka tidak paham maknanya. Feminisme misalnya. Bukankah seharusnya mereka mencari tahu dulu makna istilah itu sebelum ikut-ikutan menjadi pejuangnya? Memangnya mereka tidak tahu bagaimana sejarah gerakan itu muncul dan perjalanannya sampai sekarang merembet ke mana-mana?!


Makin saya pikirkan, ternyata kesimpulannya justru sebaliknya. Mereka memang tidak tahu, tapi masalahnya adalah mereka tidak tahu kalau mereka tidak tahu. Mereka merasa tahu, mereka menganggap bahwa mereka sudah paham. Karena merasa sudah paham, jadi mereka bersikap sesuai dengan persepsi mereka. Demikian juga ketika berhadapan dengan ajaran Islam. Karena merasa sudah paham, mereka pun menilai ajaran Islam sesuai dengan persepsi dan pemahaman mereka.

Maka ketika kedua hal yang bertentangan ini ada di hadapan, mereka menilai dengan persepsi dan pemahaman yang samar-samar. Yang satu hadir dengan sedikit dukungan, sementara yang satunya lagi muncul dengan hingar bingar keindahan. Tentu saja mereka akan memilih yang lebih menarik di mata. Kenyataan ini membuat saya kembali teringat kepada satu fakta lagi tentang tanda-tanda hari akhir, yaitu ketika Dajjal sudah muncul di hadapan manusia. Pada saat itu bahkan manusia akan mengira bahwa dia telah berada di jalan yang benar karena saking meyakinkannya tipu daya Dajjal terhadap mereka.

Lha menghadapi tipu daya pendukung Dajjal saat ini saja kita sudah seperti sapi dicolok hidungnya, bagaimana nanti kalau benar-benar bertemu Dajjal?!

April - May Book Haul

Jumat, 04 Juni 2021

Selama bulan April saya beli cukup banyak buku. Niatnya sih untuk persiapan Ramadan. Dan karena sebagiannya sudah tidak terbit lagi, jadi tidak akan saya ikut sertakan di postingan ini. Nah, bulan Mei rencananya saya mau menghemat. Di awal bulan saya cuma beli 2 buku, tapi begitu peristiwa Syaikh Jarrah menjadi viral dan kesadaran dunia tentang tragedi penjajahan di Palestina makin meluas, saya memutuskan untuk kembali melihat lebih jauh juga ke sana.


Saya baru sadar kalau selama ini saya belum pernah membaca literatur yang khusus membahas atau menceritakan tentang Palestina. Lalu ketika beberapa akun bookstagram merekomendasikan buku-buku yang related dengan Palestina, saya pun khilaf. Totalnya jadi ada 11 buku yang akan kita intip isinya di book haul kali ini. 9 buku fisik dan 2 buku digital. Kita mulai pamernya ya...

The Phantom of The Opera (Gaston Leroux)

Sejujurnya saya juga kurang tahu (yakin) novel ini bercerita tentang apa. Sependek yang saya simak dari salah satu booktuber favorit saya, Emma, novel ini bercerita tentang kehidupan di balik panggung opera di Perancis. Pertama kali diterbitkan tahun 1911, novel ini sudah sangat sering diadaptasi dalam bentuk pertunjukan opera sampai saat ini. Bahkan ada filmnya juga, tapi saya belum nonton. Karena sefenomenal itu, saya penasaran banget sama novel satu ini. Sudah sempat cari-cari juga di marketplace dan ketemu terjemahannya. Tapi ternyata ketika kemarin iseng ngetik judulnya di Kindle, muncul satu versi ini yang gratis jadi saya langsung checkout deh. 

Ada banyak publisher yang menerbitkan novel ini, dan saya nggak tahu di Kindle masih gratis atau nggak karena sejujurnya saya benar-benar baru memakai Kindle. Kalau kalian penasaran juga sama novel ini dan ingin baca terjemahannya bisa cari di marketplace. Setahu saya Gramedia punya satu versi yang covernya lebih imut. Tapi di Google Play Book juga ada yang versi Serambi dan harganya hanya sekitar Rp. 15.000 saja.




Penyebab saya membuka Kindle adalah buku ini. Berawal dari postingan salah satu publisher buku-buku Islam di London, Kube Publishing yang menggratiskan buku ini khusus di Kindle jadi saya nggak mau melewatkan kesempatan itu. Sampai tulisan ini saya posting, buku ini masih gratis lho... Jadi lebih baik kalian segera buka akun Kindle. 


