SLIDER

Student Hidjo dan Bagaimana Kita Mengapresiasinya

Rabu, 07 Juli 2021


Judul
: Student Hidjo
Penulis : Mas Marco Kartodikromo
Bahasa : Indonesia, Belanda
Format : Paperback, 140 halaman
Penerbit : Narasi (2010) 
pertama terbit sebagai buku tahun 1919
Harga : Rp. 30.000,-

Menelisik sosok Mas Marco yang cukup berpengaruh terhadap pergerakan nasional sebelum kemerdekaan, awalnya saya mengira akan membaca sebuah karya sastra perlawanan. Tapi ternyata tidak. Setidaknya, karakter perlawanannya tidak sekuat Bumi Manusia. Buku ini berkisah tentang Hidjo, anak saudagar kaya di Solo yang oleh Ayahnya disuruh untuk melanjutkan studinya ke Belanda. Selain karena anaknya memang cerdas, kekayaan saja tidaklah akan cukup untuk menaikkan status sosial keluarganya jika dibanding dengan bangsawan alami yang dekat dengan Gouvernement. Jika Hidjo lulus sekolah dari Belanda dan menjadi pegawai Gouvernement, maka mereka akan lebih dihormati seperti para priyayi lainnya. Di zaman dulu, memiliki status sosial yang tinggi dan diakui oleh pemerintah menjadi sesuatu yang penting. Dan sepertinya sampai hari ini hal itu juga tetap menjadi hal yang sangat penting, kan?! 

"Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani."

Ibunda Hidjo, Raden Nganten Potronojo sangat khawatir anaknya akan terpengaruh budaya Eropa yang tidak beradab. Selain itu, sekolah di Belanda tentu butuh waktu yang tidak sebentar. Setidaknya 7 tahun ia harus berjauhan dengan Hidjo dan dia tidak yakin akan bisa menahan rindu selama itu untuk tidak bertemu dengan anak semata wayangnya. Ditambah lagi Hidjo telah dijodohkan dengan Biroe, anak kerabatnya sendiri. Bagaimana kalau nanti Hidjo malah jatuh cinta dengan gadis Belanda yang cantik-cantik dan tidak tahu adab itu?!

Tapi meskipun berat hati melepas putranya, Raden Nganten Potronojo tetap harus rela mengantar kepergian Hidjo demi kebaikan masa depan anak kesayangannya itu. Bersama dengan Biroe dan keluarganya, Ayah dan Ibu Hidjo mengantar keberangkatan Hidjo hingga kapal meninggalkan Tanjung Priok. Hidjo sendiri berangkat bersama gurunya dan di Belanda nanti akan dititipkan kepada seorang pengusaha Belanda, saudara dari gurunya tersebut.

Konflik mulai muncul ketika sepulang dari mengantar Hidjo, rombongan keluarga Biroe dan Raden Potronojo menginap sebentar di sebuah hotel di Djarak. Di sana mereka bertemu dengan keluarga Regent Djarak yang ternyata anak laki-lakinya, Raden Mas Wardojo adalah teman dekat Hidjo di HBS. Pertemuan itu membuka fakta bahwa Raden Ajeng Woengoe, adik Wardojo selama ini menaruh hati pada Hidjo. Dan ketika melihat kecantikan Biroe, Wardojo yang tidak mengetahui bahwa ia adalah tunangan Hidjo, pun langsung tertarik pada Biroe. Jadi, kisah cinta macam apa ini? Cinta bujur sangkar?! 😁

Keruwetan kisah cinta ini tidak berhenti pada 4 orang ini saja. Di Belanda, Hidjo yang selalu berusaha bersikap santun pun akhirnya jatuh pada godaan Betje, anak perempuan induk semangnya sendiri yang sudah tergila-gila padanya sejak pertama kali bertemu. Lalu di Indonesia, Raden Ajeng Woengoe yang jelita itupun dilamar oleh Controleur Walter yang baik hati dan begitu mencintai budaya Hindia terutama Jawa.

***

Secara narasi maupun plot, Student Hidjo bukanlah sebuah masterpiece. Bahkan bisa dibilang, ending kisah ini sangat payah karena hanya sebuah epilog ringkas sepanjang 7 baris di akhir novel. Padahal jika mau fokus pada tema kisah cinta Hidjo dan orang-orang di sekitarnya itu, mungkin novel ini bisa menjadi sebuah kisah romance yang cantik lalu melegenda seperti Sitti Nurbaya. Tapi sepertinya memang Mas Marco bukan tipe penulis yang seperti itu. Karena meskipun Student Hidjo adalah kisah roman, kita tetap akan merasakan aroma kritik pedas terhadap penguasa menyelisip di sela-sela keruwetan kisah cinta anak-anak priyayi Jawa itu.