Buku ini tidak terlalu tebal, hanya 184 halaman. Merupakan laporan harian tentang tragedi penyerangan Israel di Gaza selama 22 hari di bulan Desember 2008 - Januari 2009. Penulisnya sendiri, Vittorio Arrigoni adalah seorang aktivis kemanusiaan berdarah Italia yang menjadi relawan ketika peristiwa itu terjadi, bergabung dengan Bulan Sabit Merah Palestina. Yang menjadi buku ini menjadi lebih menarik adalah adanya pengantar dari Ilan Pappรฉ, seorang sejarawan berdarah Israel yang juga sedang saya incar buku-bukunya.

I Saw Ramallah (Murid Barghutsi)

Indonesia Version - EPub English Version - Kindle

Buku ini adalah salah satu Palestinian Literatur yang paling direkomendasikan yang ada terjemahan Bahasa Indonesia. Sejujurnya saya cukup kaget waktu mengetahuinya. Dan ketika membaca sinopsis Bahasa Indonesianya, saya cukup kecewa karena sinopsisnya merupakan terjemahan sinopsis dari yang berbahasa Inggris. Yaaa nggak pa-pa sih, tapi karena terjemahan sinopsisnya saja tidak teratur dan sulit dimengerti, jadi saya masih belum siap untuk membaca isi bukunya.


Dari sinopsisnya, kita bisa mengetahui bahwa I Saw Ramallah adalah sebuah memoir dari penulisnya sendiri. Terusir dari tanah kelahirannya, Murid mengungkapkan perasaannya tentang kenangan masa kecil dan tanah air yang tak dikenalinya lagi. Nanti kalau hati saya sudah lebih siap, insyaAllah saya akan baca buku yang mendapatkan penghargaan ini.

In Searh of Fatima (Ghada Karmi)



Tidak terlalu berbeda dengan I Saw Ramallah, In Search of Fatima menceritakan masa kecil penulis yang terusir dari Palestina. Tidak banyak informasi yang saya dapatkan tentang buku ini, tapi karena ada terjemahan Bahasa Indonesia saya cukup yakin kalau dulu sepertinya buku ini cukup penting bagi rakyat Palestina yang bernasib sama dengan penulis, seperti di sinopsisnya disampaikan; Berbicara untuk jutaan orang terlantar di seluruh dunia yang telah hidup tergantung di antara negara lama dan baru, tidak merasa cocok dengan keduanya, buku ini adalah eksplorasi yang intim dan bernuansa privasi yang lebih halus dari perpindahan psikologis dan hilangnya identitas.


Siapa sangka, seorang Syaikh yang kitab Sirahnya menjadi salah satu yang paling saya favoritkan ternyata pernah menulis kisah roman. Tapi, Mamu Zein bukanlah kisah fiksi. Kisah cinta remaja Kurdi di masa lalu ini ditulis ulang oleh Syaikh Al-Buthi ketika beliau bahkan belum menjadi ulama dan belum genap berusia 14 tahun. Bisa dibilang, Mamu Zein adalah karya pertama beliau dalam bidang kepenulisan. Membaca kata pengantar dari penerjemah buku ini membuat saya menjadi semakin kagum dengan beliau dan penasaran dengan kisah di dalam bukunya.


From Beirut to Jerusalem (dr. Ang Swee Chai)


Nama dr. Ang Swee Chai pertama kali saya temukan disebut oleh salah satu influencer muslimah yang saya follow di Instagram, Aida Azlin. Dan dari sekian banyak influencer yang bersuara tentang Palestina, hanya Aida yang menyebut namanya. Ternyata, dr. Ang Swee Chai adalah seorang Singaporean, sama sepertinya. Aida memberikan link video YouTube dimana dr. Swee memberikan speech di acara TedX Talk dan menyinggung tentang Palestina di pidato itu. Dan karena saya terlalu mudah dipengaruhi, seketika saya ketikkan namanya di Google, lalu muncullah sederetan gambar buku. Saya lebih tidak menyangka ketika mengetahui bahwa buku itu diterbitkan oleh Mizan, yang artinya bukunya berbahasa Indonesia.

Begitu buku ini saya terima, saya langsung membacanya. Sampai saya menulis ini, sudah 108 halaman saya baca dari total 476 halaman. Mirip dengan Gaza Stay Human, buku ini adalah catatan pengalaman pribadi dr. Swee selama menjadi dokter relawan di kamp pengungsian Palestina. Dan buku ini juga yang menjadi alasan saya untuk tidak segera membaca buku-buku tentang Palestina yang lain. Karena hanya dengan membaca saja, saya bisa merasakan sesak di dada dan lelah luar biasa. Energi saya dikuras habis menyaksikan (membaca) penderitaan yang harus dialami orang-orang itu. Bahkan ketika menuliskan ini saja, saya sudah merasakan sesak lagi. Saya belum sanggup melanjutkan. Kalau kalian tidak bisa menemukan buku fisiknya di marketplace, beli saja versi EPub di sini. Harganya tidak sampai Rp. 30.000'-.


Daerah Salju adalah sastra klasik dari Jepang yang lagi-lagi saya temukan dari review di video YouTube-nya Emma. Versi Bahasa Indonesia ini diterjemahkan oleh Matsuoka Kunio & Ajip Rosidi. Melihat kombinasi penerjemahnya, harusnya nilai sastranya tidak akan berkurang ya?! Tapi ketika membaca bagian awalnya, saya langsung kehilangan minat. Entahlah, mungkin karena terlalu banyak membaca kisah suram sebelumnya, jadi saya kurang tertarik. Padahal, Emma bilang dia tidak bisa berhenti memikirkan buku ini sejak selesai membacanya. 


Snow Country (English) berkisah tentang Shimamura, laki-laki Tokyo yang mencoba mencari ketenangan di sebuah daerah terpencil bersalju dan Geisha-nya, Kumiko. Setelah saya mencoba membaca review tentang novel ini, memang banyak yang mengaku kurang bisa memahaminya. Kawabata lebih banyak mengungkap sisi psikologis para karakternya yang gelap dan rapuh. Jadi sepertinya wajar kalau saya butuh perasaan yang 'lengkap' kalau mau membacanya.

Your Sin is Not Greater Than God's Mercy (Nouman Ali Khan)

Kalian tidak perlu membeli buku ini, karena versi digital gratis bisa didapatkan di IPusnas. Lagipula buku ini sudah tidak terbit lagi. Tapi saya tetap masukkan di postingan ini karena menurut saya buku ini layak dibaca. Just because this is from ustadz Nouman.


Sebenarnya ini bukan tulisan beliau, namun merupakan transkrip ceramah beliau yang ada di YouTube lalu dibukukan oleh Noura Publishing. Link video dari tiap judul ceramah dicantumkan di bagian akhir buku. Saya sendiri suka sekali dengan gaya ceramah ustadz Nouman dan karena memang isi ceramahnya semenarik itu maka saya sengaja membeli buku ini untuk bisa saya baca-baca lagi nanti kalau saya merasa membutuhkan nasihat.


Sejujurnya saya juga kurang tahu tentang buku ini. Hanya karena dia muncul ketika saya mencari buku Palestina maka saya membelinya. Harganya pun murah, hanya sekitar Rp. 40.000,-. Kalau dilihat sekilas, buku ini merupakan kumpulan hasil riset tentang sejarah Timur Tengah pada umumnya, lalu terus memfokuskan kajiannya menuju Palestina. Bukunya tipis, hanya 120an halaman tapi menurut saya sudah cukup bagi saya untuk menguatkan pemahaman tentang isu Palestina.



Mengisahkan kehidupan seorang laki-laki Iran bernama Ali Fattah yang jatuh cinta kepada seorang perempuan bernama Mahtab, puteri dari pembantunya sendiri. Di pengantar, novel ini disebut bergenre roman sufistik, dimana kisah cinta dibalut tradisi religius. Yang lebih menarik lagi, novel ini diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya, Persia. Kalau kalian peminat filsafat dan sufisme, pasti akan tertarik dengan novel ini.



Ketika Mephy Napier, salah satu booktuber favorit saya yang lain mereview buku ini sambil menangis, saya langsung tahu kalau saya akan menyukainya juga. Novel ini merupakan novel yang fokus dengan karakter yang kuat. Tidak banyak plot yang terjadi, tapi kita akan diajak untuk mengenali tokoh-tokohnya dan menaruh simpati bahkan berempati kepadanya. Saya baru membaca 10 halaman novel ini dan seketika merasa peduli kepada Ove. Ove adalah laki-laki tua 59 tahun yang tinggal sendiri dan kesulitan beradaptasi dengan dunia dan manusianya hari ini. Setelah Merphy mereview, secara kebetulan beberapa bookstagramer yang saya temukan ternyata juga pernah membaca novel ini dan mereka semua menyukainya. Di cover bukunya, ditulis; "Kau akan tertawa, menangis, bersimpati terhadap karakter temperamental yang kau temui dalam kisah ini" and I'm ready for that. Buku ini juga sudah diadaptasi menjadi film berbahasa Swedia, sesuai bahasa aslinya. Tapi belum lama ini saya dengar kabar angin kalau Hollywood mau membuat filmnya juga.