Secara halus, Mas Marco ingin menunjukkan bahwa kedudukan manusia sesungguhnya setara. Baik orang Hindia maupun Belanda, pada dasarnya adalah sama-sama manusia. Hal itu ditunjukkan dalam sebuah adegan singkat ketika Hidjo baru sampai di Belanda,

"Kalau di Negeri Belanda, dan orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti di perintah oleh orang Belanda," begitu kata Hidjo dalam hati.

Student Hidjo juga menunjukkan bahwa ada orang Belanda yang baik hati, demikian pula banyak pribumi yang tidak tahu diri. Kita bisa lihat bagaimana Walter membela seorang jongos yang dihina oleh sesama orang Belanda dan membeberkan kelebihan-kelebihan orang Hindia dibanding Belanda. Di bagian ini sejujurnya saya merasa sedang membaca laporan jurnalistik ketimbang sebuah cerita. Di beberapa bagian juga Mas Marco menyinggung sedikit tentang mulai munculnya pergerakan Sarekat Islam di Jawa.

Hal lain yang juga membedakan Student Hidjo dengan karya sastra pada masanya adalah penggambaran tentang tradisi perjodohan yang tampak normal-normal saja di buku ini. Tidak ada perlawanan dari anak terhadap perjodohan yang disiapkan orang tuanya, -mungkin karena jodohnya juga rupawan dan sesama bangsawan?- tidak ada pertentangan kaum muda dan kaum tua, semuanya berjalan mulus-mulus saja. Mas Marco seolah ingin menyampaikan bahwa tidak selamanya perjodohan itu sebagai wujud sikap egoisme orang tua. Dan orang tua bukanlah manusia batu yang tidak bisa membaca hati anaknya. Cinta juga bukan satu-satunya hal yang paling penting di dunia, sehingga Mas Marco dengan seenaknya membuat ending yang 'begitu saja'. 

Jadi kalau mau menyimak kisah cinta menarik dengan plot yang rumit dan gaya penulisan yang puitis, novel ini jelas bukan pilihan. Bagi saya narasi di buku ini terlalu deskriptif, plotnya pun mengalir ringan saja tanpa ada tambahan konflik yang berarti. Tapi penggambaran karakter tokohnya cukup kuat sehingga saya bisa membayangkan tokoh-tokoh di novel ini. Dengan hanya 140 halaman saya bisa menyaksikan pergolakan batin Hidjo yang cerdas, kalem bahkan cenderung lugu menghadapi genitnya Betje dan diam-diam memendam rindu pada tanah airnya. Demikian juga karakter-karakter Biroe, Woengoe, Wardojo dan lain-lain.

***

Pertama kali kemunculannya sebagai cerita bersambung di Harian Sinar Hindia tahun 1918, Student Hidjo diterbitkan dengan embel-embel "tak boleh dikoetip". Maka kita akan tahu mengapa tidak ada banyak tema perjuangan maupun perlawanan di novel ini. Dan ini menunjukkan keberanian Mas Marco dalam membuat sebuah karya sastra yang berbeda dengan sastra keluaran Balai Pustaka. Sayangnya, sampai seabad sejak Student Hidjo terbit baru tahun lalu saya mengenalnya. Itupun karena saya iseng mencari di google dengan keyword "sastra lama Indonesia". Sebelumnya, sastra lama Indonesia yang saya tahu hanyalah karya-karya penulis Balai Pustaka.

Menurut saya Student Hidjo cocok untuk dijadikan bacaan untuk siswa-siswa SMA agar nilai-nilai tradisi maupun semangat kesetaraan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu di bangsa kita bisa lebih dikenali oleh generasi muda bangsa ini. Kita butuh pandangan lebih objektif mengenai sejarah bangsa kita yang tercermin dari karya sastra yang beragam, bukan hanya tentang penindasan laki-laki atas perempuan atau tentang keegoisan kaum muda dan ketidakberdayaan anak muda. Yang mana nyatanya negara kita dibebaskan oleh anak-anak muda.
© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.