Sudah selesai pamernya. Saya minta maaf kalau kalian tidak bisa menemukan lagi buku-buku di atas, karena memang bukan buku populer. Tapi kalau kalian pernah dan ingin membaca salah satunya, please kasih tahu di kolom komentar ya...

Setelah Hari yang Panjang

Minggu, 30 Mei 2021

ุจِุณْู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…ٰู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู…ِ 
Dengan nama Allah, yang Maha Pengasih, Maha Penyayang



Hari-hari selama pandemi menjadi sangat melelahkan. Tapi di sisi lain, ada banyak keindahan dan kebaikan yang saya dapatkan darinya. Pagi ini saya memutuskan untuk membuat blog baru sebagai tanda bahwa saya ingin menjalani target kehidupan yang baru. Ya, walaupun tentu saja sebenarnya tidak butuh blog baru juga sih, tapi rasanya saya sudah kehilangan minat untuk menghias blog lama. Semacam perasaan ketika diary/journal lama milik kita sudah penuh, tentu kita butuh yang baru kan?! Blog itu sudah berusia 12 tahun, pasti dia sudah lelah dirombak terus. ๐Ÿ˜…

Intention

Beberapa waktu lalu, ketika saya ng-ide untuk ngeblog lagi sempat ada lintasan pikiran bahwa blog sepertinya sudah tidak relevan lagi saat ini. Orang-orang lebih banyak aktif di sosial media, saya sendiri tiap hari bisa berjam-jam scrolling Instagram tanpa melakukan apa-apa. Kalau sekadar mau sharing ide atau pengalaman, sosmed adalah tempatnya. Dan seperti biasa, karena saya selalu ragu dengan diri sendiri maka saya mencoba mencari tahu apakah memang blogging sudah tidak relevan lagi saat ini. Hasilnya, menyadarkan saya.

Saya menemukan sebuah blog yang baru berusia satu tahun, yang membahas relevansi blog saat ini jika dibandingkan dengan sosial media dalam menghasilkan rupiah. Tentu saja blog memang tidak secepat sosmed dalam menarik iklan atau sponsor, tapi blog bisa bertahan lama. Bahkan sebenarnya di luar negeri blog tetap menjadi salah satu sumber penghasilan yang menjanjikan. Saya setuju, seringkali ketika mencari ide dengan topik tertentu di Pinterest, saya selalu diarahkan menuju sebuah blog yang biasanya bagus dan menarik.

Lalu di artikel yang lain saya menemukan opini bahwa blog itu ibarat rumah, sementara sosmed itu hanya tempat nongkrong. Selama apapun kita nongkrong di Facebook, penting untuk kembali ke rumah. Sekeren apapun tampilan kita di Instagram, kalau punya blog pasti akan dianggap lebih profesional. Tapi bagi saya kalimat itu bermakna lain.

Photo by Elsa Noblet on Unsplash

Saya menyadari sesuatu, bahwa selama ini saya selalu merasa tidak nyaman jika terlalu banyak bercerita di sosial media. Setiap kali membagikan story yang agak banyak, saya berpikir 'ah, udah kebanyakan'. Setiap kali ingin menulis opini yang mengganggu pikiran, saya khawatir akan menyinggung orang lain. Saya merasa tidak menjadi diri sendiri. Ternyata selama ini saya lupa untuk pulang ke 'rumah'. Saya lupa bahwa di sini saya bisa melakukan apa saja sesuka hati tanpa khawatir dengan penilaian orang lain. Karena biasanya yang berkunjung ke blog adalah orang-orang yang suka membaca. (if you know what I mean)๐Ÿ˜†

Lalu, setelah hari yang panjang saya memutuskan untuk membuat blog baru ini. Saya pun berjanji kepada diri sendiri untuk jujur di sini, menyampaikan uneg-uneg tanpa ragu dan mungkin nanti curhat sepuas hati. Lebih dari itu, semoga saya bisa mendokumentasikan hal-hal penting dalam hidup untuk nanti saya buka kembali 10 tahun yang akan datang. Saat itulah mungkin saya akan tersadar kembali betapa Allah begitu baik dan sayangnya kepada saya karena telah mengabulkan doa-doa yang tak terucap atau justru menyelamatkan saya dari keinginan-keinginan yang menjerumuskan.
© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.